Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul : sebuah kajian folklor.

(1)

xii

Setiyawati, Sandra. 2014. Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. (Sebuah Kajian Folklor). Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Rasulan, memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan, dan memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.

Penelitian ini menggunakan Kajian Folklor yang mengutamakan Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Trowono A sebagai objek penelitian. Mula- mula peneliti melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara sebagai langkah pengumpulan data lapangan. Setelah itu, data dianalisis dan disajikan menggunakan metode deskripsi.

Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sangat terkenal di Gunungkidul. Hampir setiap daerah melaksanakan tradisi ini sampai saat ini. Rasulan merupakan tradisi pertanian yang dilakukan dua kali dalam setahun yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan sebelum para petani menabur benih, sementara Rasul Gede dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Rasul Labuh dilaksanakan secara sederhana yaitu hanya kenduri dan sesaji. Sementara itu, Rasul Gede dilakukan secara besar-besaran sebagai wujud rasa syukur masyarakat. Kenduri, sesaji, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya menjadi agenda rutin Rasul Gede.

Sesaji merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Trowono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji yang rutin dilaksanakan adalah Sesaji Bale, Sesaji Guangan, dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale merupakan sesaji yang khusus diletakkan di Balai Dusun sebagai pusat kegiatan masyarakat khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sedangkan Sesaji Guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sementara itu, Sesaji Dalang merupakan sesaji yang dibuat khusus untuk nyajeni pentas wayang.

Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A juga memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat dusun tersebut. Nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sementara itu, fungsi yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tradisi Rasulan merupakan sebuah tradisi yang baik untuk dilestarikan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya manfaat yang dapat dipelajari dan dirasakan jika masyarakat dapat menghayati Tradisi Rasulan dengan baik. Selain itu Rasulan juga berfungsi sebagai sarana pengembangan kepribadian bagi generasi muda.


(2)

xiii

Setyawati, Sandra.2014. Rasulan Tradition at Trowono at Karangasem Paliyan Gunungkidul. (A folklore Study). Script S-1, Yogyakarta: Indonesian lecturer, Sanata Dharma University.

This study concerns about “Rasulan” tradition at Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. The purpose of this study are describing the rasulan tradition, expose many kinds of “sesaji” that include in rasulan tradition and expose the values and function of Rasulan tradition for Trowono A society.

This study uses the folklore study that emphasize Rasulan tradition at Trowono A as an object of the study. At the beginning the researcher doing observation and interview as tools to collect the field data. After all, the data been analyzed and served with description method.

Rasulan is famous tradition in Gunungkidul, Almost every region in Gunungkidul doing this tradition until this time. Rasulan is an agricultural tradition that is held twice in a year, that are called Rasul Labuh and Rasul Gede. Rasul Labuh held before the farmers are planting, and Rasul Gede held after harvest time. Rasl Labuh held in a simple way that the farmers only served “Kenduri” and “sesaji”. Meanwhile, Rasul Gede held in a huge way as a though of thanks to God from farmers. Doing kenduri, sesaji, food court, art festival, sport festival and cultural carnival are being a routine agenda in Rasul Gede.

Doing sesaji is an activity that never left by the trowono A society, especially at rasulan time. Sesaji that routinely held are Sesaji Bale, Sesaji Guangan dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale is a special offering that placed in the village hall as a center of social activities, especially at rasulan time. Sesaji Guangan is an offering that placed in many placed that people assume it is has mystically power. And last, Sesaji Dalang is an offerings that especially given for puppet show.

Rasulan tradition in Trowono A also has values and fuctions for the society. Values that remain in Rasulan tradition at Trowono A are economic value, esthetic value, social value, and religion value. Functions that includes in Rasulan tradition are magio function, religious function, factitives function, and intensification function.

The output of the research shows that Rasulan tradition is a good tradition and need to conserved. That is because there is a lot of useful things can learned and felt if the rasulan tradition is truly done. And the other function of rasulan tradition is a way of characteristic enlargement for the young.


(3)

i

KARANGASEM, PALIYAN, GUNUNGKIDUL:

SEBUAH KAJIAN FOLKLOR

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Sandra Setiyawati

NIM: 074114017

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA Juni 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan kebaikanNya selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dengan judul: ”Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul: Sebuah Kajian Folklor.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian sarjana dan memperoleh gelar S-1 Fakultas Sastra, Jurusan Santra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Walaupun banyak kendala yang dihadapi oleh penulis tetapi karena kasih dan pertolonganNya, penulis dapat menerima dan melewati semuanya dengan kesabaran. Penulis sangat sadar bahwa tanpa kasih dan kebaikan-Nya, penulis tidak dapat berbuat apa-apa.

Demikian juga, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapakan terima kasih kepada :

1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I dan Prof.Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktunya untuk membimbing, membantu, dan memberi saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Hery Antono, Bapak B. Rahmanto, Bapak Ari Subagyo, Bapak Fx. Santosa, Ibu Peni Adji, dan Ibu Tjandrasih Adji, dosen jurusan Sastra Indonesia yang telah menyediakan diri untuk berbagi ilmu dan


(9)

(10)

viii

Kata orang, “jujur itu

ajur” tetapi tidak demikian dengan

perkataan Bapak. “Jujur itu

mujur”

kalimat itulah yang selalu

ditekankan oleh Bapak ketika memberi

wejangan

sejak saya

masih kecil hingga sekarang. Kejujuran itu adalah alat untuk

memerdekakan diri. Ketika sekali saja kita meninggalkan

kejujuran maka hidup kita akan tersandera. Itulah didikan

Bapak saya. Saya bukan orang jujur tetapi saya selalu

berusaha untuk jujur kepada diri sendiri maupun orang lain.

“Dadio wong jujur nok”,

itulah kata-kata yang selalu saya


(11)

ix

Skripsi ini saya persembahkan untuk warga Trowono A dan

masyarakat Gunungkidul melalui Perpustakaan Daerah Gunungkidul.


(12)

x

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK... v

KATA PENGANTAR... vi

MOTTO... viii

PERSEMBAHAN... ix

DAFTAR ISI... x

ABSTRAK... xii

ABSTRACT... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 4

1.5 Tinjauan Pustaka ... 5

1.6 Landasan Teori... 5

1.6.1 Folklor danFolkbelief... 6

1.6.2 Nilai dan Fungsi Ritual ... 9

1.7 Metode Penelitian... 13

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data... 13

1.7.2 Teknik Analisis Data... 16


(13)

xi

2.1 Pengantar... 18

2.2 Rasul Labuh ... 20

2.3 Rasul Gede ... 25

2.4 Rangkuman ... 35

BAB III SESAJI YANG TERDAPAT DALAM TRADISI RASULAN... 36

3.1 Pengantar... 36

3.2 Sesaji Guangan... 37

3.3 Sesaji Bale... 38

3.4 Sesaji Dalang... 39

3.5 Rangkuman ... 43

BAB IV NILAI DAN FUNGSI TRADISI RASULAN BAGI MASYARAKAT TROWONO A... 44

4.1 Pengantar... 44

4.2 Nilai... 45

4.3 Fungsi... 49

4.4 Rangkuman ... 54

BAB V PENUTUP... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA... 57


(14)

xii

Setiyawati, Sandra. 2014. Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. (Sebuah Kajian Folklor). Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Rasulan, memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan, dan memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.

Penelitian ini menggunakan Kajian Folklor yang mengutamakan Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Trowono A sebagai objek penelitian. Mula- mula peneliti melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara sebagai langkah pengumpulan data lapangan. Setelah itu, data dianalisis dan disajikan menggunakan metode deskripsi.

Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sangat terkenal di Gunungkidul. Hampir setiap daerah melaksanakan tradisi ini sampai saat ini. Rasulan merupakan tradisi pertanian yang dilakukan dua kali dalam setahun yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan sebelum para petani menabur benih, sementara Rasul Gede dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Rasul Labuh dilaksanakan secara sederhana yaitu hanya kenduri dan sesaji. Sementara itu, Rasul Gede dilakukan secara besar-besaran sebagai wujud rasa syukur masyarakat. Kenduri, sesaji, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya menjadi agenda rutin Rasul Gede.

Sesaji merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Trowono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji yang rutin dilaksanakan adalah Sesaji Bale, Sesaji Guangan, dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale merupakan sesaji yang khusus diletakkan di Balai Dusun sebagai pusat kegiatan masyarakat khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sedangkan Sesaji Guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sementara itu, Sesaji Dalang merupakan sesaji yang dibuat khusus untuk nyajeni pentas wayang.

Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A juga memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat dusun tersebut. Nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sementara itu, fungsi yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tradisi Rasulan merupakan sebuah tradisi yang baik untuk dilestarikan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya manfaat yang dapat dipelajari dan dirasakan jika masyarakat dapat menghayati Tradisi Rasulan dengan baik. Selain itu Rasulan juga berfungsi sebagai sarana pengembangan kepribadian bagi generasi muda.


(15)

xiii

Setyawati, Sandra.2014. Rasulan Tradition at Trowono at Karangasem Paliyan Gunungkidul. (A folklore Study). Script S-1, Yogyakarta: Indonesian lecturer, Sanata Dharma University.

