Pandangan Beberapa Ahli tentang Intuisi

B. Pandangan Beberapa Ahli tentang Intuisi

Dalam tataran filsafat, intuisi terbilang sesuatu yang baru dalam sejarah filsafat, yang biasa dikenal dengan sebutan intuitionisme. Filsafat ini merupakan aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Menurut pandangan tersebut intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang aktif namun sedikit mengabaikan penalaran, tidak peduli dari mana datangnya pengetahuan tersebut. Kondisi semacam ini sesuai dengan salah satu ciri kerja intuisi yang muncul secara tiba-tiba dan bersifat segera dan global didasarkan pada feeling. Dengan demikian berarti proses intuisi bersifat non-analitik dan tidak berdasar pada pola berfikir tertentu atau bahkan kejadiannya muncul begitu saja tanpa tahu dari mana asal usulnya.

Beberapa pandangan mengenai intuisi menurut ahli-ahli filsafat (filosof) dan ahli-ahli psikologi (psikolog) seperti filosof Plato & Aristoteles (dalam Henden, 2004: 14) membedakan antara jenis berpikir inferensial yang prosesnya berlangsung tahap demi tahap (discursive thought) dan jenis berpikir yang prosesnya tidak berlangsung secara tahap demi tahap (non-discursive). Jenis berpikir yang terakhir

ini Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai berpikir intuitif. Keduanya merumuskan perbedaan proses berpikir tersebut menganggap bahwa intuisi merupakan proses berpikir serupa dengan proses berpikir Tuhan ( God‟s thought). Intuisi merupakan sebagai hasil berpikir yang bercirikan: (1) tidak temporal (a- temporal), yaitu keputusan yang diambil sulit berubah, (2) memandang keseluruhan objek (globaly) daripada bagian-bagian objek (grasps all at once), (3) tidak bersifat proposisional (non-propositional), (4) tidak bersifat representasional (non- representational), dan (5) dianggap tidak pernah salah (infallible), karena ia dipandang serupa dengan proses berpikir yang datang langsung dari Tuhan ( God‟s thought). Sedangakan berpikir discursive dicirikan sebagai hasil berpikir yang (1) bersifat temporal, (2) memandang bagian-bagian objek daripada keseluruhan objek, (3) bersifat proposisional, (4) bersifat representasional, dan (5) dapat menghasilkan kesimpulan salah (fallible).

Filosof Immanuel Kant (dalam Henden, 2004: 22) mencoba membangun pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta

a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa sesuatu dikatakan benar. Pertimbangan analitik ini relevan dengan discursive thinking yang dikarakterisasikan oleh Plato & Aristotels, yaitu inferential, temporal, grasps object piecemeal, propositional, representational, dan fallible. Kant juga menyatakan bahwa pertimbangan sintetik relevan dengan intuisi yang tidak memerlukan atau kurang memperhatikan konfirmasi logis. Hasil pertimbangan a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa sesuatu dikatakan benar. Pertimbangan analitik ini relevan dengan discursive thinking yang dikarakterisasikan oleh Plato & Aristotels, yaitu inferential, temporal, grasps object piecemeal, propositional, representational, dan fallible. Kant juga menyatakan bahwa pertimbangan sintetik relevan dengan intuisi yang tidak memerlukan atau kurang memperhatikan konfirmasi logis. Hasil pertimbangan

Lebih lanjut Kant (dalam Gouldeli: 44) menjelaskan bahwa dengan intuisi seseorang dapat memahami objek secara langsung dan bersifat global tanpa banyak usaha, tetapi dengan berpikir (analitis) seseorang dapat memahami objek secara tidak langsung, yakni melalui karakteristik atau sifat-sifat objek tersebut. Oleh karenanya menurut Kant, sesungguhnya kemampuan seseorang dalam menangkap realitas atau memahami suatu objek merupakan keberhasilan mengaitkan pemahaman intuisi dengan pemahaman analitis.

Seorang filosof Bergson (dalam Henden, 2004: 25), mengatakan bahwa intelek dan intuisi merupakan dua jenis pengetahuan berbeda yang saling melengkapi. Prinsip-prinsip sains dimasukkan dalam kategori intelek dan prinsip- prinsip metafisika dimasukkan dalam kategori intuisi. Akan tetapi ketika mengaitkan antara kaidah sains dan filsafat yang memproduksi pengetahuan baru merupakan rangkaian proses intelek (analitis) dan intuisi (sintetis) yang terjadi secara bersamaan. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi terhadap realitas yang berbeda. Lebih lanjut Bergson mengatakan bahwa intuisi secara harfiah tidak bisa disamakan dengan feeling dan emosi. Menurut Bergson intuisi dilihat sebagai sesuatu bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam atau dengan kata lain intuisi merupakan tindakan atau serangkaian aksi pemerolehan pengetahuan yang berasal dari pengalaman. Selain Seorang filosof Bergson (dalam Henden, 2004: 25), mengatakan bahwa intelek dan intuisi merupakan dua jenis pengetahuan berbeda yang saling melengkapi. Prinsip-prinsip sains dimasukkan dalam kategori intelek dan prinsip- prinsip metafisika dimasukkan dalam kategori intuisi. Akan tetapi ketika mengaitkan antara kaidah sains dan filsafat yang memproduksi pengetahuan baru merupakan rangkaian proses intelek (analitis) dan intuisi (sintetis) yang terjadi secara bersamaan. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi terhadap realitas yang berbeda. Lebih lanjut Bergson mengatakan bahwa intuisi secara harfiah tidak bisa disamakan dengan feeling dan emosi. Menurut Bergson intuisi dilihat sebagai sesuatu bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam atau dengan kata lain intuisi merupakan tindakan atau serangkaian aksi pemerolehan pengetahuan yang berasal dari pengalaman. Selain

Menurut Audi (2004: 34), intuisi adalah pengetahuan tak-inferensial (non inferential knowledge) yang diperoleh tanpa melakukan inferensi terlebih dahulu terhadap fakta, premis atau aksioma lain. Pengetahuan tersebut bersifat self evidence, artinya pengetahuan yang dapat dipahami atau diterima secara langsung oleh seseorang tanpa memerlukan proses pembuktian.

Pandangan-pandangan sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filosof terdahulu yang menganggap bahwa segala sesuatu yang terkait dengan pengetahuan selalu direfleksikan secara rasional, formal, bersifat analitis. Dengan melihat kondisi tersebut, Bergson berusaha melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan fakta konkret dalam aktivitas berpikirnya. Sedangkan kaum intelek (aliran rasionalis) berfokus pada realitas yang benar-benar ada dan tampak di depan mata dan memungkinkan konsep intelek atau berpikir analitis juga tidaklah selalu dapat menjawab realitas seutuhnya secara benar.

Intuisi dalam matematika

Untuk memahami intuisi matematika diberikan dua pandangan penganut intuitionisme atau intuisionisme, yakni intuisionisme klasik dan intuisionisme inferensial. Munculnya dua kelompok ini memandang intuisi menurut perspektif masing-masing. Pentanyaan yang mendasari munculnya pandangan ini adalah apakah intuisi matematika merupakan hasil berpikir atau bukan? Bagaimana dan kapan intuisi matematika bisa terjadi?

Menurut pandangan intuisionisme klasik yang dikemukakan filosof seperti Spinoza & Bergson (dalam Zeev & Star, 2002: 5) menyatakan bahwa sesungguhnya penalaran tidak memainkan peranan dalam intuisi tetapi intuisi dapat membantu penalaran seseorang. Selanjutnya intuitionis klasik memandang intuisi sebagai “a special contact with prime reality, producing a sense of ultimate unity, true beauty, perfect certainty, and blessedness.” Artinya intuisi memiliki keterkaitan terbaik dengan kenyataan (realitas), menghasilkan satu kesatuan terbaik melalui berpikir sehat, keindahan, kepastian sesungguhnya, dan keterberkatan.

Menurut penganut intuisionisme klasik, intuisi matematika merupakan hal berbeda dengan berpikir formal (seperti halnya konsep implikasi dalam logika), artinya dalam mempresentasikan masalah matematika seringkali didasarkan pada keyakinan, feeling yang berakibat bahwa suatu konsep menjadi jelas dengan sendirinya dan munculnya tiba-tiba, tanpa jastifikasi atau mengabaikan analisis formal. Dengan kata lain berarti intuisi bersifat apathetically to reason, artinya pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dengan mengabaikan kelogisan, Menurut penganut intuisionisme klasik, intuisi matematika merupakan hal berbeda dengan berpikir formal (seperti halnya konsep implikasi dalam logika), artinya dalam mempresentasikan masalah matematika seringkali didasarkan pada keyakinan, feeling yang berakibat bahwa suatu konsep menjadi jelas dengan sendirinya dan munculnya tiba-tiba, tanpa jastifikasi atau mengabaikan analisis formal. Dengan kata lain berarti intuisi bersifat apathetically to reason, artinya pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dengan mengabaikan kelogisan,

