Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Trianggulasi data dilakukan dengan cara, pertama, membandingkan hasil pengamatan pertama dengan pengamatan berikutnya. Kedua, membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. Membandingkan data hasil wawancara pertama dengan hasil wawancara berikutnya. Penekanan dari hasil perbandingan ini bukan masalah kesamaan pendapat, pandangan, pikiran semata-mata. Tetapi lebih penting lagi adalah bisa mengetahui alasan-alasan terjadinya perbedaan. Pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data ini menunjukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain menekankan pada desain penelitian, juga pada pengolahan data dan pengumpulan data. Pengujian triangulasi dengan strategi triangulasi metode dilakukan untuk mencapai keabsahan data dari penelitian deskripstif ini dengan credibility dan transferability. Dalam hal ini peneliti menggunakan ketiga teknik pengumpulan data yaitu dokumentasi, wawancara, dan observasi sebagai penguji triangulasi metodenya. Hal ini akan menghasilkan penelitian yang bisa di pertanggung jawabkan validitasnya. 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Penelitian

1. Sejarah Masyarakat Cina Benteng

Semenjak dasarwarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia terjadi persaingan perdagangan. Pihak kompeni Belanda mempunyai keinginan untuk melakukan monopoli perdagangan di wilayah kesultanan Banten. Namun pihak lain, Sultan Banten sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Karena kerasnya persaingan itu, akhirnya berkembang mejadi konflik politik dan konflik senjata. Pada tahun 1652, konflik yang terjadi masih sebatas konflik senjata secara tertutup, konflik yang terjadi pada tahun 1659 konflik berubah menjadi perang terbuka. Dalam suasana konflik tersebut, kawasan Tangerang menjadi daerah pertahanan sekaligus medan pertempuran serta rebutan antara Banten dan Batavia. Dalam perkembangannya Banten membangun benteng pertahanan sebelah barat sungai Cisadane dan pihak kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur sungai Cisadane. Oleh karena itu, dahulu daerah ini dikenal dengan nama benteng, baru kemudian dikenal muncul dengan nama Tangerang. Dengan mengarahkan serdadu kompeni secara besar-besaran, terutama serdadu sewaan yang bersasal dari kalangan nusantara sendiri. Akhirnya pada tahun 1809 kesultanan Banten dihapuskan, seluruh wilayahnya dimasukan ke wilayah pemerintahan Hindia Belanda, sejak saat itu, berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daerah tapal batas kuasa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Dalamhal initerjadi perubahan pemegang status pemegang daerah itu, yang semula berstatus sebagai daerah yang menjadi daerah perebutan antara Banten dan Batavia merubah status menjadi daerah partikelir secara perseorangan perusahaan. Hal ini menimbulkan tuan tanah di daerah ini yang umunya terdiri atas orang Belanda dan orang Cina. Selain menguasai tanah atas orang Belanda dengan menguasai tanah garapannya dan lingkungannya. mereka juga menguasai penduduk yang bermukim di lahan itu. Akibat hal itu terjadi perdebatan yang mencolok antara tingkat kesejahteraan tuan tanah dengan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Hal ini tuan tanah lebih berkuasa dibandingkan dengan pejabat pemerintahan. Situasi dan kondisi demikian membentuk struktur karakter masyarakat tersendiri dilingkungan tanah partikelir. Masalah pendidikan hampir tak tersentuh oleh masyarakat pribumi. pendidikan hanya diemban melalui segelintir orang saja, mereka belajar informal dari guru agama secara individual. Peran dan kedudukan orang Cina dan jawara dalam masyarakat Tangerang sangat berpengaruh besar dan banyak sebagian tanah dikuasi oleh masyarakat Cina Tangerang bahkan tanah milik tuan tanah Cina hampir tak terhitung jumlahnya disana. Pada umumnya masyarakat Cina Benteng mendiami tempat yang disebut kampung pecinan. Masyarakat Cina yang tinggal di Kota Tangerang cukup banyak, yaitu hampir seperempat dari jumlah penduduk Kota Tangerang. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila kebudayaan Cina mewarnai kebudayaan setempat. Hal ini dapat dilihat dari makanan khas, upacara adat, dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat kota Tangerang. Riwayat Cina Benteng yang didapat dari keterangan para terdahulu, katanya, di Tangerang. Menceritakan dahulu ada benteng yang letaknya di tepi sungai Cisadane. Fondasi benteng yang kini posisinya kira-kira di belakang plaza Tangerang sudah terendam air.dalam Ensiklopedi Van Nederlands Indi memang ada keterangan yang menguatkan penuturan tersebut. Dijelaskan istilah benteng bersasl dari sebuah benteng yang dibangun Belanda di tepi sungai Cisadane. Untuk menahan serbuan Banten yang hendak merebut kembali Batavia dari tangan Belanda. Awal kehadiran orang Tionghoa di Tangerang. Kitab Layang Parahyang yang