This study concerns about “Rasulan” tradition at Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. The purpose of this study are describing the rasulan tradition, expose many kinds of “sesaji” that include in rasulan tradition and expose the values and function of Rasulan tradition for Trowono A society.

This study uses the folklore study that emphasize Rasulan tradition at Trowono A as an object of the study. At the beginning the researcher doing observation and interview as tools to collect the field data. After all, the data been analyzed and served with description method.

Rasulan is famous tradition in Gunungkidul, Almost every region in Gunungkidul doing this tradition until this time. Rasulan is an agricultural tradition that is held twice in a year, that are called Rasul Labuh and Rasul Gede. Rasul Labuh held before the farmers are planting, and Rasul Gede held after harvest time. Rasl Labuh held in a simple way that the farmers only served “Kenduri” and “sesaji”. Meanwhile, Rasul Gede held in a huge way as a though of thanks to God from farmers. Doing kenduri, sesaji, food court, art festival, sport festival and cultural carnival are being a routine agenda in Rasul Gede.

Doing sesaji is an activity that never left by the trowono A society, especially at rasulan time. Sesaji that routinely held are Sesaji Bale, Sesaji Guangan dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale is a special offering that placed in the village hall as a center of social activities, especially at rasulan time. Sesaji Guangan is an offering that placed in many placed that people assume it is has mystically power. And last, Sesaji Dalang is an offerings that especially given for puppet show.

Rasulan tradition in Trowono A also has values and fuctions for the society. Values that remain in Rasulan tradition at Trowono A are economic value, esthetic value, social value, and religion value. Functions that includes in Rasulan tradition are magio function, religious function, factitives function, and intensification function.

The output of the research shows that Rasulan tradition is a good tradition and need to conserved. That is because there is a lot of useful things can learned and felt if the rasulan tradition is truly done. And the other function of rasulan tradition is a way of characteristic enlargement for the young.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trowono A merupakan sebuah dusun yang terletak tujuh kilometer dari pantai selatan, tepatnya di Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Lokasinya berbukit, sedikit gersang, dan lahan pertaniannya berupa tegalan. Trowono A sebagai lokasi penelitian merupakan sebuah dusun yang mayoritas penduduknya petani. Daerah kering tidak menyurutkan antusias masyarakat untuk tetap bercocok tanam. Tidak selalu padi yang ditanam melainkan jagung, kedelai, dan singkong di musim kemarau.

Trowono A merupakan salah satu dusun yang masyarakatnya masih mempunyai kesadaran yang cukup tinggi dalam melestarikan tradisi. Tidak hanya Rasulan, tetapi juga tradisi-tradisi atau ritual yang lain seperti Gejog Lesung, Bersih Telaga, dan upacara-upacara seperti upacara perkawinan, kelahiran yang masih selalu dilaksanakan sampai saat ini. Meskipun demikian, Rasulan tetap menjadi tradisi atau ritual yang keberadaannya selalu menjadi pusat perhatian masyarakat setempat maupun masyarakat yang berasal dari daerah lain.

Tradisi Rasulan merupakan tradisi bersih desa atau sering disebut dengan


(17)

secara keseluruhan. Setiap desa di Gunungkidul melaksanakan tradisi rasulan setiap tahunnya. Rasulan dilakukan dua kali dalam setahun, sebelum para petani menanam padi atau nyebar dan setelah panen. Rasulan yang dilakukan sebelum

nyebar disebut Rasul Labuh sedangkan Rasulan setelah panen disebut Rasul Gede. Pelaksanaan Rasulan dilakukan tidak secara bersamaan atau serentak, melainkan bergantian sesuai kesepakatan warga desa masing-masing. Rasulan dapat dilakukan per dusun, kelompok dusun, atau desa.

Dalam Tradisi Rasulan juga terdapat gagasan dan tindakan religius dalam hal pertanian. Gagasan dan tindakan religius tersebut terwujud dalam doa-doa dan ritual dan di dalamnya adalah sesaji yang dilakukan sebelum para petani menanam padi dan setelah panen. Di dalam setiap ritual yang dilakukan, sesaji memegang peranan penting sebagai wujud kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu di luar manusia.

Sesaji memegang peranan penting dalam setiap upacara adat yang ada di Gunungkidul, begitu juga dengan Tradisi Rasulan. Sesaji dianggap penting karena masyarakat meyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan makhluk kasat mata yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang pertanian. “Menurut kepercayaan rakyat Gunungkidul, perayaan Rasulan juga dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar mereka selalu memperoleh perlindungan-Nya dan dihindarkan dari bencana. Dan sejalan dengan ini, agar keamanan tidak terganggu. Mereka menyebut-nyebut tentang


(18)

yang mbaureksa desa yang menurut kepercayaan mereka adalah makhluk tertentu yang dianggap sebuah roh pelindung desa,” (Pemberton,2003:329).

Tradisi Rasulan memiliki berbagai nilai dan fungsi bagi masyarakat. Secara umum nilai dan fungsi tersebut timbul karena adanya penghayatan masyarakat terhadap Tradisi Rasulan.

Melihat latar belakang masalah tersebut, maka, skripsi ini mengambil judul Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. Judul tersebut dipilih karena dua alasan. Pertama, pelestarian tradisi dan sebagai upaya mendokumentasikan sebuah tradisi. Kedua, sebagai negara agraris, tradisi yang berkaitan dengan pertanian harus tetap diperhatikan dan dilestarikan. Rasulan sebagai tradisi masyarakat Gunungkidul secara umum memiliki potensi menjadi aset pariwisata jika tradisi tersebut dilestarikan, dikelola, dan dipublikasikan dengan baik. Oleh sebab itu, penulis sebagai masyarakat asli Gunungkidul memilih Rasulan sebagai objek penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai uraian di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A?

1.2.2 Apa sajakah sesaji yang terdapat dalam ritual Rasulan di Dusun Trowono A? 1.2.3 Apa nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A?


(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa penelitian ini bertujuan untuk:

1.3.1 Mendeskripsikan pelaksanaan ritual Rasulan di Dususn Trowono A. 1.3.2 Memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan

di Dusun Trowono A.

1.3.3 Memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini anatara lain manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa manfaat hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1.4.1 Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan tentang folklor di Indonesia dan dapat digunakan sebagai bahan diskusi masyarakat secara umum maupun dalam ruang lingkup akademisi.

1.4.2 Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai wujud apresiasi terhadap Tradisi Rasulan melalui pendokumentasian pelaksanaan Rasulan. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian atau dokumentasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Dusun Trowono A sebagai sarana pengenalan Tradisi Rasulan kepada generasi muda Trowono A, juga sebagai sarana promosi budaya atau pariwisata.


(20)

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai rasulan dengan objek penelitian Dusun Trowono A belum pernah dilakukan sebelumnya, tetapi penelitian dengan objek penelitian tradisi rasulan pernah dilakukan oleh Markus Yuwono dengan judul penelitian “Perubahan Tradisi Rasulan di Gunungkidul Setelah 1998”. Penelitian ini berisi deskripsi dan analisa mengenai perkembangan tradisi rasulan di Gunungkidul ketika masyarakat menghadapi perubahan setelah krisis ekonomi 1997. Hasil penelitian yang dilakukan Markus Yuwono menunjukkan bahwa masyarakat Gunungkidul adalah masyarakat yang majemuk dan terbuka bagi kebudayaan baru.

Studi ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Markus Yuwono. Perbedaan tersebut terletak pada lokasi penelitian dan hal penelitian. Markus Yuwono meneliti tentang perubahan pelaksanaan Rasulan yang terjadi setelah krisis ekonomi 1997 sedangkan penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan tradisi Rasulan secara khusus di Dusun Trowono A.

1.6 Landasan Teori

Dalam melakukan suatu penelitian, khususnya dalam bidang budaya, diperlukan teori-teori atau pendekatan yang sesuai dengan objeknya. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai alat pengupas yang diharapkan mendukung keberhasilan sebuah penelitian.


(21)

Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan teori folklor dan folkbelief

sebagai bagian dari folklor sebagian lisan untuk memaparkan hasil penelitian.

1.6.1 Folklor

Folklor berasal dari kata folklore (bahasa Inggris). Jika dieja menjadi folk

artinya ‘rakyat’ dan lore artinya ‘tradisi’. Folk adalah kelompok atau kolektif yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan kelompok lain. Lore merupakan wujud tradisi dari lore. Tradisi tersebut dituturkan secara oral (lisan) dan turun-temurun. Folklor berarti tradisi rakyat yang sebagian disampaikan secara lisan, yaitu kelisanan menjadi pijakan folklor (Endraswara, 2005: 11)

Menurut Budiaman (1979: 14-15) betapa pentingnya kita mempelajari folklor dalam rangka mengenal kebudayaan masyarakat tertentu karena fungsi yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat mencerminkan angan-angan kelompok, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat terpenuhi.

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:2).