Konsep lain tentang intuisi juga diungkapkan psikolog seperti Resnick (1986: 169) yang memandang intuisi matematika sebagai “cognitive primitives that

can function without formal mathematical analysis” yang artinya intuisi matematika berfungsi sebagai kognisi primitif atau proses pikiran alami tanpa proses berpikir formal. Dreyfus & Eisenberg (1982: 21) mengatakan bahwa intuisi

matematika dipandang sebagai “mental representations of fact that appear to be self evident” yang berarti intuisi matematika merupakan representasi mental dari fakta atau konsep yang kebenarannya diterima begitu saja atau benar dengan sendirinya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diartikan bahwa intuisi matematika merupakan proses berpikir yang berfungsi membantu seseorang memahami dan dapat menggerakkan kemampuan (ability) dalam menyelesaikan masalah meskipun tidak dilakukan melalui pengajaran matematika dan diyakini benar tanpa pembuktian formal (mengabaikan kerangka logika) walaupun ekspresinya berbentuk analitis dan tergolong berpikir formal.

Timbullah pertanyaan tentang bagaimana dan kapan intuisi matematika muncul di benak individu? Sesungguhnya bisa diduga bahwa intuisi matematika dapat terjadi tidak selalu melalui sekolah formal atau tutorial, akan tetapi bisa terjadi melalui faktor pembawaan. Gelman et.al (dalam Zeev & Star, 2002: 6) menyatakan bahwa intuisi merupakan sekumpulan apa yang mereka percaya dan Timbullah pertanyaan tentang bagaimana dan kapan intuisi matematika muncul di benak individu? Sesungguhnya bisa diduga bahwa intuisi matematika dapat terjadi tidak selalu melalui sekolah formal atau tutorial, akan tetapi bisa terjadi melalui faktor pembawaan. Gelman et.al (dalam Zeev & Star, 2002: 6) menyatakan bahwa intuisi merupakan sekumpulan apa yang mereka percaya dan

Pandangan lain yang berkomplementer dengan intuisionisme klasikal di atas, yaitu pandangan intuisionisme inferensial yang memandang bahwa intuisi bukan mekanisme khusus, tetapi merupakan bentuk berpikir yang berfungsi membantu munculnya inspirasi seseorang karena adanya interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya. Pandangan tersebut juga sepaham dengan pernyataan Ewing & Bunge (dalam Zeev & Star, 2002: 7) bahwa intuisi merupakan produk berpikir dari pengalaman belajar sebelumnya. Lebih lanjut Bunge (2010: 110) menyatakan bahwa intuisi merupakan kemampuan memahami secara mendalam ( insight) dan melibatkan perasaan (feel emotions) terjadi secara spontan ( spontaneity) .

Pada dasarnya pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan yang diterima secara langsung tanpa melalui serangkaian bukti (Fischbein, 1994: 134). Beradasarkan pendapat tersebut berarti pemahaman intuitif dimaknai sebagai pemahaman secara spontan atau muncul secara tiba-tiba terhadap konsep yang terjadi dalam pikiran bercampur perasaan tanpa harus melalui proses bukti terlebih dahulu, seperti halnya siswa dihadapkan pada masalah sekumpulan bilangan 2, 4, 6, Pada dasarnya pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan yang diterima secara langsung tanpa melalui serangkaian bukti (Fischbein, 1994: 134). Beradasarkan pendapat tersebut berarti pemahaman intuitif dimaknai sebagai pemahaman secara spontan atau muncul secara tiba-tiba terhadap konsep yang terjadi dalam pikiran bercampur perasaan tanpa harus melalui proses bukti terlebih dahulu, seperti halnya siswa dihadapkan pada masalah sekumpulan bilangan 2, 4, 6,

Lebih lanjut Fischbein (1983: 68) menyatakan bahwa intuisi sama halnya feeling yang datangnya tiba-tiba, keterpaduan, dan kepercayaan tentang penyelesaian matematika mungkin saja sebagai hasil dari mini-theory atau model yang mendukung inferensi berbasis pengetahuan yang terjadi secara implisit, akan tetapi dimungkinkan secara eksplisit dapat terjadi bersamaan dengan proses berpikir analitis dalam matematika. Artinya ketika siswa dihadapkan pada permasalahan atau sedang berusaha untuk menyelesaikan masalah matematika, terkadang jawaban atau solusi masalah tersebut telah ada dan ditemukan walaupun belum dituliskan. Hal ini berarti bahwa siswa tersebut telah memiliki jawaban secara implisit beroperasi di bawah sadar.

Di samping perbedaan pandangan tentang karakteristik intuisi, secara umum para ahli psikologi sepakat bahwa pernyataan, interpretasi atau konklusi yang berbasis intuisi merupakan kognisi segera (immediate cognition) terhadap masalah, atau kognisi muncul tiba-tiba tanpa disadari dalam pikiran. Akan tetapi tidak semua kognisi segera merupakan intuisi, seperti halnya “persepsi” merupakan aktivitas mental yang juga berlangsung segera. Sebagai contoh, bilamana diberikan dua garis Di samping perbedaan pandangan tentang karakteristik intuisi, secara umum para ahli psikologi sepakat bahwa pernyataan, interpretasi atau konklusi yang berbasis intuisi merupakan kognisi segera (immediate cognition) terhadap masalah, atau kognisi muncul tiba-tiba tanpa disadari dalam pikiran. Akan tetapi tidak semua kognisi segera merupakan intuisi, seperti halnya “persepsi” merupakan aktivitas mental yang juga berlangsung segera. Sebagai contoh, bilamana diberikan dua garis

Mujamil (2005: 298) memberikan komentar bahwa intuisi bukan sekedar fakta psikologis, namun telah menjadi salah satu metode epistemologi, dengan demikian berarti intuisi menjadi bersifat aktif dan produktif dalam memroses dan memperoleh pengetahuan. Oleh karenanya intuisi dapat diberdayakan untuk mengolah, memroses, menemukan ide untuk memperoleh solusi/pengetahuan. Lebih lanjut Mujamil mengungkapkan tentang proses kerja intuisi dalam memperoleh pengetahuan seperti proses kerja firasat atau feeling dengan kilatan, cepat, segera, tiba-tiba, tidak sistematis, acak dan kebanyakan orang sering menyebutnya dengan istilah berpikir tanpa melalui proses berpikir. Pada saat melakukan perenungan atau menghadapi “jalan buntu” (tidak menemukan jalan

keluar dari permasalahan) adakalanya pada saat seperti ini intuisi hadir untuk menunjukkan jalan keluar, sehingga dengan mudah menemukan jawaban tanpa diketahui asal mula kehadirannya. Serupa dengan pendapat di atas, Simmons & Nelson (dalam Nicholas, 2010: 3) menyatakan “intuition as the first answer that springs to mind when one is required to make a de cision” artinya intuisi berperan sebagai jawaban pertama yang muncul untuk membuka pikiran/ide pada saat dibutuhkan dalam mengambil keputusan.

Pada sisi lain, beberapa psikolog memberi pengertian intuisi, seperti halnya Fujita & Yamamoto (dalam Jones, 1998: 162) yang memfokuskan penelitiannya pada peranan intuisi dalam pendidikan geometri. Beliau mendefinisikan intuisi secara khusus sesuai dengan konsteks penelitiannya, yaitu “It might be difficult to define „intuition‟ precisely, but for the purposes of this paper we regard it as a skill to „see‟ geometrical figures and solids, creating and manipulating them in the mind to solve problems in geome try.” Dalam hal ini beliau kesulitan mendefinisikan intuisi secara tepat, namun untuk tujuan penelitiannya intuisi dimasudkan sebagai kemampuan membuat dan memanipulasi gambar geometri untuk menyatakan sudut siku-siku dalam bangun ruang, untuk menemukan kemudahan dalam memecahkan masalah geometri. Terkadang untuk melukiskan sudut yang sehurusnya siku-siku, namun tampaknya pada gambar sebagai sudut lancip atau sudut tumpul. Oleh karenanya aktivitas siswa seperti membuat coretan, menggambar, membuat sketsa, memanipulasi simbol-simbol dan lain-lain yang kesemuanya dimaksudkan sebagai ”jembatan” berpikir untuk memandu dan memberikan kemudahan dalam rangkaian

kerja penyelesaian masalah tersebut merupakan salah satu rangkaian aktivitas berpikir intuitif.

Klein (2002: 91) menyatakan bahwa sintesis yang tampaknya paling efektif antara intuisi dan analisis adalah ketika menempatkan intuisi di posisi depan sebagai pemandu aktivitas analisis tentang berbagai situasi yang sedang dihadapi. Dengan demikian intuisi dapat membantu dalam menetapkan strategi memulai bereaksi, sedangkan analisis berfungsi memverifikasi intuisi untuk memastikan

bahwa langkah yang digunakan tidak menyesatkan. Misalnya apabila seseorang sedang dihadapkan pada permasalahan yang menuntut segera diselesaikan terkadang ditemukan cara atau strategi penyelesaian yang tepat dan strategi tersebut muncul secara tiba-tiba (mungkin kemunculannya karena adanya pengalaman masa lalu atau karena didasarkan feeling untuk mencoba-coba) yang kemudian diikuti aktivitas berpikir analitis untuk memverifikasi apakah langah atau strategi yang digunakan dapat menentukan hasil yang diinginkan atau tidak. Dengan kata lain berati berpikir intuitif memiliki peran penting dan bahkan tidak bisa dipisahkan dalam aktivitas penyelesaian masalah geometri yang secara umum diyakini banyak kalangan tergolong aktivitas berpikir analitis. Perumpamaan berpikir intuitif dalam penyelesaian masalah geometri dimisalkan sebagai motor penggerak suatu benda, sedangkan berpikir analitis merupakan wujud gerakan atau perubahan demi perubahan posisi benda tersebut.

Beberapa matematikawan banyak yang mengandalkan intuisi dalam proses penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan intuisi dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika juga diakui banyak matematikawan lain. Burton (1999: 7) melakukan penelitian mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam kegiatan “bermatematika” para matematikawan dengan meminta pendapat 70 orang subyek penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya terjadi pro dan kontra mengenai hal ini karena intuisi masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Hasil penelitian Burton, ternyata cukup banyak subyek (yaitu 83%) yang mengakui bahwa kehadiran intuisi telah membantu mereka dalam kegiatan bermatematika Beberapa matematikawan banyak yang mengandalkan intuisi dalam proses penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan intuisi dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika juga diakui banyak matematikawan lain. Burton (1999: 7) melakukan penelitian mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam kegiatan “bermatematika” para matematikawan dengan meminta pendapat 70 orang subyek penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya terjadi pro dan kontra mengenai hal ini karena intuisi masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Hasil penelitian Burton, ternyata cukup banyak subyek (yaitu 83%) yang mengakui bahwa kehadiran intuisi telah membantu mereka dalam kegiatan bermatematika

intuisi matematis sebagai upaya mereka untuk menghubungkan atau membuat “lompatan” ketika mereka tidak/belum menemukan adanya “jalur logis” yang

menghubungkan beberapa fakta/gagasan teoritis. Hogarth (2001: 14) mendefinisikan intuisi sebagai pemikiran yang diperoleh dengan sedikit usaha, dan pada umumnya hasilnya diperoleh dibawah sadar. Dalam hal ini terkadang melibatkan pertimbangan sadar atau bahkan tidak sama sekali sehingga intuisi dihasilkan tanpa mencurahkan banyak pikiran karena kejadiannya dibawah sadar. Kahneman (2002: 449) dalam laporan penelitiannya menyimpulkan bahwa intuisi dipandang sebagai pikiran atau preferensi yang datang dengan sangat cepat tanpa banyak melakukan refleksi. Menurutnya intuisi merupakan suatu jenis penalaran tak formal dan tak terstruktur. Kedua pendapat tersebut didukung Baylor (1997: 68) bahwa intuisi merupakan perpaduan tiga komponen, yaitu kesegeraan (immediacy), penalaran (reasoning), dan the sensing of relationship yang ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut.

Immediacy

Insight Intuition

Reasoning

Relationship

Dokumen yang terkait

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

PERBEDAAN ANATOMI JARINGAN EPIDERMIS DAN STOMATA BERBAGAI DAUN GENUS ALLAMANDA (Dikembangkan menjadi Handout Siswa Biologi Kelas XI SMA)

5 148 23

Konstruksi Media tentang Kontroversi Penerimaan Siswa Baru di Kota Malang (Analisis Framing pada Surat Kabar Radar Malang Periode 30 Juni – 3 Juli 2012)

0 72 56

Pendampingan Pada Siswa Berkesulitan Belajar Di SDI ISKANDAR SAID Surabaya

0 16 2

Hubungan Antara Iklim Sekolah Dengan Disiplin Siswa Di SMP Hutama Pondok Gede Bekasi

1 73 93

Karakteristik sintaksis ayat-ayat makiyah

0 41 2

Perancangan Sistem Informasi Akademik Pada SMK Bina Siswa 1 Gununghalu

27 252 1

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84