Strategi menghadapi stres pada perawat lansia di Panti Werdha.

(1)

DI PANTI WERDHA

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Gloria Maharani Pranowo

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat strategi menghadapi stres yang digunakan oleh perawat lansia di panti werdha. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya lansia yang dirawat di panti werdha, sehingga memerlukan perawatan khusus yang dilakukan oleh perawat lansia. Perawat lansia rentan mengalami stres karena harus merawat lansia dengan kondisi kesehatan yang sudah menurun serta perilaku yang sangat beragam. Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara perawat lansia menghadapi stres yang dialaminya sehingga dapat merawat lansia dengan lebih optimal. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang merujuk pada suatu pengalaman dari beberapa subjek yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif yang berbeda. Partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang perawat lansia yang tinggal di panti werdha. Pengambilan data penelitian menggunakan metode wawancara semi terstruktur dengan hasil validitas penelitian yang menggunakan metode member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki persamaan dalam menghadapi stres, yaitu dengan mencari dukungan sosial dari orang lain. Hal ini dirasa efektif dalam mengurangi stres. Selain itu, ketiga subjek juga melakukan strategi menghadapi stres dengan mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga mendapatkan ketenangan dan kekuatan untuk dapat terus merawat lansia dengan baik.


(2)

IN NURSING HOME Sanata Dharma University Gloria Maharani Pranowo

Abstract

This aims to know coping stress strategy of elderly people caregiver in nursing home. The background of this research was initiated by a phenomenon of many elderly people who need a special treatment performed by caregiver. The caregivers tended to easily get stressed since they had to deal with elder people with poor health condition and various behavior . The focus of this research concerned to how the elderly people caregivers faced their stress so that they could take care of the elderly people better. The research method was qualitative phenomenology method that dealt with the subjects’ experiences. The subjects in this research were three elderly people caregiver who lived in one nursing home. The data were collected by semi structured interview and the result validity was carried out by member checking method. The research showed that three subjects had the same coping strategy which was to seek emotional support and to turn into religion. That strategy was proven effective enough for them. Another strategy that they used was getting themselves closer to God. They believed that praying to God could make them feeling peace and they would be strengthened to take care of the elderly people well.


(3)

DI PANTI WERDHA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Gloria Maharani Pranowo

119114066

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Ja ng a nla h he nd a knya ka m u kua tir te nta ng a p a p un jug a , te ta p i nya ta ka nla h da la m se g a la ha l ke ing ina nm u ke p a d a Alla h da la m d o a d a n p e rm o ho na n d e ng a n uc a p a n syukur.” (Filip i 4 : 6)

Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orangtuaku yang selalu mengasihiku tanpa lelah.


(7)

(8)

vi

STRATEGI MENGHADAPI STRESS PADA PERAWAT LANSIA

DI PANTI WERDHA

Gloria Maharani Pranowo

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat strategi coping stress yang digunakan oleh perawat lansia di panti werdha. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya lansia yang dirawat di panti werdha, sehingga memerlukan perawatan khusus yang dilakukan oleh perawat lansia. Perawat lansia rentan mengalami stress karena harus merawat lansia dengan kondisi kesehatan yang sudah menurun serta perilaku yang sangat beragam. Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara perawat lansia menghadapi stress yang dialaminya sehingga dapat merawat lansia dengan lebih optimal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang merujuk pada suatu pengalaman dari beberapa subjek yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif yang berbeda. Partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang perawat lansia yang tinggal di panti werdha. Pengambilan data penelitian menggunakan metode wawancara semi terstruktur dengan hasil validitas penelitian yang menggunakan metode member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki persamaan dalam menghadapi stress, yaitu dengan mencari dukungan sosial dari orang lain. Hal ini dirasa efektif dalam mengurangi stress. Selain itu, ketiga subjek juga melakukan strategi menghadapi stress dengan mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga mendapatkan ketenangan dan kekuatan untuk dapat terus merawat lansia dengan baik.