(22)

Menurut Brunvand via Danandjaja (2002: 21-22) folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti tekateki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Folklor lisan juga mempunyai fungsi sebagai penghibur atau sebagai penyalur perasaan yang terpendam.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Yang tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat.


(23)

Folk belief atau Kepercayaan Rakyat merupakan bagian dari folklor sebagian lisan, selain permainan rakyat. Kepercayaan rakyat atau sering kali juga disebut “takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berhubung kata “takhyul” mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli folklor modern lebih senang menggunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) atau keyakinan rakyat daripada “takhyul” (supersititious), karena takhyul berarti “hanya khayalan belaka”, (sesuatu yang) hanya di angan-angan saja (sebenarnya tidak ada) (Poerwadarminto dalam Danandjaja, 1984:153).

Berdasarkan teori folklor danfolkbelief, Tradisi Rasulan merupakan bagian dari folklor sebagian lisan. Tradisi Rasulan dapat dikategorikan sebagai folklor sebagian lisan karena di dalam Tradisi Rasulan terdapat benda-benda atau artefak yang dibuat oleh masyarakat sebagai wujud keyakinan atau kepercayaan mereka terhadap sesuatu atau kehidupan di luar manusia. Benda-benda atau artefak tersebut antara lain sesaji, sarangan (wadah makanan yang terbuat dari daun kelapa yang dianyam), panjang ilang (wadah sesaji yang terbuat dari janur atau daun kelapa yang masih berwarna kuning), dan patung-patung tiruan sebagai perwujudan atau simbol makhluk-makhluk jahat yang diarak saat kirab budaya sebagai puncak kegiatan Rasulan.


(24)

1.6.2 Nilai dan Fungsi Ritual

“Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial”, (Dhavamony, 1995: 175).

1.6.2.1 Nilai

Allport, Vernom dan Lindzey via Suriasumantri (1995, 263) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme, dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama atau religi merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transcendental dalam


(25)

usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi karena anugerah Tuhan yang harus disyukuri.

Berdasarkan klasifikasi mengenai nilai-nilai tersebut, Tradisi Rasulan mempunyai nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama.

1.6.2.2 Fungsi

Ritus dapat dibedakan atas empat macam (Dhavamony, 1995: 175-176). (1)Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4)Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari sekadar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. Chaple dan Coon mengusulkan perlunya ditambahkan satu jenis ritual


(26)

lainnya, yakni (5) Ritual intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Orang yang menginginkan panenan berhasil akan melaksanakan ritual intensifikasi.

Upacara-upacara tersebut sesungguhnya memiliki penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri sosiologis. Dengan lain perkataan, ritual yang dilaksanakan memiliki fungsi-fungsi sosiologis tertentu. Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di atas, maka upacara dan tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Rasulan dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mistis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi ritus bagi masyarakatnya.

1. Fungsi Magis

“Magi (sihir) adalah suatu fenomen yang sangat dikenal dan umumnya dipahami, namun tampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi”, (Dhavamony:47)


(27)

Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis (pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa).

2. Fungsi Religius

Menurut KBBI, kata religius memiliki arti bersifat religi, sementara religi adalah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Kultus leluhur, juga bekerja dengan cara ini. 1

penghormatan resmi dl agama; upacara keagamaan; ibadat; 2 sistem kepercayaan; 3 penghormatan secara berlebih-lebihan kpd orang, paham, atau benda;

3. Fungsi Faktitif

Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.

4. Fungsi Intensifikasi

Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan dan hasil panen.


(28)

1.7 Metode Penelitian

Metode merupakan cara dan prosedur yag akan ditempuh oleh peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Tulisan ini disajikan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam hal ini analisis tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2006: 53). Dalam hal ini metode penelitian yang akan digunakan untuk memecahkan masalah meliputi metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data.

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

1.7.1.1 Observasi

Sutrisno Hadi via Sugiyono (1999: 139) mengemukkan bahwa observasi meupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

Dari segi proses pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi (1) participant observation (observasi berperan serta) yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian, (2) non participant


(29)

observation (observasi nonpartisipan) yaitu peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai peneliti independent (Sugiyono, 1999: 139).

Dari segi instrumentasi yang digunakan, maka observasi dapat dibedakan menjadi (1) observasi terstruktur yaitu observasi yang dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, dimana tempatnya. Jadi observasi terstruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu dengan pasti tentang variabel yang akan diamati, (2) observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati (Sugiyono, 1999: 140).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi terstruktur, observasi yang telah dirancang secara sistematis, karena penulis sudah mengetahui tentang apa yang akan diamati dan dimana tempatnya yaitu peneliti mengamati proses Tradisi Rasulan yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Trowono A. Selain observasi terstruktur, penulis juga menggunakan teknik observasi berperan serta

(participant observation) karena peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari masyarakat Trowono A sebagai narasumber.

1.7.1.2 Wawancara

Wawancara sebagai suatu roses tanya jawab lisan, yaitu dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri (Hadi, 1979: 192).


(30)

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara atau informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2008: 108)

1.7.1.3 Dokumentasi

Teknik ini berupa informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun perseorangan, baik berupa tulisan maupun lisan. Teknik dokumentasi dilakukan dengan wawancara mendalam, menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari responden atau informan agar informasi yang detail diperoleh peneliti (Hamidi, 2004: 72-78)

Dalam melakukan penelitian, pengumpulan data merupakan tahap yang penting. Dalam proses pengumpulan data, peneliti memerlukan teknik untuk memperoleh data-data yang diperlukan yaitu teknik pengumpulan data lapangan. Pengumpulan data di lapangan merupakan salah satu aspek penting dalam proses penelitian budaya. Dalam pengumpulan data di lapangan ada beberapa langkah yang akan dilakukan. Langkah-langkah tersebut antara lain penentuan narasumber, pengumpulan data-data sosial budaya, dan teknik


(31)

pengumpulan data yang mencakup wawancara, pengamatan (observasi), perekaman atau pencatatan, dan pengarsipan.

1.7.2 Teknik Analisis Data

Analisis data menjadi pekerjaan utama dalam suatu penelitian. Pada tahap analisis data, penulis akan menggunakan teknik transkripsi. Transkripsi merupakan pengubahan dari bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis. Setelah mengubah bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis, peneliti menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis data. “Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2011 : 9). Selain menggunakan metode kualitatif, peneliti juga mengacu pada teknik hermeneutika dalam menganalisis data. “Hermeneutika mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, kita melakukan interpretasi oleh interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri”, (Smith :1984, via Tri Nugroho Adi dalam


(32)

http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/11/03/teori-teori-penunjang-dalam-penelitian-kualitatif/ diunduh pada 9 mei 2014, jam 23:12). Setelah menganalisis data, penulis menggunakan metode deskripsi untuk menyajikan hasil analisis data.

1.8 Sistematika Penyajian

Makalah ini disajikan dalam lima bab yaitu pendahuluan, pembahasan yang terdiri dari tiga bab yaitu deskripsi bagaimana Rasulan dilaksanakan, macam-macam sesaji yang terdapat dalam Rasulan, dan makna serta fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A. Satu bab penutup berupa kesimpulan penulis. Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini, peneliti menyusun ke dalam bab, yaitu : Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan mengenai prosesi pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A. Bab III merupakan pemaparan mengenai berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan. Bab IV merupakan pemaparan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran serta Daftar Pustaka.


(33)

BAB II

PELAKSANAAN TRADISI RASULAN

2.1 Pengantar

Dusun Trowono A merupakan sebuah dusun dengan seratus tujuh puluh lima kepala keluarga yang terbagi dalam enam RT (Rukun Tetangga). Pedukuhan Trowono A merupakan pedukuhan yang mayoritas penduduknya petani dan juga pemeluk Islam. Dari seratus tujuh puluh lima kepala keluarga, hanya satu kepala keluarga yang beragama Kristen dan pada setiap rumah, minimal satu orang bermata pencaharian tani.

Dunia pertanian sudah menjadi urat nadi kehidupan warga dusun. Meskipun kondisi geografis yang berbukit dan sekilas terlihat tandus karena berupa tegalan, juga terasering, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi berlangsungnya kehidupan pertanian. Telaga dan ledeng menjadi sumber air selain tadah hujan. Padi, jagung, kedelai, dan singkong merupakan andalan hasil tani warga setiap musimnya (hasil wawancara dengan Pak Harto Wiharjo, kepala Dusun Trowono A).

Apresiasi warga terhadap tradisi pertanian terlihat jelas dari kesungguhan penduduk meminta dan mensyukuri panen melalui Rasulan. Kemeriahan yang tercipta semakin menjiwai sisi religius dan semangat gotong royong serta toleransi diantara warga Dusun Trowono A. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat peduli terhadap tradisi warisan leluhur.


