53
Tradisi Rasulan juga berfungsi secara faktitif. Tindakan faktitif masyarakat dusun teletak pada penyusunan kekuatan dalam hal materi
sebagai sarana pelaksanaan rangkaian kegiatan rasulan. Sebelum
melaksanakan Tradisi Rasulan, masyarakat Trowono A terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk membahas masalah pengumpuan dana yang
akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rasulan. Biasanya dana Rasulan diperoleh dari iuran masing-masing warga.
4.3.4 Fungsi Intensifikasi
Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan dan hasil panen.
Fungsi intensifikasi sangat jelas terlihat dalam tradisi rasulan. Bahkan pelaksanaan ritus ini dilandasi oleh motivasi intensifikasi khususnya dalam
ritual rasul labuh. Pada ritual rasul labuh, para petani melakukan doa
permintaan kepada Tuhan agar tanah yang ditanami menjadi subur sehingga benih yang ditanam dapat bertumbuh dengan baik. Selain melakukan doa,
para petani juga melakukan ritual seperti sesaji yang dipersembahkan kepada roh-roh penghuni dusun. Dengan demikian diharapkan roh-roh
tersebut tidak mengganggu aktifitas para petani dalam bercocok tanam. Selain doa dan sesaji, para petani juga melakukan upaya agar tanah yang
akan ditanami menjadi subur dengan melakukan penggemburan tanah sebelum melakukan penanaman.
54
4.4 Rangkuman
Tradisi Rasulan memiliki nilai dan fungsi yang baik jika dimaknai dengan baik oleh masyarakat khususnya masyarakat Trowono A. Nilai-nilai
yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain nilai ekonomi, sosial, estetika, dan agama. Selain nilai-nilai, Tradisi Rasulan juga memiliki fungsi
yaitu fungsi religius, faktitif, intensifikasi, dan fungsi magis.
55
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tradisi Rasulan sebagai sebuah folklor mempunyai peranan untuk
masyarakatnya. Selain sebagai perekat rasa persaudaraan, Tradisi Rasulan juga mengajarkan masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Sang Pemberi
Kehidupan. Sebagai tradisi pertanian, Rasulan juga mengingatkan kembali akan kekayaan alam yang dimiliki selain juga mendidik generasi muda untuk selalu
melestarikan tradisi pertanian maupun pertanian itu sendiri. Pada bab dua diuraikan mengenai Tradisi Rasulan. Rasulan terdiri dari dua
macam yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh merupakan ritual rasulan sebelum para petani menanam padi sedangkan Rasul Gede merupakan
Ritual Rasulan setelah para petani panen. Rangkaian acara Rasul Labuh meliputi kenduri dan sesaji sementara rangkaian acara Rasul Gede meliputi kenduri, sesaji,
jamuan makan, olahraga, pentas seni, dan kirab budaya. Pada bab tiga diuraikan mengenai macam-macam sesaji yang terdapat dalam
Tradisi Rasulan. Sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan baik Rasul Labuh maupun Rasul Gede antara lain sesaji guangan, sesaji bale, dan sesaji dalang.
Sesaji guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sesaji bale merupakan sesaji yang diletakkan di balai dusun
56
tempat berlangsungnya kenduri dan kegiatan lainnya bekaitan dengan pelaksanaan Rasulan. Sementara sesaji dalang merupakan sesaji yang khusus
dibuat untuk pentas seni wayang. Pada bab empat diuraikan mengenai nilai dan fungsi yang terdapat dalam
Tradisi Rasulan. Merujuk pada teori tentang nilai budaya yang dikemukakan oleh Alport Vernom dan Lindzey, nilai yang terdapat dalam Tradisi Rasulan mencakup
nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sedangkan fungsi yang terdapat dalam Tradisi Rasulan sesuai dengan klasifikasi Davamony mengenai
fungsi mencakup fungsi magi, fungsi religius, fungsi intensifikasi, dan fungsi faktitif.
5.2 Saran
Studi lebih lanjut dapat mengungkap lebih mendalam tentang arti simbol- simbol yang terdapat dalam Tradisi Rasulan. Studi tersebut bertujuan agar
masyarakat khususnya generasi penerus Tradisi Rasulan, dapat memahami secara utuh makna dari simbol-simbol yang dibuat.
57
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku : Budiaman. 1997. Folklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakata: Kencana Prenada Media Group.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2005. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. Hadi, Sutrisno. 1979. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis, Pembuatan
Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Pemberton, John. 2003. Jawa On The Subject Of Java. Yogyakarta: Mata Bangsa Poerwadarminto. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode Dan Teknik Penelitian Sastra Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme cet II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
58
Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD cet. Ke-14. Bandung: Alfabeta.
Suriasumantri, Jujun. S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan Sejarah Teori Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera
Yuwono, Markus. 2004. “Perubahan Tradisi Rasulan di Gunungkidul Setelah 1998”. Skripsi pada Program Studi Sastra Sejarah, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
Sumber On Line : Zenzaenal, 2013. “Catatan Tentang Deskripsi Tembal”,
Stable URL : http.blogspot.com. diunduh pada 1204 2013, 10.05.
Adi, Tri Nugroho. 2011. “Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif”, Stable URL : http:sinaukomunikasi.wordpress.com20111103teori-
teori-penunjang-dalam-penelitian-kualitatifdiunduh pada 0906 2014, 23:12.