Uji Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br) Secara Oral dan Topikal Terhadap Mencit
UJI EFEK ANTI INFLAMASI DAN ANALGETIK EKSTRAK
DAUN MONDOKAKI (
Tabernaemontana divaricata
R.Br)
SECARA ORAL DAN TOPIKAL TERHADAP
MENCIT
Oleh:
Tri Bintarti
NIM 067014005
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
UJI EFEK ANTI INFLAMASI DAN ANALGETIK EKSTRAK
DAUN MONDOKAKI (
Tabernaemontana divaricata
R.Br)
SECARA ORAL DAN TOPIKAL TERHADAP
MENCIT
Oleh:
Tri Bintarti
NIM 067014005
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
LEMBAR PENGESAHAN TESIS Judul :
UJI EFEK ANTI INFLAMASI DAN ANALGETIK EKSTRAK
DAUN MONDOKAKI (
Tabernaemontana divaricata
R.Br)
SECARA ORAL DAN TOPIKAL TERHADAP MENCIT
Oleh :Tri Bintarti
NIM 067014005
Disetujui Oleh:Pembimbing I, Panitia Penguji,
Prof. Dr.Urip Harahap, Apt.
NIP 195301011983031004 NIP 195301011983031004
Prof. Dr.Urip Harahap, Apt.
Pembimbing II,
NIP 195311281983031002
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
NIP 195311281983031002 NIP 194908111976031001
Dr.M.PandapotanNasution,MPS.,Apt.
NIP 130935857
Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Dekan,
NIP 195311281983031002
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
(4)
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Uji Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki
(Tabernaemontana divaricata R.Br) Secara Oral dan Topikal Terhadap Mencit
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.
Selama penyelesaian penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis,
DTM&H., Sp.A(K)., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Sumadio
Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.
3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., yang tiada hentinya memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Farmasi.
4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Pembimbing I, dan Bapak Prof.
Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan, memberi saran, dan dorongan dengan penuh
(5)
kesabaran selama penulis menjalani pendidikan, penelitian, dan penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt., dan Bapak Edy Suwarso,
SU., Apt., sebagai penguji.
6. Kepala Lab. Farmakologi, Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., beserta staf
yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan sarana kepada penulis dalam melakukan penelitian.
7. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, suami Drs. Harmel Fuaddin Nasution,
Apt., dan anak semata wayang Harnanda Wydiastanto atas segala kasih sayang yang diberikan.
8. Kepada ananda tersayang di Laboratorium Farmakologi Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara, Dadang, Bagus, Emil, Tata, dan Intan. Serta buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Farmasi.
Medan, Februari 2010
Penulis Tri Bintarti
(6)
ABSTRAK
Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap kerusakan sel ataupun jaringan yang disebabkan oleh berbagai rangsangan berupa fisika, kimia, mekanis maupun akibat peningkatan kristal asam urat yang berlebihan. Pengobatan antiinflamasi dapat dilakukan secara modern, yaitu menggunakan obat sintesis, maupun pengobatan secara alternatif menggunakan bahan yang berasal dari alam seperti tumbuhan. Pengobatan modern untuk mengurangi peradangan dapat menimbulkan efek samping. Obat antiinflamasi steroid pada dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti osteoporosis, udem dan imunosupresi. Sedangkan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) dapat menyebabkan efek samping seperti iritasi lambung. Oleh karena itu, penggunaan obat untuk mengurangi peradangan beralih ke pengobatan dengan menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang digunakan masyarakat untuk mengurangi peradangan adalah tumbuhan
mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br).
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental farmakologis untuk menguji aktivitas antiinflamasi dan analgetik baik secara oral dan topikal. Pada penelitian
ini sebagai subjek adalah mencit, λ-karagenan 1% (b/v) sebagai penginduksi
radang, pembanding adalah indometasin. Sedangkan penginduksi nyeri secara fisika digunakan pelat panas, dengan pembanding antalgin, dan untuk pembanding sediaan gel adalah natrium diklofenak. Ekstrak tumbuhan sidaguri dibuat secara perkolasi dengan etanol (EES), n-heksan (En-HS), dan ethil asetat (EEAcS). Data yang diperoleh diuji secara statistik menggunakan ANAVA (n=6; P>0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa EEM dan EEAcM, mempunyai aktivitas antiinflamasi yang sama secara statistik dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB. Sedangkan En-HM tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Sediaan EEM yang diuji menunjukkan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada dosis 600 mg/kg BB. Sediaan gel ekstrak etanol (GEEM) menunjukkan hasil yang sama secara statistik dengan gel natrium diklofenak 1%. GEEM yang di uji memberikan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada konsentrasi 3%. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas analgetik yang sama secara statistik dengan antalgin dosis 100 mg/kg BB. Tetapi sediaan EEM menunjukkan hasil yang baik pada dosis 600 mg/kg BB sebagai analgetik.
Kata kunci: Tumbuhan Mondokaki, Tabernaemontana divaricata R.Br,
(7)
ABSTRACT
Inflammation is a defense response of the body against the damage of cell or tissue caused by various stimuli, whether it’s physical, chemical, mechanical or the excessive elevation of uric acid crystals. The anti-inflammatory treatment can be done either in the modern way, which is using synthetic drugs, or alternatively, using natural materials like plants. The modern treatment of inflammation can shows side effects, though. Steroidal Anti Inflammatory Drugs (SAIDs) in high dosage and long-term use can cause adverse effects such as ostheoporosis, oedema and immunosupression. While the Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) can cause adverse effects like gastric irritation. Because of that, the usage of drugs to ease inflammation recently shows the trend of shifting to the treatment using plant materials. One of the plants traditionally used by the people
to ease inflammation is the Mondokaki plant (Tabernaemontana divaricata R.Br).
This research was done pharmacological experimentally to test antiinflammatory activity and analgetic activity, both orally and topically. In the
research, mice were used as subject, λ-carragenin 1% (w/v) as inflammation
inductor, and indomethacin as control drug. While as for the pain inductor, physically, hot plate was used, with antalgin as control drug, and sodium-diclofenac as control for gel preparation. The Mondokaki plant extract was made with percolation method using ethanol (MEE = Mondokaki Ethanolic Extract), n-hexane (MNE = Mondokaki N-n-hexane Extract), and ethyl acetate (MEAcE = Mondokaki Ethyl Acetate Extract). The data obtained was then tested and assessed statistically using ANOVA (n=6; P>0,05).
The result of the research showed that MEE and MEAcE both had same antiinflammatory activity statistically with indomethacin dosage 10 mg/kgBW. While MEAcE didn’t have any antiinflammatory activity. The MEE preparation tested showed good result as antiinnflammatory drug in the dosage of 600 mg/kgBW. The gel preparation of the ethanolic extract (MEEG = Mondokaki Ethanolic Extract Gel) showed same result statistically with sodium-diclofenac gel 1%. The tested MEEG showed better result as antiinflammatory in 3% concentration. In the research it was also found that MEE, MNE, and MEAcE had the same analgetic activity statistically with antalgin, dosage 100 mg/kgBW. But the MEE preparation showed good result as analgetic at the dose of 600 mg/kgBW.