(34)

Tradisi Rasulan merupakan tradisi bersih desa atau sering disebutmerti desa

yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Gunungkidul khususnya masyarakat Dusun Trowono A. secara etimologi atau asal kata, Rasulan jelas berasal dari kata rasul dan mendapat akhiran –an. Menurut KBBI, ra·suln1 orang yg menerima wahyu Tuhan untuk disampaikan kpd manusia. Sedangkan, akhiran –an memberikan makna sifat. Berdasarkan definisi tersebut, dapat juga diartikan bahwa Rasulan merupakan pewahyuan atau penyebaran nilai-nilai Ketuhanan atau nilai-nilai kebaikan melalui sebuah tradisi atau budaya. Jika pengertian atau definisi tersebut diuji atau diaplikasikan dalam pelaksanaan Rasulan saat ini, maka jelas terbukti bahwa Rasulan merupakan pengungkapan nilai-nilai religi selain juga nilai-nilai yang lain. Hal tersebut terlihat dari hakikat Rasulan itu sendiri, yakni ungkapan rasa syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan.

Rasulan di dusun Trowono A dilakukan dua kali dalam setahun yakni sebelum para petani menanam padi atau nyebar dan setelah panen. Rasulan yang dilakukan sebelum nyebar disebut rasul labuh dan setelah panen disebut Rasul Gede.

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai klasifikasi Rasulan dan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan saat Rasulan. Rasulan dibagi menjadi dua yaitu Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rangkaian acara dalam Rasul Labuh meliputi kenduri dan sesaji. Sedangkan dalam Rasul Gede meliputi kenduri, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya. Bab ini akan diakhiri dengan rangkuman.


(35)

2.2 Rasul Labuh

Rasul labuh merupakan bagian dari tradisi rasulan yang dilaksanakan sebelum para petani menebar benih padi. Melalui Rasul Labuh ini, masyarakat Trowono A khususnya para petani meminta kepada Tuhan agar benih yang ditanam atau dilabuh diberikan kesuburan dan terhindar dari penyakit tanaman. Rasul Labuh biasanya dilakukan pada Jumat Legi sekitar bulan Juni.

Saat menjalankan Rasul Labuh, masyarakat biasanya hanya melaksanakan upacara kenduri dan sesaji. Kenduri dan sesaji tersebut merupakan ekspresi masyarakat dalam menyampaikan permintaan. Jika kenduri merupakan ekspresi permintaan kepada Tuhan, sesaji merupakan wujud penghormatan masyarakat kepada makhluk ciptaan Tuhan yang lain yaitu roh atau makhluk halus yang dipercaya menempati tempat-tempat tertentu di Dusun Trowono A. Penghormatan tersebut bukan merupakan penyembahan tetapi merupakan tindakan harmonisasi.

2.2.1 Kenduri

Tahap pertama yang dilakukan dalam acara Rasulan adalah kenduri atau selamatan. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam menghadapi segala peristiwa yang terjadi baik itu berupa peristiwa bahagia ataupun duka cita. Sedangkan menurut KBBI, kenduri merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat.1Kenduri dilaksanakan di balai dusun. Kenduri atau yang biasa disebut kenduren merupakan sebuah ritual 1


(36)

yang biasanya dilakukan dalam setiap upacara pada masyarakat suku Jawa, khususnya masyarakat Gunungkidul.

Kenduri selalu dilaksanakan pada Jumat Legi oleh masyarakat Trowono A. Jumat Legi dianggap sebagai hari besar atau hari baik bagi masyarakat Jawa begitupun oleh masyarakat Trowono A. Jumat sebagai hari besar umat muslim sedangkanlegiatau manis berkaitan dengan segala sesuatu yang baik.

Saat kenduri dilaksanakan, masyarakat Dusun Trowono A berkumpul di balai dusun dengan membawa nasi beserta lauk pauk. Biasanya warga dusun datang ke balai dusun dengan membawa tenggok atau bakul yang berisi nasi putih beserta lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, sambal goreng, bakmi goreng dan sebagainya. Nasi dan lauk pauk tersebut merupakan simbol dari keberhasilan panen. Meskipun demikian, banyak sedikitnya makanan yang dikumpulkan tidak berbanding lurus juga tidak berbanding terbalik dengan banyak sedikitnya panen yang dihasilkan oleh warga.

Adapun dalam hal ini prosesi kenduri terbagi menjadi empat bagian pokok antara lain pengumpulan makanan berdasarkan jenisnya, penyiapan sesaji, pembacaan doa, dan pembagian makanan.

2.2.1.1 Pengumpulan Makanan Berdasarkan Jenisnya

Pengumpulan makanan dilakukan sebagai wujud ungkapan kebersamaan warga dusun. Dari yang awalnya terpisah, setelah dikumpulkan akan berubah menjadi satu. “Ini hajatnya orang banyak sehingga maknanya


(37)

itu dari berbagai unsur, baik itu dari segi ucapan syukur dan jadi alat pemersatu. Jadi, dari orang kaya, orang miskin, semua menyatu”, kata Widodo melalui wawancara pribadi 21 Juni 2013.

Tenggok beserta makanan yang dibawa masing-masing kepala keluarga dikumpulkan menjadi satu. Setelah makanan tersebut dikumpulkan, kemudian dipisah-pisahkan sesuai jenisnya. Seluruh nasi ditempatkan di meja besar di balai, lauk pauk ditempatkan menjadi satu sesuai jenisnya di tempat yang telah disediakan warga. Setelah semua makanan dikumpulkan dan dipisahkan sesuai jenisnya, makanan tersebut kemudian dibagi-bagikan kembali secara merata dengan sarangan sebagai tempatnya.

Pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak yang mengikuti kenduri kecuali tamu undangan. Pembagian makanan hanya dilakukan oleh bapak-bapak. Hal tersebut bukan berarti membeda-bedakan antara bpak-bapak dan ibu-ibu tetapi hanya merupakan pembagian tugas. Bapak-bpak-bapak mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan sementara ibu-ibu warga dusun menyiapkan makanan ringan ataupacitanuntuk kenduren dan sajen.

Selain makanan yang dibawa oleh setiap keluarga, adapula berbagai makanan berupa nasi uduk, ingkung, tumpeng, sega liwet, jenang abang, jenang putih, jenang baro-baro, dan sega golong yang telah dipersiapkan oleh ibu-ibu warga masyarakat Trowono A. Makanan tersebut dimasak di balai dusun atau di rumah salah satu warga, sesuai kesepakatan. Berbagai makanan tersebut dibuat untuk bahan sesaji danmong.


(38)

2.2.1.2 Mendoakan Makanan

Menurut KBBI doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan kenduri. Sebagai masyarakat beragama, doa tidak pernah ditinggalkan oleh warga dusun pada setiap rangkaian acara. Masyarakat meyakini dan mempercayai kekuatan ilahi sehingga semua aktifitas di dalam kehidupan dipusatkan kepada Sang Pencipta alam semesta demikian halnya dengan Rasulan. Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan lepas dari doa terlebih lagi dalam ritual kenduri.

Berbagai makanan yang telah dikumpulkan termasuk bahan untuk mong dan juga sesaji didoakan oleh pemimpin adat atau lebih dikenal sebagai kaum oleh masyarakat. Doa dilaksanakan secara Islam karena sebagian besar masyarakat Trowono A beragama Islam. Inti dari doa kenduri Rasul Gede ini adalah mengucap syukur atas berkah yang telah dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang telah dipanen oleh masyarakat dusun Trowono A.

2.2.1.3 Membagi-bagikan Makanan

Setelah berbagai makanan didoakan, makanan tersebut kecuali nasi tumpeng, sega liwet, jenang-jenangan, dan sega golong, dibagi-bagikan kepada seluruh warga masyarakat yang mengikuti kenduri, termasuk tamu undangan secara merata. Hanya saja jika masyrakat Trowono A mendapat


(39)

makanan dengan wadah berupa tenggok atau wadah lain sesuai yang dibawa dari rumah, tamu undangan mendapat makanan dengan wadah berupa sarangan. Sarangan merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun kelapa yang dianyam sehingga dapat menampung makanan yang hendak dibagikan kepada tamu undangan. Perbedaan wadah berkat antara warga setempat dengan tamu undangan tidak berarti membeda-bedakan. Hal tersebut hanyalah masalah teknis karena jika warga setempat datang ke balai dusun dengan membawa nasi dan lauk pauk menggunakan tenggok, tamu undangan datang ke balai dusun tanpa membawa nasi dan lauk pauk. Oleh sebab itu sarangan menjadi alternatif, selain bahan pembuat sarangan yang mudah diperoleh, juga hemat biaya karena dapat dibuat sendiri oleh warga dusun.

2.2.1.4 Menyiapkan Sesaji

Masyarakat Dusun Trowono A mengenal dua macam sesaji dalam pelaksanaan kenduri. Sesaji tersebut adalah sesaji guangan dan sesaji bale. Sesaji guangan dan sesaji bale terdiri dari makanan yang sama dengan makanan yang dibagikan kepada warga tetapi dalam porsi yang lebih kecil dan ditambah dengan gantal kembang (bunga kanthil beserta tembakau, dan gambir yang digulung menggunakan daun sirih). Wadah atau tempat sesaji terbuat dari bambu yang disebut ancak.


