Laki-laki dan perempuan : 125 orang b
Usia : 1.
Umur 15-20 tahun : 90 2.
Umur 21-25 tahun : 31 3.
Umur 26-35 tahun : 4 c
Pendidikan C 1.
SLBSDLB : 54
2. SMPLB
:23 3.
SMALB :34
4. TidakPutus Sekolah
:14
86
BAB IV PERAN PEKERJA SOSIAL TERHADAP BIOPSIKOSOSIAL
SPIRITUAL ANAK TUNA RUNGU WICARA DI PANTI SOSIAL BINA RUNGU WICARA “MELATI” BAMBU APUS
JAKARTA TIMUR
Pada bab ini peneliti akan membahas analisis hasil penelitian di mana suatu analisa dilakukan mengacu pada hasil dari penelitian yang
akan dipaparkan oleh peneliti melalui teori yang digunakan di bab II yang mengambarkan tentang pekerja sosial di Panti Sosial Bina Rungu Wicara
Melati Bambu Apus Jakarta Timur.
A. Identitas Informan
1. Informan Penerima Manfaat “N” :
“N” merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ia berasal dari Depok, “N” merupakan gadis yang cantik dan ceria, keadaan
fisik “N” juga sama dengan anak normal yang lainnya ia memiliki tinggi dan berat badan yang sama seperti anak-anak normal
seusianya.
Ia mempunyai kulit berwarna kuning langsat, bola mata berwarna hitam dan bulat, ia memiliki hidung yang mancung, dan
bibir yang berwarna merah. Kea daan fisik “N” memang sama
dengan anak normal lainnya hanya saja ia memiliki kelainan pada telinganya yang menyebabkan ia menderita tunarungu. Karena ada
sesuatu yang bermasalah pada indera pendengaran. maka itu pun
berpengaruh juga kepada indera pengecapannya, ia pun tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang terdapat pada bibirnya, karena tidak
ada pemantulan suara yang ia terima.
“N” menderita tunarungu wicara sejak ia kecil, ia menderita tunarungu wicara karena kecelakaan yang menimpa dirinya pada
usia 6 bulan, dan pada usia 2 tahun belum bisa bicara. Saat itu orang tua “N” tidak menyangka bahwa “N” menderita tunarungu
wicara karena riwayat keluarga pun tidak ada yang menderita tunarungu wicara. Karena keterbatasan biaya hal tersebut yang
m enyebabkan “N” tidak dibawa ke Dokter dan hanya dibawa ke
pengobatan tradisional, padahal s eharusnya “N” harus dirujuk ke
Dokter syaraf. “N” masih terdapat sisa-sisa pendengaran walau
tidak signifikan, kelebihannya ia masih bisa membaca gerak bibir seseorang yang diucapkan. Tingkat disabilitas “N” berada pada
tingkat berat, tetapi ada perbedaan pada telinga kanan dan kirinya, Tingkat disabilitas “N” 102,5 DB pada telinga kanannya dan
telinga kiri 95,0 DB.
Selama “N” berada di rumah dan belum dititipkan di panti, “N” sempat belajar di Sekolah Luar Biasa yang letaknya tidak jauh
dari kediaman “N”, setiap kali “N” diajarkan oleh orang tua dan sanak saudara “N” selalu saja malas dan tidak mau belajar, hal
tersebut yang membuat prestasi belajar “N” menjadi terhambat. Maka dari itu orang tua “N” memutuskan untuk menitipkan anak
mereka ke PS BRW “Melati” mereka berharap “N” agar dibimbing
oleh orang-orang yang berkompenten di bidangnya dan dapat
berguna dan mandiri di masa depannya nanti.
Lingkungan keluarga “N” menerima keadaan “N” apa adanya, begitu juga dengan tetangga “N” mereka semua dapat
mengerti keadaan “N”, dalam segi emosional, “N” cenderung keras kepala apabila ia meminta sesuatu, cenderung harus dituruti.
Pergaulannya dengannya rekan-rekan teman di panti berjalan baik dan harmonis, tetapi hanya ada satu k
awan “N” yang dirasa mengganggu kehidupan “N”, ia sering membuat “N” menangis
karena perilakunya, ia pun sering mengadukan hal tersebut kepada pengasuh yang juga pekerja sosialnya karena ia merasa diusik oleh
kawannya tersebut.
“N” termasuk anak yang pemalu dan pendiam apabila ia dihadapkan pada orang baru yang berada disekitarnya, ia
cenderung akan menarik diri, dan menyibukan diri agar orang tersebut tidak terlalu berinteraksi dengannya, tetapi kalau “N”
sudah mengenalnya, “N” akan merasa nyaman dan merasa ingin diperhatikan. Ia cenderung sudah tidak pemalu dan mau menyapa.
Keadaan spiritualnya pun karena memang sudah sejak kecil ia sudah mengenal Tuhannya ia pun sudah mengetahui tata cara
berwudhu, sholat, dan memahami larangan dan perintah yang diajarkan agamanya.