berbahasa sunda kuno mengisahkan pendaratan serombongan orang Tionghoa di pantai utara Tangerang dan bermukim di sana. Itu sebabnya di kawasan tersebut terdapat nama pangkalan atau teluk naga yang mengacu pada pertama kali kedatangan orang Tionghoa di Tangerang. Kisah lain, pada tahun 1740 terjadi pemberontakan besar masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menyebabkan pembantaian sekitar 10.000 orang Tionghoa tak berdosa oleh Belanda, banyak diantara mereka pergi menyelamatkan diri ke Tangerang dan sekitarnya. Pemerintahan kolonial Belanda memang mencatat banyaknya tanah milik partikelir di kawasan tersebut. Bahkan hingga tahun 1940-an tanah milik para tuan Tioghoa masih tak terhitung jumlahnya. Meski orang luar menyeragamkan sebutan Cina Benteng untuk etnis Tionghoa di Tangerang. Di kalangan masyarakat Cina Benteng sendiri dikenal dengan istilah “benteng” dan “udik”. Sebutan Benteng mengacu untuk kawasan kota, sementara daerah luar kota disebut udik selatan. Secara harfiah, udik hulu sungai merupakan lawan kata ilir hilir sungai. Udik dapat pula bermakna selatan berlawanan dengan ilir atau utara sebab sungai Cisadane di Banten mengalir dari selatan ke utara. Namun prakteknya, istilah udik tidak saja diterapkan untuk tempat di selatan tapi juga di utara. Hal unik dari Masyarakat Cina Benteng yaitu karena mereka memiliki budaya yang khas tersendiri yang berbeda denga warga Cina pada umunya, masyarakat Cina Benteng telah mampu berkulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Mereka tidak lagi menggunakan bahasa Cina, bahkan logatnya pun sudah sangat sunda pinggiran bercampur Betawi, tetapi meskipun begitu mereka mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan penduduk, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Penampilan fisik “Cina Benteng” unik, karena kadang cukup sulit dibedakan dengan “orang pribumi”, setelah membuka percakapan dengan masyarakat Cina Benteng, barulah menyadari bahwa tengah berhadapan dengan orang Tionghoa. Apalagi perkawinan campur antar etnik kerap terjadi. Tak heran anak-anak masyarakat Cina Benteng sudah tidak kelihatan wajah asli cinanya. Umunya orang Cina Benteng mengidentifikasi diri sebagai orang Cina. Sedang etnik melayu atau pribumi sunda disekitarnya disebut dengan kampung. Namun hubungan antar etnik ini sangat baik. Harmonis dan rukun. Dikarenakan merasa tanah kelahirannya sama. I stilah “orang kampung” sendiri dimaksudkan sebagai orang yang punya kampung. Jadi sama sekali tidak mengandung arti peyoratif melecehkan. Keistimewaan masyarakat Cina Benteng adalah kesetiaan pada tradisi leluhur. Arsitektur dan tata letak rumah masih mempertahankan nilai-nilai leluhurnya dari negeri Tiongkok. Hampir semua pakem model rumah Tiongkon masih diikuti. Termasuk penggunaan pasak sebagai pengganti paku. Meski tak semua rumah terbuat dari kayu. Ada yang dibuat dari bambu dengan teknik anyaman. Demikian pula tradisi yang masih dipertahankan adalah pelaksanaan upacara tradisional. Berbagai upacara yang di daerah lain sudah hilang atau tidak dilakukan lagi. Masih bisa disaksikan di sini yakni upacara perkawinan Ciotau . Upacara Ciotau sebenarnya merujuk pada inisiasi menuju kedewasaan. Dilakukan menjelang pernikahan seseorang. Namun sekarang identik dengan perkawinan tradisional lengkap baik kostum maupun ritualnya. Seiring dengan semakin terbukanya Tangerang serbuan budaya luar pun makin gencar. Masyarakat Cina Benteng harus sedikit berkompromi dengan tuntutatn zaman. Banyak diantara masyarakat Cina Benteng yang mengirimkan anak-anaknya yang sudah lulus dari perguruan Tinggi atau akademi. Yang sudah lulus sekolah banyak yang bekerja di Jakarta. Karena jarak dari tempat tinggal ke tempat kerja relarif dekat dan peluang kerja di Jakarta masih cukup banyak. Meski secara fisik sulit dibedakan dengan orang kampung melayu atau pribumi. Upaya mempertahankannya identitas budaya etnik Cina masih tetap kuat. Sebutan Orang Cina atau “orang kampung’ memang lebih bersifat kultural yang membedakan mereka dengan kelompok etnik Tionghoa lainnya di Indonesia. Masyarakat Cina Benteng menganggap dirinya sebagai bagian dari kaum pribumi Tangerang karena di situlah kampung halamannya. Tempat dilahirkan dibesarkan dan sampai meninggal nanti. Selalu berseloroh Cina Benteng adalah bagian dari RRT, bukan Republik Rakyat Tionghoa akan tetapi Republik Rakyat Tangerang. Kawasan Cina Benteng ini terletak di Desa Sukasari Kecamatan Tangerang Kota Tangerang, seduai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Kotamadya Tangerang dan Peraturan Daerah Tahun 2000 tentang pembentukan 13 kecamatan. Kecamatan Tangerang terbagi menjadi 8 delapan kelurahan, salah satunya yaitu kelurahan Sukasari. Sampai dengan bulan Agustus 2014, kondisi kependudukan di wilayah Suksari berdasarkan pengelompokan sebagaimana dengan jumlah laki-laki adalah 9.057 dan Perempuan 9.881 Penduduk.