(40)

Sesaji guangan yaitu sesaji yang akan diletakkan di pohon-pohon besar, telaga, dan tempat-tempat yang dianggap keramat dengan tujuan agar tercipta hubungan yang harmonis antara warga dengan makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dikeramatkan tanpa bermaksud meduakan Tuhan. Tempat keramat yang diberi sesaji oleh warga antara lain pohon Epek yang terletak di Pasar Trowono, Pace, Bulu, Ngunut, Telaga, Jambe anom.

Seperti sesaji guangan, sesaji bale terdiri dari berbagai makanan yang dibagikan kepada warga yang mengikuti kenduri ditambah dengan gantal kembang. Namun sesaji bale hanya diletakkan di balai dusun. Sesaji ini ditujukan kepada makhluk halus penunggu Balai Dusun Trowono A. Selain untuk makhluk halus, sesaji tersebut juga ditujukan untuk ngemong-mongi

seluruh warga masyarakat agar terhindar dari segala peristiwa buruk dan tidak mengganggu jalannya acara.

2.3 Rasul Gede

Rasul Gede merupakan tradisi pertanian yang dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Masyarakat Trowono A khususnya para petani mengucap atau mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan untuk hasil panen yang diperoleh melalui tradisi Rasul Gede ini. Rasul Gede biasanya dilakukan antara bulan September-Oktober pada Jumat Legi.


(41)

Rasul labuh dan Rasul Gede merupakan tradisi pertanian yang dilakukan sekali dalam setahun. Kedua tradisi tersebut sama-sama tradisi bersih desa atau dusun tetapi keduanya berbeda dalam hal tujuan dan rangkaian acara atau kegiatan. Jika rasul labuh merupakan ritual meminta, rasul gede merupakan ritual mengucap syukur. Dalam pelaksanaan tradisi ini, ada beberapa hal atau tahapan yang dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul, khususnya dusun Trowono A. Beberapa hal tersebut antara lain:

2.3.1 Kenduri

Tahap pertama yang dilakukan dalam acara Rasulan adalah kenduri atau selamatan. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam menghadapi segala peristiwa yang terjadi baik itu berupa peristiwa bahagia ataupun duka cita. Sedangkan menurut KBBI, kenduri merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat.2Kenduri dilaksanakan di balai dusun. Kenduri atau yang biasa disebutkendurenmerupakan sebuah ritual yang biasanya dilakukan dalam setiap upacara pada masyarakat suku Jawa, khususnya masyarakat Gunungkidul.

Kenduri selalu dilaksanakan pada Jumat Legi oleh masyarakat Trowono A. Jumat Legi dianggap sebagai hari besar atau hari baik bagi masyarakat Jawa begitupun oleh masyarakat Trowono A. Jumat sebagai hari besar umat muslim sedangkanlegiatau manis berkaitan dengan segala sesuatu yang baik.

2 kbbi


(42)

Saat kenduri dilaksanakan, masyarakat Dusun Trowono A berkumpul di balai dusun dengan membawa nasi beserta lauk pauk. Biasanya warga dusun datang ke balai dusun dengan membawa tenggok atau bakul yang berisi nasi putih beserta lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, sambal goreng, bakmi goreng dan sebagainya. Nasi dan lauk pauk tersebut merupakan simbol dari keberhasilan panen. Meskipun demikian, banyak sedikitnya makanan yang dikumpulkan tidak berbanding lurus juga tidak berbanding terbalik dengan banyak sedikitnya panen yang dihasilkan oleh warga.

Adapun dalam hal ini prosesi kenduri terbagi menjadi empat bagian pokok antara lain pengumpulan makanan berdasarkan jenisnya, penyiapan sesaji, pembacaan doa, dan pembagian makanan.

2.3.1.1 Pengumpulan Makanan Berdasarkan Jenisnya

Pengumpulan makanan dilakukan sebagai wujud ungkapan kebersamaan warga dusun. Dari yang awalnya terpisah, setelah dikumpulkan akan berubah menjadi satu. “Ini hajatnya orang banyak sehingga maknanya itu dari berbagai unsur, baik itu dari segi ucapan syukur dan jadi alat pemersatu. Jadi, dari orang kaya, orang miskin, semua menyatu”, kata Widodo/50.

Tenggok beserta makanan yang dibawa masing-masing kepala keluarga dikumpulkan menjadi satu. Setelah makanan tersebut dikumpulkan, kemudian dipisah-pisahkan sesuai jenisnya. Seluruh nasi ditempatkan di meja besar di balai, lauk pauk ditempatkan menjadi satu


(43)

sesuai jenisnya di tempat yang telah disediakan warga. Setelah semua makanan dikumpulkan dan dipisahkan sesuai jenisnya, makanan tersebut kemudian dibagi-bagikan kembali secara merata dengan sarangan sebagai tempatnya.

Pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak yang mengikuti kenduri kecuali tamu undangan. Pembagian makanan hanya dilakukan oleh bapak-bapak. Hal tersebut bukan berarti membeda-bedakan antara bpak-bapak dan ibu-ibu tetapi hanya merupakan pembagian tugas. Bapak-bpak-bapak mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan sementara ibu-ibu warga dusun menyiapkan makanan ringan ataupacitanuntuk kenduren dan sajen.

Selain makanan yang dibawa oleh setiap keluarga, adapula berbagai makanan berupa nasi uduk, ingkung, tumpeng, sega liwet, jenang abang, jenang putih, jenang baro-baro, dan sega golong yang telah dipersiapkan oleh ibu-ibu warga masyarakat Trowono A. Makanan tersebut dimasak di balai dusun atau di rumah salah satu warga, sesuai kesepakatan. Berbagai makanan tersebut dibuat untuk bahan sesaji danmong.

2.3.1.2 Mendoakan Makanan

Menurut KBBI doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan kenduri. Sebagai masyarakat beragama, doa tidak pernah ditinggalkan oleh warga dusun pada setiap rangkaian acara. Masyarakat meyakini dan mempercayai kekuatan ilahi sehingga semua aktifitas di dalam kehidupan dipusatkan


(44)

kepada Sang Pencipta alam semesta demikian halnya dengan Rasulan. Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan lepas dari doa terlebih lagi dalam ritual kenduri.

Berbagai makanan yang telah dikumpulkan termasuk bahan untuk mong atau bancakan dan juga sesaji didoakan oleh pemimpin adat atau lebih dikenal sebagai kaum oleh masyarakat. Doa dilaksanakan secara Islam karena sebagian besar masyarakat Trowono A beragama Islam. Inti dari doa kenduri Rasul Gede ini adalah mengucap syukur atas berkah yang telah dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang telah dipanen oleh masyarakat dusun Trowono A.

2.3.1.3 Membagi-bagikan Makanan

Setelah berbagai makanan didoakan, makanan tersebut kecuali nasi tumpeng, sega liwet, jenang-jenangan, dan sega golong, dibagi-bagikan kepada seluruh warga masyarakat yang mengikuti kenduri, termasuk tamu undangan secara merata. Hanya saja jika masyrakat Trowono A mendapat makanan dengan wadah berupa tenggok atau wadah lain sesuai yang dibawa dari rumah, tamu undangan mendapat makanan dengan wadah berupa sarangan. Sarangan merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun kelapa yang dianyam sehingga dapat menampung makanan yang hendak dibagikan kepada tamu undangan. Perbedaan wadah berkat antara warga setempat dengan tamu undangan tidak berarti membeda-bedakan. Hal tersebut hanyalah masalah teknis karena jika warga setempat datang ke


(45)

balai dusun dengan membawa nasi dan lauk pauk menggunakan tenggok, tamu undangan datang ke balai dusun tanpa membawa nasi dan lauk pauk. Oleh sebab itu sarangan menjadi alternatif, selain bahan pembuat sarangan yang mudah diperoleh, juga hemat biaya karena dapat dibuat sendiri oleh warga dusun.

2.3.1.4 Menyiapkan Sesaji

Masyarakat Dusun Trowono A mengenal dua macam sesaji dalam pelaksanaan kenduri. Sesaji tersebut adalah sesaji guangan dan sesaji bale. Sesaji guangan dan sesaji bale terdiri dari makanan yang sama dengan makanan yang dibagikan kepada warga tetapi dalam porsi yang lebih kecil dan ditambah dengan gantal kembang (bunga kanthil beserta tembakau, dan gambir yang digulung menggunakan daun sirih). Wadah atau tempat sesaji terbuat dari bambu yang disebut ancak.

Sesaji guangan yaitu sesaji yang akan diletakkan di pohon-pohon besar, telaga, dan tempat-tempat yang dianggap keramat dengan tujuan agar tercipta hubungan yang harmonis antara warga dengan makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dikeramatkan tanpa bermaksud meduakan Tuhan. Tempat keramat yang diberi sesaji oleh warga antara lain pohon Epek yang terletak di Pasar Trowono, Pace, Bulu, Ngunut, Telaga, Jambe anom.

Seperti sesaji guangan, sesaji bale terdiri dari berbagai makanan yang dibagikan kepada warga yang mengikuti kenduri ditambah dengan gantal


(46)

kembang. Namun sesaji bale hanya diletakkan di balai dusun. Sesaji ini ditujukan kepada makhluk halus penunggu Balai Dusun Trowono A. Selain untuk makhluk halus, sesaji tersebut juga ditujukan untuk ngemong-mongi

seluruh warga masyarakat agar terhindar dari segala peristiwa buruk dan tidak mengganggu jalannya acara.