Keyword(s) : Mondokaki plant, Tabernaemontana divaricata R.Br,
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 3
1.3 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Hipotesis ... 5
1.4 Tujuan Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Uraian Singkat Tumbuhan ... 7
2.1.1 Morfologi Tumbuhan ... 7
2.1.2 Sistematik Tumbuhan ... 8
2.1.3 Nama Lokal ... 8
(9)
2.2 Ekstraksi ... 9
2.3 Inflamasi (Peradangan) ... 11
2.3.1 Gejala-gejala Peradangan ... 12
2.3.2 Mekanisme Terjadinya Radang ... 14
2.3.3 Mediator Peradangan ... 15
2.4 Obat-obat Antiinflamasi ... 18
2.4.1 Obat Antiinflamasi Steroid Adrenal (Glukokortikoida) ... 19
2.4.2 Obat Antiinflamasi Non-steroida (AINS) ... 20
2.5 Indometasin ... 21
2.5.1 Sifat Kimia ... 21
2.5.2 Sifat Fisika ... 22
2.5.2 Farmakologi ... 22
2.6 Rasa Nyeri ... 23
2.6.1 Pembagian Rasa Nyeri ... 24
2.6.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri ... 24
2.7 Analgetika ... 25
2.7.1 Pembagian Analgetika ... 25
2.7.2 Mekanisme Kerja Analgetika ... 26
2.7.3 Metode Pengujian Analgetika ... 27
2.7.3.1 Metode Panas ... 27
2.7.3.2 Metode Listrik ... 28
2.7.3.3 Metode Tekanan ... 29
2.7.3.4 Metode Kimia ... 29
(10)
2.8.1 Sifat Kimia ... 29
2.8.2 Farmakologi ... 30
2.9 Diklofenak ... 31
2.9.1 Sifat Kimia ... 31
2.9.2 Farmakologi ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 33
3.1 Desain Penelitian ... 33
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
3.3 Identifikasi Tumbuhan ... 34
3.4 Tahapan Penelitian ... 34
3.5 Alat dan Bahan ... 35
3.5.1 Alat-alat yang Digunakan ... 35
3.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan ... 35
3.6 Hewan Percobaan ... 35
3.7 Sampel Penelitian ... 37
3.5.1 Pengambilan dan Pengolahan Sampel ... 37
3.5.2 Uji Kadar Air ... 37
3.5.2 Ekstraksi Simplisia Daun Mondokaki ... 38
3.8 Uji Farmakologi ... 39
3.8.1 Uji Efek Antiinflamasi ... 39
3.8.1.1 Penyiapan Hewan Percobaan ... 39
3.8.1.2 Penyiapan Bahan Uji, Obat pembanding dan Kontrol ... 39
3.8.1.3 Pembuatan Suspensi CMC 0,5% (b/v) 39
(11)
3.8.1.4 Pembuatan SEEM, SEn-HM, SEEAcM
1% (b/v) ... 40
3.8.1.5 Pembuatan Suspensi Indometasin Dosis 10 mg/kg BB ... 40
3.8.1.6 Penyiapan Induktor Inflamasi ... 40
3.8.1.7 Persiapan Alat Pletismometer UGO Basile Cat No.71 ... 40
3.8.1.8 Uji Pendahuluan ... 41
3.8.1.9 Uji Efek Antiinflamasi per Oral ... 41
3.8.1.10 Uji Antiinflamasi Topikal ... 42
3.8.1.11 Perhitungan Persen Radang (%R) dan Inhibisi Radang (%IR) ... 43
3.10 Uji Efek Analgetik ... 44
3.11 Analisis Data ... 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1 Uji Antiinflamasi ... 48
4.1.1 Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Mondokaki (EEM) ... 49
4.1.2 Uji Antiinflamasi Suspensi Ekstrak n-Heksana Mondokaki (SEn-HM) ... 62
4.1.3 Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Mondokaki (EEAcM) ... 73
4.1.1 Uji Antiinflamasi Topikal Gel Ekstrak Etanol Mondokaki (GEEM) ... 86
4.2 Uji Efek Analgetik ... 99
4.2.1 Uji Efek Analgetik Suspensi Ekstrak Etanol Mondokaki (SEEM) ... 100
4.2.2 Uji Efek Analgetik Suspensi Ekstrak n-Heksana Mondokaki (SEn-HM) ... 108
(12)
4.2.3 Uji Efek Analgetik SEEAcM ... 117
4.3 Pembahasan ... 126
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 130
5.1 Kesimpulan ... 130
5.2 Saran ... 131
DAFTAR PUSTAKA ... 132 LAMPIRAN
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 4.1. Tabel Anava perlakuan antar kelompok persen radang kaki
mencit mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-360 SEEM .... 52
4.2. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-30 ... 53
4.3. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-60 .... 54
4.4. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-90 .... 55
4.5. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-120 .. 55
4.6. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-150 .. 56
4.7. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-180 .. 57
4.8. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-210 .. 57
4.9. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 58
4.10. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 58
4.11. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 59
4.12. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-330 .. 60
4.13. Tabel Anava perlakuan antar kelompok persen radang kaki mencit mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-360 SEn-HM ... 65
4.14. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 66
4.15. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 67
4.16. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 67
4.17. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-120 .. 68
4.18. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-150 .. 68
4.19. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-180 .. 69
(14)
4.21. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 70
4.22. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 70
4.23. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 71
4.24. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-330 .. 71
4.25. Tabel Anava perlakuan antar kelompok persen radang kaki mencit mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-360 SEEAcM ... 76
4.26. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 77
4.27. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 78
4.28. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 78
4.29. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-120 .. 79
4.30. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-150 .. 80
4.31. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-180 .. 80
4.32. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-210 .. 81
4.33. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 82
4.34. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 82
4.35. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 83
4.36. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-330 .. 84
4.37. Tabel Anava dari menit ke-30 sampai menit ke-360 uji antiinflamasi topikal GEEM ... 89
4.38. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 90
4.39. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 91
4.40. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 91
4.41. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-120 .. 92
4.42. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-150 .. 92
(15)
4.44. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-210 .. 94
4.45. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 94
4.46. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 95
4.47. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 95
4.48. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-330 .. 96
4.49. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-360 .. 96
4.50. Rerata waktu awal mula timbul nyeri SEEM pada setiap perlakuan ... 100
4.51. Tabel Anava perlakuan antar kelompok uji analgetik SEEM Mulai menit ke-10 sampai menit ke-120 ... 102
4.52. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-10 .... 103
4.53. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-20 .... 103
4.54. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 104
4.55. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-45 .... 105
4.56. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 105
4.57. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 106
4.58. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-120 .. 106
4.59. Rerata waktu awal mula timbul nyeri SEn-EM pada setiap perlakuan ... 109
4.60. Tabel Anava perlakuan antar kelompok uji analgetik SEn-HM mulai menit ke-10 sampai menit ke-120 ... 111
4.61. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-10 .... 112
4.62. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-20 .... 113
4.63. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 113
4.64. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-45 .... 114
(16)
4.66. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 115
4.67. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-120 .. 116
4.68. Rerata waktu awal mula timbul nyeri SEn-EM pada setiap perlakuan ... 118
4.69. Tabel Anava perlakuan antar kelompok uji analgetik SEEAcM mulai menit ke-10 sampai menit ke-120 ... 120
4.70. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-10 .... 121
4.71. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-20 .... 121
4.72. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 122
4.73. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-45 .... 122
4.74. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 123
4.75. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 124
(17)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1.1. Diagram yang menunjukkan kerangka konsep penelitian
pembuatan ekstrak ... 3
1.2. Skema yang menggambarkan kerangka konsep uji antiinflamasi dan analgetik ekstrak daun Mondokaki ... 4
2.1. Rumus bangun taberhanine dan conophyllinine ... 9
2.2. Patogenesis dan gejala suatu peradangan ... 15
2.3. Metabolisme asam arakhidonat dan sintesis prostaglandin dan leukotrien ... 17
2.4. Rumus bangun indometasin ... 22
2.5. Rumus bangun antalgin ... 30
2.6. Rumus bangun diklofenak ... 31
3.1. Tumbuhan mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br.) . 139
3.2. Bunga tumbuhan mondokaki ... 139
3.3. Simplisia tumbuhan mondokaki ... 140
3.4. Alat penetapan kadar air... 141
3.5. Mencit galur swiss albino ... 143
3.6. Telapak kaki kiri mencit sebelum penyuntikan karagenan 1% (b/v) ... 143
3.7. Telapak kaki kiri mencit setelah penyuntikan karagenan 1% (b/v) ... 143
3.8. Pletismometer digital UGO Basile Cat.No.7140 ... 144
3.9. Alat plat panas dengan temperatur stabil ... 145
3.10. Mencit sedang menjilat kaki yang merasakan respon panas .... 145
(18)
4.1. Grafik persen radang versus waktu (mean ± SEM) pada
berbagai perlakuan SEEM ... 50 4.2 Grafik persen inhibisi radang versus waktu (mean ± SEM)
pada berbagai perlakuan SEEM ... 51 4.3. Grafik luas area di bawah kurva persen radang terhadap
waktu pada berbagai perlakuan SEEM ... 61 4.4. Grafik persen radang versus waktu (mean ± SEM) pada
berbagai perlakuan SEn-HM ... 63 4.5. Grafik persen inhibisi radang versus waktu (mean ± SEM)
pada berbagai perlakuan SEn-HM ... 64
4.6. Grafik luas area di bawah kurva persen radang terhadap
waktu pada berbagai perlakuan SEn-HM ... 73 4.7. Grafik persen radang versus waktu (mean ± SEM) pada
berbagai perlakuan SEEAcM ... 74 4.8. Grafik persen inhibisi radang versus waktu (mean ± SEM)
pada berbagai perlakuan suspensi ekstrak etil asetat
mondokaki (SEEAcM) ... 75 4.9. Grafik luas area di bawah kurva persen radang terhadap
waktu pada berbagai perlakuan SEEAcM ... 86 4.10. Grafik persen radang versus waktu (mean ± SEM) pada
berbagai perlakuan uji antiinflmasi topikal GEEM ... 87 4.11. Grafik persen inhibisi radang versus waktu (mean ± SEM)
pada berbagai perlakuan uji antiinflamasi topikal GEEM ... 88 4.12. Grafik persen radang versus waktu (mean ± SEM) pada
berbagai perlakuan uji antiinflamasi topikal GEEM ... 97
4.13. Grafik waktu awal mula timbul nyeri versus waktu (mean ±
SEM) pada berbagai perlakuan SEEM ... 101
4.14. Grafik luas area di bawah kurva waktu awal timbul nyeri
(mean ± SEM) pada berbagai perlakuan SEEM ... 108 4.15. Grafik waktu awal mula timbul nyeri versus waktu (mean
± SEM) pada berbagai perlakuan SEn-HM ... 110 4.16. Grafik luas area di bawah kurva waktu awal timbul nyeri
(19)
4.17. Grafik waktu awal mula timbul nyeri versus waktu (mean
± SEM) pada berbagai perlakuan SEEAcM ... 119 4.18. Grafik luas area di bawah kurva waktu awal timbul nyeri
(20)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Surat Keterangan Komis Etik penelitian Bidang Kesehatan... 136
2. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 137
3. Bagan Penelitian Pengujian Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br.) ... 138
4. Gambar Tumbuhan, Bunga dan Simplisia Mondokaki ... 139
5. Gambar Alat penetapan Kadar Air ... 141
6. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Kadar Air Simplisia ... 142
7. Gambar Mencit galur Swiss Albino, Kaki Mencit Sebelum dan Sesudah Penyuntikan λ-karagenan ... 143
8. Gambar Pletismometer digital UGO Basile Cat.No.7140 ... 144
9. Gambar Alat Plat Panas Dengan Temperatur Stabil dan Mencit Sedang Menjilat Kaki Yang Merasakan Respon Panas ... 145
10. Contoh Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang ... 146
11. Contoh Perhitungan Dosis ... 147
12. Data Antiinflamasi Ekstrak Etanol Mondokaki per Oral ... 148
13. Data Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Mondokaki per Oral 152
14. Data Antiinflamasi Ekstrak n-Heksan Mondokaki per Oral .. 156
15. Data Antiinflamasi Ekstrak Etanol Mondokaki secara topikal 160
16. Data Analgetik Ekstrak Etanol Mondokaki per Oral ... 164
17. Data Analgetik Ekstrak Etil Asetat Mondokaki per Oral ... 166
(21)
19. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang
Ekstrak Etanol Mondokaki per Oral ... 170 20. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang
Ekstrak Etil Asetat Mondokaki per Oral ... 177 21. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang
Ekstrak n-Heksan Mondokaki per Oral ... 184 22. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang
Ekstrak Etanol Mondokaki secara Topikal ... 191 23. Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri
Ekstrak Etanol Mondokaki ... 198 24. Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri
Ekstrak Etil Asetat Mondokaki ... 203 25. Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri
(22)
ABSTRAK
Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap kerusakan sel ataupun jaringan yang disebabkan oleh berbagai rangsangan berupa fisika, kimia, mekanis maupun akibat peningkatan kristal asam urat yang berlebihan. Pengobatan antiinflamasi dapat dilakukan secara modern, yaitu menggunakan obat sintesis, maupun pengobatan secara alternatif menggunakan bahan yang berasal dari alam seperti tumbuhan. Pengobatan modern untuk mengurangi peradangan dapat menimbulkan efek samping. Obat antiinflamasi steroid pada dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti osteoporosis, udem dan imunosupresi. Sedangkan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) dapat menyebabkan efek samping seperti iritasi lambung. Oleh karena itu, penggunaan obat untuk mengurangi peradangan beralih ke pengobatan dengan menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang digunakan masyarakat untuk mengurangi peradangan adalah tumbuhan
mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br).
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental farmakologis untuk menguji aktivitas antiinflamasi dan analgetik baik secara oral dan topikal. Pada penelitian
ini sebagai subjek adalah mencit, λ-karagenan 1% (b/v) sebagai penginduksi
radang, pembanding adalah indometasin. Sedangkan penginduksi nyeri secara fisika digunakan pelat panas, dengan pembanding antalgin, dan untuk pembanding sediaan gel adalah natrium diklofenak. Ekstrak tumbuhan sidaguri dibuat secara perkolasi dengan etanol (EES), n-heksan (En-HS), dan ethil asetat (EEAcS). Data yang diperoleh diuji secara statistik menggunakan ANAVA (n=6; P>0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa EEM dan EEAcM, mempunyai aktivitas antiinflamasi yang sama secara statistik dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB. Sedangkan En-HM tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Sediaan EEM yang diuji menunjukkan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada dosis 600 mg/kg BB. Sediaan gel ekstrak etanol (GEEM) menunjukkan hasil yang sama secara statistik dengan gel natrium diklofenak 1%. GEEM yang di uji memberikan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada konsentrasi 3%. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas analgetik yang sama secara statistik dengan antalgin dosis 100 mg/kg BB. Tetapi sediaan EEM menunjukkan hasil yang baik pada dosis 600 mg/kg BB sebagai analgetik.
Kata kunci: Tumbuhan Mondokaki, Tabernaemontana divaricata R.Br,
(23)
ABSTRACT
Inflammation is a defense response of the body against the damage of cell or tissue caused by various stimuli, whether it’s physical, chemical, mechanical or the excessive elevation of uric acid crystals. The anti-inflammatory treatment can be done either in the modern way, which is using synthetic drugs, or alternatively, using natural materials like plants. The modern treatment of inflammation can shows side effects, though. Steroidal Anti Inflammatory Drugs (SAIDs) in high dosage and long-term use can cause adverse effects such as ostheoporosis, oedema and immunosupression. While the Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) can cause adverse effects like gastric irritation. Because of that, the usage of drugs to ease inflammation recently shows the trend of shifting to the treatment using plant materials. One of the plants traditionally used by the people
to ease inflammation is the Mondokaki plant (Tabernaemontana divaricata R.Br).
This research was done pharmacological experimentally to test antiinflammatory activity and analgetic activity, both orally and topically. In the
research, mice were used as subject, λ-carragenin 1% (w/v) as inflammation
inductor, and indomethacin as control drug. While as for the pain inductor, physically, hot plate was used, with antalgin as control drug, and sodium-diclofenac as control for gel preparation. The Mondokaki plant extract was made with percolation method using ethanol (MEE = Mondokaki Ethanolic Extract), n-hexane (MNE = Mondokaki N-n-hexane Extract), and ethyl acetate (MEAcE = Mondokaki Ethyl Acetate Extract). The data obtained was then tested and assessed statistically using ANOVA (n=6; P>0,05).
The result of the research showed that MEE and MEAcE both had same antiinflammatory activity statistically with indomethacin dosage 10 mg/kgBW. While MEAcE didn’t have any antiinflammatory activity. The MEE preparation tested showed good result as antiinnflammatory drug in the dosage of 600 mg/kgBW. The gel preparation of the ethanolic extract (MEEG = Mondokaki Ethanolic Extract Gel) showed same result statistically with sodium-diclofenac gel 1%. The tested MEEG showed better result as antiinflammatory in 3% concentration. In the research it was also found that MEE, MNE, and MEAcE had the same analgetic activity statistically with antalgin, dosage 100 mg/kgBW. But the MEE preparation showed good result as analgetic at the dose of 600 mg/kgBW.
Keyword(s) : Mondokaki plant, Tabernaemontana divaricata R.Br,
(24)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan alamnya. Kekayaan tersebut antara lain tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Dari hasil inventarisasi, tercatat lebih kurang 30.000 jenis tanaman hidup di Indonesia dan lebih dari 10.000 jenis tanaman sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk penyembuhan, pencegahan penyakit, peningkatan daya tahan tubuh serta pengembalian kesegaran tubuh (Mursito, 2003).
Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to
nature) dengan memanfaatkan obat-obat alam. Banyak masyarakat yang
meningkatkan derajat kesehatannya dengan mengkonsumsi produk dari bahan alami. Hal lain yang mendorong masyarakat memilih tumbuhan obat karena relatif lebih aman dibandingkan obat-obat kimia (Hariana, 2007).
Dewasa ini penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik di dalam maupun di luar negeri berkembang pesat. Penelitian yang berkembang terutama pada segi farmakologi maupun fitokimia, berdasarkan indikasi tumbuhan obat yang telah digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara empiris. Hasil penelitian tersebut tentunya lebih memantapkan para pengguna tumbuhan obat akan khasiat maupun kegunaannya (Dalimartha, 2003).
Mondokaki adalah salah satu tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai penawar racun (antitoksik), pereda demam (antipiretik), pereda nyeri (analgesik), anti radang (antiinflamasi), menurunkan tekanan darah (hipotensi), peluruh dahak
(25)
(ekspektoran), dan peluruh cacing usus (antelmintik). Bagian yang digunakan untuk obat adalah akar, kulit kayu, dan daunnya. Mondokaki mengandung alkaloid, resin, tabernaemontanin, koronarin, koronandin, dregamin, vobasin, amirin, korin, kortin, dan lupeol (Dalimartha, 2003).
Masyarakat umumnya menggunakan tumbuhan daun Mondokaki untuk menghilangkan bengkak dan rasa sakit dengan cara, daun segar digiling sampai halus lalu ditempelkan pada bagian yang sakit atau bengkak, lalu dibalut.
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrogenik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktifkan atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Tanda-tanda inflamasi antara lain pembengkakakan, kemerahan, panas, nyeri, dan fungsi fisiologis terganggu (Mycek, 2001).
Khasiat daun Mondokaki sebagai antiinflamasi dan penghilang rasa sakit belum terbukti melalui penelitian yang komprehensif. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas peneliti ingin menguji efek antiinflamasi dan penghilang rasa sakit ekstrak etanol, n-heksana, dan etilasetat daun Mondokaki. Untuk maksud tersebut peneliti menggunakan mencit sebagai subyek percobaan. Percobaan dilakukan dengan cara menyuntikkan karagenan pada telapak kaki mencit radang yang terjadi diukur dengan metode pletismograf. Sebagai pembanding positip pada pemberian oral digunakan indometasin. Efek analgesik sebagai penginduksi nyeri digunakan pelat panas dan sebagai pembanding positip digunakan antalgin. Sedangkan untuk uji topikal, sebagai pembanding positip digunakan sediaan gel yang mengandung natrium diklofenak.
(26)
1.2Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan pada latar belakang, maka kerangka konsep penelitian adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1. dan 1.2.
Gambar 1.1. Diagram yang menunjukkan kerangka konsep penelitian pembuatan ekstrak.
Keterangan : EEM : Ekstrak Etanol Mondokaki
En-HM : Ekstrak n.Heksana Mondokaki EEAcM : Ekstrak Etil Asetat Mondokaki Kerangka Konsep Uji Antiinflamasi
Y4 Y3 Y2 Y6 Y5 Parameter
↓ B+N ↓ B+N ↓ B+N
Bengkak
X2 EEM
Indometasin EEAcM
En-HM X3
X4
X5
Mencit
↓ B+N ↓ B+N ↓ B+N
X1 Karragenan
Panas Antalgin Diklofenak X6 X7 Bengkak (ml) Nyeri (detik) n-heksan Etanol Daun Mondokaki
Etil - Asetat
EEM
En- HM
EEAcM Variabel bebas
Variabel terikat
(27)
Gambar 1.2. Skema yang menggambarkan kerangka konsep uji antiinflamasi dan analgetik ekstrak daun Mondokaki
Keterangan: EEM : Ekstrak Etanol Mondokaki En-HM : Ekstrak n-Heksana Mondokaki EEAcM : Ekstrak Etil Asetat Mondokaki
B : Bengkak
N : Nyeri 1.3 Perumusan masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang maka rumusan permasalahan adalah sebagai berikut:
a. apakah EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas antiinflamasi
pada mencit yang diinduksi karagenan?
b. apakah EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas analgesik pada
mencit yang diinduksi pelat panas?
c. apakah EEM, En-HM, dan EEAcM dalam bentuk sediaan gel yang diberi
secara topikal dapat menyembuhkan radang kaki mencit yang diinduksi karagenan?
d. apakah terdapat perbedaan efek penyembuhan EEM, En-HM, dan
EEAcM yang diberikan secara oral dan topikal pada radang kaki mencit yang diinduksi keragenan?
1.4 Hipotesis
(28)
a. EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai efek antiinflamasi pada hewan uji yang diinduksi keragenan.
b. EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai efek analgesik pada hewan uji
yang diinduksi pelat panas.
c. EEM, En-HM, dan EEAcM dalam bentuk sediaan gel yang diberikan
secara topikal dapat menyembuhkan radang kaki mencit yang diinduksi keragenan.
d. ada perbedaan aktivitas antiinflamasi dari EEM, En-HM, dan EEAcM
baik secara oral mau pun secara topikal pada radang kaki mencit yang diinduksi keragenan.
1.5Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk: a. menguji efek antiinflamasi EEM, En-HM, dan EEAcM pada hewan uji
yang diinduksi karagenan
b. menguji efek analgesik EEM, En-HM, dan EEAcM pada hewan uji yang diinduksi pelat panas.
c. menguji dan mengetahui efek antiinflamasi EEM, EnHM, dan EEAcM dalam bentuk sediaan gel yang diberikan secara topikal terhadap radang kaki mencit yang diinduksi keragenan.
d. mengetahui perbandingan efek antiinflamasi EEM, En-HM, dan EEAcM dalam bentuk sediaan oral dan topikal.
(29)
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang tanaman Mondokaki yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dan analgesik, sehingga ke depan tanaman ini dapat dikembangkan sebagai sediaan fitofarmaka dengan efek samping yang relatif kecil dibanding obat antiinflamasi dan analgesik dari bahan kimia sintetis.
(30)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Singkat Tumbuhan
Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br) biasa ditanam sebagai
tanaman hias di pekarangan dan di taman-taman, berasal dari India, tersebar di kawasan Asia Tenggara serta kawasan tropik lainnya, dan dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 400 m di atas permukaan laut. Bagian tanaman yang digunakan untuk obat adalah akar, kayu, bunga dan daun. Untuk maksud pengobatan, lazimnya dibuat dalam bentuk segar atau dari bahan yang telah dikeringkan. Batang mengandung getah seperti susu. Perbanyakan dengan stek atau cangkok (Dalimartha, 2003).
2.1.1 Morfologi Tumbuhan
Tumbuhan Mondokaki merupakan tanaman perdu, tegak, tinggi 0,5-3 meter. Batang bulat, berkayu, bercabang dan hijau kotor. Daun tunggal, bulat telur ujung dan pangkal runcing, tepi rata, bertangkai silang berhadapan, panjang 5-11 cm, lebar 1,5-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau. Bunga tunggal, bertangkai, terletak di ketiak daun, kelopak bunga bercangap lima, runcing, hijau, tabung mahkota kuning kehijauan, mahkota berlekatan, bulat telur, dan berwarna putih. Buah kotak, bulat panjang, dan berbulu. Biji berdaging, berselaput, panjang 3-7 cm, dan berwarna merah. Akar tunggang, dan berwarna kuning (Anonim, 2008).
(31)
2.1.2 Sistematik Tumbuhan
Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, klasifikasi tumbuhan Mondokaki adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Su Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Apocynales
Familia : Apocynaceae
Genus : Tabernaemontana
Species : Tabernaemontana divaricata R. Br,
Sinonim : Tabernaemontana coronaria Willd
Ervatamia divaricata [R] Burk. Ervatamia malacensis K. et G. 2.1.3 Nama Lokal
Di beberapa daerah Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama bunga wari (Jawa), bunga nyingin (Nusatenggara), kembang mentega, kembang susu (Sunda), bunga manila, dan bunga susong (Maluku) (Anonim, 2005).
2.1.4 Efek Farmakologis dan Kandungan Kimia
Daun Mondokaki berasa asam dan terasa sejuk bila dibalurkan ke kulit. Tanaman ini dapat menurunkan panas dan racun (toksin), menghilangkan sakit (analgetik), menurunkan tekanan darah, peluruh dahak, dan sebagai obat cacing (antelmintik). Tumbuhan ini mengandung tabernaemontanin, koronarin, koronandin, dregamin, vobasin, korin, kortin, lupeol, dan tanin (Anonim, 2005).
(32)
Secara farmakologi, Mondokaki berkhasiat sebagai antiinflamasi, antitumor,
antioksidan dan analgesik (Pratchayasakul, et. al., 2006). Mondokaki juga
menghambat asetilkolin neuronal pada tikus sehingga menimbukan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (Chattipakorn, et. al., 2007).
Ekstrak etanol daun Mondokaki mengandung 23 alkaloid, termasuk
alkaloid aspidosperma, taberhanine, voafinine, N-methyl voafinine, voafinidine,
voalenine, dan alkaloid bisindole (canophyllinine) (Toh-Seok Kam, et. al., 2003).
Gambar 2.3 Conophylline
(33)
Gambar 2.1. Rumus bangun taberhanine dan conophyllinine
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara penyarian simplisia dengan menggunakan penyari tertentu (Harborne, 1987). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Cara penyarian (ekstraksi) yang tepat tergantung pada jenis senyawa yang diisolasi dan pelarut yang digunakan.
Ada beberapa metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu:
a. Cara dingin
i Maserasi adalah proses pengekstrasian simplisia menggunakan pelarut yang
statis dalam suatu wadah dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama.
ii Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru yang dialirkan
dari suatu reservoar sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
(34)
i Refluks adalah ekstraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada peratur yang
lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu temperatur 40-50o
iii Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98
C.
o
iv Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik
didih air (Ditjen POM, 2000).
C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
v Prinsip sokletasi adalah uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa
samping, lalu diembunkan kembali oleh pendingin, cairan turun ke labu melalui tabung yang berisi serbuk simplisia, cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif dari serbuk simplisia, karena adanya sifon maka setelah cairan ini mencapai permukaan sifon seluruh cairan akan kembali ke labu, demikian proses ini berulang-ulang sampai ekstraksi selesai (Adams, et.al., 1970).
2.3 Inflamasi (Peradangan)
Peradangan atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai respon jaringan terhadap apa saja yang merusak (noksi) baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh dapat berupa fisika, kimia, bakteri dan parasit. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar x, dan sinar ultraviolet. Noksi kimia dapat berupa asam kuat, basa kuat, dan bahan kimia. Infeksi bakteri antara lain disebabkan oleh bakteri Streptococcus, Staphylococcus
(35)
Kerusakan sel terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim lisosomal yaitu
arachidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan fosfolipid, dan berbagai
eicosanoid akan disintesis (Katzung, 2002). Kerusakan atau perubahan yang
terjadi pada sel dan jaringan akibat noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, dan leukotrien (Mansjoer, 1999).
2.3.1 Gejala Peradangan
Proses terjadinya peradangan ini dapat diamati dari tanda-tanda
utama peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), peningkatan panas (kalor),
pembengkakan (tumor), rasa sakit (dolor) dan adanya gangguan fungsi jaringan
(fungsio laesa) (Price dan Wilson, 1995).
a. Rubor (Kemerahan)
Rubor atau kemerahan adalah keadaan awal yang menandakan mulainya peradangan, ini disebabkan oleh arteriol yang mensuplai darah ke daerah radang melebar, sehingga lebih banyak darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal. Kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja kemudian meregang dengan cepat dan terisi penuh dengan darah yang menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya kemerahan pada permulaan peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin (Price dan Wilson,1995).
b. Kalor (Panas)
Kalor atau panas terjadi secara bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37ºC yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu 37ºC yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37ºC (Price dan Wilson, 1995).
(36)
c. Dolor (Rasa sakit)
Dolor atau rasa sakit akibat reaksi peradangan dapat terjadi dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung syaraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti
histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu,
pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal sehingga menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1995).
d. Tumor (Pembengkakan)
Tumor atau pembengkakan merupakan hal yang paling kentara akibat peradangan akut. Pembengkakan ini terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Permeabilitas dinding kapiler yang sehat terbatas hanya dapat dilalui oleh cairan dan larutan garam-garam tetapi sukar dilalui oleh larutan protein yang berupa koloid. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh protein yang akan meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan bengkak (tumor).
e. Fungsio laesa (Gangguan fungsi jaringan)
Fungsio laesa atau gangguan fungsi jaringan adalah reaksi peradangan di mana saja terjadi pembengkakkan yang lazimnya disertai nyeri dan sirkulasi yang abnormal. Tetapi belum diketahui secara pasti bagaimana fungsi jaringan tersebut terganggu (Kee dan Evelyn, 1996).
2.3.2 Mekanisme terjadinya Radang
Bila terjadi luka pada jaringan, baik karena bakteri, trauma, bahan kimiawi, panas atau fenomena lainnya, maka jaringan yang terluka akan melepaskan berbagai substansi yang menimbulkan perubahan sekunder yang dramatis terhadap jaringan. Inflamasi dapat ditandai dengan:
a. vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran
darah setempat yang berlebihan.
b. kenaikan permeabilitas kapiler disertai kebocoran cairan yang berlebihan
(37)
c. fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah yang berlebihan.
d. migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit kedalam jaringan
e. pembengkakan sel jaringan (Guyton dan Hall, 1997).
Mekanisme terjadinya gejala peradangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler, 1999).
2.3.3 Mediator Peradangan
Banyak substansi endogen yang dikeluarkan yang telah dikenal sebagai mediator peradangan di antaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama
Noksi
Kerusakan Sel
Gangguan Sirkulasi Lokal
Emigrasi Leukosit
Proliferasi sel Pembebasan
Bahan Mediator
Eksudasi Perangsangan
Reseptor Nyeri
Kemerahan nn
Panas Pembengkakan Gangguan
Fungsi
(38)
yang dilepaskan dari sekian banyak mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik setelah diinduksi yang berperan meningkatan permeabilitas kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru, kulit, dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan disimpan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999).
Bradikinin dan kalidin adalah mediator radang yang secara lokal menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 1999).
Serotonin (5-hidroksitriptamin, 5-HT) berasal dari asam amino esensial triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999).
Asam arakhidonat merupakan prekursor sejumlah besar mediator radang. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil, sebagian besar berada dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu
rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A2 akan
diaktivasi untuk mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak C20
Pada alur siklooksigenase, sebagian asam arakhidonat akan diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin (PG), prostasiklin dan tromboksan, dan sebagian lagi asam arakhidonat akan diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi asam hidroperoksida
dan seterusnya menjadi leukotrien yang disebut juga Slow Reacting Substances of
ini selanjutnya akan diubah menjadi senyawa mediator melalui dua alur utama yaitu alur siklooksigenase dan alur lipooksigenase.
(39)
Anaphylaxis (SRSA). Baik prostaglandin mau pun leukotrien, bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan.
Mekanisme pembebasan mediator radang ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Kortikosteroida posfolipase A2
Aspirin + AINS siklooksigenase lipooksigenase
Gambar 2.3. Metabolisme asam arakhidonat dan sintesis prostaglandin dan leukotrien
Keterangan : = efek penghambatan
LTB4 = dihidroksi leukotrien B4 LTD4 = leukotrien D
LTC
4 4 = leukotrien C4 LTE4 = leukotrien E4
Prostaglandin bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal seperti histamin, serotonin dan leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat terjadinya nyeri, radang, demam dan diare. Dari alur lipooksigenase dihasilkan mediator leukotrien.
Mediator LTB4 potensial kemotaktik terhadap leukosit polimorfonuklear,
eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi tinggi, LTB4 menstimulasi agregasi
leukosit polimorfonuklear. Selain itu LTB4 mempunyai kemampuan
meningkatkan eksudasi plasma dan mengakibatkan hiperalgesia. Kombinasi dua
Posfolipida ( membran sel )
Asam arakhidonat
Asam
Hid k id
Endoperoksida
Tromboksan Prostaglandin Prostasiklin Leukotrien:
LTB4, LTC4, LTD4, LTE4
(40)
senyawa leukotrien yaitu LTC4 dan LTD4 dapat menyebabkan peradangan, reaksi anafilaksis, reaksi alergi dan asma. LTE4 menyebabkan gejala hipersensitivitas, bronkokonstriksi, kontraksi otot polos dan permeabilitas vaskular. Aktivitasnya jauh lebih kecil dari prazatnya yaitu LTC4 dan LTD4 tetapi lebih stabil secara biologis dari ketiga leukotrien lain (Mansjoer, 1999).
2.4 Obat-obat Antiinflamasi
Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang ataupun menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan utama (Katzung, 2002) yaitu:
a. golongan steroid adrenal b. golongan non-steroid
2.4.1 Antiinflamasi Steroid Adrenal (Glukokortikoida)
Antiinflamasi golongan steroid adrenal bekerja dengan
menghambat enzim fosfolipase A2
Efek antiinflamasi steroid adrenal berhubungan dengan kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A
secara tidak langsung dengan menginduksi sintesis protein G (Campbell, 1991).
2
Steroid adrenal akan membahayakan jika tidak sesuai dengan indikasi dan arahan penggunaannya. Penggunaan jangka panjang menyebabkan efek samping cukup berat seperti hipokalemia, tukak lambung, penekanan pertumbuhan, osteoporosis, muka bulat, penekanan sekresi kortikotropin, atropi
sehingga mencegah pelepasan mediator peradangan, yaitu asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin, leukotrien, tromboksan dan prostasiklin. Steroid adrenal dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan AINS hanya memblok alur siklooksigenase. Hal ini dapat menjelaskan mengapa steroid
(41)
kulit, memperberat penyakit diabetes melitus, mudah terkena infeksi, glaukoma, hipertensi, gangguan menstruasi, dan perubahan mental atau tingkah laku. Penghentian pengobatan secara tiba-tiba menyebabkan ketidakcukupan adrenal yang akut dan menimbulkan gejala seperti otot menjadi lemah, nyeri otot, demam, perubahan mental, mual, hipoglikemia, hipotensi, dehidrasi dan bahkan kadang-kadang menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penghentian glukokortikoida harus dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap (Siswandono dan Bambang, 1995).
2.4.2 Obat Antiinflamasi Non-steroid (AINS)
AINS merupakan kelompok obat-obat yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Obat-obat ini juga dikenal sebagai penghambat prostaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda-beda terutama digunakan sebagai antiinflamasi untuk meredakan peradangan dan nyeri. Efek antipiretik golongan obat ini tidak sekuat efek antiinflamasinya. Kecuali aspirin, penggunaan preparat-preparat AINS tidak dianjurkan untuk meredakan sakit kepala ringan dan demam. AINS lebih sesuai digunakan untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan kekakuan sendi (Kee dan Evelyn, 1996).
Obat-obat AINS bekerja dengan cara menstabilkan membran lisosomal, menghambat pembebasan dan aktivitas mediator peradangan (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya), menghambat migrasi sel ke tempat peradangan, menghambat proliferasi seluler, menetralisasi radikal oksigen dan menekan rasa nyeri (Noer, 1996).
Penggolongan obat antiinflamasi menurut Goodman dan Gillman (1996) dengan beberapa contoh senyawa yang termasuk ke dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Obat antiinflamasi steroida adrenal, misalnya kortison, hidrokortison,
deksametason, dan prednison.
b. Obat antiinflamasi non-steroida (AINS):
i. turunan asam salisilat, misalnya aspirin, diflunisal, sulfasalazin, dan olsalazin.
(42)
ii. turunan para-aminofenol, misalnya asetaminofen
iii. indol dan asam indene asetat, misalnya indometasin, sulindak dan
etodolak
iv. asam heteroaril asetat, misalnya tolmetin, diklofenak, dan ketorolak
v. asam arilpropionat, misalnya ibuprofen, naproksen, fenoprofen, dan
ketoprofen
vi. asam antranilat (fenamat), misalnya asam mefenamat, dan asam
meklofenamat
vii. asam enolat, misalnya oksikam (piroksikam, tenoksikam), dan
pirazolidin
viii. (fenilbutazon, oksifentatrazon)
ix. alkanon, misalnya nabumeton.
2.5 Indometasin 2.5.1 Sifat kimia
Nama kimia : asam
1-(p-klorobenzoil)-5-metoksi-2-metil-indola-3- asetat, Rumus molekul : C19H16ClNO4 Berat molekul : 357,79.
Rumus bangun indometasin dapat dilihat pada Gambar 2.4. di bawah inI
CO Cl
N CH3
H3CO CH2COOH
(43)
2.5.2 Sifat Fisika
Indometasin berbentuk serbuk hablur, polimorf, berwarna kuning pucat hingga kuning kecoklatan, tidak berbau atau hampir tidak berbau. Peka
terhadap cahaya, meleleh pada suhu lebih kurang 162°C. Indometasin praktis
tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, kloroform dan dalam eter (Anonim, 1995).
2.5.3 Farmakologi
Indometasin mulai dikenal pada tahun 1963 bekerja lebih efektif dari aspirin atau AINS lainnya dan merupakan penghambat sintesis prostaglandin yang terkuat. Khasiat kliniknya sebagian besar sebanding dengan fenilbutazon, walaupun lebih unggul dalam percobaan-percobaan pada hewan. Indometasin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral dan sebagian besar terikat dengan protein plasma (sekitar 90%), waktu paruh dalam plasma selama 3-11 jam, waktu paruh kerja rata-rata 4-6 jam. Metabolisme terjadi di dalam hati, dalam bentuk tak berubah, obat ini diekskresikan ke dalam empedu dan urin (Katzung, 2002).
Indometasin digunakan untuk pengobatan artritis rematoid, gout dan osteoartritis. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Juga menghambat motilitas leukosit polimorfonuklear.
Efek samping indometasin pada dosis terapi meliputi gangguan saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare ulser, perdarahan lambung dan pankreatitis. Juga menyebabkan pusing, depresi, rasa bingung, halusinasi, agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Karena toksisitasnya, indometasin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak, wanita hamil, penderita gangguan psikiatri dan penderita penyakit lambung (Ganiswarna, 1995).
(44)
Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang timbul bila ada jaringan yang rusak, hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton and John,1996).
Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik
dan kimiawi. Jadi, prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian
mediator nyeri seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Wilmana dan Gan, 2007).
2.6.1 Pembagian Rasa Nyeri
Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu rasa nyeri utama, yakni rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1detik, sedang rasa nyeri lambat timbul setelah 1detik atau lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadang kala beberapa menit. Rasa nyeri cepat digambarkan dengan banyak nama pengganti, seperti rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut dan rasa nyeri elektris. Jenis rasa nyeri ini akan terasa bila ada sebuah jarum ditusukkan kedalam kulit, bila kulit tersayat pisau atau bila kulit terbakar secara akut. Rasa nyeri ini juga akan terasa bila subjek mendapat syok listrik. Rasa nyeri cepat, nyeri tajam tak akan terasa disebagian besar jaringan dalam tubuh.
Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti
rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut-denyut, nyeri mual dan nyeri kronik. Jenis rasa nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri dapat berlangsung lama, menyakitkan dan dapat menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri ini dapat terasa dikulit dan hampir semua jaringan dalam atau organ (Guyton and John, 1996).
2.6.2 Mekanisme terjadinya Nyeri
Pada umumnya rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yang meliputi rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis, dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Guyton and John, 1996; Tjay dan Rahardja,
(45)
2003). Jenis nyeri kimia dapat disebabkan beberapa zat kimia meliputi bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam asetil kolin dan enzim proteolitik.
Nyeri juga akan terasa bila menerima panas dengan suhu di atas
45oC, jaringan mulai mengalami kerusakan akibat panas. Oleh karena itu, rasa
nyeri yang disebabkan oleh panas sangat terkait dengan kemampuan panas untuk merusak jaringan (Guyton and John, 1996). Adanya rangsangan yang merusak sel,
akan mengaktivasi enzim fosfolipase A2 yang kemudian akan mengubahnya
menjadi asam arakhidonat. Asam arakhidonat yang terbentuk kemudian dengan bantuan enzim siklooksigenase akan disintesis menjadi prostaglandin.
Prostaglandin E1 dan E2 yang terbentuk akan mensensitisasi reseptor nyeri
(nosiseptor), bradikinin, dan histamin sehingga menimbulkan nyeri yang nyata (Wilmana, 1995; Guyton and John, 1996).
2.7 Analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi nyeri (Siswandono dan Bambang, 1995).
2.7.1 Pembagian Analgetika
Berdasarkan kerja farmakologinya, analgetika dibagi dua kelompok yaitu:
a. Analgetik non-narkotik, sering disebut analgetik-antipiretika. Obat golongan
ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, menurunkan suhu tubuh dalam keadaan suhu tinggi dan sebagai antiradang untuk pengobatan rematik. Analgetik-antipiretik digunakan untuk pengobatan simptomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan Bambang, 1995). Analgetik non-narkotik mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Dibandingkan dengan analgesik narkotik, keuntungan terapi
(46)
analgesik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi (Mycek, 2001).
b. Analgetik narkotik, adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf
pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang sedang atau pun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh kanker, serangan jantung, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal. Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetik nonnarkotik (Siswandono dan Bambang, 1995). Analgetik opioid termasuk dalam analgetik narkotik, merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin, penggunaan utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri dan ansietas yang menyertainya, baik karena operasi akibat luka atau penyakit (Mycek, 2001).
2.7.2 Mekanisme Kerja Analgetika
Efek analgetik obat golongan narkotika adalah karena
pengikatannya dengan reseptor khas pada sel otak dan spinal cord, sedangkan
analgetik non-narkotik bertindak dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengatalisis biosintesis prostaglandin, seperti siklooksigenase, hingga mencegah sensitisasi reseptor nyeri oleh mediator-mediator nyeri, seperti bradikinin, histamin, serotonin yang dapat merangsang nyeri (Siswandono dan Bambang, 1995).
2.7.3 Metode Pengujian Analgetika
Intensitas suatu rangsang yang diperlukan untuk menginduksi nyeri dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi metode yang paling sering digunakan adalah menusuk kulit dengan sebuah jarum pada tekanan yang terukur, menekankan suatu benda padat pada suatu penonjolan tulang dengan kekuatan
(47)
yang terukur, atau memanaskan kulit dengan jumlah panas tertentu. Metode terakhir telah terbukti sangat tepat dari sudut pandang kuantitatif (Guyton,1995).
Menurut Domer (1971), ada empat metode yang sering digunakan untuk pengujian analgetika, yaitu metode panas, listrik, tekanan, dan kimia (Bars, 2001; Vogel, 2008).
2.7.3.1Metode Panas
Metode ini dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Secara
invitro dilakukan terhadap darah hewan percobaan dan diamati efek analgetiknya. Suatu zat berkhasiat analgetika akan bekerja mencegah hemolisis, sedangkan
secara in vivo dilakukan terhadap hewan percobaan dengan suhu berkisar
50-60o
Lempeng yang dipanaskan dapat digunakan sebagai penyebab rasa nyeri, dengan cara memberikan panas pada bagian tubuh hewan percobaan. Hewan yang diberi suatu analgetika akan mengalami perpanjangan waktu reaksi terhadap rangsangan panas. Waktu reaksi oleh mencit yang ditempatkan pada lempeng panas dapat digunakan untuk pengujian analgetika. Beberapa mencit yang ditempatkan pada lempeng yang dipanaskan pada temperatur 50
C.
o C, memberikan respon tidak teratur selama 20 detik dan lainnya mungkin
membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada temperatur 55oC semua mencit
memberikan respon dalam waktu 30 detik sedangkan pada temperatur 60o
Metode panas yang lain adalah dengan menggunakan penangas air sebagai perangsang panas, ini dilakukan Grotto dan Shulman, yaitu dengan cara, mencit diletakkan dalam kotak plastik berukuran 15 x 25 x 25 cm sedemikian rupa sehingga ekornya terjulur ke luar. Kemudian ekor mencit seluruhnya dicelupkan kedalam penangas air pada temperatur 58
C akan memberikan respon dalam 20 detik. Mencit memberikan respons, mula-mula duduk dengan kaki belakang sambil menjilat-jilat kaki depan sebagai usaha untuk mendinginkan, kemudian apabila terasa lebih panas mencit akan menendangkan kaki belakangnya, berputar dan berusaha keluar dari dinding silinder (Domer, 1971).
o
C, di sini akan terlihat tiga fase pergerakan ekor yang berbeda. Fase pertama gerakan lambat sebanyak 1-3 kali, fase kedua sedikit lebih cepat dan fase ketiga berupa sentakan kuat. Respon
(48)
dikatakan positif bila ada sentakan atau gerakan kontinyu dari fase kedua, sebelum terjadinya sentakan, terkadang sudah terdengar cicitan.
Pusat panas pada ekor tikus juga dapat digunakan sebagai pertanda perangsang nyeri, bila intensitas panas tercapai, maka akan timbul respon berupa sentakan ekor. Kemudian waktu reaksi dicatat, untuk mengetahui berapa besarnya intensitas rangsangan yang diperlukan terhadap respon.
2.7.3.2 Metode Listrik
Metode ini dapat dilakukan secara in vivo. Sebagai penyebab rasa nyeri digunakan aliran listrik. Ekor mencit diberi rangsangan listrik melalui dua elektroda. Pemberian kejutan listrik dilakukan setiap satu detik sampai terdengar cicitan mencit. Arus listrik dapat ditinggikan sesuai dengan kekuatan analgetika yang diuji. Hewan percobaan seperti anjing, kera, kucing, kelinci dan tikus, dapat dilakukan juga dengan metode listrik dapat dilakukan.
2.7.3.3Metode Tekanan
Metode tekanan hanya dapat dilakukan secara in vivo. Untuk
menguji efek analgetik, pemberian tekanan dilakukan dengan cara menjepit pada bagian ujung ekor mencit. Besar tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian obat, diukur berdasarkan waktu sampai timbul nyeri. Metode tekanan dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit. 2.7.3.4Metode Kimia
Metode kimia dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Secara
in vivo diberikan senyawa kimia dengan cara intraperitonial pada mencit dan
harus menimbulkan respon spesifik akibat konstriksi abdomen seperti menggeliat dan merenggang. Senyawa kimia yang dapat digunakan adalah asam asetat, bradikinin, kalium klorida, asetil kolin, 5-hidroksitriptamin, fenilkinon, dan benzokinon.
Secara in vitro metode ini dapat digunakan terhadap sel mast yang
diisolasi dari cairan peritonium hewan percobaan, lalu dilihat apakah ada atau tidak degranulasi sel mast pada saat sebelum dan sesudah pemberian obat. Hewan percobaan yang dapat digunakan adalah anjing, tikus, merpati, ayam, dan mencit.
(49)
2.8.1 Sifat Kimia
Nama kimia : Natrium 2,3 - dimetil – 1 – fenil -5-pirazolon - 4- etiamin
etansulfonat
Rumus molekul : C13H16N3NaO4S.H2 Berat molekul : 351,37.
O
Rumus bangun antalgin dapat dilihat pada Gambar 2.5. di bawah ini.
N N
CH3 O
C6H5
CH3
N H2 C
CH3 O3SNa
Gambar 2.5. Rumus bangun antalgin
2.8.2 Farmakologi
Antalgin adalah obat golongan AINS, dikenal sebagai penghambat protaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda-beda, biasanya preparat aspirin lebih sesuai untuk meredakan sakit kepala dan demam (Kee dan Evelyn, 1996). Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit
atau sering disebut analgetika non-narkotik. Senyawa ini merupakan turunan 5-pirazolon yang secara umum digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada
keadaan nyeri kepala, nyeri pada spasmus, ginjal, saluran empedu dan urin, nyeri gigi, dan nyeri pada reumatik. Efek samping yang ditimbulkan oleh turunan 5-pirazolon adalah agranulositosis (Siswandono dan Bambang, 1995).
Secara farmakologi obat ini bekerja pada periferal dan sentral. Obat ini menimbulkan efek analgesik dengan cara menghambat langsung dan selektif enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis protaglandin, sehingga mencegah sensitisasi reseptor nyeri oleh mediator nyeri, seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen dan
(50)
kalium. Mediator ini akan merangsang rasa sakit secara mekanis maupun kimiawi (Wilmana 1995, 1995; Siswandono dan Bambang,1995 ).
Antalgin memiliki efek analgetik-antipiretik dan efek antiinflamasi yang lemah. Penggunaannya dibatasi pada nyeri akut pasca operasi, nyeri karena tumor, nyeri hebat karena penyakit akut dan kronis yang tidak dapat diatasi oleh analgesik non opiat lainnya. Pembatasan ini dilakukan karena efek sampingnya yang dapat menimbulkan agranulositosis, anemia aplastika dan trombositopenia. Penggunaan jangka panjang antalgin perlu diperhatikan kemungkinan diskrasia darah. Contoh sediaan dipasaran adalah neuralgin (Anonim, 2008).
2.9 Diklofenak 2.9.1 Sifat Kimia
Diklofenak dengan nama kimia 2-(2-(2,6-diklorofenilamino)fenil)
asam asetat, memiliki rumus molekul dengan berat molekul
296.148 g/mol. Rumus bangun diklofenak ditunjukkan pada Gambar 2.6 (Anonim, 2008).
Gambar 2.6. Rumus bangun diklofenak 2.9.2 Farmakologi
Natrium diklofenak adalah suatu senyawa antiinflamasi nonsteroid yang bekerja sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Senyawa ini sangat merangsang lambung sehingga untuk mencegah efek samping ini bentuk sediaan oral (tablet) natrium diklofenak disalut enterik. Bagaimana mekanisme kerjanya belum diketahui sepenuhnya, tetapi secara umum mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesiknya adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin dengan menginhibisi siklooksigenase (COX). Penghambatan COX
(51)
akan mengurangi kadar prostaglandin di epitelium lambung, yang menyebabkannya lebih sensitif terhadap korosif asam lambung. Ini termasuk efek samping utama diklofenak. Diklofenak cenderung menghambat COX-2 lebih rendah (kira-kira 10 kali) ketimbang COX-1. Oleh karena itu, insiden terhadap gangguan lambung lebih rendah dibandingkan indometasin dan aspirin (Anonim, 2008). Obat ini tidak boleh diberikan secara intravena bersama-sama dengan AINS atau antikoagulan termasuk heparin (Sweetman, 2005).
(52)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah metodologi
eksperimental (experimental recearch). Metodologi penelitian ini adalah suatu
observasi yang dilakukan di laboratorium dengan kondisi buatan (artificial
condition), yang diatur peneliti (Nazir, 1990). Metodologi eksperimental di
maksudkan untuk mengetahui pengaruh atau hubungan antara variabel bebas (X) yang disebut faktor perlakuan dengan variabel terikat (Y) yang disebut faktor pengamatan (Hanafiah, 2005). Dalam penelitian ini yang disebut variabel bebas yaitu pengaruh pemberian EEM, En-HM, EEAcM, indometasin, antalgin, diklofenak dan mencit sedangkan variabel terikat adalah bengkak dan nyeri. Dengan cara memberikan perlakuan tertentu terhadap satu kelompok eksperimen atau lebih menggunakan kontrol sebagai pembanding akan dapat diramalkan efek bahan yang diuji, namun demikian analisis statistik akan dapat menyatakan secara signifikan atau tidak parameter-parameter yang diuji (Musa, dkk, 1988).
3.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pengolahan simplisia, pembuatan ekstrak dengan cara perkolasi, fraksinasi, uji kadar air, uji efek antiinflamasi, uji efek analgetik dan pengumpulan data secara eksperimental di laboratorium dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan analisis data secara anava (analisis variansi).
(53)
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan Universitas Sumatera Utara (Lampiran 1, halaman 135). Waktu penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan.
3.3 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan ditunjukkan pada Lampiran 2, halaman 136.
3.4 Tahapan Penelitian
Tahapan yang dilalui dalam penelitian ini (dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 137) adalah sebagai berikut:
a. penyiapan bahan simplisia meliputi pengumpulan, pengeringan dan pengolahan tumbuhan menjadi simplisia, terhadap simplisia dilakukan uji kadar air dengan metode azeotropi.
b. pembuatan ekstrak tumbuhan mondokaki dilakukan dengan cara perendaman menggunakan pelarut etanol, n-heksan, dan etil asetat; hasil
ekstraksi yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary evaporator
kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer hingga diperoleh
ekstrak kental.
c. pengujian efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan karagenan
(54)
Basile Cat.No.7140) dan uji efek analgetik dengan alat plat panas
menggunakan hewan percobaan mencit (Mus musculus).
3.5 Alat dan Bahan
3.5.1 Alat -alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat–alat gelas, grinder, neraca kasar (Ohaus), neraca listrik, neraca hewan (Presica Geniwigher, GW-1500), Rotary evaporator (Heidolph vv-2000), incubator (Gallenkamp),
freeze dryer (Modulyo, Edward, serial no: 3985), stopwatch, lemari pengering,
perkolator, mortar dan stamper, oral sonde, spuit (1 ml dan 3 ml), kertas saring, penangas air, Pletismometer digital (UGO Basile Cat.No.7140), kandang mencit, plat panas, dan termometer.
3.5.2 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun mondokaki, etanol 96% (p.a.), n-heksan, etil asetat, gliserin, karboksi metil selulose (CMC), natrium diklofenak, karagenan, indometasin, antalgin, air suling, dan larutan fisiologis NaCl 0,9%, gliserin, dan larutan Ornano imbibente.
3.6 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit putih yang diperoleh dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara. Berat mencit 20-30 gram dan dengan umur 2-3 bulan (Esvandiary, 2006). Sebelum percobaan dimulai, terlebih dulu mencit dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan dengan lingkungannya. Hewan diberi makanan dan minuman yang
(1)
3. Hasil analisis variansi terhadap luas area di bawah kurva grafik waktu awal
timbul nyeri
Descriptives AUC
6 1006.5167 160.52734 65.53501 838.0535 1174.9798 771.93 1186.13 6 2500.5483 331.74610 135.43478 2152.4022 2848.6945 2014.13 2959.95 6 1162.7300 248.23902 101.34316 902.2191 1423.2409 844.85 1486.80 6 1296.5583 243.48721 99.40324 1041.0342 1552.0825 990.35 1681.48 6 1541.0317 290.73691 118.69285 1235.9220 1846.1413 1275.20 2029.80 30 1501.4770 590.58462 107.82551 1280.9491 1722.0049 771.93 2959.95 CMC 0,5%
SA 100 mg/kg BB SEEAcM 500 mg/kg BB SEEAcM 600 mg/kg BB SEEAcM 700 mg/kg BB Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum
ANOVA
AUC
8408610 4 2102152.533 30.800 .000 1706305 25 68252.217
10114916 29
Between Groups Within Groups Total
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
4. Hasil uji lanjutan duncan terhadap luas area di bawah kurva grafik waktu awal
timbul nyeri
AUC
Duncana
6 1006.5167 6 1162.7300
6 1296.5583 1296.5583
6 1541.0317
6 2500.5483
.080 .118 1.000
Perlakuan CMC 0,5%
SEEAcM 500 mg/kg BB SEEAcM 600 mg/kg BB SEEAcM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
(2)
Lampiran 25
Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri
Ekstrak n-Heksan Mondokaki
1. Hasil uji analisis variansi (ANAVA) waktu awal timbul nyeri
Descriptives
6 6.6833 1.50775 .61554 5.1010 8.2656 4.54 8.26
6 15.8867 3.61016 1.47384 12.0980 19.6753 10.16 20.22
6 7.8033 1.76891 .72215 5.9470 9.6597 5.77 10.11
6 6.9233 2.01897 .82424 4.8046 9.0421 4.17 9.21
6 7.5350 1.70553 .69628 5.7452 9.3248 5.70 10.23
30 8.9663 4.11546 .75138 7.4296 10.5031 4.17 20.22
6 6.7050 1.62528 .66352 4.9994 8.4106 4.55 9.28
6 21.6967 3.24227 1.32365 18.2941 25.0992 16.46 24.16
6 9.4117 3.64550 1.48827 5.5860 13.2374 6.64 16.21
6 9.1417 1.96680 .80294 7.0776 11.2057 6.72 12.05
6 12.0483 2.82466 1.15316 9.0840 15.0126 8.47 15.95
30 11.8007 5.90694 1.07845 9.5950 14.0064 4.55 24.16
6 8.6300 1.66615 .68020 6.8815 10.3785 6.63 10.69
6 25.0517 3.83231 1.56453 21.0299 29.0734 19.83 30.72
6 13.7683 2.46840 1.00772 11.1779 16.3588 12.01 18.66
6 14.8700 3.81766 1.55855 10.8636 18.8764 9.11 19.27
6 15.6050 3.44412 1.40606 11.9906 19.2194 10.33 19.45
30 15.5850 6.16098 1.12484 13.2845 17.8855 6.63 30.72
6 9.7483 1.71026 .69821 7.9535 11.5431 7.65 11.62
6 28.4667 4.78002 1.95143 23.4503 33.4830 21.92 34.51
6 15.4450 2.59954 1.06126 12.7169 18.1731 12.25 18.56
6 19.9400 4.07254 1.66261 15.6661 24.2139 15.14 25.14
6 20.2883 3.81101 1.55584 16.2889 24.2877 17.82 27.57
30 18.7777 7.09316 1.29503 16.1290 21.4263 7.65 34.51
6 10.1667 3.15655 1.28866 6.8541 13.4793 6.23 14.16
6 25.4067 3.12359 1.27520 22.1287 28.6847 20.12 29.20
6 13.5017 4.21918 1.72247 9.0739 17.9294 7.01 18.19
6 17.5483 3.74576 1.52920 13.6174 21.4793 11.54 21.12
6 23.4333 4.12332 1.68334 19.1062 27.7605 17.44 26.89
30 18.0113 6.79718 1.24099 15.4732 20.5494 6.23 29.20
6 9.4817 2.26336 .92401 7.1064 11.8569 5.53 11.78
6 21.2700 3.57009 1.45748 17.5234 25.0166 16.41 26.35
6 12.0983 1.73237 .70724 10.2803 13.9163 9.66 14.47
6 16.2850 3.53766 1.44425 12.5724 19.9976 12.41 20.38
6 17.0267 2.20609 .90063 14.7115 19.3418 14.27 20.10
30 15.2323 4.88946 .89269 13.4066 17.0581 5.53 26.35
6 9.2500 2.15599 .88018 6.9874 11.5126 6.02 12.18
6 16.9500 2.54455 1.03881 14.2797 19.6203 14.28 20.10
6 12.0483 2.82466 1.15316 9.0840 15.0126 8.47 15.95
6 13.1150 3.01113 1.22929 9.9550 16.2750 9.04 18.04
6 13.4717 2.03416 .83044 11.3369 15.6064 9.78 15.91
30 12.9670 3.45582 .63094 11.6766 14.2574 6.02 20.10
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
CMC 0,5% SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total Menit 10 Menit 20 Menit 30 Menit 45 Menit 60 Menit 90 Menit 120
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for
Mean
(3)
ANOVA
364.069 4 91.017 17.902 .000
127.103 25 5.084
491.173 29
820.413 4 205.103 26.783 .000
191.453 25 7.658
1011.866 29
850.810 4 212.703 21.274 .000
249.961 25 9.998
1100.771 29
1140.872 4 285.218 22.409 .000
318.203 25 12.728
1459.075 29
997.076 4 249.269 18.180 .000
342.773 25 13.711
1339.849 29
502.040 4 125.510 16.406 .000
191.257 25 7.650
693.296 29
184.806 4 46.201 7.150 .001
161.532 25 6.461
346.338 29 Between Groups
Within Groups Total
Between Groups Within Groups Total
Between Groups Within Groups Total
Between Groups Within Groups Total
Between Groups Within Groups Total
Between Groups Within Groups Total
Between Groups Within Groups Total
Menit 10
Menit 20
Menit 30
Menit 45
Menit 60
Menit 90
Menit 120
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
2. Hasil uji lanjutan duncan waktu awal timbul nyeri
Menit 10Duncana
6 6.6833 6 6.9233 6 7.5350 6 7.8033
6 15.8867
.441 1.000 Perlakuan
CMC 0,5%
SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
(4)
Menit 20
Duncana
6 6.7050
6 9.1417 9.1417 6 9.4117 9.4117
6 12.0483
6 21.6967
.121 .097 1.000 Perlakuan
CMC 0,5%
SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
a.
Menit 30
Duncana
6 8.6300
6 13.7683
6 14.8700
6 15.6050
6 25.0517
1.000 .352 1.000 Perlakuan
CMC 0,5%
SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
a.
Menit 45
Duncana
6 9.7483
6 15.4450
6 19.9400
6 20.2883
6 28.4667
1.000 1.000 .867 1.000
Perlakuan CMC 0,5%
SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3 4
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
(5)
Menit 60
Duncana
6 10.1667
6 13.5017 13.5017
6 17.5483
6 23.4333
6 25.4067
.131 .070 .365
Perlakuan CMC 0,5%
SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
a.
Menit 90
Duncana
6 9.4817 6 12.0983
6 16.2850
6 17.0267
6 21.2700
.114 .646 1.000 Perlakuan
CMC 0,5%
SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
a.
Menit 120
Duncana
6 9.2500
6 12.0483 12.0483
6 13.1150
6 13.4717
6 16.9500
.068 .369 1.000 Perlakuan
CMC 0,5%
SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
(6)
3. Hasil analisis variansi terhadap luas area di bawah kurva grafik waktu awal
timbul nyeri
Descriptives AUC
6 1006.5167 160.52734 65.53501 838.0535 1174.9798 771.93 1186.13 6 2500.5483 331.74610 135.43478 2152.4022 2848.6945 2014.13 2959.95 6 1384.3783 180.67794 73.76146 1194.7685 1573.9882 1052.63 1583.78 6 1691.1233 109.10495 44.54191 1576.6247 1805.6220 1571.23 1827.80 6 1897.6750 82.46250 33.66517 1811.1359 1984.2141 1754.35 1971.03 30 1696.0483 541.35222 98.83694 1493.9041 1898.1926 771.93 2959.95 CMC 0,5%
SA 100 mg/kg BB SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum
ANOVA
AUC
7562940 4 1890734.890 50.508 .000 935864.9 25 37434.595
8498804 29
Between Groups Within Groups Total
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
4. Hasil uji lanjutan duncan terhadap luas area di bawah kurva grafik waktu awal
timbul nyeri
AUC
Duncana
6 1006.5167
6 1384.3783
6 1691.1233
6 1897.6750
6 2500.5483
1.000 1.000 .076 1.000
Perlakuan CMC 0,5%
SEn-HM 500 mg/kg BB SEn-HM 600 mg/kg BB SEn-HM 700 mg/kg BB SA 100 mg/kg BB Sig.
N 1 2 3 4
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.