b Karena nilai t
hitung
Anggaran Belanja Modal X
2
sebesar -0,248 lebih kecil dari t
tabel
sebesar 1,971 dengan tingkat signifikan 0,804 Sig 0,804 0,05 yang artinya H
diterima dan H
1
ditolak. Hal ini menunjukan bahwa nilai t
hitung
tidak signifikan dengan tingkat probabilitas 0,804 lebih dari 0,05 Sig 0,804
5. Dengan demikian secara parsial tidak berpengaruh secara
signifikan antara variabel Anggaran Belanja Modal X
2
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y, tidak dapat diuji kebenarannya.
c Karena t
hitung
sebesar 2,959 yang lebih besar dari t
tabel
sebesar 1,971 dengan tingkat signifikan 0,003 Sig 0,003 5 yang
artinya H ditolak dan H
1
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa nilai t
hitung
telah signifikan karena tingkat probabilitas kurang dari 0,05 Sig 0,003 0,05 yang artinya bahwa variabel
Anggaran Belanja Rutin X
3
secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y dapat diuji
kebenarannya.
4.4. Pembahasan Hasil Penelitian
4.4.1. Implikasi Penelitian
Dari hasil Uji F diperoleh nilai F
hitung
sebesar 16,818 lebih besar dari F
tabel
sebesar 2,646205 dengan Sig 0,000 0,05 yang artinya secara bersama-sama perubahan tiga variabel bebas, yaitu Pendapatan Asli
Daerah X
1
, Belanja Modal X
2
, dan Belanja Rutin X
3
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat, yaitu Pertumbuhan Ekonomi
Y. Dengan pengaruh sebesar sebesar 18,9 R
2
atau 17,7 Adjusted R
2
, sedangkan sisanya 81,1 R
2
atau 82,3 Adjusted R
2
dijelaskan oleh variabel lain selain Pendapatan Asli Daerah X
1
, Belanja Modal X
2
, dan Belanja Rutin X
3
. Variabel lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, misalnya tingkat inflasi, tingkat konsumsi
masyarakat, pendapatan per kapita dari masyarakat, tingkat ekspor- impor, dan lain-lain.
Sedangkan hasil pengujian secara parsial untuk pengaruh Pendapatan Asli Daerah X
1
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y didapatkan nilai t
hitung
sebesar 2,434 yang lebih besar dari t
tabel
sebesar 1,971 dengan tingkat signifikan 0,016 Sig
≤ 5 yang artinya H ditolak
dan H
1
diterima, hal ini berarti bahwa variabel Pendapatan Asli Daerah X
1
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y. Hasil pengujian secara empirik ini mendukung dan
memperkuat Teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan bahwa “ . . . meningkatnya GDPGNP akan menyebabkan penerimaan pemerintah
juga meningkat”. Penelitian ini mendukung penelitian Yuliati 2001, Saragih 2003, Bappenas 2003, Adi 2006, Harianto dan Adi 2007
yang menyimpulkan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh secara nyata dan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yang
artinya meningkatnya PAD merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi.