2.3.2 Jamuan Makan

Rasulan tidak hanya budaya bersih desa pada umumnya. Yang menarik dari tradisi ini salah satunya adalah jamuan makan di setiap rumah sebagai sarana silaturahim atau bertemunya sanak saudara, kerabat, bahkan orang asing pun akan diterima atau disambut dengan baik apabila bersedia berkunjung.

Setiap warga dusun membuat hidangan untuk dihidangkan kepada para tamu yang berkunjung ketika Rasulan. Hidangan tidak harus mewah tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing warga sebagai tuan rumah. Hidangan yang dipersiapkan merupakan simbol dari rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh para petani. Meskipun demikian, warga yang tidak berprofesi sebagai petani juga melakukan hal yang sama sebagai wujud kebersamaan dan solidaritas, juga upaya melestarikan tradisi dan memperluas pemaknaan.

Jamuan makan sebagai sarana silaturahim ini juga merupakan rangkaian acara Rasulan, hanya saja sifatnya lebih tidak terikat dalam rangkaian upacara formal seperti kenduri. Tamu yang akan berkunjung boleh datang setiap saat


(47)

begitu juga sebaliknya, tuan rumah boleh menjamu tamu setiap saat. Meskipun demikian, para tamu biasanya berkunjung setelah acara kenduri selesai dilaksanakan.

2.3.3 Olahraga

Menurut KBBI, olah·ra·ga n gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Kegiatan olahraga sering kali dilakukan sebagai salah satu penyemarak Rasulan, terutama Rasul Gede. Berbagai pertandingan olahraga antar RT (Rukun Tetangga) diadakan, seperti pertandingan bola voli, sepakbola, bola kasti dan lain-lain. Kegiatan olahraga ini biasanya dilakukan pada sore hari bisa setelah kenduri atau sebelum dan sesudah hari Jumat Legi,

tergantung kesepakatan warga.

Selain sebagai penyemarak, diadakannya kegiatan olahraga juga bertujuan untuk lebih mengakrabkan antar anggota masyarakat Dusun Trowono A. Meskipun bersifat pertandingan, tetapi warga masyarakat tidak menganggap hal tersebut sebagai persaingan. Filosofi yang dapat dipetik dari kegiatan olahraga ini adalah melatih sportifitas, berusaha tanpa kenal lelah, melatih bekerjasama.

2.3.4 Pentas Seni

Gelar seni budaya biasanya dilaksanakan pada tahap akhir pelaksanaan Rasul Gede. Kesenian yang biasa digelar antara lain jathilan, wayang kulit, campur sari, gejog lesung, dan lain-lain disesuaikan dengan ketersediaan dana.


(48)

Dari berbagai jenis kesenian tersebut yang paling sering digelar adalah wayang kulit.

Wayang kulit merupakan sebuah kesenian yang sudah mendarah daging dalam masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Pada acara Rasulan, pagelaran wayang kulit sudah biasa diadakan sejak jaman leluhur. Alur ceritanya yang luwes menjadi salah satu alasan pagelaran wayang tetap diadakan, selain sebagai upaya masyarakat Trowono A untuk melestarikan kesenian wayang. melalui wayang, masyarakat dapat mengetahui dan memaknai cerita yang dimainkan oleh dalang sebagai tuntunan hidup. Lakon yang dimainkan oleh dalang dalam acara Rasulan pakemnya antara lain, Prabu Watu Gunung, Mikukuhan, dan Sri Mulih. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dipentaskan lakon yang lain jika masyarakat menginginkan lakon yang lain. Sesaji Raja Soya merupakan salah satu lakon yang pernah dipentaskan di Trowono A saat Rasulan. Ketiga lakon tersebut pada intinya adalah mengisahkan tentang tradisi pertanian.

Wayang kulit dipentaskan pada malam hari. Sebelum dalang naik pentas, pemangku adat biasanya meletakkan sesaji di sebelah kanan dan kiri atas geber. Peletakan sesaji tersebut bertujuan agar tidak terjadi peristiwa buruk selama pertunjukan wayang berlangsung. Sesaji tersebut berupa gula jawa setangkep, pisang raja satu lirang, kelapa satu buah, dan gantal kembang. Sesaji tersebut dikemas dalam wadah yang terbuat dari janur kuning bernama panjang ilang. Di sebelah panjang ilang diletakkan satu ikat padi.


(49)

Tujuan dilaksanakannya gelar seni budaya ini selain untuk melestarikan budaya yang perlahan mulai asing di telinga masyarakat terutama anak muda, juga untuk menarik wisatawan.

2.3.5 Kirab Budaya

Menurut KBBI, kirab merupakan perjalanan bersama-sama atau beriring-iring secara teratur dan berurutan dari muka ke belakang dulu suatu rangkaian upacara (adat, keagamaan, dsb); pawai.

Kirab di Dusun Trowono A termasuk dalam rangkaian kegiatan Rasulan. Kirab budaya dilakukan sebagai penutup rangkaian kegiatan Rasulan atau dapat disebut sebagai puncak acara. Selayaknya puncak acara, kirab menjadi kegiatan yang paling meriah diantara kegiatan rasulan yang lain. Oleh sebab itu, kirab budaya menjadi pusat perhatian masyarakat, tidak hanya masyarakat Trowono tetapi juga masyarakat dari luar Trowono.

Berbagai macam simbol atau lambang yang mewakili tradisi, kebiasaan, dan adat dihadirkan dalam kirab budaya. Ada kelompok masyarakat yang menampilkan jathilan, gunungan, tarian, gejog lesung, pakaian adat, kereta tradisional, patung yang terbuat dari kertas yang melambangkan yang baik dan yang jahat dan lain-lain.

Seluruh masyarakat antusias dalam mengikuti kirab. Hal ini terlihat dari banyaknya warga yang mengikuti bahkan bersedia menampilkan berbagai macam kesenian. Mulai dari persiapan sampai berakhirnya acara, masyarakat


(50)

tetap terlihat kompak. Kirab dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat Trowono A mulai dari RT 1 sampai RT 6.

2.4 Rangkuman

Seperti yang telah terpapar, bab ini menjelaskan tentang proses pelaksanaan Tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan memilik rangkaian acara. Rangkaian acara Rasulan tidak sama antara Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan secara sederhana karena masyarakat sedang memulai menanam sehingga tidak memungkinkan jika masyarakat melakukan ritual secara besar-besaran. Sedangkan Rasul Gede dilaksanakan secara meriah atau besar-besaran (ditandai dengan banyaknya rangkaian acara) karena masyarakat sudah mempunyai hasil panen sehingga dari segi ketersediaan dana, masyarakat mampu mencukupi kebutuhan Rasulan.


(51)

BAB III

SESAJI YANG TERDAPAT DALAM TRADISI RASULAN

3.1 Pengantar

Sesaji‘sajen’yaitu sajian yang berupa makanan, bunga dan sebagainya yang disajikan untuk mahkluk halus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 929; Poerwadarminto, 1939: 537).

Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168).

Sesaji memegang peranan penting dalam setiap upacara maupun ritual adat yang ada di Gunungkidul, begitu juga dengan Tradisi Rasulan. Sesaji dianggap penting karena masyarakat meyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan makhluk kasat mata yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang pertanian. “Menurut kepercayaan rakyat Gunungkidul, perayaan Rasulan juga dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar mereka selalu memperoleh perlindunganNya dan dihindarkan dari bencana. Dan sejalan dengan ini, agar keamanan tidak terganggu. Mereka menyebut-nyebut tentang


(52)

yang mbaureksa desa yang menurut kepercayaan mereka adalah makhluk tertentu yang dianggap sebuah roh pelindung desa,” (Pemberton,2003:329).

Sesaji merupakan bagian penting dalam setiap upacara adat pada masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Trowono A. Dalam setiap upacara atau ritual adat, keberadaan sesaji tidak boleh luput dari perhatian penyelenggara atau pemangku adat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh yang berada di sekitar manusia yang konon (dapat mengganggu berjalannya suatu ritual atau upacara, bahkan dipercaya dapat mengganggu kesuburan) ikut terlibat dalam kehidupan manusia jika keberadaannya diabaikan. Sesaji yang terdapat dalam rangkaian acara pada saat Rasulan antara lain sesaji bale, sesaji guangan, dan sesaji dalang.

Bab ini akan menguraikan tentang berbagai macam sesaji dan unsure-unsur sesaji yang terdapat saat Tradisi Rasulan dilaksanakan. Sesaji-sesaji tersebut antara lain, sesaji bale, sesaji guangan, dan sesaji dalang. Setelah berbagai macam sesaji dan unsur-unsurnya diuraikan, bab ini akan diakhiri dengan rangkuman.