(9)

vii

COPING STRESS STRATEGY OF ELDERLY PEOPLE CAREGIVER IN NURSING HOME

Gloria Maharani Pranowo

ABSTRACT

This aims to know coping stress strategy of elderly people caregiver in nursing home. The background of this research was initiated by a phenomenon of many elderly people who need a special treatment performed by caregiver. The caregivers tended to easily get stressed since they had to deal with elder people with poor health condition and various behavior . The focus of this research concerned to how the elderly people caregivers faced their stress so that they could take care of the elderly people better. The research method was qualitative phenomenology method that dealt with the subjects’ experiences. The subjects in this research were three elderly people caregiver who lived in one nursing home. The data were collected by semi structured interview and the result validity was carried out by member checking method. The research showed that three subjects had the same coping strategy which was to seek emotional support and to turn into religion. That strategy was proven effective enough for them. Another strategy that they used was getting themselves closer to God. They believed that praying to God could make them feeling peace and they would be strengthened to take care of the elderly people well.


(10)

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan anugerahNya, sehingga penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi melalui tulisan ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis berharap, melalui tulisan ini dapat memberikan gambaran serta pengetahuan yang baru mengenai strategi menghadapi stres pada perawat lansia di panti wredha. Harapan lain adalah tulisan ini dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya serta kepada para perawat lansia dalam menghadapi stres saat merawat lansia.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang memberi dukungan, bimbingan, dan bantuan dalam bentuk materi maupun nonmateri sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan memberikan berkatNya kepadaku, aku bersyukur karena Engkau selalu menuntun setiap langkahku.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M. Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.


(12)

x

4. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing. Terimakasih atas pertanyaan-pertanyaan yang mengasah kemampuan berpikir serta masukan-masukan yang diberikan. Terimakasih juga atas nasihat yang selalu ibu berikan pada saya.

5. Ayahku Setyo Pranowo dan Ibuku Kurnia Ari Widayanti, terimakasih karena selalu mendukungku, mendoakanku, dan selalu memperhatikan aku. Terimakasih untuk kasih sayangnya sampai saat ini, terimakasih telah menerimaku apa adanya. Aku sayang ayah dan ibu.

6. Untuk Dosen Fakultas Psikologi dan karyawan. Terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan mengenai dunia psikologi yang luas dan mempermudah saya dalam menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

7. Untuk para narasumber saya, terimakasih karena sudah menyediakan waktu serta bersedia untuk berbagi cerita mengenai pengalaman dalam merawat lansia.

8. Untuk sahabat-sahabat saya: Ilis, Riana, Meglyn. Terimakasih karena kalian selalu mendukungku dan mendoakan aku, kalian sahabat paling pengertian dan paling priceless yang aku punya. Tidak lupa untuk Thomas, terimakasih karena selalu mendukung dan mendoakan aku, terimakasih untuk kasih sayang dan perhatiannya sampai saat ini. Aku sayang kalian!

9. Untuk saudara-saudara saya: Mba Olive, Mba Dita, Budhe Wiwik, Mbah Uti, Mba Ana, dan semua sepupu serta budhe, pakdhe, om, dan tante yang


(13)

(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11


(15)

xiii D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Coping 1. Pengertian Coping ... 15

2. Jenis-jenis Coping ... 15

3. Efektivitas Strategi Coping ... 18

B. Stress 1. Pengertian ... 19

2. Tahap Stres ... 20

3. Reaksi Terhadap Stres ... 20

C. Perawat Lansia 1. Pengertian Perawat Lansia ... 21

2. Jenis Perawat ... 22

3. Tugas-tugas Perawat Lansia ... 23

4. Beban Pada Perawat Lansia ... 23

D. Lansia 1. Pengertian Lansia ... 24

2. Klasifikasi ... 25

E. Panti Werdha 1. Pengertian Panti Werdha ... 26


(16)

xiv

2. Tujuan Panti Werdha ... 27

3. Kondisi Lansia di Panti Werdha ... 27

4. Dukungan Sosial Terhadap Lansia di Panti Werdha .... 29

F. Fokus Penelitian ... 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Metode Penelitian ... 31

B. Subjek Penelitian ... 32

C. Prosedur Penelitian ... 32

D. Batasan Istilah ... 34

E. Metode Pengumpulan Data ... 34

F. Metode Pengukuran ... 39

1. Organisasi Data ... 39

2. Koding ... 39

3. Analisis Data ... 40

G. Kredibilitas Data ... 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Profil Responden 1. Responden 1 ... 42

2. Responden 2 ... 43

3. Responden 3 ... 44


(17)

