Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan dan Laut Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara

(1)

DAYA PERIKANAN LAUT

(STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN

LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA UTARA)

MAILINA HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut (Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor, Mei 2006

Mailina Harahap Nrp. A155030201


(3)

ABSTRAK

MAILINA HARAHAP. Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan dan Laut. Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara (Dedi Budiman Hakim sebagai Ketua dan Akhmad Fauzi sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Sumber daya perikanan dan laut wilayah perairan laut Kecamatan Panai Hilir telah mengalami overfishing . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari

overfishing terhadap peran gender dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut di kecamatan Panai Hilir, kabupaten Labuhanbatu, provinsi Sumatera Utara. Dari analisis

Data Envelopment Analysis (DEA) ditemukan bahwa sebagian besar rumahtangga nelayan (88%) memiliki kapasitas perikanan tangkap lebih (overcapacity) dan tidak efisien. Karenanya, peran gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, perlu dik embangkan usaha budidaya perikanan sebagai upaya untuk membuka peluang kerja bagi kaum perempuan dan sekaligus mengurangi tekanan terhadap sumber daya perikanan dan laut yang telah mengalami overfishing agar kelestarian sumber daya perikanan dan laut dapat lebih terjamin dan berkelanjutan.

Kata kunc i; kapasitas tangkap, analisis Gender, Data Envelopment Analysis (DEA),


(4)

SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT

(STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR

KABUPATEN LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA

UTARA)

MAILINA HARAHAP

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pad a Program Studi

Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(5)

Perikanan dan Laut (Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara)

Nama : Mailina Harahap

Nomor Pokok : A155030201

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Ir. Isang Gonarsyah , Ph.D Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(6)

Penulis dilahirkan di Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara pada tanggal 16 Mei 1980. Merupakan anak ke dua dari enam bersaudara oleh pasangan suami istri Ahmad Manginar Harahap dan Fariha.

Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SD Negeri V Kotapinang dan tamat tahun 1992, Pendidikan sekolah menengah pertama di tempuh di SMP Negeri I Kotapinang dan tamat tahun 1995 selanjutnya pendidikan sekolah menengah atas di tempuh di SMA Negeri Kotapinang dan tamat tahun 1998. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan tamat tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada program magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor.

Penulis semasa menempuh pen didikan di program magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, juga menjadi asisten dosen Fakultas Ekonomi Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan dosen pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pandu Madania Bogor disamping tercatat sebagai dosen tetap Universitas Muhammad iyah Sumatera Utara.


(7)

Subhanallah Walhamdulillah Walaailaahaillallah Wallahu Akbar, Atas Kekuatan serta Rahmad dan Hidayah Allah SWT. akhirnya penulis dapat menyelesaikan pen didikan magister di Institut Pertanian Bogor beserta penelitian yang menghasilkan sebuah tesis yang berjudul ”Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut (Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara)”

Karya ini merupakan hasil bantu an dan doa dari berbagai pihak. Ucapan terimakasih dan penghargaa penulis kepada ke dua dosen yang telah menyempatkan waktu di sela-sela kesibukan mereka, dedikasi, motivasi dan kesabaran yaitu; Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi selaku anggota komisi pembimbing. Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D selaku ketua program studi PWD, seluruh dosen PWD. Ibu Dr. Titi Sumarti yang telah bersedia menjadi penguji dan motivasi yang diberikan. Teman-teman PWD 2003 atas rutinitas diskusi sehingga kebersamaan kita semakin berkesan dengan keseriusan dan tawa canda. PWD 2004 dan 2005, senior bapak dan ibu S3, atas kebersamaannya dan adik -adik di “Marhamah” dan “HIMALAB” semoga tetap istiq omah dan tetap semangat. Keluarga seperantauan di Jl. H. Abas dan Bu Erni atas transfer ilmunya Keluarga besar Kecamatan Panai Hilir yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian dan bantuan yang diberikan baik moral maupun spritual. Spesial buat orang -orang tercinta dan penyem angat penulis, bapak dan mamak , Bg Lindung engkau sebaik -baik abang buatku, adik -adikku (Srie, Iis, Onang, Imam dan Efri) terimakasih doa-doanya dan semoga ALLAH SWT. meridhoi segala belas kasih yang diberikan . Semua keluarga besar di Kotapinang, Slawi, Jakarta, Dumai, Bengkulu dan para pembaca, terimakasih semoga karya ini bermanfaat.

Dramaga – Bogor, Mei 2006 Mailian Harahap


(8)

©

Hak cipta milik Ma ilina Harahap, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi,


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL……….. xi

DAFTAR GAMBAR ……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii

I. PENDAHULUAN ……….. 1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………..……….. 5

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian……….….. 8

1.5. Batasan Penelitian 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan Wilayah ... 9

2.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan ... 11 2.3. Sumber Daya Perikanan Laut ... 13

2.4. Konsep Sumber Daya Manusia dan Gender ... 15

2.5. Curahan Kerja Perempuan dan Laki-laki ... 20

2.6. Peran Laki-laki dan Perempuan Dalam Pengelolaan Kawasan Pantai ... 21 2.7. Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya... 23

2.8. Gender dalam Pembangunan... 24

2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu……… 25

III. KERANGKA PEMIKIRAN ………. 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ………. ………. 27

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .………. 34

IV. METODE PENELITIAN ………..…… 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….………… 37

4.2. Metode Penarikan Sampel ……….….…… 37

4.3. Jenis dan Sumber Data……… 38

4.4. Metode (skala) Pengukuran... 38

4.5. Metode Analisis……….. 39

V. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak Geografis... 46

5.2. Keadaan Sosial Ekonomi……… 48


(10)

x

VI. SUMBERDAYA PERIKANAN DAN LAUT

6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut……….. 54

6.2. Karakteristik Rumahtangga Nelayan Sampel………. 60

II EFISIENSI KERAGAAN AKTIVITAS PERIKANAN LAUT 7.1 Analisis Efisiensi Keragaan Kapasitas Tangkap Nelayan Panai Hilir... 67 VIII PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA NELAYAN DAN KAPASITAS PERIKANAN TANGKAP 8.1. Pola Pekerjaan Anggota Rumahtangga... 74

8.2. Pembagian Kerja dan Curahan Waktu dalam Kegiatan Reproduktif... 76 8.3. Pembagian Kerja dan Curahan Wak tu dalam Aktivitas Produktif... ... 80 8.4. Aktivitas Kebutuhan Dasar... 87

8.5. Curahan Waktu dalam Aktivitas Sosial... 88

8.6. Akses Terhadap Berbagai Sumberdaya………... 88

8.7. Kontrol Terhadap Akvivitas Perikanan Tangkap ……… 95

8.8. Hubungan Sumberdaya Perempuan dengan Kontrol……….. 100

8.9. Overcapacity Wilayah Tangkap Panai Hilir dan Peran Gender….. 103

XI KESIMPULAN DAN SARAN……….. 11.1 Kesimpulan………. 106

11.2 Saran ………….………..……….. 107

DAFTAR PUSTAKA……….…….


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penelitian gender terdahulu 26

2. Jumlah responden pada masing-masing desa 38

3. Skor Nilai Jawaban Responden 39

4. Luas dan jumlah penduduk menurut desa 47

5. Jumlah penduduk pada tiap desa berdasarkan jenis kelamin 50

6. Jumlah penduduk menurut tingkat umur dan pendidikan 51

7. Sarana prasarana Kecamatan Panai Hilir 52

8. Jenis dan jumlah alat tangkap nelayan Kecamatan Panai Hilir 56

9. Jumlah perahu dan kekuatan mesin 56

10. Siklus pasang surut air laut 59

11. Status usaha perikanan nelayan 60

12. Kepemilikan armada tangkap 61

13. Tingkat pendidikan pasangan suami istri 62

14. Sebaran tingkat pendidikan anggota rumah tangga nelayan yang berumur di atas 17 tahun

62

15. Kategori tingkat jumlah anggota rumahtangga nelayan 63

16. Jumlah anggota rumahtangga 64

17. Kategori tingkat pengalaman melaut nelayan 65

18. Kategori tingkat umur pasangan suami istri rumahtangga nelayan 66

19. Rata-rata pendapatan rumahtangga nelayan 66

20. Keragaan kapasitas tangkap perikanan nelayan yang efisien 73

21. Aktivitas reproduktif dan rata-rata curahan waktu (jam) sehari yang lalu dalam rumahtangga nelayan

77

22. Aktiv itas produktif dan Rata-rata Curahan Waktu (jam) sehari yang lalu dalam rumahtangga nelayan

81

23. Aktivitas Kebutuhan Dasar dan Rata-rata Curahan Waktu 87

24. Akses sumberdaya yang dimiliki laki-laki dan perempuan 88

25. Kontrol Rumahtangga Nelayan Tid ak Pengolah 95

26. Kontrol Rumahtangga nelayan pengolah 96

27. Korelasi Akses dan Kontrol Pada Tiap Strata 100

28. Uji Korelasi Pendidikan dan Kontrol Pada Tiap Strata 101


(12)

xii Nomor

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pengaruh tangkap terhadap terhadap stok (biomas)... 14 2. Kerangka Pemikiran Operasional... 36

3. Rantai pemasaran ikan dalam sistem tangkahan………... 54

4. Potential Improvement dari trip melaut dalam sebulan………… 68 5. Potential Improvement dari tenaga kerja melaut dalam sebulan.. 69 6. Potential Improvement dari bahan bakar minyak yang

digunakan per trip melaut dalam sebulan ……….

70 7. Potential Improvement dari kekuatan mesin perahu yang

digunakan………..

71


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1 . Karakteristik R umahtangga Nelayan 111 2 . Data Input dan Output Rumahtangga Nelayan Tidak Pengolah 113

3 . Hasil Analisis Dea 114

4. Akses Rumahtangga Nelayan 120

5. Hasil olahan data Rank Spearman 121


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Rezim pemerintahan Orde Baru yang sentralistik meninggalkan pertumbuhan ekonomi yang tidak mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Secara umum sistem pemerintahan sentralistik cenderung menimbulkan; 1) politik yang tidak demokratis, 2) korupsi, 3) rent seeking activities dan 4) moral hazard

(Solihin, et. al. 2005). Demikian pula yang terjadi pada sektor kelautan dan perikanan di mana aktivitas pencari keuntungan (rent seeking activities) yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok berdampak pada kerusakan sumber daya perikanan dan laut yang pada gilirannya menempatkan masyarakat bawah

(grass root) pada kondisi ekonomi yang semakin sulit.

Reformasi yang terjadi tahun 1998 memberi warna baru pada pemerintahan Indonesia yang disusul kemudian dengan adanya UU NO. 22/1999 tentang kewenangan daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri. Pemerintah daerah harus inovasi dan kreatif dalam mengelola potensi-potensi sumber daya yang tersedia dan diupayakan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Khusus untuk sektor perikanan laut, otonomi daerah merupakan peluang terciptanya redefinisi dan reorientasi pembangunan dari sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Untuk itu hak atas sumber daya kelautan dan perikanan seharusnya dikembalikan pada masyarakat sebagai pemanfaat sumber daya perikanan dan laut yang tersedia. Dalam hal ini diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi pada pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut yang berkelanjutan.

Pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang berkelanjutan mengandung makna bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kebutuhan saat sekarang tidak merusak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Tetapi sangat menyayangkan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan tersebut sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sifat laut yang open acces sehingga setiap individu memiliki hak untuk mengesktraksi sumber daya perikanan dan laut tanpa melakukan kompensasi terhadap pelestarian produksi sumber daya


(15)

perikanan laut yang lestari. Aktivitas mengekstraksi jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan yang ada

(overfishing) pada gilirannya menjadikan laut mengalami degradasi dan deplesi. Secara umum hasil assesment Asian Development Bank tahun 2004 menunjukkan indikasi bahwa perairan Indonesia telah mendekati overfishing dan bahkan di beberapa wilayah seperti pantai Utara Jawa dan Sumatera sudah mengalami overfishing (Fauzi, 2005). Overfishing yang terjadi di wilayah perairan Selat Malaka merupakan dampak dari penggunaan alat tangkap trawl yang mampu menangkap semua jenis sasaran tangkap, terutama di perairan dasar laut (Solihin, et. al. 2005). Salah satu wilayah pesisir di Sumatera Utara yang berbatasan dengan perairan Selat Malaka adalah Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu.

Sifat laut yang open acces mendorong setiap orang yang berdomisili di wilayah pesisir Kecamatan Panai Hilir dan juga nelayan asing untuk mengekstraksi laut sebesar-sebarnya dengan berbagai teknologi alat perikanan tangkap baik legal maupun illegal. Disatu sisi, biaya monitoring sumberdaya perikanan dan laut relatif tinggi sehingga eksternalitas yang terjadi sulit untuk dikendalikan. Penggunaan teknologi yang tidak tepat guna baik oleh nelayan lokal maupun nelayan asing menyebabkan stok ikan berkurang dan pada akhirnya hasil tangkapan pada setiap trip melaut mengalami penurunan. Seiring dengan berkurangnya stok ikan, persaingan antar nelayan dalam mengekstraksi laut pun semakin tinggi pada akhirnya menimbulkan konflik yang memperparah kehidupan nelayan khususnya nelayan miskin.

Overfishing yang terjadi pada wilayah perairan tangkap nelayan Panai Hilir semakin memacu nelayan untuk lebih meningkatkan kapasitas tangkap mereka sebagai usaha untuk mendapatk an hasil tangkapan yang banyak. Disamping itu overfishing yang terjadi berdampak pada pola pemanfaatan hasil tangkapan rumahtangga nelayan pengolah sehingga hasil tangkapan dipasarkan dalam bentuk segar. Perubahan usaha perikanan tangkap rumahtangga nelayan pengolah tersebut tidak lepas dari aspek ketersediaan sumber daya perikanan laut yang semakin berkurang sehingga bahan baku yang diperoleh sedikit.


(16)

Berkurangnya rumahtangga nelayan yang melakukan pengolahan sumber daya perik anan laut, menunjukkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut tersebut apab ila dilihat dari dimensi gender kurang optimal. Hal ini dikarenakan apabila aktivitas pengolahan ikan dalam rumahtangga nelayan Panai Hilir tidak ada, maka hanya terdapat peran laki-laki dengan aktivitas penangkapan ikan di laut sementara peran perempuan tidak ada. Sebagaimana wilayah pesisir umumnya tidak terlepas dari aspek budaya masyarakat yang menempatkan laki-pada ranah laut dan perempuan laki-pada ranah darat dengan aktivitas pengo lahan ikan.

Kurang optimalnya peran jender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut akan berdampak pada perekonomian rumahtangga nelayan yang akan semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Disamping itu dengan tidak adanya aktivitas pengolahan ikan dalam rumahtangga nelayan, maka waktu luang mereka akan menjadi tinggi sementara peluang untuk mendapatkan tingkat pendapatan rumahtangga dari pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut Panai Hilir akan rendah. Hasil penelitian terhadap rumahtan gga nelayan menunjukkan terdapat 71,42% istri nelayan bekerja di sektor perikanan dengan mengolah ikan hasil tangkapan dan kegiatan ini memberikan kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga (Miftachhuddin, 2003). Demikian pula penelitian terhadap wanita nelayan di kotamadya Medan menunjukkan hasil bahwa dengan semakin banyaknya waktu luang yang dipergunakan untuk mencari nafkah tambahan, memberikan andil yang sangat besar dan nyata terhadap peningkatan pendapatan dan kondisi rumahtangga tempat tinggal (Rinaldi, 1999)

Overfishing yang terjadi di wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir juga menunjukkan pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut yang tidak efisien. Hal ini terkait dengan pengalokasian modal dengan penggunaan kapasitas tangkap yang berlebihan (overcapacity) di samping peran jender kurang optimal juga akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya perikanan dan laut. Untuk itu sangat diperlukan adanya pemanfaatan sumber daya manusia dengan melihat dimensi gender yang terdapat pada wilayah Kecamatan Panai Hilir tersebut. Sebagaimana Anwar (1997) menitik beratkan bahwa upaya


(17)

perbaikan sumber daya dan peningkatan ekonomi sangat ditentukan oleh peran gender.

Produksi perikanan laut yang berkelanjutan hanya dapat diperoleh dari pemanfaatan laut secara efisien. Efisien dalam hal ini sangat terkait dengan faktor-faktor input. Sehingga perlu diketahui seberapa besar kapasitas perikanan yang dialokasikan oleh nelayan untuk suatu wilayah tertentu. Sebagaimana Fauzi dan Anna (2005) menyatakan, bahwa perlu dilakukan perhitungan kapasitas perikanan untuk mengetahui apakah perikanan tersebut sudah efisien dalam kaitannya dengan economic overfishing. Disamping itu rumahtangga nelayan sebagai unit pengelola sumber daya perikanan laut memiliki peran dalam kaitannya dengan

economic overfishing. Dapat dikatakan bahwa degradasi produksi lestari dari perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir sangat terkait dengan aktivitas rumahtangga nelayan dan nelayan asing dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir.

Rumahtangga nelayan merupakan sumberdaya manusia yang merupakan potensi dalam pembangunan kawasan pesisir dan laut. Sebagaimana Dahuri (2003) menyatakan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang kelautan sangat penting agar potensi sumberdaya kelautan mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional di masa mendatang. Disamping itu agar potensi sumber daya laut memberi manfaat berkelanjutan terhadap pembangunan wilayah maka perlu memperhatikan daya dukung maksimum lingkungan

(carrying capacity) terkait dengan sumber daya di sekitar wilayah pesisir.

Pemanfaatan sumber daya perikanan yang telah melebihi daya dukung maksimum lingkungan di tunjang oleh pengunaan kapasitas perikanan tangkap yang berlebihan (overcapacity) sangat sulit untuk ditemukan solusinya. Berbagai penelitian mencoba untuk melihat faktor yang menimbulkan overcapacity tersebut diantaranya Fauzi (2005), Fatchudin (2006), Maman Hermawan (2006) tetapi sejauh ini dalam mengkaji overcapacity tersebut belum melihat dimensi peran gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperlukan pengkajian terhadap kapasitas perikanan tangkap terkait dengan dimensi peran gender yang terdapat pada rumahtangga nelayan dan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir.


(18)

1.2. Rumusan Masalah

Kabupaten Labuhan Batu terbagi atas dua tipe wilayah yaitu wilayah pantai dan wilayah pedalaman. Salah satu wilayah pantainya adalah Kecamatan Panai Hilir yag berbatasan dengan perairan laut Selat Malaka. Kecamatan Panai Hilir memiliki perbedaan dengan kecamatan-kecamatan yang terdapat pada wilayah pedalaman baik dari aspek sosial budaya maupun perekonomian. Kecamatan Panai Hilir dapat digolongkan pada wilayah yang memiliki perkembangan lambat bila dibandingkan dengan wilayah pedalaman.

Sumber daya perikanan dan laut merupakan salah satu sumber daya yang memberi kontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat dengan aktivitas tangkap dan perdagangan hasil produksi perikanan lautnya. Tetapi sejauh ini pengelolaan dan pemanfaatan optimal belum dilakukan pada wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir. Pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir hanya member i manfaat besar bagi pemilik modal dan nelayan besar yang menguasai teknologi penangkapan perikanan laut. Sehingga tidak jarang aktivitas tersebut menimbulkan eksternalitas dan mengarah pada

overfishing. Kondisi wilayah perairan Kecamatan Panai Hilir yang mengalami

overfishing secara langsung berdampak pada terhambatnya pembangunan wilayah Kecamatan Panai Hilir yang tidak tertuju pada tujuan pembangunan yaitu; 1)

pertumbuhan (growth), 2) pemerataan (equity) dan 3) keberlanjutan

(sustainability) .

Overfishing yang terjadi bermula sejak tahun 1980 penggunaan alat tangkap trawl dan purse saine telah beroperasi di perairan Selat Malaka yang berdampak terjadinya deplesi sumber daya perikanan . Permasalahan deplesi berimplikasi pada kemiskinan yang berkepanjangan pada rumahtangga nelayan kecil dan buruh. Sebagaimana yang dikemukakan Fauzi (2006), efek domino dari

modernisasi perikanan adalah; 1) berdampak pada permasalahan kemiskinan yang persisten dimana pendapatan riil nelayan khususnya nelayan kecil Indonesia mas ih di bawah US $ 50 per kapita per bulan, dan 2) Terjadinya over capacity

pada wilayah tangkap Selat Malaka.

Kemiskinan merupakan faktor penghambat pertumbuhan wilayah. Dimana kemiskinan rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir merupakan kemiskinan


(19)

yang berada dalam suatu lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputus karena faktor-faktor yang ada di dalamnya saling terkait satu sama lain. Seperti tingkat pendapatan yang rendah tentunya berimplikasi pada pendidikan, kesehatan, dan produktivitas yang rendah pula dan berujug pada tingkat pendapatan yang rendah.

Overfishing menjadikan semakin berkurangnya jumlah hasil tangkapan yang diperoleh rumahtangga nelayan Panai Hilir bahkan tidak jarang nelayan pulang melaut tanpa membawa hasil. Fenomena tersebut berdampak pada semakin berkurangnya aktivitas pengolahan pada rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir.

Seyogyanya pemanfaatan sumber daya perikanan akan memberi manfaat positif terhadap pertumbuhan wilayah. Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan wilayah sangat ditentukan oleh perpaduan kemampuan sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam dengan ketersediaan sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan produktivitas. Pengurangan aktivitas pengolahan pada rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir telah menghambat produktivitas dari sumber daya manusia yan g ada dalam dimensi jender. Dengan tidak adanya aktivitas pengolahan dalam rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir akan terdapat ketimpangan gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut yang pada gilirannya menjadikan ekonomi rumahtangga nelayan lemah. Hal ini dikarenakan sumber mata pencaharian rumahtangga terpusat pada aktivitas tangkap yang hanya dilakukan laki-laki dan dijual dalam bentuk segar sehingga tidak memiliki nilai tambah. Dengan demikian overfishing yang terjadi pada wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir juga dapat dikatakan telah memperkecil peluang perempuan untuk berkontribusi menghasilkan pendapatan rumahtangga dengan memanfaatkan potensi sumber daya perikanan laut yang tersedia.

Pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang hanya dinikmati oleh pemilik modal dan nelayan besar baik nelayan lokal maupun asing merupakan

faktor penghambat mewujudkan pemerataan (equity) dan keberlanjutan

(sustainability) dalam tujuan pembangunan Kecamatan Panai Hilir. Sebagai akibat pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang dikuasai oleh pemilik modal dan nelayan besar menjadikan pemanfaatan terhadap sumber daya yang tidak adil


(20)

pula. Artinya pemanfaatan sumber daya perikanan laut oleh pemilik lodal dan nelayan besar baik lokal maupun asing dengan berbagai tekonologi alat tangkap yang sebagian besar illegal menjadikan stok perikanan terkuras sehingga sumber daya perikanan pada gilirannya bukan saja mangalami degradasi tapi deplesi. Kondisi tersebut menjadikan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang tidak berkelanjutan.

Pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang menimbulkan wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir overfishing pada gilirannya akan menjadikan aktivitas tangkap nelayan terhadap sumber daya perikanan laut melebihi kapasitas tangkap wilayah Kecamatan Panai Hilir yang tersedia. Kapasitas tangkap lebih (overcapacity) dipacu oleh sifat proses produksi yang

interdependet dari setiap individu nelayan, di mana hasil tangkapan dari satu nelayan akan sangat tergantung pada tangkapan nelayan lain. Sifat tersebut menjadikan setiap nelayan akan meningkatkan inputnya sebagai upaya (effort)

untuk mendapatakan hasil produksi tangkap yang tinggi atau setidaknya hasil tangkapan tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk hari tersebut dan untuk biaya melaut besoknya. Dengan demikian alokasi modal yang dimiliki tidak mencukupi untuk melakukan aktivitas pengolahan yang sebenarnya memberikan tambahan nilai terhadap pendapatan rumahtangga nelayan.

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa overfishing

berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan sumber daya perikanan laut dalam dimensi gender yang pada gilirannya tujuan pembangunan tidak tercapai. Berdasarkan latar belakang dan uraian sebelumnya maka dapat dirumuskan beberapa rumusan permasalahan yang di peroleh dalam penelitian, yakni:

1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Panai Hilir

2. Bagaimana efisiensi keragaan kapasitas perikanan tangkap nelayan Panai Hilir.

3. Bagaimana peran gender dalam rumahtangga nelayan Panai Hilir, faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kontro l yang dimiliki perempuan dalam aktivitas memanfaatkan sumber daya perikanan laut


(21)

dan bagaimana hubungan peran gender dengan kapasitas perikanan tangkap rumahtangga nelayan Panai Hilir.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Panai Hilir.

2. Menganalisis efisiensi keragaan kapasitas perikanan tangkap nelayan Panai Hilir.

3. Menganalisis bagaimana peran gender dalam rumahtangga nelayan Panai Hilir, faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kontrol yang dimiliki perempuan dalam aktivitas memanfaatkan sumber daya perikanan laut dan bagaimana hubungan peran gender dengan kapasitas perikanan tangkap rumahtangga nelayan Panai Hilir.

1.4. Batasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Panai Hilir hanya dilakukan pada nelayan lokal dalam skala usaha rumahtangga nelayan pribumi yang terdapat di desa-desa nelayan Kecamatan Panai Hilir.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam mengendalikan eksternalitas yang terjadi terhadap aktivitas perikanan tangkap nelayan khususnya di wilayah tangkap Panai Hilir dan pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut Kabupaten Labuhanbatu pada umumnya. Selanjutnya bermanfaat dalam membuat pendekatan-pendekatan baru untuk memberdayakan masyarakat kawasan pesisir dengan pendekatan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan

masyarakat pesisir dan laut (Gender mainstreaming in coastal resource


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Wilayah

Pembangunan mengandung makna adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Menurut Rustiadi (2003) secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain pembangunan dapat dikonseptualisasiskan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembangunan bukanlah hanya sekedar membuat sesuatu berwujud fisik yang belum ada menjadi. Dengan kata lain pembangunan keseluruhan terkait pada lingkungan dan sistem sosial yang terdapat di masyarakat. Dan hakekat pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual.

Wilayah adalah suatu area geografis, teritorial atau ruang, bisa suatu negara, negara bagian, daerah, taluk, blok atau desa, akan tetapi wilayah tidak selalu beraplikasi terhadap suatu ruang atau area yang khusus karena dapat juga dilihat sebagai satu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administratif, klimatik atau geografis menurut keperluan atau tujuan suatu studi (Shukla, 2000). Budiharsono (2001), mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian -bagiannya tergantung secara internal. Selanjutnya wilayah dapat di bagi menjadi 4 jenis yaitu; wilayah homogen, wilayah nodal, wilayah perencanaan dan wilayah admin istratif.

1. Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-c iri yang relatif sama misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku dan sebagainya.


(23)

2. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland)

yang dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa ataupun komunikasi dan transportasi.

3. Wilayah adminstratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administratif pemerintah atau politik, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan RT/RW.

4. Wilayah perencanaan menurut Glasson dalam Budiharsono (2001) sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputus an-keputusan ekonomi.

Wilayah pesisir dan lautan dari konsep wilayah bisa termasuk dalam keempat jenis wilayah tersebut. Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah sentra produksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tin gkat pendapatan penduduknya tergolong dibawah garis kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang dengan wilayah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (back yard), yang merupakan tempat pembuangan segala macam limbah. Sehubungan dengan fungsinya sebagai wilayah belakang, maka wilayah pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti, dan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti.

Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun juga dapat berupa kabupaten atau kota dalam bentuk pulau kecil. Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan oleh kriteria ekologis sehingga melewati batas -batas satuan wilayah adminsitratif. Terganggunya keseimbangan biofisik -ekologis dalam wilayah ini akan berdampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tapi juga daerah sekitarnya yang merupakan kesatuan wilayah sistem (kawasan). Oleh karena itu dalam pembangunan dan pengembangan wilayah ini diperlukan suatu perencanaan terpadu yang tidak menutup kemungkinan adalah lintas batas administratif (Budiharsono, 2001).


(24)

Menurut Anwar (2001) bahwa paradigma pembangunan wilayah diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Oleh karena itu berdasarkan paradigma pembangunan wilayah ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second Fundamental of Welfare Economics). Dalil tersebut menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada pembangunan spasial untuk mencari keseimbangan kemajuan pembangunan yang lebih merata secara regional (regional balance) dengan memanfaatkan potensi dan jenis keunggulan yang terdapat pada masing-masing wilayah dan mengurangi terjadinya urban bias. Dengan demikian pembangunan wilayah khususnya wilayah pantai dan lautan tidak lepas dari aspek pemertaan

(equity), pertumbuhan ekonomi (efficiency) dan keberlanjutan (sustainability)

dengan menggerakkan seluruh potensi-potensi yang ada secara terpadu dan bersifat menyeluruh.

2.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan

Pembangunan nasional di bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang (Propenas, 2000 – 2004). Menurut Dahuri (2003) pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial apabila secara ekonomis dapat efisien serta layak, secara ekologis lestari (ramah lingkungan), dan secara sosial berkeadilan. Suatu kawasan pembangunan, termasuk pesisir dan laut, secara ekonomis dianggap berkelanjutan

(an economically sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor.


(25)

Kawasan pembangunan secara ekologis berkelanjutan apabila sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksplo itasi berlebih terhadap sumberdaya, tidak terjadi pembuangan limbah melebihi kapasitas asimilasi lingkungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi. Sementara kawasan pembangunan secara sosial berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan) bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik.

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah sesuai dengan karakteristik dan permasalahan pengembangan di kawasan pantai dan pulau-pulau kecil. Menurut Dahuri (1996) terdapat tiga jenjang strategis yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) strategi pengembangan pada level Desa; yaitu pengembangan pada level "grass root" masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan masyarakat (potensi sumber daya manusia dan teknologi) dan potensi sumber daya kelautan, 2) strategi pengembangan pada level Mikro atau keterkaitan antar pulau -pulau; yaitu upaya-upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi; dengan mengkaitkan pengembangan pasar, pengolahan produksi dan kemudahan transport dan, 3) strategi pengembangan pada level Makro; yaitu mengkaitkan kawasan pantai dan pulau -pulau kecil ke dalam sistem yang lebih luas baik sistem Nasional maupun Internasional. Dalam konsep ini, kawasan pantai dan pulau -pulau kecil merupakan bagian integral dari kawasan pengembangan wilayah baik merupakan kawasan andalan, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) atau kawasan pengembangan lainnya. Gugus pantai dan pulau -pulau kecil ditempat sebagai sentra pruduksi baik berfungsi sebagai kawasan lindung, produsen produk kelautan, lokasi pengolahan produk kelautan dan sebagainya.

Khusus pulau -pulau kec il yang ada di Indonesia dan belum dihuni, maka dalam pengembangannya akan memperhatikan aspek-aspek lingkungan yang menyangkut pengamanan hutan -hutan, potensi kelautan dan sumber daya alam lainnya. Bagi pantai dan pulau -pulau kecil yang telah dihuni oleh masyarakat, maka pendekatan pembangunan dilakukan berdasarkan potensi masyarakat dan


(26)

potensi yang terkandung dalam pulau-pulau tersebut. Secara umum, tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain:

1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha

2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan

3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan

4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan laut.

2.3 Sumber Daya Perikanan Laut

Sumberdaya didefinisikan secara beragam baik dalam ilmu-ilmu ekonomi dan sosial. Ensiklopedia Webster dalam Fauzi (2004) mendefinisikan sumberdaya sebagai kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, sumber persediaan, penunjang atau bantuan, atau sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Grima dan Berkes (1989) dalam Fauzi (2004) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset atau pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Sedangkan Fauzi (2004) sendiri mendefinisikan sumberdaya sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi dengan kata lain sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya adalah segala sesuatu yang bernilai dan memiliki manfaat dalam menunjang kehidupan manusia. Sumberdaya dapat di kelompokkan atas empat, yaitu; 1) sumberdaya manusia, 2) sumberdaya alam, 3) sumberdaya buatan, dan 4) sumberdaya sosial.

Sumber daya perikanan laut merupakan jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan memiliki titik kritis. Hal tersebut didasarkan adanya proses biologi sebagai regenerasi dari sumber daya perikanan laut tetapi adanya titik kritis kapasitas maksimum regenerasi perikanan laut yang apabila telah dilewati akan menjadikan perikanan laut tidak dapat diperbaharui (Fauzi, 2004). Dengan


(27)

demikian pola pemanfaatan dari sumber daya perikanan laut sangat menentukan ketersediaan sumber daya perikanan laut tersebut untuk masa yang akan datang disamping pola pengelolaannya. Hal ini dikarenakan sumber daya perikanan memiliki titik kritis sehingga dengan adanya introduksi penangkapan ikan memiliki pengaruh terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan, yang dapat dijelaskan dengan gambar 1.

Gambar 1 Pengaruh tangkap terhadap terhadap stok (biomas)

Gambar 1 menjelaskan bahwa jika pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal). Kemudian, jika upaya dinaikkan sebesar E2, di mana E2 > E1, hasil tangkapa akan meningkat sebesar h2 (h2 > h1). Tetapi apabila upaya terus dinaikkan pad a E3 maka (E3 > E2 > E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar. Sehingga dapat dikatakan pada kondisi perikanan laut mengalami pertumbuhan stok ikan yang semakin rendah, eksploitasi perikanan laut dengan peningkatan kapasitas tangkap tidak akan efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar.

Fenomena yang ditunjukkan oleh gambar 1 adalah kondisi overfishing

yang dapat juga diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan pada daerah tertentu (Fauzi, f (x)

h 1

h 2

h 3

h = q x E3

h = q x E2


(28)

2005). Selanjutanya overfishing dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe, yaitu: 1) Recruitmen overfishin g, 2) Growth overfishing, 3) Economic overfishing dan, 4) Malthusian overfishing.

Gordon dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa sumber daya perikanan pada umumnya bersifat open access artinya siapa saja bisa berpartisipasi dan memanfaatkan perikanan tanpa harus memiliki sumber daya tersebut sehingga tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol tersebut. Selanjutnya Fauzi (2005) menambahkan eskalasi

overfishing di zaman modern sedikit banyak dipicu oleh gap yang makin lebar antara kebutuhan permintaan ikan dan kemajuan teknologi di satu sisi dengan kemampuan penyediaan sumber daya yang terbatas di sisi lain. Hasil studi Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan pada rezim pengelolaan akses terbuka dua kali lebih banyak daripada kalau perikanan dikelola secara privat. Demikian pula tingkat biomas yang diperoleh pada pengelolaan akses terbuka juga jauh lebih sedikit daripada rezim pengelolaan privat. Dengan demikian pada perikanan akses terbuka penggunaan kapasitas perikanan tangkap akan semakin tinggi seiring semakin banyaknya jumlah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan laut.

Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan beberapa penjelasan berkaitan dengan kapasitas perikanan tangkap. Secara umum penggunaan kapasitas perikanan barkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan sumber daya perikanan dibandingkan dengan stok kapital (capital stock) yang ada (Kirkley and Squires dalam Fauzi, 2005). Fauzi dan Anna (2005) menambahkan bahwa kapital stok merupakan kapital yang merupakan fungsi dari spesifikasi kapal, alat tangkap, kekuatan mesin, sementara sumber daya manusia berupa jumlah awak dan sebagainya. Keseluruhan kapital dan sumber daya manusia merupakan manifestasi dari upaya (effort) yang di ukur dalam trip melaut.

2.4 Konsep Sumber Daya Manusia dan Gender

Todaro (1995) menyatakan bahwa sumberdaya manusia merupakan modal dasar kekayaan bangsa, sedangkan sumberdaya yang lain yakni sumberdaya fisik


(29)

maupun sumberdaya alam hanyalah faktor produksi yang bersifat pasif. Fungsi manusia dalam ekonomi adalah mengumpulkan modal, mengeksploitasi sumberdaya alam, membangun organisasi-organisasi sosial, ekonomi maupun organisasi politik, serta melakukan pembangunan nasional. Sementara Anwar (1997) menitik beratkan bahwa upaya perbaikan dan peningkatan ekonomi sangat ditentukan oleh peran jender. Dan dengan mengurangi kesenjangan jender akan

memperoleh keuntungan-keuntungan; 1) mengarah pada peningkatan

produktivitas yang menguntungkan, 2) pemberian keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan dan 3) meningkatkan usaha mengentask an kemiskinan. Dengan demikian jender merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan.

Meningkatnya kesadaran bahwa peran perempuan perlu dilihat dan hubungannya dengan kaum lelaki maka gender dan pembangunan merupakan suatu konsep, strategi dan perencanaan yang tepat. Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin sedangkan konsep gender menurut Handayani dan Sugiarti (2001) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Demikian pula Prijono dan Pranarka (1996) menyatakan konsep gender merupakan konsep sosial-budaya yang digunakan untuk menggambarkan peran, fungsi, dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat yang merujuk pada pemahaman bahwa identitas, peran, fungsi, pola prilaku, kegiatan dan persepsi baik tentang perempuan maupun laki-laki ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Menurut Amal (2002) gender bukan sinonim dari kata perempuan. Gender adalah tentang apa artinya menjadi perempuan dan menjadi laki-laki bukan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis merupakan perbedaan kodrati seperti hanya perempuan yang bisa hamil dan menyusui dan perbedaan tersebut tidak bisa dirubah sedangkan gender adalah perbedaan prilaku, peran, perangai dan sikap perempuan dan laki-laki melalui proses pembelajaran yang panjang dari sejak bayi hingga dewasa. Sosialisasi gender adalah proses


(30)

belajar menjadi laki-laki dan perempuan dengan berbagai atributnya yang berbeda karena gender adalah kontruksi budaya yang dipelajari melalui proses sosialisasi.

Gender and Development (GAD) mengandung makna adanya hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun budaya, bukan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2001). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan pada umumnya merupakan kontruksi dari budaya dan ataupun kebiasaan hidup masyarakat yang berimplikasi adanya perbedaan peran produktif, reproduktif, akses, kontrol dan sebagainya. Lebih jauh Handayani dan Sugiarti (2001) menyatakan bahwa GAD bukan hanya sekedar menjawab kebutuhan praktis, untuk mengubah kondisi perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan dengan peran aktif perempuan sebagai agen perubahan yang bukan hanya sekedar objek pembangunan atau penerima program pembangunan secara pasif. Sebagaimana yang dikemukakan Saruan (2000) apabila pengelolaan pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih memfokuskan kepada partisipasi masyarakat, maka tujuan utama dari pemberdayaan laki-laki dan perempuan kemungkinan akan tercapai bukan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan gender tapi juga pemenuhan strategis gender.

Dari uraian di atas gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan yang didukung pula oleh aspek budaya yang berada di masyarakat yang bukan hanya karena aspek biologis dan kodrati semata. Dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat, bahwa sejak kecil laki-laki dan perempuan sudah disosialisasikan untuk berprilaku sesuai dengan tatakrama budaya yang berlaku. Sehingga konsep gender dapat pula dikatakan berbeda-beda pada setiap lapisan, struktur dan budaya masyarakat. Selain itu dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat yang melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan bukan kodrat (Fakih dalam Prijono dan Pranarka, 1996). Dengan demikian perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrati, tetapi


(31)

dibedakan atau dipilah -pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Menurut Vitayala (2000), peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif dan peran sosial.

1. Peran reproduktif (domestik)

a. Peran reproduktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan tugas-tugas kerumahtanggaan seperti: menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak.

b. Kegiatan reproduktif sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga tetapi jarang dipertimbangkan sebagai bentuk pekerjaan yang konkrit.

c. Dalam masyarakat miskin, sebagian besar pekerjaan reproduktif dilakukan perempuan secara manual (menggunakan tangan).

d. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu yang

lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari dan hampir selalu merupakan tanggungjawab perempuan dan anak perempuan. e. Pekerjaan reproduktif yang dilakukan di dalam rumahtangga tidak

diperhitungkan sebagai pekerjaan (karena tidak di bayar).

2. Peran produktif

a. Pekerjaan produktif menyangkut pekerjaan menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperdagangkan (pertanian, nelayan, pekerjaan dan wirausaha).

b. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, untuk kegiatan dibidang pertanian maka kegiatan membajak, bekerja dengan mesin merupakan tanggung jawab laki-laki, sedangkan pekerjaan menanam,


(32)

menyiangi, memerah susu dan pekerjaan lainnya yang dianggap ringan merupakan pekerjaan perempuan.

c. Jenis pekerjaan yang dinilai sebagai pekerjaan produktif terkait pada pekerjaan yang dapat diperhitungkan melalui sistem perhitungan nasional (GNP atau Statistik Sosial Ekonomi).

d. Pekerjaan produktif dapat dilakukan oleh gender laki-laki maupun perempuan dan diambil (dibayar) dengan uang (tunai) atau natura.

3. Peran Sosial

a. Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik

b. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan. Misalnya, membantu pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan pelayanan kesehatan (posyandu) pelaksanaan 10 tugas pokok PKK, menyiapkan makanan untuk acara kemasyarakatan dan rapat-rapat dan lain -lain. Lelaki kurang banyak terlibat dalam kegiatan relawan.

c. Peran politik dimasyarakat adalah peran yang terkait dengan status atau kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih tinggi. Sebagian besar kegiatan yang terkait dengan politik umumnya dilakukan oleh laki-laki.

Berdasarkan pada kenyataanya terdapat ketimpangan-ketimpangan gender dalam pelaksanaan penelitian sehingga diperlukan suatu alat yang disebut analisis gender. Menurut Achmad (1991), analisis gender sering didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis untuk mencatat kelaziman atau tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam suatu kegiatan yang membentuk sistem produksi barang dan jasa. Akan tetapi pengembangan selanjutnya telah diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan aktual perempuan. Namun dalam proses perkembangan tersebut disadari bahwa ada saling ketergantungan antara kebutuhan aktual perempuan dan laki-laki karena kebutuhan aktual tergantung dari bentuk dan sifat


(33)

peran laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan maupun hasil pembangunan.

Analisis gender bertujuan memahami mekanisme yang mendasari masalah kebijakan pembangunan yang dominan, pelaksanaan program dan kaitannya dengan implikasi terhadap hubungan laki-laki dan perempuan (Mikkelsen, 1999). Sebagaimana penelitian Mukherjee, et al. (2001) bahwa impllikasi kebijakan yang tidak memperhatikan masalah gender memberikan dampak negatif dan manfaat yang tidak nyata dari program pembangunan yang di rancang.

2.5 Curahan Kerja Perempuan dan Laki-laki

Pudjiwati (1983) menyatakan, hal-hal yang berkaitan dengan konsep bekerja dapat diidentifikasi yaitu; (1) para pelaku yang mempunyai peranan tertentu mengeluarkan energi; (2) para pelaku memberikan sumbangan dalam produksi barang maupun jasa; (3) para pelaku menjalin suatu pola interaksi sosial dengan lingkungannya dan memperoleh status (4) para pelaku mendapatkan hasil berupa cash atau berbentuk natura dan (5) para pelaku mendapatkan hasil yang mempunyai nilai waktu. Sementara Gleason (1991) mengkategorikan kerja wanita menjadi : (1) bekerja sebagai tenaga kerja untuk upah; (2) bekerja sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar; dan (3) bekerja untu k keluarga dalam aktivitas ekonomi subsistem.

Curahan kerja dapat di katakan kerja yang di curahkan oleh anggota rumah tangga baik laki-laki dan perempuan di dalam maupun di luar rumah. Curahan kerja laki-laki dan perempuan pada setiap tempat berbeda-beda, misalnya di kota dengan di desa. Disamping itu curahan kerja laki-laki dan perempuan tidak lepas dari lingkungan sosial dan budaya masyarakat. Gleason (1991) menyatakan nilai bekerja laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari peran gender yang berlaku sesuai dengan tradisi dan kebudayaan di mana mereka tinggal. Laki-laki merupakan kepala keluarga yang mempunyai tanggung jawab menafkahi keluarga sedangkan perempuan tidak perlu bekerja karena tempatnya adalah di rumah mengurus anak-anak.


(34)

Pada sebagian rumahtangga, perempuan yang tinggal di rumah melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan uang seperti; membuka usaha jasa (jahitan, salon, kursus-kursus) dan warung. Aktivitas tersebut merupakan aktivitas ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Archarya (1983) dalam; Prasetyaningsih (2004) bahwa dalam kenyataannya aktivitas -aktivitas yang dilakukan perempuan secara umum dapat dikategorikan ke dalam aktivitas ekonomi dan domestik. Keterlibatan perempuan dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, jasa dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan -kegiatan lain seperti pemrosesan bahan makanan, pengambilan air, dan pengumpulan bahan makanan adalah bagian integral dari reproduksi ekonomi rumahtangga, yang secara umum untuk memenuhi kebutuhan ekonomi subsistensi. Kategorisasi hal-hal tersebut termasuk dalam aktivitas ekonomi karena kelompok aktivitas ini dapat ditampilkan secara komersial, dan nilai ekonomisnyapun dapat diukur. Sementara itu, aktivitas-aktivitas reproduktif lainnya seperti memasak, melayani suami dan anak-anak, membersihkan rumah, menyetrika, berbelanja, dan mengasuh anak dapat diklasifikasikan ke dalam aktivitas domestik. Kelompok aktivitas ini adalah inti dari proses reproduksi rumahtangga yang tidak dapat diukur secara ekonomis tetapi bernilai ekonomi (supporting activities economic work).

2.6 Peran Laki-laki dan Perempuan Dalam Pengelolaan Kawasan Pantai

Kawasan pantai atau wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Bagian ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipen garuhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976 dalam Dahuri et al.1996).

Tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan pembangunan guna mencapai keuntungan sosial ekonomi secara optimal dan berjangka panjang, termasuk resolusi konflik


(35)

pemanfaatan sumberdaya pesisir. Program pengelolaan yang berdasarkan pada pendekatan terpadu dan multisektor, dirancang untuk mengharmoniskan dan memandu perencanaan serta pengelolaan dari berbagai aktivitas sektor pembangunan yaitu; pertanian, kehutanan, perikanan, energi, transportasi, industri, perumahan, dan kesehatan (Dahuri, et al. 1996).

Masyarakat kawasan pantai dalam kehidupannya berinteraksi secara langsung dengan sumberdaya alam laut. Dengan memanfaatkan sumberdaya laut mereka dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Menurut Simatraw et al.,

(2001) setiap usaha pengelolaan sumberdaya alam berawal dari proses bekerja menghasilkan suatu produk dan kemudian didistribusikan untuk di konsumsi sendiri atau dapat dipertukarkan dengan produk lain ataupun dengan uang (diperdagangkan). Demikian juga untuk siklus-siklus yang berkaitan dengan cara masyarakat memelihara alam. Dimana keterlibatan masyarakat tersebut lebih disesuaikan dengan kebudayaan yang ada dengan membedakan peran laki-laki dan perempuan yang tercermin dalam aturan -aturan, kebiasaan, cara berproduksi, cara mendistribusikan hasil produksi, keluarga dan pengambilan keputusan.

Pada intinya, laki-laki dan perempuan memiliki peran dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut. Adapun peran -peran tersebut dapat dilihat dari aktivitas ataupun pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Menurut Departemen Pertanian dalam Saruan (2000) tentang peranan perempuan tani-nelayan bahwa jenis pekerjaan produktif yang dilakukan perempuan tani-nelayan sebagai berikut:

1. Persiapan penangkapan, seperti menjurai jaring, menyiapkan bahan pengawet dan menyiapkan bekal makanan untuk suami yang akan pergi melaut.

2. Pengolahan hasil laut seperti; mengasap, memindang, mengasinkan, mengabon, membuat terasi, kerupuk dan sebagainya.

3. Pemasaran perikanan seperti melelang ikan, menjual pada agen, pengecer dan sebagainya.

4. Kerajinan, misalnya membuat keranjang, kerajinan kulit kerang, membuat jaring dan sebagainya.


(36)

5. Pemeliharaan tambak, seperti menebar pupuk pada waktu pengolahan tanah, memberi pakan, memanen ikan dan sebagainya.

2.7 Akses dan Ko ntrol Terhadap Sumberdaya

Akses adalah peluang yang bisa diperoleh laki-laki dan perempuan untuk memiliki atau menikmati sesuatu (pekerjaan, kegiatan, barang, jasa). Sementara kontrol adalah sejauh mana perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan atau kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dalam merencanakan, melakukan/memiliki atau menikmati sesuatu (Handayani dan Sugiarti, 2001). Laki-laki dan perempuan yang akses terhadap sumberdaya tertentu belum tentu memiliki kontrol terhadap sumberdaya tersebut. Hal ini disebabkan karena akses seseorang ditentukan oleh orang lain, sementara kontrol mencirikan bahwa seseorang itu berkuasa atau tidak untuk menentukan sumberdaya yang diakses atau tidak diakses. Dengan demikian kontrol merupakan kekuasaan yang dimiliki laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya yang dapat digunakan untuk berbagai hal sehingga benar-benar memberi manfaat.

Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan tidak lepas dari budaya dan tradisi lingkungan yang berbeda-beda. Umumnya masyarakat nelayan memiliki akses yang rendah, terlebih lagi nelayan buruh yang tidak memiliki kekuatan. Sebagaimana yang dikemukakan Marwoto (2004) Kelompok Nelayan yang ada saat ini dalam kenyataannya kurang dan bahkan tidak dapat mewakili kepentingan nelayan, terutama nelayan buruh. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Kelompok Nelayan pada umumnya menyebutkan bahwa yang dapat menjadi anggota Kelompok Nelayan adalah nelayan pemilik. Oleh karenanya Kelompok Nelayan tidak lain adalah kumpulan dari para pemilik unit penangkapan, yang biasanya sejenis. Dengan sistim keanggotaan yang demikian maka Kelompok Nelayan hanya menyuarakan kepentingan nelayan pemilik saja. Di sisi lain, program pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan Pemerintah menggunakan pendekatan kelompok nelayan sehingga yang mempunyai kesempatan untuk mengikuti pembinaan dan penyuluhan hanyalah nelayan pemilik. Padahal meningkatnya produktifitas usaha penangkapan sangat ditentukan oleh


(37)

pengetahuan dan ket erampilan nelayan buruh dan keluarganya baik istri dan anak-anak yang secara langsung terjun dalam kegiatan penangkapan. Tetapi sangat disayangkan mereka seolah tidak memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan yang diberikan oleh Pemerintah. Sebaliknya pengetahuan dan ketrampilan bagi pemilik unit penangkapan, tidak begitu penting karena yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana unit penangkapan siap untuk beroperasi, termasuk dalam menyediakan uang untuk membeli kebutuhan operasionalnya.

2.8 Gender dalam Pembangunan

Pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki adalah kondisi dimana terdapat kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan mengisi di semua bidang kehidupan. Untuk mencapai kesetaraan tersebut diperlukan transformasi nilai yang berkaitan dengan perubahan hubungan gender dan keseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (Tan, 1995, Trieijati, 1996, dalam Prijono dan Pranarkan, 1996)

Saptari dan Holzner (1997) mengutip dari Mosse dengan menggunakan konsep Maxin Moly bahwa pendekatan pembangunan dalam keterkaitannya untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan diantaranya;

1. Pendekatan kesejahteraan (welfare approach) yang didasarkan atas 3 asumsi yaitu; 1) perempuan sebagai penerima pasif pembangunan, 2) peran keibuan yang merupakan peranan yang paling penting bagi perempuan di dalam masyarakat dan 3) mengasuh anak yang merupakan peranan perempuan paling efektif dalam seluruh aspek pembangunan ekonomi.

2. Pendekatan kesamaan (equity approach), bahwa perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan yang mempunyai sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kerja produktif dan reproduktif mereka walaupun sumberdaya tersebut seringkali tidak diakui.

3. Pendekatan anti kemiskinan (anti – poverty approach), menekankan pada upaya menurunkan ketimpangan pendapatan antara perempuan dan


(38)

laki-laki dengan sasarannya adalah pekerja miskin. Pendekatan anti kemiskinan untuk perempuan menitik beratkan pada peranan produktif mereka, atas dasar bahwa penghapusan kemiskinan dan peningkatan keseimbangan pertumbuhan ekonomi membutuhkan peningkatan produktivitas perempuan pada rumahtangga yang berpendapatan rendah.

4. Pendekatan efficiency, penekanan perempuan bergeser ke pembangunan dengan asumsi bahwa peningkatan partisipasi ekonomi perempuan di negara dunia ke tiga secara otomatis berkaitan dengan peningkatan kesamaan, sehingga meningkatnya kerja perempuan yang diciptakan oleh perempuan sendiri di sector informal.

5. Pendekatan pemberdayaan, berpusat pada upaya penghapusan subordinasi perempuan. Adanya kesamaan hak ekonomi (peluang untuk menguasai sumberdaya produktif, persamaan upah untuk kerja yang sama, perlindungan hukum ketenagakerjaan).

Menurut Anwar (1997), pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan sejalan apabila sumber daya public yang langka diinvestasikan sehingga memberi keuntungan ekonomi maupun sosial yang tinggi. Dimana investasi tersebut dapat mencapai sasaran apabila diarahkan pada perempuan khususnya pada golongan perempuan miskin melalui perluasan peluang kerja dan memperbaiki kesehatan mereka. Dengan demikian peranan perempuan dalam pembangunan akan dapat; 1) mendorong pertumbuhan ekonomi, 2) meningkatkan efisiensi, 3) mengentas kan kemiskinan, 4) menolong generasi yang akan datang dan 5) meningkatkan

sustainable development.

2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian yang dilakukan mengacu pada penelitian-penelitian tentang gender pada wilayah pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut. Hanya saja pada penelitian ini dilengkapai dengan melihat aspek kapasitas tangkap perikanan rumahtangga nelayan. Tabel 2 menunjukkan beberapa penelitian terdahulu yang akan dijadikan acuan dalam penelitian.


(39)

Tabel 1 Penelitian gender terdahulu `

No Nama Lokasi Tahun Metode Hasil

1. Saruan, C Desa Blongko, Sulawesi Utara

2000 Analisis Gender, Uji korelasi Rank Spearman

Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya ketimpangan gender dalam kegiatan rumahtangga dan kegiatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Selain itu dari hasil uji statistik terdapat hubungan antara variabel-variabel gender dalam rumahtangga, variabel gender dalam pengelolaan sumberdaya dan variabel sumberdaya individu.

2. Wenni Wulansari

Pulau Untung Jawa

2001 Analisis Gender, Uji korelasi Rank Spearman

Hasil penelitian menunjukkan perempuan memiliki curahan waktu produktif yang lebih besar daripada laki-laki sedangkan kegiatan produktif dominan di lakukan laki-laki. Pada profil akses dan kontrol dalam beberapa aspek keputusan perempuan tersubordinasi.

3. Mulyati Munaf

Kota Ternate, Maluku Utara

2004 Analisis Gender, Hasil penelitian menunjukkan perempuan memiliki curahan waktu produktif yang lebih besar daripada laki-laki sedangkan kegiatan produk tif dominan di lakukan laki- laki. Profil akses dan kontrol menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi pada tiga macam keputusan yaitu pada peralatan nelayan, hasil tangkapan, dan hasil penjualan.


(40)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Efisiensi dan Overfishing

Efisiensi dan optimalisasi merupakan istilah yang sering ditemukan dalam membicarakan alokasi faktor produksi untuk menghasilkan sejumlah output. Soekartawi (1993) menyatakan bahwa dalam terminologi ilmu ekonomi, pengertian efisiensi dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu: 1). Efisiensi teknis diperoleh apabila faktor produksi yang digunakan menghasilkan produksi yang maksimum, 2). Efisiensi alokatif (efisiensi harga) diperoleh apabila nilai dari produk marginal sama dengan harga faktor produksi yang bersangkutan dan 3). Efisiensi ekonomi diperoleh apabila dalam menggunakan faktor produksi mencapai efisiensi teknis dan sekaligus juga mencapai efisiensi harga. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa prinsip optimalisasi penggunaan faktor produksi pada prinsipnya adalah bagaimana menggunakan faktor produksi tersebut seefisien mungkin.

Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan, perspektif ekonomi terhadap kapasitas perikanan tangkap atau disebut juga efisiensi dalam aktivitas perikanan tangkap pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input, atau

...(1)

Persamaan di atas tidak tepat digunakan pada data banyak input dan output yang berkaitan dengan sumberdaya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun efisiensi tersebut menggunakan efisiensi relatif yang dibobot tetapi tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output untuk itu digunakan konsep Data Envelopment Analysis (DEA).

DEA adalah suatu metode yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dari suatu unit pengambilan keputusan (unit kerja) dengan menggunakan sejumlah input untuk men capai output yang ditargetkan. Selanjutnya DEA juga merupakan model pemrograman fraksional yang bisa mencakup banyak output dan input tanpa perlu menentukan bobot untuk tiap

Input output Efisiensi =


(41)

variabel sebelumnya (Purwantoro, R. N, 2000). Menurut Fare et.al dalam Fauzi dan Anna (2005), DEA dapat digunakan untuk menghitung kapasitas perikanan. Selanjutnya Fauzi dan Anna (2005) sendiri mengemukakan, dalam aplikasi perikanan, DEA memiliki kelebihan untuk mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu dan kendala sosio -ekonomi lainnya. Efisiensi dalam konsep DEA diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100% (Fauzi dan Anna, 2005).

Model DEA yang digunakan, versi Charn es, Cooper, Rhodes (CCR) dapat dituliskan;

Maksimumkan Em = ... (2)

Dengan kendala: Untuk setiap unit ke j = 1,2,...,n

Keterangan:

yij , xk j dalam model merupakan konstanta yang menggambarkan jumlah yang

diamati dari i output dan k input DMU, ditulis sebagai DMUj yang merupakan

kumpulan dari j = 1,...,n entitas yang menggunakan k = 1,...m input untuk memproduksi i = 1,...,j output.

Dengan program matematis tersebut (persamaan 2) menghasilkan nilai Em

dan sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah pada efisiensi. Em= 1 maka unit ke – m efisien relatif terhadap unit yang lain.

Em < 1 maka unit lain lebih efisien, relatif pada unit m

Model CCR persamaan 2 tersebut masih berbentuk fractional sehingga perlu dilakukan pemecahan melalui pemrograman linear. Untuk itu model CCR diubah dalam bentuk Linear Programming. Linear Programming (LP) adalah suatu metode programisasi yang variabelnya disusun dengan persamaan linear

k kj k i ij i m m x v y w 1 ≤

k kj k i ij i m m x v y w 0 〉 ε t i x v w k kj k i m ,..., 1 ; = 〉

ε m k x v v k kj k k m ,..., 1 ; = 〉

ε


(42)

dan merupakan metode perhitungan untuk perencanaan terbaik di antara kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan Soekartawi (1992). Tujuan penggunaan program linier yaitu untuk menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah dalam rangka menyusun strategi alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal dimana alokasi optimal adalah memaksimumkan atau meminimumkan tujuan dengan adanya kendala (Budiharsono, 2001). Terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi dalam model program linier agar dapat dirumuskan secara matematis, yaitu;

1. Adanya fungsi tujuan. 2. Adanya kendala.

3. Bahwa nilai peubah keputusan harus positif atau disebut dengan syarat non-negatif.

Adapun linearisasi persamaan (2) menghasilkan persamaan: Fungsi Tujuan

Maksimumkan E m = ... (3) Dengan kendala:

Selanjutnya pemecahan pemrograman linear persamaan (3) dapat dilakukan dengan pemecahan primal dan dual variable. Menurut Budiharsono (2001), setiap permasalahan program linier mempunyai 2 macam analisis, yaitu; 1). Analisis Primal dan 2). Analisis Dual. Bentuk dual dapat disusun dari bentuk primal. Untuk menyusun bentuk dual dari bentuk primal, maka permasalahan program linier tersebut harus disusun terlebih dahulu dalam bentuk kanonik sebagai berikut:

1. Jika persoalan program linier adalah maksimisasi, maka semua tanda fungsi kendalanya adalah lebih kecil atau sama dengan (=).

2. Jika persoalan program linier adalah minimisasi, maka semua tanda fungsi kendalanya adalah lebih besar atau sama dengan (=).

ϖ =

k

kj kx m

v 1 ≤ −

k kj k i ij

iym v x m

w ε ≥ k i v w,

i ij iy m


(43)

3. Jika fungsi kendalanya ada yang bertanda sama dengan maka fungsi kendala tersebut diganti menjadi dua ketidaksamaan yang bertanda ? dan £. Kemudian tergantung dari permasalahan program linier yang dihadapi, maksimisasi atau minimisasi. Untuk mengubah ke dalam satu bentuk yang dikehendaki permasalahan yang dihadapi, maka salah satu fungsi kendala tersebut harus dikalikan dengan -1.

Adapun primal dan dual variabledari persamaan (3) dapat ditulis kembali sebagai berikut:

Model primal Variabel dual

Max E m = Z

Dengan kendala

λ0

j = 1,2…n S-k

- vk≤ - ε k = 1,2…m

- wi≤ - ε i = 1,2…t S-i

Maka dual dari persamaan 3 dapat di tulis sebagai:

Min ... (4) Dengan kendala:

Keterangan: 0 ?j, Si

+ , Sk

-, untuk i = 1-,...-,m; k = 1,...,t, j = 1,...,n dan e bebas ?j memberikan batas atas output dan batas bawah input untuk DMU dan dengan syarat ini e juga dibatasi dengan ? j*, Si

+ , Sk

= 0 yang menggambarkan pilihan optimisasi sehubungan dengan minimisasi e = e* dan yk j d igambarkan dalam syarat seperti

persamaan (2) sehingga persamaan (5) setidaknya akan menghasilkan e = 1 serta ?j, Si

+ , Sk

= 0 saat DMU menjadi DMU yang dievaluasi. Nilai optimum akan dicapai dalam range 0 e* 1 dimana:

...(5)

i ij iy m

w 1 ≤ −

k kj k i ij

iy m v x m

w ϖ =

k kj kx m

v

+

− − i k k i

m S S

Z ε ε

ϖ m k x S Z x j j kj i m

kh − −

=0, =1...

+ ε λ

t i y y S m ij j j kj

i +

= , =1...

+ ε λ

0 , , i+ k− ≥

j S S

λ

m

ij

i k i

i k

i

m S S w y

Z −ε

+ −ε

−=


(44)

Sehingga e* = 1

Efisiensi dalam usaha penangkapan ikan sulit untuk diukur. Hal ini terkait dengan adanya ketidakpastian dalam usaha penangkapan ikan. Dimana penghasilan yang diperoleh juga terkait dengan musim -musim ikan (Kusnadi, 2000) dan nelayan tidak bisa mengendalikan usaha penangkapannya. Disamping itu rusaknya ekosistem sumberdaya laut yang disebabkan berbagai eksternalitas negatif dan penangkapan ikan secara berlebihan telah menekan kehidupan para nelayan (Kusnadi, 2000).

Produksi (h) pada perikanan laut dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis dapat ditulis; h = f (x,E). Adapun upaya (effort) merupakan sarana yang digunakan untuk mengeksploitasi ikan p ada suatu perairan. Effort didefinisikan indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, perahu, alat tangkap, bahan bakar minyak, kekuatan mesin dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan (Fauzi, 2004). Selanjutnya Fauzi (2004) mengemukakan, peningkatan effort yang terus menerus pada periode tertentu tanpa peningkatan produksi lestari, akan menyebabkan produksi hasil tangkapan turun bahkan mencapai nol pada upaya (effort) maksimum sehingga menimbulkan inefisiensi kapasitas perikanan tangkap. Dengan demikian, produksi lestari sangat tergantung pada kapasitas perikanan tangkap atau tingkat upaya yang memungkinkan (Kirkley and Squires, dalam Fauzi dan Anna, 2005). Dalam hal tersebut perlu diperhatikan efisiensi dari upaya (effort) untuk menghasilkan output berupa hasil tangkapan.

Kondisi inefisiensi kapasitas perikanan tangkap menjadikan sumber daya perikanan laut mengalami over capacity. Over capacity dapat diartikan pada kondisi kelebihan kapasitas dimana permasalahan tersebut timbul sebagai dampak overfishing

dan kedua hal tersebut saling terkait (Fauzi, 2005). Overfishing yang terjadi pada suatu wilayah perikanan tangkap dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan yang tersedia (Fauzi, 2005). Overfishing dan over capacity secara langsung berdampak pada perekonomian rumah tangga nelayan yang semakin lemah sebagai implikasi dari jumlah hasil tangkapan yang sedikit sehingga pendapatan yang diterima dalam trip melaut lebih kecil daripada biaya input yang digunakan.

Over capacity pemanfaatan perikanan laut secara langsung menjadi permasalahan besar rumahtangga nelayan khususnya perempuan dalam mengatur


(45)

ekonomi rumahtangga. Karena perempuan merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan rumah tangga melalui pengelolaan ekonomi. Perempuan memiliki tiga peranan utama sekaligus (triple roles)dalam rumah tangga yaitu sebagai breeder, feeder, dan producer. Peranan pertama berkaitan dengan pengasuhan anak, kedua bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan konsumsi makanan dan ketiga berkaitan dengan kegiatan memproduksi sejumlah material untuk kebutuhan konsumsi domestik (Boulding, 1981). Ketiga peranan perempuan dalam rumahtangga tersebut berimplikasi pada usaha-usaha yang dilakukan perempuan dalam rangka menambah pendapatan keluarga. Sebagaimana Peluso (1984), Abdullah (1991), dan Murray (1994) dalam Kusnadi (2001) mengemukakan pada umumnya motivasi perempuan untuk berdagang didasari oleh kepentingan ekonomi, seperti untuk menambah pendapatan karena penghasilan suami kurang mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga perempuan memiliki peran ganda dalam rumahtangga dimana aktivitas domestik dan publik dilakukan secara sekaligus (Kusnadi, 2001). Peran ganda tersebut di satu sisi akan menambah beban perempuan dan berkurangnya waktu istrahat mereka.

Peran ganda perempuan tidak lepas dari pembagian kerja laki-laki dan perempuan pada suatu wilayah. Budiman dalam Kusnadi (2001), mengemukakan pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan menurut Scolnick

dapat dijelaskan dengan dua teori besar, pertama teori nature yang ekstrem beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara lai-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua insan dan kedua teori nurture yang berpendapat bahwa perbedaan pembagian kerja laki-laki dan perempuan terbentuk melalui proses belajar dari lingkungan. Sedangkan Kusnadi (2001) sendiri mengemukakan perilaku-perilaku yang ditentukan untuk anggota-anggota masyarakat dengan memperhatikan perbedaan seks diantara mereka disebut peranan gender. Sementara Mugniesyah (2002) mengemukakan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas, tugas, dan tanggung jawab tertentu yang dipersepsikan sebagai peranan laki-laki dan perempuan.

Robert Stoller pada tahun 1968, pertama kali memperkenalkan gender sebagai istilah untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat biologis sementara Ann Oak Ley pada tahun 1972 menyatakan bahwa


(1)

Jlh produksi 470 470 0 0,00%

37 37 0,925925926

Trip/bulan 20 18,51851852 -1,481481481 -7,41%

TK/bulan 20 18,51851852 -1,481481481 -7,41%

BBM/bulan (liter) 300 185,1851852 -114,8148148 -38,27%

GT 16 14,81481481 -1,185185185 -7,41%

Jlh produksi 500 500 0 0,00%

38 38 0,925925926

Trip/bulan 20 18,51851852 -1,481481481 -7,41%

TK/bulan 20 18,51851852 -1,481481481 -7,41%

BBM/bulan (liter) 200 185,1851852 -14,81481481 -7,41%

GT 16 14,81481481 -1,185185185 -7,41%

Jlh produksi 500 500 0 0,00%

39 39 0,555555556

Trip/bulan 20 11,11111111 -8,888888889 -44,44%

TK/bulan 40 22,22222222 -17,77777778 -44,44%

BBM/bulan (liter) 300 111,1111111 -188,8888889 -62,96%

GT 16 6,666666667 -9,333333333 -58,33%

Jlh produksi 500 500 0 0,00%

40 40 0,4275

Trip/bulan 27 11,4 -15,6 -57,78%

TK/bulan 162 22,8 -139,2 -85,93%

BBM/bulan (liter) 675 114 -561 -83,11%

GT 16 6,84 -9,16 -57,25%

Jlh produksi 513 513 0 0,00%

41 41 0,959292626

Trip/bulan 23 19,76142809 -3,238571905 -14,08%

TK/bulan 23 22,0637304 -0,936269603 -4,07%

BBM/bulan (liter) 460 197,6142809 -262,3857191 -57,04%

GT 16 15,34868202 -0,651317985 -4,07%

Jlh produksi 575 575 0 0,00%

42 42 0,666666667

Trip/bulan 20 13,33333333 -6,666666667 -33,33%

TK/bulan 40 26,66666667 -13,33333333 -33,33%

BBM/bulan (liter) 600 133,3333333 -466,6666667 -77,78%

GT 24 8 -16 -66,67%

Jlh produksi 600 600 0 0,00%

43 43 0,925925926

Trip/bulan 25 23,14814815 -1,851851852 -7,41%

TK/bulan 25 23,14814815 -1,851851852 -7,41%

BBM/bulan (liter) 375 231,4814815 -143,5185185 -38,27%

GT 20 18,51851852 -1,481481481 -7,41%

Jlh produksi 625 625 0 0,00%

44 44 0,978090767

Trip/bulan 25 20,5399061 -4,460093897 -17,84%

TK/bulan 25 24,45226917 -0,547730829 -2,19%

BBM/bulan (liter) 375 205,399061 -169,600939 -45,23%

GT 16 15,64945227 -0,350547731 -2,19%

Jlh produksi 625 625 0 0,00%

45 45 0,978090767

Trip/bulan 25 20,5399061 -4,460093897 -17,84%

TK/bulan 25 24,45226917 -0,547730829 -2,19%

BBM/bulan (liter) 375 205,399061 -169,600939 -45,23%

GT 16 15,64945227 -0,350547731 -2,19%


(2)

46 46 0,93495935

Trip/bulan 30 20,56910569 -9,430894309 -31,44%

TK/bulan 30 28,04878049 -1,951219512 -6,50%

BBM/bulan (liter) 450 205,6910569 -244,3089431 -54,29%

GT 16 14,95934959 -1,040650407 -6,50%

Jlh produksi 690 690 0 0,00%

47 47 1

Trip/bulan 10 10 0 0,00%

TK/bulan 60 60 0 0,00%

BBM/bulan (liter) 200 200 0 0,00%

GT 16 16 0 0,00%

Jlh produksi 840 840 0 0,00%

48 48 1

Trip/bulan 20 20 0 0,00%

TK/bulan 40 40 0 0,00%

BBM/bulan (liter) 200 200 0 0,00%

GT 12 12 0 0,00%

Jlh produksi 900 900 0 0,00%

49 49 0,909090909

Trip/bulan 20 18,18181818 -1,818181818 -9,09%

TK/bulan 60 50,90909091 -9,090909091 -15,15%

BBM/bulan (liter) 1500 218,1818182 -1281,818182 -85,45%

GT 16 14,54545455 -1,454545455 -9,09%

Jlh produksi 960 960 0 0,00%

50 50 1

Trip/bulan 10 10 0 0,00%

TK/bulan 60 60 0 0,00%

BBM/bulan (liter) 400 400 0 0,00%

GT 26 26 0 0,00%


(3)

120

Lampiran 4 Akses Rumahtangga Nelayan

Lampiran akses rumahtangga nelayan pengolah

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

aktivitas

melaut

140

28

KUD

37

37

Penyuluhan

34

34

Kelompok

nelayan

28

28

TV

124

114

TPI

28

28

Peralatan

melaut

140

28

Bantuan

kredit

32

32

Pelatihan

32

30

Pengajian

118

124

Radion

28

28

Pasar

140

140

Proses

pengolahan

140

140

Bantuan

kredit alat

tangkap

32

32

Keterampilan

30

30

PKK

0

40

Tablod/majal

ah

28

28

Transportasi

140

140

Pemasaran

140

140

0

0

0

0

0

0

0

0

Kesehatan

84

104

jlh

560

336

101

101

96

94

146

192

180

170

392

412

Lampiran akses rumahtangga nelayan tidak pengolah

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

aktivitas

melaut

275

115

KUD

62

62

Penyuluhan

79

79

Kelompok

nelayan

103

103

TV

223

213

TPI

55

55

Peralatan

melaut

275

111

Bantuan

kredit

55

55

Pelatihan

61

61

Pengajian

219

233

Radion

55

55

Pasar

275

275

Proses

pengolahan

55

101

Bantuan

kredit alat

tangkap

55

55

Keterampilan

55

55

PKK

0

62

Tablod/majal

ah

85

91

Transportasi

275

275

Pemasaran

275

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Kesehatan

203

231

jlh

880

327

0

172

172

0

195

195

0

322

398

0

363

359

0

808

836

Lampiran akses rumahtangga nelayan buruh

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

Keterangan

LK

PR

aktivitas

melaut

65

13

KUD

13

13

Penyuluhan

13

13

Kelompok

nelayan

13

13

TV

31

43

TPI

13

13

Peralatan

melaut

65

13

Bantuan

kredit

13

13

Pelatihan

13

13

Pengajian

57

61

Radion

15

15

Pasar

65

65

Proses

pengolahan

13

55

Bantuan

kredit alat

tangkap

13

13

Keterampilan

13

13

PKK

0

15

Tablod/majal

ah

13

13

Transportasi

65

65

Pemasaran

13

13

0

0

0

0

0

0

0

0

Kesehatan

41

47

Sumberdaya

sumber modal

Sumberdaya

sumber modal

Informasi

Pelayanan

Sumberdaya

sumber modal

Pendidikan non formal

Organisasi

Informasi

Pelayanan

Informasi

Pelayanan

Pendidikan non formal

Organisasi

Pendidikan non formal

Organisasi


(4)

120


(5)

121

Lampiran 5 Hasil Uji Statistik Rank Spearman

Correlations

akses RT tdk olah

kontrol RT tdk olah Correlation Coefficient 1.000 .104 Sig. (2-tailed) . .450 akses RT tdk olah

N 55 55

Correlation Coefficient .104 1.000 Sig. (2-tailed) .450 . Spearman's rho

kontrol RT tdk olah

N 55 55

Correlations

wnt rt olah wnt rt olah Correlation Coefficient 1.000 .121 Sig. (2-tailed) . .541 Akses wnt rt olah

N 28 28

Correlation Coefficient .121 1.000 Sig. (2-tailed) .541 . Spearman's rho

Kontrol wnt rt olah

N 28 29

Correlations pndkan wnt pngolah kontrol wnt pngolh Correlation Coefficient 1.000 .070 Sig. (2-tailed) . .725 pndkan wnt pngolah

N 28 28

Correlation Coefficient .070 1.000 Sig. (2-tailed) .725 . Spearman's rho

kontrol wnt pngolh

N 28 28

Correlations

wnt tdk pngolah pnddkn

kontrol wnt tdk pngolah Correlation Coefficient 1.000 .076 Sig. (2-tailed) . .581 wnt tdk pngolah pnddkn

N 55 55

Correlation Coefficient .076 1.000 Sig. (2-tailed) .581 . Spearman's rho

kontrol wnt tdk pngolah

N 55 55

Correlations kerja wnt pngolah kontrol wnt pngolah Correlation Coefficient 1.000 .439(*) Sig. (2-tailed) . .019 kerja wnt pngolah

N 28 28

Correlation Coefficient .439(*) 1.000 Sig. (2-tailed) .019 . Spearman's rho

kontrol wnt pngolah

N 28 28


(6)