3.2 Sesaji Guangan

Sesaji guangan merupakan sesaji yang berupa nasi uduk, nasi putih, sega golong, dan lauk pauk. Sesaji tersebut diberi nama Sesaji Guangan karena sesaji tersebut peletakkannya disebar di beberapa tempat. Sesaji tersebut sama persis dengan makanan yang dibagi-bagikan kembali kepada masyarakat dusun tetapi dalam porsi yang lebih kecil. Sesaji guangan disajikan kepada makhluk halus


(53)

yang dipercaya mendiami tempat-tempat tertentu yang dianggap penting atau keramat. Tempat keramat yang selalu diberi sesaji oleh warga antara lain pohon epek yang berada di Pasar Trowono, pace, bulu, ngunut, Telaga Jambe Anom. Dengan demikian, masyarakat berharap makhluk penghuni dusun tidak mengganggu jalannya rangkaian acara Rasulan juga kehidupan masyarakat.

Sesaji Guangan

3.3 Sesaji Bale

Sesaji bale merupakan sesaji Rasulan yang diletakkan di balai dusun. Serupa dengan sesaji guangan, sesaji bale juga berupa nasi uduk, nasi putih, sego golong, dan lauk pauk ditambah dengan gantal kembang. Tujuan diadakannya sesaji bale ini sama dengan sesaji guangan hanya saja sesaji bale khusus diletakkan di balai, tepatnya di pojok sebuah ruangan. Sesaji diletakkan di pojok ruangan karena masyarakat menganggap bahwa makhluk halus biasanya tinggal di pojok ruangan.


(54)

Sesaji Bale

3.4 Sesaji Dalang

Sesaji atau sajen dalang merupakan sesaji yang dibuat atau dipersiapkan untuk pagelaran wayang. Sajen dalang terdiri dari dua sesaji. Sesaji yang pertama yaitu sesaji yang diletakkan dibawah geber yang disebut dengan gantal komplit sedangkan sesaji yang kedua adalah sesaji yang diletakkan di pojok atas kanan dan kiri geber yang disebut sajen hasil tani. Sesaji yang pertama atau gantal komplit terdiri dari kemenyan, enjet, gambir, tembakau, beras, telur, daun sirih, kembang kanthil, melati, dan menur. Benda-benda tersebut diwadahkan dalam satu piring dan diletakkan dibawah geber, dekat dengan dalang saat memainkan wayang. Sementara sajen hasil tani berupa padi dan degan atau kelapa muda yang diletakkan pada wadah yang terbuat dari janur yaitu daun kelapa yang masih muda yang disebut panjang ilang.


(55)

Sajen Dalang (gantal komplit) Sajen Dalang (hasil tani)

Adapun Unsur-Unsur yang Terdapat dalam Sesaji secara keseluruhan, (sejaji bale, sesaji guangan dan sesaji dalang) antara lain:

1. Ingkung

Ingkung merupakan ayam kampung yang dimasak secara utuh tanpa dipotong-potong. Dalam Tradisi Rasulan, ingkung mempunyai makna “inggala njungkung” artinya segeralah bersujud kepada Tuhan, sebagai ciri khas orang yang mengikuti nabi atau rasul (Widodo/50/tokoh masyarakat). 2. Tumpeng

Tumpeng merupakan nasi gurih yang berwarna putih/ kuning yang berbentuk kerucut. Tumpeng diletakkan di tengah-tengah tambir (wadah yang terbuat dari anyaman bambu, biasa digunakan masyarakat Jawa untuk membersihkan beras atau napeni ). Sementara di pinggir tumpeng diberi berbagai macam sayuran dan lauk pauk. Tumpeng berarti metu dalan sing lempeng (lewat jalan yang lurus). Jika dikaitkan dengan konteks rasulan


(56)

maka tumpeng berarti, jika sebagai petani kita bekerja melalui jalan yang lurus atau benar, niscaya panen yang diperoleh akan melimpah seperti yang ditunjukkan dalam nasi tumpeng.

Dalam nasi tumpeng juga terdapat kedelai hitam yang menyimbolkan dosa atau noda yang harus segera dihilangkan. Selain kedelai hitam juga terdapat kerupuk putih yang melambangkan kesucian karena ketika dosa telah diampuni, maka segalanya menjadi ringan dan mudah terutama dalam bidang pertanian.

3. Sega liwet

Sega liwet yaitu beras yang ditanak sampai benar-benar matang, menggambarkan tahapan manusia menginjak usia lanjut. Dalam usia lanjut, pada umumnya mereka sudah melalui berbagai rintangan dalam hidup. Apabila mereka sudah lulus dari rintangan tersebut, maka digambarkan dengan sajen nasi putih, yang berarti jiwanya sudah bersih kembali. Keinginan mereka sudah lebih terbatas dan tidak menginginkan yang macam-macam, yang digambarkan dengan lauk srundeng, lauk yang sangat sederhana dalam menu makanan. Biasanya mereka sudah tidak mencari gelimangan harta benda di dunia, tetapi sudah ingin lebih mengabdikan dan berserah diri kepada Tuhan.


(57)

4. Sega golong

Sega golong adalah nasi putih yang dibulat-bulatkan, kira-kira sekepalan tangan. Sega golong ini menunjukkan kebulatan tekad dari masyarakat Trowono A dalam meminta kepada Tuhan dan mengucap syukur atas semua hasil panen yang diterima para petani. Melalui kebulatan tekad yang disimbolkan dengan sega golong tersebut para petani khususnya dan seluruh warga dusun pada umumnya berharap kepada Tuhan agar ucapan syukurnya diterima.

5. Jenang-jenangan

Jenang-jenangan yang dipakai antara lain jenang abang, jenang putih, dan jenang baro-baro. Berbagai macam jenang ini biasa disebut dengan jenang sengkala yang berarti tolak balak. Jenang-jenangan ini dijadikan bahan mong untuk seluruh warga masyarakat, maka makna dari jenang sengkala ini adalah untuk menghindarkan masyarakat dari marabahaya. 6. Gantal kembang

Gantal kembang berupa bunga kanthil yang dibungkus dengan daun sirih dan dililit dengan benang. Sesaji ini bermakna agar masyarakat selalu bersatu padu dalam bermasyarakat guna menjadikan suasana kehidupan di dusun Trowono A menjadi aman, tentram dan damai.


(58)

Semua sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan ini bertujuan agar masyarakat dapat hidup berdampingan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain secara harmonis.

3.5 Rangkuman

Sesaji memegang peranan penting bagi masyarakat Towono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji bale, sesaji guangan, dan sesaji dalang tidak pernah sekalipun ditiadakan oleh masyarakat. Hal tersebut didasari oleh adanya keyakinan bahwa ada makhluk halus yang hidup berdampingan dengan manusia sehingga tidak baik jika tidak ada harmonisasi di antara keduanya. Selain itu, sesaji juga merupakan bentuk rasa syukur masyarakat terhadap Sang Pemberi Kehidupan dan terhadap bumi yang telah memberikan kesuburannya sehingga masyarakat dapat memetik hasil bumi melalui panen. Oleh sebab itulah masyarakat melakukan sesaji yang berupa macam-macam hasil bumi sebagai bentuk sedekah bumi atau ucapan syukur kepada alam.


(59)

BAB IV

NILAI DAN FUNGSI TRADISI RASULAN

BAGI MASYARAKAT TROWONO A

4.1 Pengantar

Bab ini akan menyajikan analisis nilai dan fungsi Tradisi Rasulan yang dilaksanakan oleh masyarakat Trowono A.

Rasulan sebagai suatu tradisi turun-temurun mempunyai berbagai nilai bagi masyarakatnya. Nilai yang dapat diambil dari Tradisi Rasulan meliputi nilai yang terdapat saat proses persiapan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan atau evaluasi.

Allport, Vernom dan Lindzey via Suriasumantri (1995, 263) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme, dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan


(60)

bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama atau religi merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transcendental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi karena anugerah Tuhan yang harus disyukuri.

Berdasarkan klasifikasi mengenai nilai-nilai tersebut, maka Tradisi Rasulan mempunyai nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama.

4.2 Nilai

4.2.1 Nilai Ekonomi

Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Sesuai dengan pengertian tersebut maka Tradisi Rasulan secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari nilai ekonomi. Tradisi Rasulan mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat Trowono A, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ekonomi terlihat jelas saat Tradisi Rasulan dilaksanakan, mulai dari proses kenduri sampai puncak kegiatan yakni kirab budaya. Pelaksanaan Rasulan dalam hal ini Rasul Gede, dapat berlangsung beberapa hari. Mulai hari pertama Rasulan, biasanya masyarakat, baik masyarakat Trowono A maupun masyarakat dari luar Trowono A, menjajakan dagangan atau berjualan di sekitar tempat pelaksanaan Rasulan. Hal tersebut, tentu mendatangkan


(61)

pemasukan bagi masyarakat Trowono A, maupun masyarakat Gunungkidul secara umum.

Selain berdampak langsung bagi masyarakat, Rasulan juga dapat mendatangkan pemasukan bagi daerah Gunungkidul. Pemasukan tersebut berasal dari wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung untuk melihat pelaksanaan Rasulan.

