Thorndike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “law of exercise”-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan
adanya latihan-latihan Dimyati Mudjiono, 1999: 45. Keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran mengambil
beraneka bentuk kegiatan, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati
diantaranya dalam bentuk kegiatan membaca, mendengarkan, menulis, meragakan, dan mengukur. Contoh kegiatan psikis seperti mengingat
kembali isi pelajaran pertemuan sebelumnya, menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi,
menyimpulkan hasil eksperimen, membandingkan satu konsep dengan konsep yang lain, dan kegiatan psikis lainnya Dimyati Mudjiono, 1999:
114.
2. Tolak Ukur Keaktifan Siswa
Beberapa ahli mengemukakan cara untuk dapat mengukur kadar keaktifan siswa dalam belajar adalah sebagai berikut dalam Usman, 2009:
23-26: a. Mc. Keachie mengemukakan tujuh dimensi dalam proses belajar
mengajar di mana terdapat variasi kadar keaktifan sebagai berikut: 1 Partisipasi siswa dalam menentukan tujuan kegiatan belajar
mengajar, 2 Penekanan pada aspek afektif dalam pengajaran,
3 Partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar utama yang berbentuk interaksi antar siswa,
4 Penerimaan guru terhadap perbuatan dan sumbangan siswa yang kurang relevan atau yang salah,
5 Keeratan hubungan kelas sebagai kelompok, 6 Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil
keputusan yang penting dalam kegiatan di sekolah, 7 Jumlah waktu yang digunakan untuk menangani masalah pribadi
siswa, baik yang berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan pelajaran.
b. K. Yamamato melihat kadar keaktifan siswa itu dari segi intensionalitas atau kesengajaan terencana dari peran serta kegiatan oleh kedua pihak
siswa dan guru dalam proses belajar mengajar. Yamamato membedakan keaktifan yang direncanakan secara sengaja intensional,
keaktifan yang dilakukan sewaktu-waktu insidental dan sama sekali tidak ada keaktifan dari kedua belah pihak. Bagi Yamamato belajar
yang optimal hanya mungkin dicapai apabila siswa dan guru melakukan kegiatan belajar mengajar secara disengaja dan terarah. Sebaliknya,
apabila tidak terdapat keaktifan mengajar pada pihak guru serta tidak ada keaktifan belajar pada siswa kegiatan itu bukan lagi kegiatan
instruksional, melainkan kegiatan noninstruksional, mungkin berupa percakapan biasa.