Contohnya adalah ketika penerimaan Pajak Daerah khusunya Pajak Kendaraan Bermotor yang merupakan salah satu komponen PAD naik,
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah telah mengalami peningkatan, hal itu ditandai dengan kemampuan masyarakat
untuk memiliki kendaraan bermotor sehingga yang nantinya akan membayar Pajak Kendaraan Bermotor PKB dan juga ketika mobilitas
masyarakat meningkat karena bergeraknya perekonomian suatu daerah akan membutuhkan alat transportasi tambahan untuk menjalankan
kegiatan perekonomiannya selain kendaraan untuk pribadi seperti pick- up, truk dan kendaraan lainnya yang digunakan untuk perdagangan,
sehingga nantinya jumlah kendaraan akan meningkat banyak dan selanjutnya akan memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan
Pajak Kendaraan Bermotor PKB yang notabene PAD meningkat dikarenakan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Begitu juga
penerimaan Retribusi Daerah, ketika pertumbuhan ekonomi meningkat akan memberikan dampak positif bagi penerimaan Retribusi Daerah
karena ketika kehidupan masyarakat telah sejahtera sehingga dapat memiliki kendaraan bermotor maka ketika untuk pergi ke Malltempat
perbelanjaan restoran atau kemana pun itu, maka kendaraan tersebut akan membutuhkan dan menggunakan jasa parkir. Berdasarkan
kenyataan tersebut akan berdampak pada penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah yang meningkat karena dengan membaiknya tingkat
kesejatehteraan masyarakat yang diukur dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan penerimaan pemerintah daerah. Interpretasi tersebut
memperkuat pendapat Saragih 2003: 55-58 yang menyatakan bahwa peningkatan PAD merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi. Hasil
tersebut juga didukung dengan hasil statistik deskripsi Pendapatan Asli Daerah PAD yang menunjukkan bahwa trend rata-rata dari pergerakan
pendapatan asli daerah antara tahun 2001-2008 adalah naik, hal ini dapat diketahui dari pergerakan nilai rata-rata pendapatan asli daerah dari tahun
2001 hingga tahun 2008 mengalami peningkatan, yakni dari Rp 10.945.667.000 pada tahun 2001 lalu meningkat Rp 17.374.519.000 pada
tahun 2002, kemudian naik terus secara beruntun dari tahun 2003 sebesar Rp 21.346.251.000, lalu pada 2004 sebesar Rp 19.532.570.000, lalu pada
tahun 2005 dan 2006 naik lagi menjadi Rp 28.664.524.000 dan Rp 28.921.640.000, begitu pula pertumbuhan ekonomi juga mengalami
peningkatan sebesar 2,54 persen pada tahun 2001 menjadi 4,29 persen pada tahun 2008.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Hamzah 2007 yang menyimpulkan bahwa pendapatan tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, malah studi yang lebih spesifik dilakukan Ardani, dkk 2009 bahwa secara statistik memberikan hasil penerimaan pajak
tidak berpengaruh secara signifikan namun positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena pajak bersifat kontraproduktif
terhadap komponen pertumbuhan ekonomi, sehingga disinyalir
penerimaan pajak tidak memberikan dampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi secara langsung dalam jangka pendek, tetapi
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung namun dalam jangka panjang ketika diinvestasikan dalam pengeluaran
anggaran belanja modal sebagai penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur publik yang dapat membantu masyarakat dalam beraktivitas
dan nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, selain itu mengapa penerimaan pajak tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi dikarenakan pajak bersifat kontraproduktif, yang artinya ketika pendapatan masyarakat digunakan untuk membayar pajakpungutan yang
dikenakan kepada masyarakat berdasarkan undang-undang, secara bersamaan disisi lain kemampuan masyarakat untuk konsumsi akan
menurun sehingga kondisi inilah yang disinyalir mengapa penerimaan pajak tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan untuk hasil pengujian secara parsial atas pengaruh Anggaran Belanja Modal X
2
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y diperoleh nilai t
hitung
sebesar -0,248 lebih kecil dari t
tabel
sebesar 1,971 dengan tingkat signifikan 0,804 Sig 0,804 0,05 yang artinya H
diterima dan H
1
ditolak. Ini berarti secara parsial tidak ada pengaruh
yang signifikan antara variabel Anggaran Belanja Modal X
2
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y. Hasil ini mendukung penelitian Hamzah
2007 bahwa pengeluaranbelanja tanpa pengkategorian atas belanja pembangunan modal atau belanja rutin tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi dan Harianto dan Adi 2007 menyimpulkan bahwa belanja modal berpengaruh signifikan namun negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi, bahkan secara spesifik penelitian ini mendukung studi yang dilakukan oleh Ardani, dkk 2009 bahwa belanja modal tidak
berpengaruh secara signifikan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Yuliati 2001, Adi 2006, Putri
2006, Kurniawan 2008 yang menyimpulkan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini juga bertentangan
dengan Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Big Push Theory yang lebih menekankan modal sebagai unsur utama untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Perbedaan ini terjadi dimungkinkan dikarenakan Pemerintah KabKota di Propinsi Jawa Timur semenjak diberlakukannya
otonomi daerah adanya kesenjangan dalam pemahaman tentang otonomi daerah itu sendiri, yang mana diartikan bahwa otonomi daerah adalah
kemandirian dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga PemdaPemkot dengan “keegoisannya” seenaknya menganggarakan
belanjapengeluarannya, khususnya dalam melakukan penganggaran belanja modal pemerintah KabKota di Propinsi dengan kurang
memperhatikan elemen-elemen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan, sehingga banyak alokasi anggaran belanja
modal berakibat tidak banyak berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Karena pemahaman atas keotonomian daerah ini yang dianggap oleh
PemdaPemkot dengan anggapan bahwa PAD berasal dari pendapatan
daerah itu sendiri tanpa ada sangkut-pautnya dengan daerah lain, sehingga pertumbuhan ekonomi antar satu daerah dengan daerah lain
sangat mencolok perbedaannya karena pengalokasian antar satu daerah dengan daerah lainnya berbeda dalam prioritas visi dan misinya,
misalnya daerah satu lebih mementingkan alokasi anggaran belanja di sektor pariwisata dan daerah lain lebih memprioritaskan pada sektor
industri. Oleh karena perbedaan prioritas tersebut antar satu daerah dengan daerah lain dalam ruang lingkup Propinsi berakibat menimbulkan
kesenjangan pertumbuhan ekonomi, dan ketika dilakukan penelitian dalam skop Propinsi yang terdiri dari beberapa KabupatenKota dengan
perbedaan alokasi anggaran belanja modalnya dan tingkat pertumbuhan ekonominya sehingga memberikan gambaran bahwa anggaran belanja
modal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Contohnya lainnya adalah ketika suatu daerah membutuhkan mobilitas untuk
aktifitas perekonomian dengan menggunakan fasilitas darat berupa jalanjembatan agar lebih cepat dalam bergerak ke madura-surabaya
agaknya terhambat, namun kondisi tersebut baru terlaksana dan dapat dioperasikan pada tahun 2007 sehingga pergerakan pertumbuhan
ekonomi dalam rentang waktu tersebut hingga penelitian ini dilakukan agaknya masih kurang terpotret dan masih belum berdampak secara
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi semenjak adanya jembatan Suramadu, atau suatu daerah mengalami bencana, seperti Lumpur
Lapindo di Sidoarjo yang merupakan gerbang masuk perekonomian dari
arah timur seperti Malang, Blitar, Kediri, Pasuruan, Situbondo, Probolinggo, Situbondo, Jember, Banyuwangi, Bali, dan seterusnya
sehingga perekonomian terhambat dan berakibat pada lambannya pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut, ketika anggaran belanja modal
dianggarkan oleh pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur atau sarana dan prasarana fasilitas publik efek terhadap pertumbuhan ekonomi
akan dapat diketahui dalam rentang jangka waktu yang panjang. Oleh karena itulah mengapa anggaran belanja modal, dalam penelitian ini,
tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini didukung dengan analisis deskripsi, dimana pada tahun 2004 alokasi anggaran
belanja modal turun dari Rp 115.310.000.000 menjadi Rp 59.732.000.000 dan turun lagi di tahun 2005 menjadi Rp
51.540.000.000,. Namun fakta ini justru terbalik jika dibandingkan dengan trend pertumbuhan ekonomi yang berturut-turut meningkat dari
tahun 2001-2007, tetapi pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 14 persen , yaitu dari 5,79 persen di tahun 2007 menjadi 5,65
persen . Fakta ini disinyalir dengan adanya restrukturisasi setelah pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah yang melakukan
perbaruan, khususnya dibidang Keuangan Negara Daerah, dalam rangka pendelegasian dan memperluas kewenangan PemdaPemkot untuk
menggali potensi yang dimiliki dan dilakukan“pemekaran” pada akun rekening instansi pemerintah, sehingga yang dahulunya suatu rekening
berdiri sendiri dan termasuk didalam kategori akun tersendiri, misalnya
Rekening Belanja Pegawai dahulunya termasuk didalam akun Belanja Rutin, namun setelah dilakukan “pemekaran dan peremajaan” dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah SAP dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan upaya tindaklanjut pemerintah setelah
pemberlakukan Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tentang Keuangan Daerah dan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, maka nama akun Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan telah diganti menjadi akun Belanja Aparatur dan Belanja Publik atau Belanja
Operasi dan Belanja Modal, yang mana didalam akun-akun tersebut masih dilakukan pengklasifikasian lebih lanjut, yakni Rekening Belanja
Modal, Rekening Belanja Operasional dan Pemeliharaan, dan lain-lain tergantung nama kegiatan pemerintah.
Oleh karena itu, jumlah komposisi anggaran belanja pemerintah bisa menjadi lebih besar kecil jika dilakukan sinkronisasi penyesuaian
nama akun rekening dari tahun sebelum dan setelah pemberlakuan undang-undang tersebut tentang Keuangan Negara, SAP, dll dengan
penelitian yang dilakukan pada rentang tahun sebelum dan setelah pemberlakuan undang-undang tersebut. Contohnya, rekening Belanja
Modal yang terdapat pada akun Belanja Aparatur dan Belanja Publik, dimana jumlah anggaran belanja aparatur digunakan untuk kegiatan
kepemerintahan sedangkan anggaran belanja publik digunakan untuk
kepentingan masyarakat, jika ditambahkan jumlah anggaran belanja modal yang terdapat pada masing-masing kedua akun tersebut setelah
dilakukan sinkronisasi penyesuaian maka anggaran akan berjumlah lebih besarkecil jika dibandingkan jumlah akun rekening pada anggaran
belanja modal sebelum diberlakukan pengklasifikasian oleh undang- undang yang baru yang dahulunya diklasifikasikan pada akun Belanja
Pembangunan. Sehingga, ketika dilakukan reformasi birokrasi oleh pemerintah maka komposisi jumlah anggaran akan berubah sebagai
akibat reformasi birokrasi, jika dikaitkan dengan alokasi anggaran. Itulah mengapa ketika pemberlakukan reformasi keuangan pemerintah baru
dijialankan secara efektif pada Tahun Anggaran 20042005, trend anggaran belanja pada tahun 2004 dan 2005 menurun karena dilakukan
penyesuaian terhadap komposisi alokasi anggaran berdasarkan peraturan yang terbaru. Disamping itu, konsep anggaran yang berorientasikan pada
output dan outcome sehingga komposisi jumlah anggaran lebih “ramping” dan konsekuensinya adalah pemerintah akan lebih selektif
dalam menentukan jumlah anggaran yang didasarkan pada skala prioritas. Karena komposisi anggaran belanja modal yang “ramping”
sehingga berakibat dampaknya pada pertumbuhan ekonomi membutuhkan jangka waktu yang lebih lama karena ketika pemerintah
mengalokasikan anggaran dalam jumlah sedikit sehingga disinyalir ada komponen-kompenen pertumbuhan ekonomi yang masih belum tersentuh
oleh pemerintah diakibatkan jumlah anggaran yang “irit”. Fakta ini
didukung pada analisis deskripsi bahwa anggaran belanja modal dari tahun 2001-2003 meningkat berturut-turut, keadaan ini diikuti oleh
pergerakan pertumbuhan ekonomi yang naik terus dari tahun 2001-2003 dan pertumbuhan ekonomi tetap meningkat hingga tahun 2007 disinyalir
efek dari “kombinasi” anggaran modal dan anggaran belanja rutin. Selain itu dampak alokasi anggaran belaja modal pada tahun 2004
dan 2005 tidak nampak pada pertumbuhan ekonomi, selain penjelasan diatas juga dipengaruhi faktor makro, yaitu krisis global yang
memperlambat pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan pada daerah pada khususnya. Sehingga efek anggaran belanja modal kurang
nampak, karena bersifat jangka panjang. Sedangkan anggaran belanja rutin akan lebih memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi karena bersifat jangka pendek, contohnya anggaran subsidi, untuk melindungi daya beli masyarat dari krisis global yang memberikan
kontraksi negatif pada pertumbuhan ekonomi. Lalu untuk hasil pengujian secara parsial atas pengaruh Anggaran
Belanja Rutin X
3
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y diperoleh nilai t
hitung
sebesar 2,959 yang lebih besar dari t
tabel
sebesar 1,971 dengan tingkat signifikan 0,003 Sig 0,003 0,05 yang artinya H
ditolak dan H
1
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa nilai t
hitung
telah signifikan karena tingkat probabilitas kurang dari 0,05 Sig 0,003 0,05 yang
berarti bahwa variabel Anggaran Belanja Rutin X
3
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y. Hasil ini
berbeda dengan penelitian Hamzah 2007 yang menyimpulkan bahwa belanja negara tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan
studi yang dilakukan oleh Yuliati 2001 bahwa belanja rutin tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun justru hasil ini
mendukung penelitian Kurniawan 2008, Putri 2006 dan Ardani, dkk 2009 bahwa anggaran belanja rutin berpengaruh signifikan. Hasil
penelitian ini juga mendukung Teori Wagner yaitu “Gesetz der wachsenden Ausdenhnung den Staatstatigkeiten” atau hukum selalu
makin meningkatnya kegiatan-kegiatan negara law of ever increasing state activities, dimana kegiatan pemerintah selalu meningkat yang
diproksikan dalam anggaran belanja rutin. Kegiatan rutin ini merupakan refleksi pelayanan publik kepada masyarakat sehingga secara logis
pelayanan publik ini akan lebih dapat menyentuh secara langsung aspek komponen pertumbuhan ekonomi sehingga anggaran belanja rutin akan
berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Contohnya pada jumlah anggaran belanja rutin khususnya belanja pegawai yang
merupakan diinterpretasikan secara umum atas banyaknya jumlah pegawai negeri sipil, khususnya dalam pengurusan perizinan, sehingga
hal ini disinyalir telah terwujud adanya kemudahan dan kecepatan dalam pengurusan izin, baik izin usaha atau perizinan administrasi untuk
ekspor-impor yang notabene hal tersebut dapat memberikan efek langsung pada pertumbuhan ekonomi, sehingga secara logis dan otomatis
kenyataan ini menunjukkan bahwa anggaran belanja rutin akan memberikan dampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi.
Namun penelitian ini berbeda dengan Hamzah 2007 yang menyimpulkan bahwa belanja pemerintah tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi dan studi yang dilakukan oleh Yuliati 2001 bahwa secara statistik anggaran belanja rutin tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi dimungkinkan pada penelitian terdahulu disinyalir perangkat-perangkat pemerintah kurang memberikan
pelayanan yang maksimal dalam public service sehingga kurang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan ketika penelitian
ini dilakukan di Era Otonomi Daerah sistem penganggaran dalam Pemerintah, baik Daerah maupun Pusat telah beralih dari Incremental
Budgeting ke Performance Budgeting sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Daerah APBNAPBD yang lebih menekankan
pada Kinerja Instansi Pemerintah dan pegawainya. Selain itu, pada Era Otonomi Daerah pemerintah dituntut untuk melaksanakan good
government governance tata kelola pemerintah dengan prinsip kinerja yang baik yang berpedoman pada istilah Triple E’es Efisien, Efektif,
Ekonomis telah dijalankan secara baik, transparan dan akuntanbel. Kenyataan ini memberikan deskripsi bahwa alokasi anggaran belanja
rutin yang digunakan pemerintah untuk membiayai kegiatanprogram pemerintah telah dijalankan sesuai dengan program kegiatan yang lebih
memprioritaskan publik service yang berpedoman pada kinerja, sehingga
lebih berfokus pada output dan outcome yang indikator pengukuran output dan outcome tersebut ditunjukkan pada tingkat pertumbuhan
ekonomi daerah yang bersangkutan. Fakta ini didukung dengan analisis deskripsi untuk anggaran belanja rutin yang menunjukkan trend selalu
meningkat dari tahun ke tahun yang diiringi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, khususnya pada tahun penelitian ini yaitu tahun
2001-2008. Disamping variabel tersebut, yaitu variabel pendapatan asli daerah,
anggaran belanja modal dan anggaran belanja rutin, ada beberapa faktor lainnya yang dipercaya mempengaruhi pergerakan pertumbuhan
ekonomi. Sebagaimana pernyataan Musgrave dan Musgrave 1991: 492 mengatakan bahwa inflasi diakibatkan oleh anggaran, maksudnya adalah
ketika dalam model teori makroekonomi empat sektor, yaitu Y=C+I+G+X-I, dimana Y merefleksikan tingkat pertumbuhan ekonomi
aggregate demand dan C sebagai bentuk konsumsi, I sebagai investasi dan G adalah pengeluaran negara pemerintah serta X-I