Melihat letak Trowono A yang berjarak tidak jauh dari pantai selatan, maka dimungkinkan para wisatawan yang datang melihat Rasulan, dapat juga mengunjungi pantai. Pantai terdekat dengan Trowono A yaitu Pantai Ngobaran, Pantai Nguyahan, dan Pantai Ngrenehan. Ketiga pantai tersebut belum begitu terkenal seperti pantai-pantai selatan yang lain. Oleh sebab itu, keberadaan Rasulan di Trowono A dapat sekaligus mempromosikan ketiga pantai trsebut.

4.2.2 Nilai Estetika

Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni, dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan manusia. Berdasarkan pengertian tersebut maka rasulan termasuk di dalamnya. Secara nyata, nilai estetika terwujud dalam setiap rangkaian acara rasulan. Mulai dari persiapan sesaji sampai kirab.


(62)

Saat mempersiapkan sesaji, nilai estetika tergambar dari berbagai macam sesaji yang ditampilkan dengan rapi dan menarik. Wadah dari beberapa sesaji tidak dibuat dengan sembarangan misalnya panjang ilang sebagai wadah sesaji dalang hasil tani. Wadah tersebut selain dibuat untuk memperoleh fungsinya, juga tidak mengesampingkan nilai keindahan. Selain wadah sesaji juga wadah makanan untuk dibawa pulang oleh tamu undangan yakni sarangan.

4.2.3 Nilai Sosial

Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Rasulan jelas memiliki nilai sosial mulai dari persiapan sampai akhir rangkaian acara. Nilai-nilai sosial yang terdapat dalam rasulan antaralain gotong royong, toleransi, kebersamaan, musyawarah, silaturahim dsb.

Gotong royong dilakukan saat warga menyiapkan berbagai kebutuhan rasulan. Para ibu bergotong royong menyiapkan atau memasak makanan untuk kenduri, sesaji, pertandingan olahraga, pentas seni, kirab dan seluruh rangkaian acara rasulan. Para bapak menyiapkan tempat untuk kenduri, pentas seni (wayangan), kirab, pembagian makanan, wadah makanan saat kenduri (sarangan), wadah sesaji dll.

Menurut KBBI, toleransi merupakan sikap atau sifat toleran. Sementara toleran merupakan bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,


(63)

membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sikap toleran dapat terlihat ketika prosesi rasulan berlangsung. Masyarakat Trowono A mayoritas beragama Islam. Saat pelaksanaan rasulan terutama saat kenduri dilakukan, masyarakat minoritas (tidak beragama islam) ikut melaksanakan kenduri dengan doa secara Islam.

Musyawarah juga menjadi kebiasaan masyarakat Trowono A saat akan melaksanakan berbagai acara yang sifatnya kolektif begitu juga saat akan melaksanakan rasulan. Beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelumnya, warga dusun sudah terlebih dahulu ngrembug (bermusyawarah) mengenai hajat warga dusun yang dilakukan dua kali dalam setahun ini. Di dalam bermusyawarah, warga mengedepankan asas kebersamaan yang dalam peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Peribahasa tersebut diaplikasikan oleh warga, salah satunya dalam menanggung biaya rasulan atau iuran. Iuran tidak hanya dalam bentuk uang tetapi dapat berbentuk barang. Besarnya iuran juga tidak selalu sama tetapi disesuaikan dengan kemampuan setiap warga. Hal inilah yang menunjukkan kebersamaan warga.

Silaturahim atau silaturahmi juga mengandung nilai sosial untuk masyarakatnya. Jamuan makan pada setiap rumah terasa jelas sebagai


(64)

tindakan sosial yakni ajang silaturahmi. Kerabat, saudara yang jarang berkumpul biasanya berkumpul pada saat rasulan.

4.2.4 Nilai Agama

Nilai agama begitu kental terasa saat ritual sesaji maupun kenduri dilakukan. Doa-doa Islam dilantunkan dalam proses persiapan sesaji. Sebelum berbagai macam sesaji diletakkan pada tempat yang sudah ditentukan, kaum sebagai pemangku adat melafalkan doa terlebih dahulu di depan berbagai macam sesaji yang akan disebar. Hal ini dilakukan agar Tuhan sebagai pemilik kehidupan merestui segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat.

Selain dari pada tindakan yang terwujud dalam setiap prosesi adat, hakikat dari tradisi rasulan juga merupakan nilai agama atau religi. Rasulan sebagai tindakan rasa syukur warga terhadap pemeliharaan Tuhan dalam hal pertanian inilah yang sangat terasa nilai agamanya karena sebagai manusia beragama, pastilah diajarkan untuk senantiasa bersyukur dalam segala hal.

4.3 Fungsi

“Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial”, (Dhavamony, 1995: 175).


(65)

Ritus dapat dibedakan atas empat macam (Dhavamony, 1995: 175-176). (1) Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2)Tindakan religius,kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4)Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari sekadar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. Chaple dan Coon mengusulkan perlunya ditambahkan satu jenis ritual lainnya, yakni (5) Ritual intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Orang yang menginginkan panenan berhasil akan melaksanakan ritual intensifikasi.

Upacara-upacara tersebut sesungguhnya memiliki penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri sosiologis. Dengan lain perkataan, ritual yang dilaksanakan memiliki fungsi-fungsi sosiologis tertentu. Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di atas, maka upacara dan


(66)

tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Rasulan dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mistis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi ritus bagi masyarakatnya. Berdasarkan fungsi-fungsi ritus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Tradisi Rasulan mempunyai fungsi antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.

4.3.1 Fungsi Magis

“Magi (sihir) adalah suatu fenomen yang sangat dikenal dan umumnya dipahami, namun tampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi”, (Dhavamony:47).

Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis (pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa). Bertolak dari pengertian tersebut maka tradisi rasulan memiliki fungsi magi. Fungsi magi dalam tradisi rasulan terletak pada ritual sesaji kepada roh-roh yang dianggap mendiami tempat-tempat tertentu di dusun setempat-tempat. Lebih jauh lagi bahwa masyarakat mempunyai keyakinan bahwa apabila roh-roh tersebut diperlakukan dengan


(67)

baik, minimal dihargai keberadaannya yaitu dengan cara diberi sesaji, maka roh-roh tersebut tidak akan megganggu aktivitas warga khususnya dalam bidang pertanian.

4.3.2 Fungsi Religius

Menurut KBBI, kata religius memiliki arti bersifat religi, sementara religi adalah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Kultus leluhur, juga bekerja dengan cara ini. 1 penghormatan resmi dl agama; upacara keagamaan; ibadat;2 sistem kepercayaan; 3 penghormatan secara berlebih-lebihan kpd orang, paham, atau benda;

Sejalan dengan pengertian tersebut maka rasulan juga memiliki fungsi religius terhadap warga Dusun Trowono A. Fungsi religius terletak pada tindakan masyarakat dalam melakukan doa. Doa tidak hanya dilakukan pada saat kenduri berlangsung tetapi juga saat menyiapkan sesaji. Hal ini tentu menunjukkan sisi religius masyarakat Trowono A.

4.3.3 Fungsi Faktitif

Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.


(1)

Sumber Wawancara :

Mohamad Sato, 60 tahun, pedagang, kaum yang bertugas memimpin kenduri

Rasulan.

Purwosumarto, 70 tahun, petani, warga Dusun Trowono A yang bertugas

menyiapkan sesaji dalam Ritual Rasulan.

Suwartinah, 50 tahun, petani, warga Dusun Trowono A yang bertugas membantu

menyiapkan sesaji dan makanan dalam Ritual Rasulan.

Widodo, 50 tahun, Pegawai Negeri Sipil, warga Dusun Trowono A.


(2)

60

BIODATA PENULIS

Sandra Setiyawati, lahir 21 Mei 1988 di Gunungkidul. Menyelesaikan

pendidikan dasar di SD Banyusoco I pada tahun 2000. Pada tahun 2003

menyelesaikan pendidikan di SLTP N 1 Playen. Setelah menyelesaikan pendidikan di

SLTP N I Playen, penulis bersekolah di SMU N I Playen Gunungkidul sampai tahun

2006. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi

yaitu di Universitas Sanata Dharma Fakultas Pendidikan prodi Pendidikan Akuntansi

sampai tahun 2007. Tahun 2007 sampai 2014, penulis menimba ilmu mengenai sastra

Indonesia di Fakultas Sastra prodi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.

Selama menempuh pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, penulis juga pernah

aktif berorganisasi di Bengkel Sastra, Sastra Indonesia. Sedangkan di luar kampus,

penulis juga pernah bekerja free lance di Penerbit dan Percetakan. Selain itu, selama

masa perkuliahan penulis juga pernah menjadi asisten dosen yang juga menjabat

sebagai redaktur senior pada salah satu harian surat kabar di Yogyakarta. Mulai 2011

sampai sekarang penulis belajar berwirausaha.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(4)

Balai Dusun Trowono A

Pada saat membuat sarangan Pengumpulan makanan

Menyiapkan makanan dan sesaji Kenduri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

Ingkung Gunungan Kirap

Kirab budaya Kirab budaya


(6)

Kirab budaya Kirab budaya

Kirab budaya Kirab budaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI