Optimasi gelling agent CMC-Na dan humetan gliserin dalam sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)) : aplikasi desain faktorial.

(1)

INTISARI

Daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)) diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis, salah satunya sebagai agen anti-inflamasi. Ekstrak daun cocor bebek diformulasikan menjadi bentuk sediaan gel dengan tujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Formulasi gel menggunakan CMC-Na sebagai gelling agent dan gliserin sebagai humektan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi optimum dari CMC-Na dan gliserin serta mengetahui faktor mana yang dominan dalam menghasilkan sediaan gel yang memenuhi persyaratan fisik dan stabilitas; serta untuk mengetahui aktivitas anti-inflamasi dari gel tersebut.

Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni menggunakan metode desain faktorial dengan dua faktor dan dua level. Faktor yang digunakan adalah CMC-Na (6-7,5 g), dan gliserin (30-60 g). Parameter yang diukur adalah sifat fisik (daya sebar dan viskositas) dan stabilitas (pergeseran viskositas. Analisis data dilakukan dengan program R.3.1.2 untuk mengetahui signifikansi efek dari CMC-Na dan gliserin, serta interaksi kedua faktor sehingga dapat diketahui faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisik dan stabilitas gel. Area komposisi optimum diperoleh dengan contour plot superimposed. Aktivitas anti-inflamasi diuji dengan tikus yang diinduksi suspensi karagenan-salin 1%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CMC-Na dan gliserin memberikan respon yang signifikan terhadap viskositas dan daya sebar dengan CMC-Na sebagai faktor yang dominan. Area komposisi optimum yang menghasilkan sifat fisik dan stabilitas gel yang dikehendaki dapat ditemukan. Selain itu gel ekstrak daun cocor bebek memiliki aktivitas anti-inflamasi dengan persentase penghambatan sebesar 50 ± 3,305%.

Kata kunci : ekstrak daun cocor bebek, gel anti-inflamasi, desain faktorial, gliserin, CMC-Na


(2)

ABSTRACT

Cocor bebek leaf (Kalanchoe pinnata (Lam.)) has many pharmacological activities, one of them was anti-inflammatory agent. Cocor bebek leaf extract were formulated into gel dosage form with purpose to increase patients comfort. Formulation gel used CMC-Na as gelling aget and glycerin as humectant. This research aimed to determine the optimum composition of CMC-Na and glycerin as well as to know the dominant factors in producing a gel formulation that met the physical requirements and stability, and also to determine anti-inflammatory activity of gel.

The research was a pure experimental, using factorial design with two-factor and two-level. The two-factor which used were CMC-Na (6-7,5 g), and glycerin (30-60 g). The parameters which measured were physical properties (spreadibility and viscocity) and stability (viscocity shift). Data analysis was performed using the R.3.1.2 program with two-way ANOVA to determine the significance effect of CMC-Na, glycerin, and the interaction of these factors so the dominant factor which affecting the physical properties and stability of gel were known. The optimum composition area obtained by contour plot superimposed. Anti-inflammatory activity were tested using rat induced with suspension karagenan-saline 1%.

The results showed that the CMC-Na and glycerin gave a significant response to the viscosity and dispersive power. This research found the optimum composition area resulting on the desired physical properties and gel stability. In addition, anti-inflammatory gel leaf extract of cocor bebek had anti-inflammatory activity with the value of % inhibition of 50 ± 3,305.

Keywords: cocor bebek leaf extract, anti-inflammatory gel, factorial design, CMC-Na, glycerin


(3)

OPTIMASI GELLING AGENT CMC-NA DAN HUMEKTAN GLISERIN DALAM SEDIAAN GEL ANTI-INFLAMASI EKSTRAK DAUN COCOR

BEBEK (Kalanchoe pinnata (Lam.)): APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Vincensius Galih Prakarsa Gautama Putra NIM : 118114143

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

OPTIMASI GELLING AGENT CMC-NA DAN HUMEKTAN GLISERIN DALAM SEDIAAN GEL ANTI-INFLAMASI EKSTRAK DAUN COCOR BEBEK (Kalanchoe pinnata (Lam.)): APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Vincensius Galih Prakarsa Gautama Putra NIM : 118114143

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

ii


(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

I dedicate my work to :

My dearest God

Father and Mother

Brother

My friends

Almamater, Sanata Dharma University


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas segala berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Gelling Agent CMC-Na dan Humektan Gliserin dalam Sediaan Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)): Aplikasi Desain Faktorial” dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan tulus hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Papa, mama, dan mas Adit yang selalu memberikan yang terbaik bagi penulis melalui doa, kasih sayang, dukungan, semangat, dan restu.

2. Bapak Septimawanto Dwi P., S.Farm., M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, motivasi, dan masukan dalam penyusunan skripsi.

3. Ibu Beti Pudyastuti, M.Sc., Apt. dan Ibu Damiana Sapta Candrasari, M.Sc. selaku dosen penguji, terima kasih atas masukan dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membekali penulis dengan ilmu dan pengalaman selama menjalani masa perkuliahan.


(11)

viii

5. Seluruh laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis dalam melaksanakan praktikum di laboratorium. 6. Teman kelompok skripsi Yosua, Dian, Regi yang selalu memberikan

semangat, membantu, dan menemani penulis di saat suka maupun duka dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Para sahabat penulis Jeanne Nadia Ingrida, Marella Matta, Marcelinus Steven, dan Paulus Emanuel yang selalu memberikan semangat, perhatian dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Shinta Christia Maharani, Jagianda Yudha, dan Gigih Prayoga yang selalu memberikan semangat, hiburan, dan doa untuk penulis.

9. Teman-teman sidEffect Dara, Titus, Ipang, dan Adi yang selalu menjadi penghibur dan pembawa keceriaan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari banyak terdapat kekurangan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Penulis juga mengharapkan tulisan ini mampu menyumbangkan bantuan kepada ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 8 Juni 2015


(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...vi

PRAKATA ...vii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

INTISARI ...xvi

ABSTRACT ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

1. Perumusan masalah ...3

2. Keaslian penelitian ...3

3. Manfaat penelitian ...4

B. Tujuan Penelitian...5

1. Tujuan umum ...5


(13)

x

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ...6

A.Tanaman Cocor Bebek ...6

B.Flavonoid ...8

C.Ekstraksi ...11

D.Inflamasi ...13

E.Gel ...15

F. Gelling Agent ...16

G.Carboxymethylcellulose sodium (CMC-Na) ...17

H.Humektan ...18

I. Gliserin ...18

J. Desain Faktorial ...19

K.Landasan Teori ...21

L. Hipotesis ...22

BAB III. METODE PENELITIAN ...23

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ...23

B.Variabel dan Definisi Operasional ...23

1. Variabel penelitian ...23

2. Definisi operasional ...24

C.Bahan Penelitian...25

D.Alat Penelitian ...26

E.Tata Cara Penelitian ...26

1. Determinasi tanaman cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)) ...26


(14)

xi

3. Formulasi gel ...27

4. Uji sifat fisik dan stabilitas gel ...29

5. Uji aktivitas anti-inflamasi ...30

F. Optimasi dan Analisis Data ...33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...34

A.Determinasi Tumbuhan ...34

B.Pengumpulan dan Penyerbukan Simplisia...34

C.Pembuatan Ekstrak Daun Cocor Bebek ...36

D.Orientasi Level dari Kedua Faktor Penelitian ...38

E.Pembuatan Sediaan Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek ...41

F. Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Gel Anti-inflamasi ...43

1. Organoleptis ...44

2. Uji pH ...44

3. Uji viskositas ...45

4. Uji daya sebar ...48

G.Efek Penambahan CMC-Na dan Gliserin serta Interaksinya dalam Menentukan Sifat Fisik Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek...50

1. Uji normalitas data ...51

2. Uji variansi data ...51

3. Uji signifikansi respon viskositas ...52

4. Uji signifikansi respon pergeseran viskositas ...55


(15)

xii

H.Optimasi Formula ...58

1. Contour plot viskositas ...58

2. Contour plot daya sebar ...59

3. Contour plot superimposed ...60

I. Validasi Contour Plot Superimposed Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek...61

J. Uji Aktivitas Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek ...62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...66

A.Kesimpulan ...66

B.Saran ...66

DAFTAR PUSTAKA ...67

LAMPIRAN ...70


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rancangan desain faktorial ...20

Tabel II. Formula gel ekstrak daun cocor bebek ...28

Tabel III. Forrmula modifikasi gel ekstrak daun cocor bebek ...28

Tabel IV. Uji organoleptis 48 jam setelah pembuatan ...44

Tabel V. Uji organoleptis 4 minggu setelah pembuatan ...44

Tabel VI. Uji pH gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek ...45

Tabel VII. Viskositas gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek 48 jam setelah pembuatan ...46

Tabel VIII. Hasil uji statistik pergeseran viskositas sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek ...47

Tabel IX. Daya sebar gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek 48 jam setelah penyimpanan ...49

Tabel X. Uji normalitas data viskositas dan daya sebar ...51

Tabel XI. Uji kesamaan varian data viskositas dan daya sebar ...52

Tabel XII. Analisis ANOVA efek CMC-Na, gliserin, serta interaksinya dalam menentukan respon viskositas ...52

Tabel XIII. Analisis ANOVA efek CMC-Na, gliserin, serta interaksinya dalam menentukan respon pergeseran viskositas ...55

Tabel XIV. Analisis ANOVA efek CMC-Na, gliserin, serta interaksinya dalam menentukan respon daya sebar ...56

Tabel XV. Validasi contour plot superimposed...62


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur molekul CMC-Na ...17

Gambar 2. Struktur molekul gliserin ...18

Gambar 3. Profil kurva variasi konsentrasi CMC-Na terhadap viskositas ...38

Gambar 4. Profil kurva variasi konsentrasi CMC-Na terhadap daya sebar ...39

Gambar 5. Profil kurva variasi konsentrasi gliserin terhadap viskositas...40

Gambar 6. Profil kurva variasi konsentrasi gliserin terhadap daya sebar ...40

Gambar 7. Contoh tampilan viskometer Rion ...46

Gambar 8. Grafik viskositas gel ekstrak daun cocor bebek selama penyimpanan ...48

Gambar 9. Grafik pengaruh CMC-Na terhadap respon viskositas setelah 48 jam ...53

Gambar 10. Grafik pengaruh gliserin terhadap respon viskositas setelah 48 jam ...54

Gambar 11. Grafik pengaruh CMC-Na terhadap daya sebar setelah 48 jam ....57

Gambar 12. Grafik pengaruh gliserin terhadap daya sebar setelah 48 jam ...57

Gambar 13. Contour plot respon viskositas ...58

Gambar 14. Contour plot respon daya sebar ...59

Gambar 15. Contour plot superimposed gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek ...60

Gambar 16. Titik validasi pada area optimum ...61

Gambar 17. Grafik rata-rata pengukuran edema kaki tikus setiap waktu pengukuran ...64


(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat pengesahan determinasi dan hasil determinasi ...70

Lampiran 2. Ethical clearance ...71

Lampiran 3. Orientasi level kedua faktor penelitian ...72

Lampiran 4. Data viskositas, daya sebar, dan pergeseran viskositas ...75

Lampiran 5. Data uji aktivitas anti-inflamasi ...76

Lampiran 6. Hasil analisis data sifat fisik menggunakan R.3.1.2 ...78

Lampiran 7. Perhitungan efek ...82

Lampiran 8. Hasil analisis data stabilitas viskositas menggunakan R.3.1.2 ...83

Lampiran 9. Dokumentasi penanaman tanaman cocor bebek ...86

Lampiran 10. Dokumentasi proses ekstraksi daun cocor bebek...87

Lampiran 11. Dokumentasi sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek ...89

Lampiran 12. Dokumentasi pengukuran sifat fisik gel ekstrak daun cocor bebek ...91

Lampiran 13. Dokumentasi uji aktivitas anti-inflamasi dengan metode jangka sorong digital ...92


(19)

xvi

INTISARI

Daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)) diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis, salah satunya sebagai agen anti-inflamasi. Ekstrak daun cocor bebek diformulasikan menjadi bentuk sediaan gel dengan tujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Formulasi gel menggunakan CMC-Na sebagai gelling agent dan gliserin sebagai humektan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi optimum dari CMC-Na dan gliserin serta mengetahui faktor mana yang dominan dalam menghasilkan sediaan gel yang memenuhi persyaratan fisik dan stabilitas; serta untuk mengetahui aktivitas anti-inflamasi dari gel tersebut.

Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni menggunakan metode desain faktorial dengan dua faktor dan dua level. Faktor yang digunakan adalah CMC-Na (6-7,5 g), dan gliserin (30-60 g). Parameter yang diukur adalah sifat fisik (daya sebar dan viskositas) dan stabilitas (pergeseran viskositas. Analisis data dilakukan dengan program R.3.1.2 untuk mengetahui signifikansi efek dari CMC-Na dan gliserin, serta interaksi kedua faktor sehingga dapat diketahui faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisik dan stabilitas gel. Area komposisi optimum diperoleh dengan contour plot superimposed. Aktivitas anti-inflamasi diuji dengan tikus yang diinduksi suspensi karagenan-salin 1%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CMC-Na dan gliserin memberikan respon yang signifikan terhadap viskositas dan daya sebar dengan CMC-Na sebagai faktor yang dominan. Area komposisi optimum yang menghasilkan sifat fisik dan stabilitas gel yang dikehendaki dapat ditemukan. Selain itu gel ekstrak daun cocor bebek memiliki aktivitas anti-inflamasi dengan persentase penghambatan sebesar 50 ± 3,305%.

Kata kunci : ekstrak daun cocor bebek, gel anti-inflamasi, desain faktorial, gliserin, CMC-Na


(20)

xvii ABSTRACT

Cocor bebek leaf (Kalanchoe pinnata (Lam.)) has many pharmacological activities, one of them was anti-inflammatory agent. Cocor bebek leaf extract were formulated into gel dosage form with purpose to increase patients comfort. Formulation gel used CMC-Na as gelling aget and glycerin as humectant. This research aimed to determine the optimum composition of CMC-Na and glycerin as well as to know the dominant factors in producing a gel formulation that met the physical requirements and stability, and also to determine anti-inflammatory activity of gel.

The research was a pure experimental, using factorial design with two-factor and two-level. The two-factor which used were CMC-Na (6-7,5 g), and glycerin (30-60 g). The parameters which measured were physical properties (spreadibility and viscocity) and stability (viscocity shift). Data analysis was performed using the R.3.1.2 program with two-way ANOVA to determine the significance effect of CMC-Na, glycerin, and the interaction of these factors so the dominant factor which affecting the physical properties and stability of gel were known. The optimum composition area obtained by contour plot superimposed. Anti-inflammatory activity were tested using rat induced with suspension karagenan-saline 1%.

The results showed that the CMC-Na and glycerin gave a significant response to the viscosity and dispersive power. This research found the optimum composition area resulting on the desired physical properties and gel stability. In addition, anti-inflammatory gel leaf extract of cocor bebek had anti-inflammatory activity with the value of % inhibition of 50 ± 3,305.

Keywords: cocor bebek leaf extract, anti-inflammatory gel, factorial design, CMC-Na, glycerin


(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)) merupakan salah satu tanaman obat tradisional Indonesia (Bangun, 2012). Tanaman cocor bebek memiliki banyak kegunaan, antara lain meringankan gejala maag dan penyakit usus, sakit kepala, hipertensi, dan demam (Nwose, 2013).

Penelitian Pattewar (2012) menunjukkan bahwa 4,5% ekstrak cair daun cocor bebek dalam dosis 100 mg/kg berat badan memiliki efek anti-inflamasi, yaitu menurunkan bengkak yang disebabkan oleh karagenan. Efek anti-inflamasi dari daun cocor bebek disebabkan karena adanya senyawa flavonoid dalam tanaman ini (Bangun, 2012).

Flavonoid akan menghambat kerja dari COX-2 sehingga produksi dari prostaglandin menurun. Prostaglandin merupakan salah satu mediator penting dari inflamasi (Lafuente, Guillamon, Villares, Rostagno, dan Martinez, 2009).

Umumnya, cara penggunaan daun cocor bebek sebagai obat anti-inflamasi terutama untuk penyembuhan luka, baik luka bakar maupun bengkak dengan cara mengoleskan parutan / tumbukan daun cocor bebek ke permukaan luka. Namun cara tersebut dinilai kurang nyaman dan efisien, sehingga perlu diformulasikan dalam suatu bentuk sediaan, salah satunya dalam bentuk sediaan gel.


(22)

Gel merupakan salah satu bentuk sediaan yang banyak digunakan dalam penyembuhan luka. Gel adalah suatu sistem suspensi semipadat yang terdiri dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan terpenetrasi pada suatu cairan (Dirjen POM RI, 1995). Gel berwarna bening dan mudah dicuci dengan air, sehingga nyaman untuk digunakan.

Mekanisme pembentukan gel dengan membentuk struktur jaringan tiga dimensi melalui penjeraban solven oleh gelling agent. Gelling agent berperan dalam pembentukan jaringan struktur gel, sehingga komposisi dari gelling agent dapat mempengaruhi sifat fisik dan stabilitas fisik gel (Garg, Aggarwal, Garg dan Singla, 2002). Gelling agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah CMC-Na. Menurut Rowe, Sheskey, dan Quinn (2009) CMC-Na berfungsi sebagai basis gel dan dapat meningkatkan viskositas gel.

Selain gelling agent, bahan yang berpengaruh terhadap sifat fisik dan stabilitas fisik adalah humektan. Humektan berfungsi untuk menjaga kandungan air di dalam sediaan gel (Rowe dkk., 2009). Humektan yang digunakan adalah gliserin. Jika gliserin yang digunakan dalam suatu sediaan gel terlalu banyak maka sediaan tersebut akan terlalu encer dan dapat mempengaruhi daya sebar dari sediaan tersebut. Demikian juga jika jumlah gliserin yang digunakan terlalu sedikit, maka gel akan terlalu kental sehingga memiliki daya sebar yang tidak luas (Loden dan Maibach, 2005). Oleh karena itu, dalam formulasi sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek perlu dilakukan optimasi penggunaan CMC-Na sebagai gelling agent dan gliserin sebagai humektan agar didapat sediaan gel yang memenuhi persyaratan sifat fisik dan stabil.


(23)

Metode optimasi yang digunakan adalah metode desain faktorial dengan dua faktor (CMC-Na dan gliserin) dan dua level (level rendah dan level tinggi). Metode ini digunakan untuk mengetahui faktor antara CMC-Na, gliserin, maupun interaksi antar kedua faktor tersebut. Menurut Bolton dan Bon (2004) metode desain faktorial memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek interaksi antar faktor.

1. Perumusan masalah

a. Faktor apakah yang lebih dominan antara CMC-Na, gliserin, atau interaksi keduanya yang menentukan sifat fisik (viskositas dan daya sebar) dan stabilitas fisik (pergeseran viskositas) sediaan gel ekstrak daun cocor bebek?

b. Dapatkah diperoleh komposisi optimum dari gelling agent CMC-Na dan humektan gliserin agar didapat sediaan gel ekstrak daun cocor bebek yang memenuhi persyaratan sifat fisik dan stabil?

c. Apakah sediaan gel ekstrak daun cocor bebek memiliki aktivitas anti-inflamasi?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang terkait dengan daun cocor bebek dan sediaan gel antara lain:

a. ”Formulasi dan Uji Efektivitas Gel Luka Bakar Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)) pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus)” yang dilakukan oleh Hasyim dkk. (2012). Penelitian ini memformulasikan ekstrak daun cocor bebek dalam bentuk gel untuk penyembuhan luka


(24)

bakar. Letak perbedaan dengan penelitian skripsi ini adalah dalam formulanya, yaitu gelling agent yang digunakan CMC-Na, serta humektan yang digunakan hanya gliserin.

b. “Analgesic and Anti-Inflammatory Activity of Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers” yang dilakukan oleh Matthew dkk. (2013) mengenai uji aktivitas anti-inflamasi cocor bebek pada hewan uji tikus. Letak perbedaan dengan penelitian skripsi ini adalah sampel yang diuji aktivitasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Matthew dkk. menguji aktivitas dari ekstrak daun cocor bebek, sedangkan penelitian skripsi ini menguji aktivitas dari gel ekstrak daun cocor bebek.

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, belum ada penelitian mengenai optimasi gelling agent CMC-Na dan humektan gliserin dalam sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek dengan aplikasi desain faktorial.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan menambah informasi dalam bidang kefarmasian, khususnya mengenai formulasi gel anti-inflamasi dengan cocor bebek sebagai zat aktifnya.

b. Manfaat praktis. Menghasilkan sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek yang memiliki sifat fisik dan stabilitas yang baik sehingga dapat menjadi alternatif pilihan obat dari bahan alam bagi masyarakat.


(25)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sediaan gel anti-inflamasi dari ekstrak daun cocor bebek yang dapat memenuhi persyaratan sifat fisik dan stabilitas fisik gel.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui faktor yang lebih dominan antara CMC-Na, gliserin, atau interaksi keduanya yang menentukan sifat fisik (viskositas dan daya sebar) dan stabilitas fisik (pergeseran viskositas) gel ekstrak daun cocor bebek.

b. Memperoleh komposisi optimum dari gelling agent CMC-Na dan humektan gliserin agar didapat sediaan gel ekstrak daun cocor bebek yang memenuhi persyaratan sifat fisik dan stabil.

c. Mengetahui apakah sediaan gel ekstrak daun cocor bebek memiliki aktivitas anti-inflamasi.


(26)

6 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Cocor Bebek

Tanaman cocor bebek memiliki nama latin Kalanchoe Pinnata (Lam.) termasuk ke dalam famili tumbuhan Crassulaceae (Bangun, 2012).

Klasifikasi tanaman cocor bebek adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Saxifragales

Famili : Crassulaceae

Genus : Kalanchoe

Species : Kalanchoe pinnata (Lam.)

(Majaz, Tatiya, Khurshid, Nazim dan Siraj, 2011). Tanaman ini memiliki beberapa sinonim, antara lain Brophyllum pinnatum, Brophyllum calycinum, B. Germinans, B., pinnatum, Cotyledon calycina, C. calyculata, C.pinnata, C. rhizophilla, Crassuvia floripendia, Crassula pinnata, Sedum madagascariense, Verea pinnata (Majaz dkk., 2011).


(27)

Tanaman cocor bebek memiliki batang yang lunak dan beruas. Daunnya tebal berdaging dan mengandung banyak air. Warna daun hijau muda, kadang-kadang abu-abu, bunga majemuk, dan buah kotak (Bangun, 2012).

Tumbuhan yang umum pada daerah beriklim tropika ini, merupakan tumbuhan yang memiliki tinggi sekitar 1 meter, tumbuh liar di tepi jurang, pinggir jalan dan tempat-tempat yang tanahnya berbatu-batu, daerah panas dan kering. Tumbuh dengan baik pada daerah hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat dikembangbiakkan melalui daun (kuncup-kuncup daun berbentuk dalam toreh-toreh pada tepi daunnya) (Bangun, 2012).

Tanaman ini dikenal dengan nama-nama daerah, seperti daun sejuk, buntiris, jampe, jukut kawasa, tere, ceker itik, suru bebek, cocor bebek, teres, tuju dengen, didingin beueu, mamala, rau kufiri, kabi-kabi, daun ancar bebek, dan daun ghemet (Haryanto, 2009).

Farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lainnya menyebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat agak masam, lunak, dingin serta berkhasiat antiradang, menghentikan perdarahan, mengurangi pembengkakan, dan mempercepat penyembuhan (Suhono dan tim LIPI, 2010).

Daun cocor bebek diketahui memiliki aktivitas diabetik, anti-hipertensi, anti-mikroba, anti-fungi, anti-inflamasi dan analgesik, anti-asma, sitotoksik, anti-urolitik, anti-oksidan, proteksi jantung, neurosedatif, dan relaksasi otot (Afzal dkk., 2012).


(28)

Tanaman ini kaya dengan kandungan kimia, yang sudah diketahui adalah zat asam lemon, zat asam apel, vitamin C, quercitin-3-diarabinoside, dan kaemferol-3-glucoside (Haryanto, 2009).

Senyawa aktif yang terkandung dan berhasil diisolasi dari cocor bebek antara lain alkaloid, triterpen, lipid, flavonoid, glikosida, bufadienolida, fenol, dan asam organik. Flavonoid yang terkandung di dalam daun cocor bebek inilah yang memiliki aktivitas anti-inflamasi (Afzal dkk., 2012).

B. Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa golongon polifenol yang secara alami hampir terdapat pada semua jenis tumbuhan. Flavonoid mempunyai dua atau lebih cincin aromatik masing-masing berikatan dengan gugus hidroksil dan heterosiklik piran. Flavonoid dibagi menjadi beberapa subkelas, yaitu: flavanol, flavanon, flavon, isoflavon, flavonol, dan antosianidin (Lafuente dkk.,2009).

Flavonoid mengandung komponen yang memiliki aktivitas biologis luas dan banyak ditemukan ditanaman. Aktivitas biologis flavonoid antara lain anti-inflamasi, antibakteri, antiviral, antialergi, antitumor, terapi penyakit neurodegeneratif, dan vasodilator (Sandhar, Kumar, Prasher, Tiwari, Salhan dan Sharma, 2011).

Beberapa flavonoid spesifik mempengaruhi sistem enzim yang terlibat dalam proses peradangan, terutama tirosin dan serin-treonin protein kinase. Enzim ini terlibat dalam sinyal transduksi dan proses aktivasi sel seperti proliferasi sel T, aktivasi limfosit B atau produksi sitokin oleh rangsangan monosit. Flavonoid juga


(29)

menunjukkan efek pada proses sekresi dari sel-sel inflamasi. Beberapa flavonoid seperti luteolin, kaempferol, apigenin, atau quercetin telah dilaporkan sebagai inhibitor dari β-glukoronidase dan pelepasan lisozim dari neutrofil. Flavonoid ini secara signifikan menghambat pelepasan asam arakidonat dari membran, efek yang berkorelasi dengan degranulasi (Lafuente dkk., 2009).

Mekanisme anti-inflamasi yang dilakukan oleh flavonoid dapat melalui beberapa jalur yaitu:

1. Penghambatan aktivitas enzim COX dan/atau lipooksigenase

Aktivitas anti-inflamasi flavonoid karena penghambatan COX atau lipooksigenase. Penghambatan jalur COX atau lipooksigenase ini secara langsung juga menyebabkan penghambatan biosintesis eikosanoid dan leukotrien yang merupakan produk akhir dari jalur COX dan lipooksigenase. 2. Penghambatan akumulasi leukosit

Efek anti-inflamasi flavonoid dapat disebabkan oleh aksinya dalam menghambat akumulasi leukosit di daerah inflamasi. Leukosit dalam keadaan normal dapat bergerak bebas sepanjang dinding endotel. Selama inflamasi, berbagai mediator turunan endotel dan faktor komplemen mungkin menyebabkan adhesi leukosit ke dinding endotel sehingga menyebabkan leukosit menjadi immobil dan menstimulasi degranulasi netrofil. Pemberian flavonoid dapat menurunkan jumlah leukosit immobil dan mengurangi aktivasi komplemen sehingga menurunkan adhesi leukosit ke endotel dan mengakibatkan penurunan respon inflamasi tubuh.


(30)

3. Penghambatan degranulasi netrofil

Flavonoid dapat menghambat degranulasi netrofil sehingga secara langsung mengurangi pelepasan asam arakidonat oleh netrofil.

4. Penghambatan pelepasan histamin

Efek anti-inflamasi flavonoid didukung oleh aksinya sebagai antihistamin. Histamin adalah salah satu mediator inflamasi yang pelepasannya distimulasi oleh pemompaan kalsium ke dalam sel. Flavonoid dapat menghambat pelepasan histamin dari sel mast. Flavonoid diduga dapat menghambat enzim c-AMP fosfodiesterase sehingga kadar c-AMP dalam sel mast meningkat, dengan demikian kalsium dicegah masuk ke dalam sel yang berarti juga mencegah pelepasan histamin.

5. Penstabil Reactive Oxygen Species (ROS)

Efek flavonoid sebagai antioksidan secara tidak langsung juga mendukung efek anti-inflamasi flavonoid. Adanya radikal bebas dapat menarik berbagai mediator inflamasi. Flavonoid dapat menstabilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dengan bereaksi dengan senyawa reaktif dari radikal sehingga radikal menjadi inaktif (Hidayati, Listyawati, Setyawan, 2005).

Flavonoid dapat menghambat aktivitas enzim pemetabolisme asam arakidonat (AA) seperti fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX), dan lipoksigenase (LOX)) serta enzim nitric oxide synthase (NOS) yang dapat menghasilkan nitric oxide (NO). Penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan berkurangnya produksi AA, prostaglandin, leucotrienes, dan NO yang berperan sebagai mediator penting dari inflamasi. Oleh karena itu dapat


(31)

dinyatakan bahwa penghambatan enzim ini dengan flavonoid menjadi salah satu mekanisme yang paling penting dari aktivitas anti-inflamasi (Lafuente dkk., 2009).

C. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Dirjen POM RI, 1995).

Ekstrak tumbuhan dapat dikelompokkan berdasarkan konsistensinya menjadi:

1. Ekstrak encer.

Sediaan seperti ini memiliki konsistensi seperti madu sehingga mudah dituang. Saat ini sudah tidak dipakai lagi.

2. Ekstrak kental.

Sediaan ini memiliki kandungan air sebesar 30%. Sediaan ini memiliki kelemahan yaitu sulit untuk ditakar.

3. Ekstrak kering.

Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan, serta memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.


(32)

4. Ekstrak cair.

Ekstrak ini merupakan sediaan cair yang dibuat dari hasil tarikan simplisia (Voigt, 1994).

Ekstraksi (penyarian) merupakan kegiatan penarikan bahan yang terkandung dengan pelarut cair yang sesuai. Umumnya, ekstraksi dapat dilakukan secara infudasi, maserasi, perkolasi, dan destilasi uap. Jenis ekstraksi dan bahan ekstraksi mana yang digunakan ditentukan berdasarkan kelarutan zat aktif serta stabilitasnya (Voigt, 1994).

Maserasi merupakan salah satu cara penyarian yang paling sederhana. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari dengan bantuan penggojokan. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Kemudian zat aktif akan terlarut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan terpekat didesak keluar (Dirjen POM RI, 1986).

Cairan penyari dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk menyari kandungan senyawa yang berkhasiat, sehingga senyawa tersebut dapat terpisah dari bahan simplisia dan dari senyawa kandungan lainnya (Voigt, 1994).


(33)

D. Inflamasi

Inflamasi merupakan respon biologis berupa reaksi vaskuler dengan manifestasi berupa pengiriman cairan, senyawa terlarut maupun sel-sel dari sirkulasi darah menuju ke jaringan interstisial pada daerah luka (Nugroho, 2012).

Inflamasi atau peradangan dibagi menjadi dua yaitu peradangan akut dan peradangan kronis. Peradangan akut merupakan respon awal tubuh untuk rangsangan berbahaya, berlangsung dalam beberapa hari. Proses peradangan akut yang simultan akan menghasilkan peradangan kronis, yang bisa berlangsung berbulan-bulan (Nugroho, 2012).

Inflamasi memiliki 5 tanda utama, yaitu:

1. Kemerahan (rubor) terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah terkumpul pada daerah jaringan yang cedera akibat pelepasan mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, dan histamin). Histamin mendilatasi arteriol.

2. Bengkak (edema/tumor) terjadi pada tahap kedua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam jaringan interstisial pada tempat cedera.

3. Panas (kalor) disebabkan oleh bertambahnya penggumpalan darah dan mungkin juga karena pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.

4. Nyeri (dolor) disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-mediator kimia.

5. Kehilangan fungsi (functio laesa) disebabkan karena penumpukan cairan pada jaringan yang cedera dan karena rasa nyeri yang mengurangi mobilitas pada daerah yang cedera (Setiadi, 2007).


(34)

Tanda inflamasi yang diamati dalam penelitian ini adalah edema. Edema disebut juga dengan istilah pembengkakan. Hal ini disebabkan karena adanya suplai cairan maupun sel darah merah atau sel darah putih dari sirkulasi darah menuju jaringan interstisial. Kumpulan cairan beserta sel-sel tersebut dalam jaringan luka disebut eksudat (Nugroho, 2012).

Secara garis besar, saat proses inflamasi, terjadi perubahan pada pembuluh darah dan jaringan. Pembuluh darah akan melebar (vasodilatasi) dan permeabilitas kapiler akan meningkat, terutama pada inflamasi akut. Hal ini terjadi akibat adanya rangsangan pada membran sel yang akan melepaskan mediator kimia. Perubahan kapiler tersebut mengakibatkan terjadinya kebocoran yang mengakibatkan cairan plasma merembes keluar (eksudasi) disertai leukosit, antibodi, dan sel fagosit yang bergerak keluar pembuluh darah (infiltrasi) dan sampai ke tempat benda asing, atau jaringan yang rusak. Akibat migrasi dari leukosit, eritrosit, dan menempelnya platelet pada pembuluh darah kapiler menyebabkan terbentuknya thrombus, sehingga terjadi gangguan sirkulasi kapiler yang menyebabkan jaringan mengalami nekrosis. Jaringan yang mengalami inflamasi akan mengalami penyembuhan dengan adanya infiltrasi sel radang, proliferasi fibroblast yang kemudian terjadi pembentukan jaringan granulasi dan proliferasi kapiler baru (Mitchell, Kumar, Abbas, dan Fausto, 2009).


(35)

E. Gel

Gel merupakan suatu sistem suspensi semipadat yang terdiri dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan terpenetrasi dalam cairan (Dirjen POM RI, 1995).

Gel sendiri diklasifikasikan berdasarkan karakteristiknya menjadi dua, yaitu gel inorganik dan gel organik. Gel organik memiliki ciri mengandung polimer sebagai pembentuknya. Gel juga diklasifikasikan berdasarkan sifat pelarutnya menjadi dua, yaitu aqueous gels dan organogels. Aqueous gels memiliki basis air, sedangkan organogels mengandung pelarut nonaqueous. Selain itu, gel dengan konsentrasi pelarut yang rendah disebut xerogels (Zats dan Kushla, 1996).

Hidrogel adalah sistem gel di mana air bergerak di dalam polimer yang terlarut. Hidrogel adalah sediaan yang memiliki kompatibilitas yang cukup baik terhadap jaringan biologis (Zats dan Kushla, 1996). Hidrogel menggambarkan sediaan yang dapat disebarkan, yang terbentuk melalui pembengkakan terbatas dari bahan organik makromolekuler atau senyawa anorganik. Hidrogel termasuk grup besar dari heterogel kaya cairan (Voigt, 1994).

Hidrogel bersifat hidrofilik, mengandung sebagian besar air (85-95%), oleh karena itu pertumbuhan mikroba menjadi salah satu masalah ketidakstabilan dalam bentuk sediaan ini. Bahan dan agen pembentuk gel biasanya merupakan senyawa polimer organik seperti carbopol dan natrium karboksi metilselulosa. Setelah aplikasi, hidrogel memberikan sensasi dingin disebabkan oleh evaporasi dari pelarut. Namun penggunaan hidrogel dalam jangka panjang dapat


(36)

menyebabkan kulit mengering. Oleh karena itu biasanya ditambahkan humektan dalam formulasinya, misalnya gliserin (Barel, Paye, dan Malbach, 2001).

Sediaan gel hidrofilik memiliki sifat daya sebar yang baik pada kulit, pelepasan obat yang baik, tidak menghambat fungsi fisiologis kulit, memiliki efek dingin, dan mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).

Evaluasi sifat fisik gel terdiri dari organoleptis, homogenitas, pH, konsistensi, viskositas, daya sebar, serta stabilitas fisik (Kuncari, Iskandarsyah, dan Praptiwi, 2014).

F. Gelling Agent

Gelling agent dapat membentuk struktur jaringan yang merupakan faktor penting dalam sistem gel. Jenis-jenis gelling agent yaitu polimer alam, derivat selulosa, dan carbomer. Peningkatan jumlah gelling agent dapat memperkuat jaringan struktur gel sehingga terjadi kenaikan viskositas. Karakteristik gel lainnya seperti kekuatan dan elastisitas gel tergantung kepada konsentrasi dari gelling agent (Zats dan Kushla, 1996).

Saat didispersikan dalam suatu pelarut yang sesuai, gelling agent akan membentuk matriks tiga dimensi. Gaya intermolekuler akan mengikat solven pada matriks polimer sehingga mobilitas solven berkurang yang menghasilkan sistem tertentu dengan peningkatan viskositas (Zats dan Kushla, 1996).

Gelling agent harus inert, aman dan tidak reaktif terhadap komponen yang lainnya dalam suatu formulasi gel. Hidrogel mudah mengalami degradasi


(37)

mikrobia yang dapat menghilangkan karakteristik dari gel, sehingga perlu ditambahkan pengawet yang sesuai ke dalam formula (Zats dan Kushla, 1996).

G. Carboxymethylcellulose sodium (CMC-Na)

Gambar 1. Struktur molekul CMC-NA (Rowe dkk., 2009)

Carboxymethylcellulose sodium (CMC-Na) (gambar 1) adalah polimer anionik yang tersedia dalam berbagai macam berat molekul dan tingkat substitusi (Zats dan Kushla, 1996).

Carboxymethylcellulose sodium (CMC-Na) umumnya digunakan dalam sediaan oral dan topikal, dengan fungsi untuk meningkatkan viskositas. Dalam sediaan gel, konsentrasi yang sering digunakan sekitar 3-6% (sebagai basis gel). Biasanya ditambahkan glikol untuk mencegah basis mengering (Rowe dkk., 2009).

CMC-Na berpenampilan putih/hampir putih, berbau, berasa, dan berbentuk serbuk granul. CMC-Na bersifat higroskopik setelah pengeringan. CMC-Na stabil pada pH 2-10, jika pH < 2 dapat terjadi presipitasi, sedangkan jika pH > 10 maka dapat menyebabkan penurunan viskositas (Rowe dkk., 2009).


(38)

CMC-Na dapat larut dalam air dingin maupun dalam air panas, dan larutannya stabil terhadap suhu dan waktu, sehingga dapat ditempatkan dalam waktu yang lebih lama dengan suhu 100oC, tanpa terkoagulasi (Voigt, 1994).

H. Humektan

Humektan adalah suatu bahan higroskopis yang mempunyai sifat mengikat air dari udara yang lembab dan sekaligus mempertahankan air yang ada dalam sediaan (Rawlings, Harding, Watkingson, Chandar dan Scott, 2002).

Humektan seperti propilen glikol, gliserin, dan sorbitol sering ditambahkan pada produk dermatologi dengan tujuan untuk mengurangi penguapan air selama penyimpanan dan penggunaan (Swarbrick dan Boylan, 1992).

Humektan yang ditambahkan harus dapat melindungi sediaan dari kemungkinan pengeringan. Sebagai humektan, dapat digunakan gliserin, sorbitol, etilen glikol, dan 1,2-propilen glikol dalam konsentrasi 10-20% (Voigt, 1994).

I. Gliserin

Gambar 2. Struktur molekul gliserin (Rowe dkk., 2009)

Gliserin (gambar 2) dapat berfungsi sebagai pengawet antimikrobia, cosolvent, emollient, humektan, plasticizer, solvent, agen pemanis, dan agen


(39)

tonisitas. Penggunaan gliserin sebagai humektan sebesar ≤ 30%. Pemerian gliserin yaitu tidak berwarna, berbau lemah, kental, cairan higroskopis, dan rasanya manis (Rowe dkk., 2009).

Gliserin merupakan humektan yang paling umum digunakan karena tidak mengiritasi kulit, namun penggunaan gliserin cenderung menimbulkan rasa berat dan basah sehingga dikombinasikan dengan humektan lain (Barel dkk., 2001).

J. Desain Faktorial

Desain faktorial digunakan untuk mencari efek dari berbagai faktor atau kondisi terhadap hasil penelitian. Desain faktorial adalah desain untuk menentukan secara serentak efek dari beberapa faktor sekaligus interaksinya. Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas (Bolton dan Bon, 2004).

Desain faktorial mengandung beberapa pengertian, yaitu faktor, level, respon, dan efek. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon. Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diukur harus dapat dikuantitatifkan. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi tingkat dari faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level rendah (Bolton dan Bon, 2004).

Level dalam faktorial desain yang sering dipakai adalah dua level. Dua level yang digunakan merupakan level tertinggi dan level terendah. Faktor


(40)

dilambangkan dengan notasi A dan B. Ketika faktor A level tinggi maka desain eksperimen disebut formula A, ketika faktor B level tinggi maka desain eksperimen disebut formula B dan jika faktor A dan B berada pada level tinggi maka desain eksperimennya disebut formula AB. Faktor yang berada di level tinggi dilambangkan dengan ‘+’, sedangkan yang berada di level rendah dilambangkan dengan ‘-‘. Hal ini menjadi penting untuk penentuan interaksi antar faktor (Armstrong dan James, 1996).

Tabel I. Rancangan desain faktorial

Formula Faktor A Faktor B

AB + +

A + -

B - +

I - -

Keterangan :

Formula AB = formula dengan faktor A level tinggi dan faktor B level tinggi. Formula A = formula dengan faktor A level tinggi dan faktor B level rendah. Formula B = formula dengan faktor A level rendah dan faktor B level tinggi. Formula I = formula dengan faktor A level rendah dan faktor B level rendah.

Optimasi campuran dua bahan yang mempunyai dua faktor dengan menggunakan pendekatan desain faktorial (two level factorial design) dilakukan dengan rumus: Y = b0 + b1(A) + b2(B) + b12(A)(B)...(1) Y merupakan respon hasil atau sifat yang diamati. (A) dan (B) adalah level bagian A dan level bagian B. b0, b1, dan b12 adalah koefisien yang dapat dihitung dari hasil percobaan (Armstrong dan James, 1996).

Adanya interaksi dapat juga dilihat dari grafik hubungan respon dan level faktor. Jika hasil kurva menunjukkan garis sejajar, maka dapat dikatakan bahwa


(41)

tidak ada interaksi antar eksipien dalam menentukan respon. Jika kurva menunjukkan garis yang tidak sejajar, maka dapat dikatakan bahwa ada interaksi antar eksipien dalam menentukan respon (Bolton dan Bon, 2004).

K. Landasan Teori

Daun cocor bebek diketahui memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi. Hal itu dikarenakan daun cocor bebek mengandung flavonoid yang memiliki aktivitas anti-inflamasi (Afzal dkk., 2012). Mekanisme anti-inflamasi dari flavonoid dengan menghambat asam arakidonat yang merupakan mediator penting dalam proses inflamasi. Pelepasan asam arakidonat merupakan titik awal untuk respon inflamasi secara umum. Oleh karena itu dengan terhambatnya pelepasan asam arakidonat maka proses inflamasi juga terhambat (Lafuente dkk., 2009).

Sediaan farmasi yang cocok untuk anti-inflamasi adalah hidrogel. Hal itu sesuai dengan zat aktif yang digunakan yaitu flavonoid yang bersifat hidrofil. Sediaan hidrogel memiliki kelebihan yaitu memberikan sensasi dingin, sehingga memberikan rasa nyaman pada saat aplikasi. Selain itu, hidrogel memiliki daya sebar yang baik pada kulit, pelepasan obat yang baik, tidak menghambat fungsi fisologis kulit, dan mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).

Gelling agent berfungsi untuk menjaga viskositas gel sedangkan humektan berfungsi untuk menjaga kelembaban sediaan gel. Penelitian ini menggunakan CMC-Na sebagai gelling agent dan gliserin sebagai humektan. Perbedaan komposisi gelling agent dan humektan pada suatu formulasi gel dapat


(42)

memberikan hasil yang berbeda, terutama pada sifat-sifat fisik yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penentuan komposisi optimum dari gelling agent dan humektan dengan metode desain faktorial. Desain faktorial digunakan untuk melihat respon dari setiap faktor secara simultan dan interaksi antar faktor tersebut.

L. Hipotesis

1. Faktor yang lebih dominan antara CMC-Na, gliserin, atau interaksi keduanya yang menentukan sifat fisik (viskositas dan daya sebar) dan stabilitas fisik (pergeseran viskositas) gel ekstrak daun cocor bebek dapat ditemukan.

2. Diperoleh komposisi optimum dari gelling agent CMC-Na dan humektan gliserin sehingga didapat sediaan gel ekstrak daun cocor bebek yang memenuhi persyaratan sifat fisik dan stabil.


(43)

23 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental murni menggunakan metode desain faktorial yang bersifat eksploratif dengan dua faktor dan dua level.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah level CMC-Na dan gliserin yang digunakan dalam formulasi.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisik gel yang meliputi organoleptis, pH, viskositas dan daya sebar, serta stabilitas sediaan gel (pergeseran viskositas) setelah penyimpanan selama 4 minggu.

c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah waktu panen, umur, habitat tumbuh, cara panen dari tanaman cocor bebek, lama dan kecepatan pencampuran saat pembuatan gel, lama penyimpanan, wadah yang digunakan untuk menyimpan sediaan gel, umur, jenis kelamin, serta galur tikus yang digunakan.

d. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah suhu dan kelembaban udara pada saat pembuatan dan penyimpanan.


(44)

2. Definisi operasional

a. Gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek adalah sediaan semipadat yang dibuat dari ekstrak daun cocor bebek dengan gelling agent (CMC-Na) dan humektan (gliserin) sesuai dengan formula dan prosedur pembuatan yang telah ditentukan dalam penelitian ini.

b. Ekstrak kental daun cocor bebek adalah hasil dari proses maserasi serbuk daun cocor bebek dengan pelarut etanol, yang diuapkan menggunakan rotary evaporator dan dilanjutkan penguapan diatas waterbath pada suhu 70oC selama 3 jam dengan pengadukan setiap 30 menit.

c. Gelling agent adalah bahan penyusun struktur jaringan gel yang dapat mempengaruhi sifat fisik sediaan gel, dalam penelitian ini digunakan CMC-Na.

d. Humektan adalah bahan yang berfungsi sebagai pelembab dalam sediaan gel di mana merupakan faktor yang akan dioptimasi dalam penelitian ini, dalam hal ini adalah gliserin.

e. Sifat fisik adalah sifat gel yang dapat dilihat kenampakan fisiknya dan dapat diukur baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang meliputi daya sebar, viskositas, kemampuan penetrasi, pH, dan organoleptis.

f. Stabilitas fisik gel adalah sifat gel dalam mempertahankan kestabilannya yang dilihat dari pergeseran viskositas.

g. Pergeseran viskositas adalah selisih dari viskositas gel setelah 4 minggu penyimpanan dalam suhu kamar dengan viskositas gel setelah 2 hari pembuatan.


(45)

h. Faktor adalah variabel yang diteliti di dalam penelitian (CMC-Na dan gliserin).

i. Level adalah tetapan atau nilai dari suatu faktor yang dinyatakan secara numerik.

j. Respon adalah besaran yang diamati, perubahan efek dan besarnya dapat dinyatakan secara kuantitatif. Dalam penelitian ini adalah sifat fisik dan stabilitas fisik gel.

k. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan oleh variasi level dari faktor.

l. Contour plot adalah grafik yang merupakan area optimum dari formula yang menunjukkan parameter sediaan gel yang baik.

m. Area optimum adalah area dari komposisi CMC-Na dan gliserin yang memberikan sifat fisik dan stabilitas sediaan gel yang baik, yaitu daya sebar 5-7 cm, viskositas 150-250 dPas, serta perubahan viskositas selama penyimpanan ≤ 10%.

C. Bahan Penelitian

Daun cocor bebek yang diperoleh dari kebun obat Universitas Sanata Dharma, aquadest, CMC-Na (kualitas farmasetis), trietanolamin (kualitas farmasetis), gliserin (kualitas farmasetis), metil paraben (kualitas farmasetis), etanol 70% (kualitas farmasetis), suspensi karagenan-salin 1%, dan tikus jantan galur Sprague Dawley.


(46)

D. Alat Penelitian

Oven, blender, erlenmeyer, maserator seri OS-762 (OPTIMA-JAPAN), corong Buchner, labu hisap, vacuum rotary evaporator, gelas ukur, wadah plastik, sendok, pipet ukur, propipet, cawan porselen, pipet tetes, batang pengaduk, cawan arloji, gelas Beaker, mixer Maspion seri MT-1150, viskometer seri VT 04 (RION-JAPAN), stopwatch, waterbath, pH stik, seperangkat alat uji daya sebar, dan jangka sorong digital.

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi tanaman cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.))

Determinasi tanaman cocor bebek dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Determinasi bertujuan untuk memastikan kebenaran dari tanaman yang akan digunakan dalam penelitian ini. Determinasi dilakukan dengan mengacu pada Backer dan van Den Brink (1963). 2. Pembuatan ekstrak daun cocor bebek

a. Pengumpulan dan cara panen daun cocor bebek. Bibit daun cocor bebek diperoleh dari tempat budidaya tanaman obat Merapi Farma yang terdapat di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Kemudian bibit dibudidayakan secara mandiri di kebun obat kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paingan. Tanaman dipanen pada umur tiga bulan (sebelum tanaman berbunga). Daun hasil panen dicuci dengan air mengalir (sortasi basah) untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel. Selanjutnya daun yang sudah dicuci diangin-anginkan kemudian dikeringkan sampai daun


(47)

benar-benar kering. Parameter kering adalah daun mudah dipatahkan atau hancur bila diremas. Simplisia yang sudah kering diserbuk dengan menggunakan blender.

b. Pembuatan ekstrak kental daun cocor bebek. Simplisia serbuk ditimbang sejumlah 40 g dimaserasi dalam 100 mL etanol 70%. Maserasi dilakukan selama 48 jam. Selanjutnya larutan disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vacuum. Residu yang didapat kemudian diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan suhu 55oC dan dilanjutkan di atas waterbath pada suhu 70oC selama 3 jam dengan pengadukan setiap 30 menit. Metode ini mengacu pada penelitian Nwose (2013) dengan modifikasi pelarut dan proses pemekatan.

c. Uji kandungan flavonoid. Pengujian kandungan flavonoid dalam ekstrak daun cocor bebek secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan oleh LPPT Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan metode spektrofotometri visibel dan dengan quercetin sebagai standar pembanding. Panjang gelombang yang digunakan 510 nm.

3. Formulasi gel

a. Formula. Formula yang digunakan dalam penelitian ini mengacu formula dalam penelitian “Formulasi dan Uji Efektifitas Gel Luka Bakar Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata L.) pada Kelinci (Oryctogalus cuniculus)” oleh Hasyim dkk. (2012).


(48)

Tabel II. Formula gel ekstrak daun cocor bebek

Nama Bahan Komposisi (%b/v)

Ekstrak Cocor Bebek 2,5

Carbopol 0,6

Trietanolamin 0,81

Gliserol 25

Propilenglikol 5

Metil Paraben 0,18

Etanol 70% 0,5

Air ad 100

(Hasyim dkk., 2012). Formula seperti pada tabel II selanjutnya dimodifikasi menjadi formula dengan komposisi gelling agent dan humektan seperti tersaji dalam tabel III.

Tabel III. Formula modifikasi gel ekstrak daun cocor bebek

Nama Bahan FAB

(gram) FA (gram) FB (gram) F1 (gram)

Ekstrak cocor bebek 5 5 5 5

CMC-Na 7,5 7,5 6 6

Gliserin 60 30 60 30

Trietanolamin 1,62 1,62 1,62 1,62

Metil paraben 0,36 0,36 0,36 0,36

Etanol 70% 1 1 1 1

Aquadest 162 162 162 162

b. Pembuatan gel. CMC-Na dikembangkan dalam 100 ml aquadest, dengan cara menaburkan CMC-Na di atas aquadest. Proses pengembangan dilakukan selama 24 jam. Metil paraben dilarutkan dengan etanol 70% lalu dicampurkan dengan gliserin, dan ekstrak (aquadest berfungsi sebagai pembilas). Selanjutnya campuran tersebut ditambahkan dengan CMC-Na yang telah dikembangkan sebelumnya. Semua bahan diaduk kuat menggunakan mixer dengan kecepatan putar level 1, selanjutnya pada


(49)

menit pertama ditambahkan trietanolamin ke dalam campuran, pengadukan dilanjutkan sampai menit kelima.

4. Uji sifat fisik dan stabilitas fisik gel

a. Uji organoleptis. Uji organoleptis dilakukan terhadap penampilan fisik sediaan gel ekstrak daun cocor bebek meliputi warna, bau, dan homogenitas.

b. Uji pH. Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH stik. Sediaan gel dioleskan secukupnya pada stik, kemudian dibandingkan warnanya dengan standar untuk menentukan pH. Uji pH dilakukan 48 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, dan 4 minggu setelah formulasi.

c. Uji viskositas. Uji viskositas dilakukan 48 jam setelah pembuatan, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, dan 4 minggu penyimpanan. Masing-masing formula gel diukur viskositasnya dengan menggunakan alat Viscotester Rion seri VT 04. Ukuran paddle yang digunakan adalah skala 2 karena area viskositas yang diteliti adalah 100-4000 dPas. Sediaan gel dimasukkan ke dalam cup sampai terisi ¾ cup. Selanjutnya paddle dipasangkan ke rotor secara tegak lurus. Cup dipasang lalu rotor dinyalakan. Nilai viskositas ditunjukkan oleh jarum penanda.

d. Uji daya sebar. Pengukuran daya sebar sediaan gel dilakukan setelah 48 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, dan 4 minggu penyimpanan. Gel ditimbang sejumlah 1 gram kemudian diletakkan di tengah lempeng kaca bulat berskala. Di atas gel diletakkan kaca bulat lain dan pemberat


(50)

sehingga berat kaca bulat dan pemberat 125 gram, didiamkan selama 1 menit, kemudian dicatat diameter sebarnya (Garg dkk., 2002).

5. Uji aktivitas anti-inflamasi

Uji aktifitas anti-inflamasi gel ekstrak daun cocor bebek dilakukan pada tikus jantan galur Sprague Dawley dengan tata cara penelitian metode radang telapak kaki belakang.

a. Penyiapan hewan uji. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan galur Sprague Dawley umur 2-3 bulan dengan berat badan 100-200 gram. Tikus diberi pra perlakuan dengan dipuasakan selama 12 jam. Kelompok perlakuan terdiri dari kontrol negatif suspensi karagenan-salin 1%, kontrol positif gel Voltadex®, dan sediaan gel ekstrak daun cocor bebek dengan formula optimum.

b. Pembuatan larutan NaCl 0,9%. NaCl ditimbang sebanyak 0,9 gram kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam labu ukur 100 ml.

c. Pembuatan suspensi karagenan-salin 1%. Karagenan ditimbang sebanyak 0,1 g, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% dalam labu takar 10 ml.

d. Perlakuan hewan uji. Hewan uji dibagi menjadi :

1) Kelompok kontrol negatif suspensi karagenan-salin 1%.

Kaki kiri belakang tikus diukur menggunakan jangka sorong digital sebelum diinjeksi dengan suspensi karagenan-salin 1% secara subplantar (dinyatakan sebagai Y0). Pengukuran ketebalan telapak kaki tikus dilakukan pada menit ke-0, 30, 60, 120, dan 180 setelah injeksi.


(51)

2) Kelompok kontrol positif gel Voltadex®.

Kaki kiri belakang tikus diukur menggunakan jangka sorong digital (dinyatakan sebagai Y0). Setelah itu dioleskan dengan gel Voltadex®. Satu jam setelahnya, kaki kiri belakang tikus tersebut diinjeksikan 0,5 ml suspensi karagenan-salin 1% secara subplantar. Pengukuran ketebalan telapak kaki tikus dilakukan pada menit ke-0 (sebelum pengolesan gel Voltadex®), 30, 60, 120, dan 180 setelah injeksi.

3) Kelompok perlakuan sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek dengan formula optimum.

Kaki kiri belakang tikus diukur menggunakan jangka sorong digital (dinyatakan sebagai Y0). Setelah itu dioleskan dengan formula gel optimum. Satu jam setelahnya, kaki kiri belakang tikus tersebut diinjeksikan 0,5 ml suspensi karagenan-salin 1% secara subplantar. Pengukuran ketebalan kaki tikus dilakukan pada menit ke-0 (sebelum pengolesan gel ekstrak daun cocor bebek), 30, 60, 120, dan 180 setelah injeksi.

e. Pengukuran % inhibisi. Pengukuran ketebalan kaki tikus diukur menggunakan jangka sorong digital. Kemudian dihitung nilai edema tiap waktu (persamaan 2) dan dihitung nilai AUC total masing-masing perlakuan (persamaan 3). Nilai edema tiap waktu dihitung dengan rumus:

Yu = Yt –Yo………...………(2) Keterangan:


(52)

Yt = tebal kaki tikus pada waktu tertentu setelah diradangkan dengan suspensi karagenan-salin 1% (mm)

Yo = tebal kaki tikus sebelum diradangkan dengan suspensi karagenan-salin 1% (mm)

(Taufiq, Wahyuningtyas dan Wahyuni, 2008). Nilai AUC total masing-masing perlakuan dengan rumus:

...(3) = area dibawah kurva dari jam ke-0 sampai jam ke-3 (mm.jam)

= edema telapak kaki pada jam ke-(n-1) (mm) = edema telapak kaki pada jam ke-n (mm) = jam ke-n (jam)

= jam ke-(n-1) (jam)

(Taufiq dkk., 2008). Persen inhibisi dihitung dengan rumus:

...(4) = rata – rata kontrol negatif (mm.jam)

= masing-masing tikus pada kelompok yang diberi perlakuan n (mm.jam)


(53)

F. Optimasi Formula dan Analisis Data

Data sifat fisik gel yang diperoleh dianalisis sesuai dengan metode perhitungan desain faktorial untuk mengetahui efek dari CMC-Na, gliserin, dan interaksinya. Analisis menggunakan pendekatan desain faktorial untuk menghitung koefisien b0, b1, b2, b12 sehingga didapatkan persamaan Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2. Persamaan ini kemudian digunakan untuk membuat contour plot sifat fisik gel ekstrak daun cocor bebek. Masing-masing contour plot digabungkan menjadi contour plot superimposed untuk mengetahui area komposisi optimum CMC-Na dan gliserin, terbatas pada level yang diteliti. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program R.3.1.2 dengan uji two way ANOVA pada taraf kepercayaan 95%.

Tahapan analisis data adalah uji normalitas data, uji variansi data, dan ANOVA. Uji normalitas data dilakukan dengan Shapiro Wilk. Suatu data dikatakan normal bila memiliki p-value > 0,05. Selanjutnya dilakukan uji variansi data dengan Levene’s test untuk mengetahui homogenitas data. Data dikatakan memiliki kesamaan varian bila memiliki p-value > 0,05. Apabila data terdistribusi normal dan memiliki kesamaan varian maka dilanjutkan dengan uji two way ANOVA. Uji ANOVA bertujuan untuk mengetahui signifikansi efek dari masing-masing faktor yaitu CMC-Na dan gliserin serta interaksi keduanya sehingga dapat diketahui faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisik gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek. Faktor dikatakan memiliki pengaruh signifikan terhadap sifat fisik dan stabilitas fisik gel bila memiliki p-value < 0,05.


(54)

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tumbuhan

Tanaman yang akan digunakan dalam penelitian ini dideterminasi terlebih dahulu. Tujuan determinasi adalah memastikan kebenaran dari tanaman yang digunakan dalam penelitian. Determinasi dilakukan dengan mengacu literatur yaitu pada Backer dan van Den Brink (1963). Proses determinasi yaitu dengan mencocokan ciri morfologi tanaman dengan kunci determinasi. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)). Pembuktian kebenaran dari tanaman yang digunakan juga diperkuat dengan adanya surat determinasi tanaman yang dikeluarkan oleh Laboratorium Kebun Tanaman Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma (Lampiran 1).

B. Pengumpulan dan Penyerbukan Simplisia

Cocor bebek yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Kebun Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Tanaman tersebut merupakan tanaman yang ditanam secara mandiri oleh peneliti. Sebelumnya peneliti memperoleh bibit cocor bebek dari Merapi Farma, Kaliurang. Tempat pengambilan tanaman pada satu tempat ini diharapkan metabolit yang terkandung di dalamnya seragam. Hal itu dikarenakan tanaman mendapatkan perlakuan yang sama. Daun cocor bebek dipanen saat berumur kurang lebih tiga bulan (sebelum


(55)

berbunga). Menurut penelitian yang dilakukan Milad, El-Ahmady, dan Singab (2014), menunjukkan bahwa daun cocor bebek yang dipanen sebelum berbunga memiliki aktivitas anti-inflamasi sedangkan daun cocor bebek yang dipanen setelah berbunga tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi.

Setelah dipanen, daun cocor bebek dicuci bersih dengan air mengalir, lalu dipotong kecil-kecil agar proses pengeringan dapat berjalan lebih efisien. Potongan daun cocor bebek tersebut kemudian dikeringkan dengan pengeringan udara di tempat teduh selama 2 hari dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan lemari pengering dengan suhu 35oC. Simplisia kering ditandai dengan mudah hancur dan patah ketika diremas.

Simplisia yang sudah kering kemudian diserbuk dengan bantuan blender. Penyerbukan ini bertujuan untuk memperluas kontak permukaan simplisia dengan pelarut agar proses penyarian dapat lebih maksimal. Ukuran serbuk yang terlalu besar menyebabkan sudut kontak antara serbuk dan penyari menjadi semakin kecil sehingga proses ekstraksi tidak maksimal. Namun ukuran serbuk yang terlalu halus memiliki kelemahan yaitu sulit dipisahkan antara pelarut dan ampas serbuk. Oleh karena itu serbuk yang dihasilkan diayak dengan ayakan mesh 40 agar ukuran partikel serbuk menjadi seragam. Selanjutnya serbuk langsung diekstraksi dengan etanol 70% untuk mencegah peningkatan kadar air dan degradasi senyawa aktif oleh jamur dan bakteri.


(56)

C. Pembuatan Ekstrak Daun Cocor Bebek

Proses ekstraksi dilakukan dengan menimbang 40 gram serbuk simplisia daun cocor bebek dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 mL, kemudian ditambahkan 100 mL etanol 70%. Campuran tersebut dimaserasi selama 48 jam (Nwose, 2013). Maserasi adalah proses ekstraksi yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam cairan penyari dengan bantuan penggojokan. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan terlarut ke dalam larutan penyari, kemudian cairan pekat yang ada di dalam sel akan terdesak keluar sel yang diakibatkan adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel sehingga terjadi kesetimbangan di dalam dan di luar sel (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986). Metode maserasi dipilih karena memiliki cara kerja yang relatif sederhana dan cocok untuk jaringan tumbuhan yang lunak seperti daun.

Cairan penyari dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk menyari senyawa kandungan yang berkhasiat, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisah dari bahan dan dari senyawa lainnya dalam simplisia tersebut (Voigt, 1994). Dasar pemilihan etanol sebagai pelarut karena etanol dapat menghambat kerja enzim sehingga dapat meminimalkan terjadinya reaksi enzimatik (misal: hidrolisis flavonoid), selain itu etanol 70% juga dapat mengambil komponen aktif target (flavonoid) secara optimal dan selektif dalam mengekstraksi komponen di dalam bahan simplisia.


(57)

Hasil maserasi 48 jam kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vacuum untuk meningkatkan efisiensi proses penyaringan. Filtrat yang dihasilkan ditampung ke dalam wadah tertutup untuk meminimalisir kontaminasi. Ampas yang tertinggal di kertas saring dimasukkan kembali ke dalam erlenmeyer 300 mL dan ditambahkan dengan 100 mL etanol 70% untuk dimaserasi kembali. Proses pengulangan maserasi bertujuan agar sisa flavonoid dalam serbuk daun cocor bebek hasil maserasi sebelumnya dapat terambil secara total. Filtrat yang dihasilkan dari maserasi pertama dan kedua digabungkan.

Langkah selanjutnya, filtrat yang terkumpul diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 55oC sampai ekstrak terlihat pekat (± 1,5 jam). Tujuan digunakannya vacuum rotary evaporator adalah untuk menguapkan etanol di dalam ekstrak sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental kemudian dipanaskan di atas waterbath pada suhu 70oC selama 3 jam, dengan pengadukan/penggojokan setiap 30 menit. Ekstrak yang didapatkan memiliki rendemen 3,2 gram dengan % yield sebesar 8%. Menurut Dirjen POM RI (2004) rendemen ekstrak yang baik adalah ≥ 7,5%. Oleh karena itu, hasil yang didapat cukup baik dan memenuhi parameter tersebut. Ekstrak daun cocor bebek yang dihasilkan memiliki warna hijau tua dengan konsistensi cairan yang mudah mengalir sehingga dapat dimasukkan ke dalam basis gel.

Penetapan kadar total flavonoid secara kuantitatif dilakukan oleh pihak LPPT UGM. Metode penetapan kadar yang digunakan adalah spektrofotometri visibel. Berdasarkan laporan hasil uji yang dikeluarkan oleh pihak LPPT UGM, diperoleh kadar flavonoid sebesar 22,38% b/b dengan pembanding quercetin.


(58)

Quercetin termasuk dalam golongan flavonoid, sehingga dapat digunakan sebagai parameter pembanding uji kuantitatif flavonoid.

D. Orientasi Level dari Kedua Faktor Penelitian

Orientasi level dari kedua faktor bertujuan untuk menentukan level rendah dan tinggi dari faktor CMC-Na sebagai gelling agent dan faktor gliserin sebagai humektan. Level rendah dan tinggi dari kedua faktor ditentukan dengan melihat respon viskositas dan respon daya sebar yang dihasilkan.


(59)

Gambar 4. Profil kurva variasi konsentrasi CMC-Na terhadap daya sebar

Orientasi faktor CMC-Na menggunakan variasi konsentrasi CMC-Na dengan range 6 – 8,5 g. Hal ini dikarenakan konsentrasi CMC-Na sebagai gelling agent adalah 3-6% (Rowe dkk., 2009). Hasil orientasi dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4. Gambar 3 menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi CMC-Na maka akan meningkat pula respon viskositas dari sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek. CMC-Na akan memberikan pengaruh secara linier terhadap respon viskositas pada konsentrasi 6 – 7,5 g dengan r = 0,9927. Sedangkan pada gambar 4, dapat disimpulkan bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi CMC-Na maka akan menurunkan respon daya sebar dari sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek. CMC-Na akan memberikan pengaruh secara linier terhadap respon daya sebar pada konsentrasi 6 – 8 g dengan r = 0,9948. Oleh karena itu, dengan melihat irisan dari kedua respon dapat ditentukan bahwa level rendah dari gelling agent CMC-Na adalah 6 g dan level tinggi 7,5 g.


(60)

Gambar 5. Profil kurva konsentrasi gliserin terhadap viskositas

Gambar 6. Profil kurva variasi konsentrasi gliserin terhadap daya sebar

Orientasi faktor gliserin digunakan variasi konsentrasi gliserin dengan range 10 – 60 g. Hal ini dikarenakan konsentrasi gliserin sebagai humektan adalah ≤ 30% (Rowe dkk., 2009). Hasil orientasi dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6. Gambar 5 menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi gliserin maka akan menurun pula respon viskositas dari sediaan gel ekstrak daun cocor


(61)

bebek. Gliserin memberikan pengaruh secara linier terhadap respon viskositas pada konsentrasi 10 – 60 g dengan r = 0,9925. Sedangkan pada gambar 6, dapat disimpulkan bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi gliserin maka akan meningkatkan respon daya sebar dari sediaan gel ekstrak daun cocor bebek. Gliserin memberikan pengaruh secara linier terhadap respon daya sebar pada konsentrasi 10 – 30 g dan 30 – 60 g dengan r = 0,9961. Namun secara fisik, dapat dilihat bahwa formula 1 dan 2 memiliki viskositas yang sangat kental sehingga tidak dapat mengalir yang membuat sediaan tersebut sulit untuk diaplikasikan dan dikeluarkan dari wadah. Oleh karena itu, ditentukan bahwa level rendah dari humektan gliserin adalah 30 g dan level tinggi 60 g yang merupakan irisan dari kedua respon.

E. Pembuatan Sediaan Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek Bentuk sediaan yang dibuat dalam penelitian ini adalah hidrogel. Hidrogel dipilih karena flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun cocor bebek dapat terlarut dalam pelarut air, selain itu daya sebar hidrogel pada kulit baik, memiliki pelepasan obat yang baik, tidak menghambat fungsi fisiologis kulit, memberikan efek dingin, serta mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).

Pembuatan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek ini menggunakan CMC-Na sebagai gelling agent dan gliserin sebagai humektan. Menurut Rowe dkk. (2009), CMC-Na dapat digunakan dalam terapi penyembuhan luka, dermatological patches sebagai pelindung mukosa, menyerap cairan yang keluar dari luka, dan menyerap keringat. Dalam fungsinya sebagai basis gel, konsentrasi


(62)

CMC-Na yang digunakan sebesar 3-6%. Selain itu digunakan juga gliserin yang berfungsi sebagai humektan. Gliserin merupakan humektan yang paling umum digunakan karena mencegah iritasi kulit (Barel dkk., 2001). Gliserin berfungsi untuk menjaga kelembaban kulit pada saat pengaplikasian, karena gliserin memiliki 3 gugus hidroksi (-OH) sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air (Loden dan Maibach, 2005). Sediaan hidrogel mudah ditumbuhi mikroba karena sebagian besar penyusunnya adalah air, oleh karena itu di dalam formulanya perlu ditambahkan pengawet. Pengawet yang digunakan adalah metil paraben karena memiliki kelarutan yang baik dalam air dibandingkan dengan propil paraben. Selain itu metil paraben berfungsi sebagai antimikroba dan stabil pada sediaan berair dengan pH 3-7. Penggunaan metil paraben sebagai antimikroba dalam sediaan topikal dengan konsentrasi 0,02-0,3% (Rowe dkk., 2009).

Trietanolamin (TEA) pada sediaan ini berperan untuk meningkatkan pH sediaan agar sediaan memiliki pH yang sesuai dengan karakteristik pH kulit yaitu 5,5 – 6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007).

Formula yang digunakan dalam penelitian ini merupakan formula modifikasi yang mengacu pada formula gel luka bakar ekstrak daun cocor bebek (Hasyim dkk., 2012). Modifikasi yang dilakukan adalah dengan adanya perubahan jenis gelling agent dari carbopol menjadi CMC-Na dengan jumlah yang mengacu hasil orientasi. Selain itu terjadi perubahan pada jenis humektan yang digunakan, di mana hanya digunakan gliserin dengan jumlah yang mengacu hasil orientasi. Modifikasi ini dilakukan untuk mendapatkan sediaan gel yang lebih baik secara


(63)

fisik dan stabil. Karakteristik sifat fisik yang diinginkan dari hasil modifikasi formula ini adalah viskositas antara 200-350 dPas, daya sebar 4,7-5,5 cm (Lardy, Vennat, Pouget dan Pourrat, 2000), serta pergeseran viskositas kurang dari 10%. Modifikasi yang dilakukan tidak merubah konsep sediaan yaitu hidrogel. Faktor yang dilihat dalam penelitian ini adalah CMC-Na dan gliserin, karena kedua faktor ini dapat mempengaruhi sifat fisik dan stabilitas sediaan. Level CMC-Na yang digunakan dalam formula adalah 6 gram (level bawah) dan 7,5 gram (level atas). Sedangkan untuk gliserin adalah 30 gram (level bawah) dan 60 gram (level atas).

Pembuatan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek ini diawali dengan pengembangan CMC-Na dengan aquadest selama 24 jam. Saat akan dilakukan mixing, metil paraben dilarutkan terlebih dahulu dengan menggunakan etanol 70%. Selanjutnya secara berurutan ditambahkan CMC-Na yang telah dikembangkan, gliserin, dan ekstrak daun cocor bebek. Aquadest dapat berfungsi sebagai pembilas pada setiap bahan. Selanjutnya dilakukan mixing menggunakan blender selama 5 menit dengan skala putar 1. TEA ditambahkan ke dalam campuran pada menit pertama selama proses mixing. Selanjutnya sediaan gel dipindahkan ke dalam wadah plastik bertutup untuk selanjutnya disimpan di lemari penyimpanan.

F. Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel Anti-inflamasi

Uji sifat fisik meliputi pengujian organoleptis (bentuk, bau, dan warna), uji pH, uji viskositas, serta uji daya sebar. Uji sifat fisik bertujuan untuk melihat


(64)

kualitas suatu sediaan dan menjamin bahwa sediaan tersebut memiliki karakteristik sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.

1. Organoleptis

Aspek yang diamati dalam uji organoleptis adalah warna, bau, dan homogenitas dari sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek. Uji organoleptis sediaan gel dilakukan dengan pengamatan langsung tanpa menggunakan alat bantu. Hasil uji organoleptis sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek setelah penyimpanan 48 jam dan 4 minggu tersaji dalam tabel IV dan V.

Tabel IV. Uji organoleptis 48 jam setelah pembuatan

Formula Warna Bau Homogenitas

FAB Coklat muda Khas ekstrak Homogen

FA Coklat muda Khas ekstrak Homogen

FB Coklat muda Khas ekstrak Homogen

FI Coklat muda Khas ekstrak Homogen

Tabel V. Uji organoleptis 4 minggu setelah pembuatan

Formula Warna Bau Homogenitas

FAB Coklat muda Khas ekstrak Homogen

FA Coklat muda Khas ekstrak Homogen

FB Coklat muda Khas ekstrak Homogen

FI Coklat muda Khas ekstrak Homogen

Hasil uji organoleptis yang diperoleh menunjukkan setelah penyimpanan 48 jam dan setelah penyimpanan selama 4 minggu tidak memberikan perbedaan. Sehingga dapat dikatakan sediaan cukup stabil.

2. Uji pH

Uji pH bertujuan untuk mengetahui pH tiap formula yang dibuat. Uji dilakukan dengan menggunakan indikator pH universal. pH sediaan harus


(65)

disesuaikan dengan pH kulit agar tidak mengakibatkan iritasi serta dapat meningkatkan acceptability dari konsumen. Hasil uji pH gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek selama penyimpanan 4 minggu tersaji dalam tabel VI.

Tabel VI. Uji pH gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek

Formula pH

48 jam 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu

FAB 6 6 6 6 6

FA 6 6 6 6 6

FB 6 6 6 6 6

FI 6 6 6 6 6

Sediaan topikal yang baik adalah sediaan yang memiliki pH sesuai dengan pH kulit. Kulit mempunyai kisaran pH sekitar 4,5-6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007). Tabel VI menunjukkan bahwa semua formula memenuhi kriteria sediaan topikal yang baik. Selain itu, penyimpanan selama 4 minggu tidak membuat pH sediaan mengalami perubahan yang menunjukkan bahwa pH sediaan tersebut stabil. Sediaan gel ekstrak daun cocor bebek dengan pH 6 diharapkan tidak mengiritasi kulit ketika pemakaian serta meningkatkan acceptability dari konsumen.

3. Uji viskositas

Viskositas merupakan pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas, semakin tinggi tahanannya (Sinko, 2011). Viskositas sediaan tidak boleh terlalu tinggi dan tidak boleh terlalu rendah, karena jika terlalu tinggi (kental), maka gel akan sulit untuk dikeluarkan dari kemasannya, sedangkan jika viskositas terlalu rendah maka akan menurunkan lama waktu tinggal di kulit saat digunakan.


(66)

Viskositas diukur dengan menggunakan viskometer Rion. Sediaan gel yang akan diuji dimasukkan ke dalam wadah / cup, kemudian dipasangkan dengan rotor. Ukuran paddle yang digunakan adalah skala 2. Viskositas gel diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas sesuai dengan skala paddle yang digunakan (seperti yang ditunjukkan pada gambar 7). Viskositas yang dikehendaki pada penelitian ini adalah 200-350 dPas.

Gambar 7. Contoh tampilan viskometer Rion

Hasil pengukuran viskositas gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek tersaji dalam tabel VII.

Tabel VII. Viskositas gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek 48 jam setelah pembuatan

Formula

Viskositas setelah penyimpanan 48

jam (dPas)

Viskositas setelah penyimpanan 4

minggu (dPas)

Pergeseran viskositas (%)

FAB 326,667 ± 20,817 350 ± 10 7,303 ± 3,853

FA 406,667 ± 15,275 433,333 ± 15,275 6,754 ± 7,862

FB 200 ± 10 218,333 ± 7,638 9,474 ± 9,222

FI 268,333 ± 7,638 280 ± 5 4,416 ± 3,971

Tabel VII menunjukkan bahwa viskositas (setelah penyimpanan 48 jam) formula AB, B, dan I masuk dalam rentang viskositas yang diinginkan, sedangkan formula A tidak. Hal ini kemungkinan dikarenakan jumlah gelling


(67)

agent yang besar serta jumlah humektan yang sedikit. Jumlah gelling agent berkorelasi linear dengan viskositas gel, sehingga semakin besar jumlah gelling agent maka viskositas gel semakin meningkat.

Sediaan gel yang baik adalah sediaan yang stabil (pergeseran viskositas <10%) dalam penyimpanannya. Kestabilan sediaan menjadi penting karena berhubungan dengan konsistensi sediaan selama penyimpanan dan dosis yang terkandung di dalam sediaan. Uji kestabilan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek selama penyimpanan dilakukan dengan membandingkan viskositas gel 48 jam setelah pembuatan dengan viskositas gel setelah penyimpanan selama 4 minggu. Semakin besar nilai pergeseran viskositas, maka sediaan tersebut semakin tidak stabil. Persentase pergeseran viskositas yang diinginkan adalah <10%.

Tabel VII menunjukkan setiap formula memiliki pergeseran <10%. Hal ini berarti sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek yang dibuat stabil. Selain itu juga dilakukan uji T berpasangan untuk mengetahui jangka waktu kestabilan gel yang dibuat, jika hasil menunjukkan p-value > 0,05 maka sediaan yang dibuat stabil, sedangkan jika hasil p-value < 0,05 maka sediaan gel tidak stabil. Hasil dari pengujian secara statistik pergeseran viskositas tersaji dalam tabel VIII.

Tabel VIII. Hasil uji statistik pergeseran viskositas sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek

Formula p-value

FAB 0,0728

FA 0,2697

FB 0,2123


(68)

Tabel VIII menunjukkan setiap formula memiliki p-value > 0,05 yang berarti data tidak signifikan, maka dapat disimpukan bahwa sediaan gel yang dibuat stabil dan tidak mengalami perubahan viskositas secara signifikan selama penyimpanan.

Pergeseran viskositas untuk tiap minggunya pun dapat dilihat pada gambar 12. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa penyimpanan menyebabkan perubahan viskositas yang tidak signifikan dari minggu ke 0 (48 jam) hingga minggu ke-4.

Gambar 8. Grafik viskositas gel ekstrak daun cocor bebek selama penyimpanan

4. Uji daya sebar

Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu sediaan saat diaplikasikan pada kulit. Uji ini penting dilakukan karena terkait dengan kemudahan pengaplikasian dan penerimaan konsumen (Garg dkk., 2002). Menurut Garg dkk. (2002), daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas,


(1)

Lampiran 10. Dokumentasi proses ekstraksi daun cocor bebek

3. Proses penguapan pelarut menggunakan rotary evaporator


(2)

Lampiran 11. Dokumentasi sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek

1. Setelah pembuatan

Formula ab Formula a


(3)

Lampiran 11. Dokumentasi sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek

2. Setelah penyimpanan 4 minggu

Formula ab Formula a


(4)

Lampiran 12. Pengukuran sifat fisik gel ekstrak daun cocor bebek

1. Pengukuran viskositas menggunakan viscotester seri VT 04 (RION)


(5)

Lampiran 13. Dokumentasi uji aktivitas anti-inflamasi dengan metode jangka sorong digital

1. Pengukuran telapak kaki tikus dengan jangka sorong digital

2. Pengolesan gel ekstrak daun cocor bebek pada telapak kaki tikus


(6)

93

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Vincensius Galih Prakarsa Gautama Putra adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Ary Maryanto dan Clara Wahyu Pratiwi. Lahir di Depok pada tanggal 15 Februari 1993. Riwayat pendidikan penulis skripsi berjudul

“Optimasi Gelling Agent CMC-Na dan Humektan Gliserin Dalam Sediaan Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.)): Aplikasi Desain Faktorial” diawali dari TK Strada Indriyasana Jakarta (1998-2000), SD Strada Wiyatasana Jakarta (2000-2006), SMP Strada Marga Mulia Jakarta (2006-2009) dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Kolese Gonzaga Jakarta (2009-2011). Kemudian pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Dasar (2012), Analisis Farmasi dan Validasi Metode (2013 & 2015), Kimia Analisis (2014), dan Farmakognosi Fitokimia (2014). Penulis juga aktif dalam organisasi antara lain sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi (BEMF Farmasi) yaitu koordinator divisi Organisasi (2012-2013) dan wakil gubernur internal (2013-2014). Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan, di antaranya dalam kepanitiaan Pharmacy Performance 2011 sebagai anggota perlengkapan, Pharmacy Event Cup 2012 sebagai koordinator seksi perlengkapan, Titrasi 2012 sebagai Bandzen, Pharmacy Road to School 2013 sebagai anggota keamanan, Pelepasan Wisuda 2013 sebagai wakil ketua, dan Titrasi 2013 sebagai Steering Committee.