menggambarkan perdagangan luar negeri berupa ekspor-impor, maka menurut Musgrave dan Musgrave 1991 ketika terjadi inflasi yang
berakibat naiknya tingkat harga umum secara terus-menerus sehingga berdampak menurunkan daya beli masyarakat yang dinotasikan huruf C
jika tingkat pendapatan masyarakat konstan Nanga, 2005: 247-248, Noegroho dan Soelistianingsih, 2007: 5, maka akan menurunkan jumlah
konsumsi masyarakat dan nantinya akan berdampak menurunkan tingkat
pertumbuhan ekonomi, sehingga momentum ini akan digunakan pemerintah menjalankan perannya sebagai penstabilitas perekonomian
dengan meningkatkan pengeluarannya yang dinotasikan huruf G sehingga tetap menjaga pertumbuhan ekonomi. Sejatinya, inflasi
memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, namun untuk arahnya ada 2 pendapat, yaitu inflasi berdampak positif dikemukakan oleh Robert
Mundell Nanga, 2005: 249 dan Sukirno 1994 yang beragumen jika kenaikan harga-harga yang tidak segera diikuti oleh kenaikan upah
pekerja sehingga keuntungan akan bertambah dan pertambahan keuntungan akan menggalakkan investasi di masa mendatang, keadaan
ini akan mewujudkan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi; di sisi lain berdasarkan studi empirik, yaitu Wibisono 2005 serta Noegroho
dan Soelistianingasih 2007 menunjukkan bahwa inflasi memiliki dampak negatif, yaitu setiap kenaikan inflasi akan berdampak pada
penurunan pertumbuhan ekonomi dan fakta ini mendukung pendapat Mckinnon 1973 Nanga, 2005: 248. Selain itu, pertumbuhan ekonomi
sering di ukur dengan menggunakan gross domestic bruto atau produk domestik bruto PDB untuk skala nasional dan produk domestik regional
bruto PDRB untuk skala daerah, sejatinya memiliki keterbatasan yang digunakan sebagai alat ukur kinerja ekonomi dari suatu negara daerah.
Namun demikian, GDP GDRB tidak digunakan untuk mengukur indeks kesejahteraan sosial atau ekonomi dari penduduk suatu negara daerah.
Sehingga beberapa ahli ekonomi menyarankan menggunakan indikator
lain untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat disuatu negara daerah, yaitu dengan menggunakan pendapatan per kapita yang dapat
merefleksikan pertumbuhan ekonomi Gaspersz dan Feony, 2003; Kuncoro, 2004; Arsyad, 2004; Harianto dan Adi, 2007.
Tabel 4.13: Hasil Uji Korelasi
Variabel Tingkat Korelasi
Pendapatan Asli Daerah
X
1
0,163 Anggaran Belanja Modal
X
2
- 0, 017
Anggaran Belanja Rutin
X
3
0,197 Sumber: Lampiran 14
Lalu sejauh mana korelasi antara variabel bebas, yaitu Pendapatan Asli Daerah X
1
, Anggaran Belanja Modal X
2
, Anggaran Belanja Rutin X
3
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Y. Berdasarkan Tabel 4.13 koefisien korelasi yang dihasilkan Pendapatan Asli Daerah X
1
sebesar 0,163 atau 16,3. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sangat lemah antara Pendapatan Asli Daerah X
1
dengan Pertumbuhan Ekonomi Y. Lalu Koefisien korelasi yang dihasilkan Anggaran Belanja
Modal X
2
sebesar -0,017 atau 1,7. Hal ini menunjukkan bahwa sangat lemahnya hubungan antara Anggaran Belanja Modal X
2
dengan Pertumbuhan Ekonomi Y dan juga hubungan itu bersifat negatif.
Sedangkan Koefisien korelasi linier yang dihasilkan Anggaran Belanja Rutin X
3
sebesar 0,197 atau 19,7. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat lemah antara Anggaran Belanja Rutin
X
3
dengan pertumbuhan ekonomi Y. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa variabel anggaran belanja rutin merupakan variabel
yang berkorelasi kuat terhadap variabel pertumbuhan ekonomi dan variabel anggaran belanja modal merupakan variabel yang berkorelasi
sangat lemah terhadap variabel pertumbuhan ekonomi dari ketiga variabel bebas lainnya.
4.4.2. Perbedaan Hasil Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu