potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi adalah akan
berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan ocean policy adalah kebijakan
yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat social welfare Kusumastanto, 2006. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat
dalam pemanfaatan
sumberdaya kelautan
dan perikanan
harus mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi,
sehingga dapat bermanfaat secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi dan disisi lain bisa dimanfaatkan
secara berkelanjutan sustainable sehingga akan mencapai kesejahteraan. Analisis kebijakan dilakukan dengan proses hierarki analitik Analytical Hierachy
Process -AHP dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of
Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli
judgment dalam memilih alternatif yang paling disukai Marimin dan Maghfiroh, 2010. Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu
kerangka pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat
disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak
terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif
tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan
variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
2.8 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan erat dengan penelitian ini adalah:
1. Barbier dan Strand 1998 melakukan penelitian tentang penilaian keterkaitan
perikanan dengan mangrove: sebuah studi di Campeche, Mexico. Produktifitas
marjinal dari mangrove area MP
M
adalah 24,7 ton per km
2
dan marjinal produktivitas dari upaya penangkapan MP
E
adalah 0,997 ton per vessel. 2.
Barbier 2003 melakukan penelitian tentang keterkaitan perikanan dengan habitat dan kehilangan mangrove di Thailand. Produktivitas marjinal dari area mangrove
MP
M
adalah 15,22 ton per km
2
dan marjinal produktivitas dari upaya penangkapan MP
E
adalah 14,093 ton per thousand hours. 3.
Marlianingrum 2007 melakukan penelitian tentang analisis ekonomi keterkaitan sumberdaya mangrove dan udang di Pulau belakang Padang, Kota Batam,
Kepulauan Riau. Penelitian ini menjelaskan bahwa luas mangrove di Pulau Belakang Padang mengalami penyusutan dari 206,6 ha 1989 menjadi 110,5 ha
2004 yang disebabkan diantaranya oleh tumpahan minyak Natuna Sea pada Oktober tahun 2000 seluas 150 ha dan perubahan lahan menjadi pemukiman rata-
rata per tahun seluas 174,81 ha. Hasil analisis perhitungan dan model, didapat hubungan antara produksi udang, upaya penangkapan effort dan luas mangrove
sebagai: h = 0,0268EM + 1,141-05 E
2
yang dapat dipergunakan untuk menghitung manfaat hutan mangrove sebagai tempat pemijahan spawning ground.
Produktivitas marjinal dari mangrove area MP
M
adalah 57,994 ton per km
2
dan marjinal produktivitas dari upaya penangkapan MP
E
adalah 0,085 ton per trip kapal trammel net. Nilai ekonomi total sumberdaya mangrove sebesar Rp
6.626.385.000,00, nilai optimal dari produksi udang adalah 63,790 ton pada tahun 1999, luas mangrove optimal adalah Rp 117,368 ha tahun 1999, nilai TR
pendapatan optimal adalah Rp 462.719.000.000,00 pada pertengahan tahun 2000 dan nilai effort optimal adalah 2.393 trip pada pertengahan tahun 2000.
4. Maedar 2008 melakukan penelitian analisis ekonomi pengelolaan mangrove di
Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove
dan 146,50 ha untuk tambak per tahun sebesar Rp. 101.502.012.572,24. Alternatif pemanfaatan yang menjadi pilihan prioritas, berdasarkan keseimbangan antara
indikator untuk kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi, antara kriteria efisiensi dengan equity, baik pada tingkat suku bunga riil 1,74, 10,00 maupun suku
bunga 13,27 adalah pertama alternatif pemanfaatan lima V hutan mangrove 12,50 ha, tambak polikultur 146,50 ha dan tambak monokultur udang dan ikan
bandeng 0 ha. Alternatif IV, III, II, dan I tidak menjadi pilihan dalam alternatif pengelolaan karena menunjukkan nilai yang sangat tidak efisien.
5. Pattimahu 2010 meneliti tentang Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Hasil valuasi ekonomi menunjukkan bahwa pemanfaatan mangrove secara langsung dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Sedangkan analisis sosial menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat masih rendah di lokasi penelitian; kurangnya peran serta masyarkat
dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan mangrove, disamping itu akses masyarakat terhadap hutan mangrove tinggi. Selanjutnya berdasarkan analisis Rap-Mforest,
nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem hutan mangrove sebesar 36,08 kurang berkelanjutan pada skala sustainabilitas 0
–100. Dimensi ekologi memiliki nilai indeks tertinggi, sebesar 79,95 berkelanjutan, dimensi ekonomi 33,56
kurang berkelanjutan dan yang terendah dimensi sosial sebesar 22,96 tidak berkelanjutan. Dengan demikian, metode Rap M-forest yang modifikasi dari
Rapfish dapat diterapkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram bagian Barat.