Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat
anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke China terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran
Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11 dari Sri Lanka.
Raja Anawrahta
1044–1077, pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan
candi Budha Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan
dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada 1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari
ini. Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai
sekitar 1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa Ayutthaya abad ke-14 sampai abad ke-18, menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia
Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos dan Kamboja pada abad ke-13. Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia
Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan Filipina.
II. 2.2.2. Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia
Cerita rakyat Aji Saka melawan Dewoto Cengar, menceritakan bahwa perang dasyat Dharma melawan kejahatan. Dalam bahasa Kawi, Aji Sakya berarti ilmu kitab
suci Sakya dan Dewoto Cengar berarti Dewa Jahat. Cerita rakyat ini telah merakyat di Jawa Tengah.
Awal Mulanya
Penanggalan tahun Saka tahun Jawa dimulai tanggal 0001 Nir Wuk Tanpa Jalu : Kosong-tidak jadi-tanpa-1 di mana penanggalan ini sama dengan tanggal 14
Maret 78 masehi. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa kedatangan Aji Saka merupakan awal masuknya Agama Buddha di Indonesia yaitu abad I jauh sebelum
candi Borobudur didirikan. Jaman Sriwijaya
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Sriwijaya berada di pulau Sumatera didirikan pada kira-kira abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377. Sriwijaya bukan saja termashyur karena
kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena pusat ilmu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada
perguruan tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah- kuliah tentang Agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa
Indonesia kuno. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara. Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diceritakan oleh I-Tshing,
seorang sarjana asal Tiongkok. Tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Waktu pulang dalam tahun 685 ia singgah di Sriwijaya
dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku- buku suci Agama Buddha dlama bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghua.
Pada tahun 775 hingga tahun 850 di Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Jaman ini adalah jaman ilmu
pengetahuan dan keseniannya mencapai taraf mutu yang sangat tinggi terutama seni pahat. Ini terbukti dari catatan-catatan Fa-Hien asal Tiongkok yang datang ke Jawa.
Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Hingga sekarang pun masih dapat kita saksikan betapa indahnya candi-
candi yang mereka buat misalnya candi Kalasan, Sewu, Borobudur, Pawon, dan Mendut.
Jaman Mataram
Di dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit tahun 1292 sd 1476, Agama Buddha berkembang dengan baik bersama-sama dengan Agama Hindu.
Toleransi saling menghargai di bidang keagamaan dijaga dengan baik, sehingga pertentangan agama tidak pernah terjadi. Di waktu pemerintahan Hayam Wuruk,
seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis sebuah buku yang berjudul Sutasoma, di mana terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang kini dijadikan slogan
Negara Republik Indonesia yang mengartikan meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama
Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh Agama Islam. Jaman Majapahit
Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya Bhikkhu Narada Thera dari Sri Langka Ceylon pada tahun 1934. Selama berada di
Kebangkitan Kembali
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
pulau Jawa, Bhikkhu Narada Thera memberikan khotbah-khotbah dan Dhamma di beberapa tempat yang ditandai pemberkahan penanaman pohon Bodhi di pekarangan
candi Borobudur sekaligus membantu pendirian Java Buddhist Association Perhimpunan agama Buddha yang pertama di Bogor dan Jakarta dengan menjalin
kerja sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu dari kelenteng-kelenteng dan Perkumpulan Theosofi Indonesia di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Beliau kemudian
melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang beliau kunjungi. Salah satunya adalah bapak Maha Upasaka S. Mangunkowotjo di Yogyakarta, seorang
tokoh umat Buddhis dan anggota MPR di Jawa Tengah. Pada tanggal 22 Mei 1953 Waisak 2497, umat Buddhis bersama
Perkumpulan Theosofi Indonesia merayakan upacara Waisak yang dipimpin oleh Anagarika Tee Boan An di Candi Borobudur. Dengan demikian api Buddha Dharma
menyala kembali di Indonesia. Beliau memasuki kehidupan samanera dengan menerima diksa secara Mahayana dari Mahabhiksu Pen Ching sebelum berangkat ke Burma untuk
memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha. Pada bulan April 1954, beliau menerima upasampada dari Mahathera Mahasi Sayadaw dan diberi gelar nama Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita sekaligus adalah putra Indonesia pertama yang menjadi bhikkhu sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada tanggal 17 Januari 1955, beliau kembali ke
Indonesia dan tanggal 14 Juli 1955, beliau mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia PUUI sebagai organisasi umat awam yang membantuk Sangha Agung
Indonesia SAGIN dalam mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Tahun 1972, PUUI diganti menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia
MUABI yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Majelis Upasaka Pandita Agama Buddha Indonesia dengan singkatan yang tetap yaitu MUABI. Akhir tahun 1979, nama
MUABI diubah menjadi Majelis Buddhayana Indonesia MBI. Lambang PUUI dipakai hingga sekarang.
II. 2.3. Hari-Hari Suci