xv C. Hasil Penelitian

1. Responden 1

a. Tugas sebagai perawat lansia ... 47

b. Kendala atau stressor saat merawat lansia ... 48

c. Strategi coping stress ... 49

2. Responden 2 a. Tugas sebagai perawat lansia ... 53

b. Kendala atau stressor saat merawat lansia ... 54

c. Strategi coping stress ... 56

3. Responden 3 a. Tugas sebagai perawat lansia ... 59

b. Kendala atau stressor saat merawat lansia ... 59

c. Strategi coping stress ... 61

D. Pembahasan 1. Tugas sebagai perawat lansia ... 63

2. Stressor atau kendala saat merawat lansia ... 65

3. Strategi coping stress ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Keterbatasan Penelitian ... 73

C. Saran 1. Bagi informan penelitian ... 73


(18)

xvi

2. Bagi peneliti selanjutnya ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(19)

xvii DAFTAR TABEL


(20)

xviii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara responden 1 Lampiran 2 : Transkrip Verbatim responden 1

Lampiran 3 : Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara responden 2 Lampiran 4 : Transkrip Verbatim responden 2

Lampiran 5 :Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara responden 3 Lampiran 6 : Transkrip Verbatim responden 3

Lampiran 7 :Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara responden 1

Lampiran 8 : Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara responden 2 dan 3


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya, pasien atau individu yang sakit memerlukan perawat untuk membantunya dalam beberapa aktifitas seperti membersihkan diri, makan, maupun kegiatan sehari-hari yang dapat dengan mudah dilakukan seperti berjalan dan duduk. Di rumah sakit, perawat biasanya berperan sebagai asisten dokter. Selain itu, perawat juga bertugas untuk menjaga dan memantau keadaan pasien. Perawat adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009). Ada 2 jenis perawat, yaitu perawat formal dan informal. Perawat informal yaitu seorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan secara keseluruhan, paruh waktu, dan tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat. Sedangkan perawat formal yaitu perawat yang merupakan bagian dari sistem pelayanan baik diberi pembayaran maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009).

Perawat mempunyai fungsi untuk merawat pasien yang menderita penyakit, menyediakan makanan, membawa klien ke unit layanan kesehatan, memberi dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian (Tantono dalam Insiyah, 2014). Sedangkan perawat yang khusus untuk


(22)

merawat lansia disebut geriatric nursing yaitu perawat yang menangani penyakit pada proses menua (Kozier dalam Nugroho, 1992). Perawat lansia mempunyai peranan untuk melayani lansia dengan menggunakan pengetahuan, keahlian dan keterampilan merawat untuk mengoptimalkan kesejahteraan hidup para lansia (Nugroho, 1992). Menyiapkan perawat untuk merawat lansia sangat penting mengingat ada berbagai permasalahan yang akan timbul terkait dengan perubahan yang terjadi pada lansia.

Masa dewasa akhir atau lansia, seringkali dikaitkan dengan masa dimana seseorang mulai mengalami penurunan kondisi fisik maupun mental. Hal ini juga diperkuat dengan adanya proses menua yang ditunjukkan dengan penurunan kemampuan fisik untuk beradaptasi terhadap stres atau pengaruh lingkungan. Selain itu, kemampuan mental atau kognitif lansia juga menurun yang ditandai kesulitan dengan fungsi ingatan atau dalam mengekspresikan secara verbal atau berbicara (Suardiman, 2010).

Penurunan kondisi mental dan fisik ini juga disertai dengan adanya penurunan psikologis diantaranya yaitu demensia; depresi; delusi; gangguan kecemasan; dan gangguan tidur (Gitlin, 2012). Hal ini menjadi pemicu untuk lansia membutuhkan perawatan khusus baik dirawat di rumah maupun di panti werdha. Didukung dengan bertambahnya jumlah lansia, maka peluang untuk lansia dirawat di panti werdha semakin besar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2004,


(23)

penduduk lansia yang berusia 60 tahun keatas cenderung meningkat (Harry, 2007). Jumlah penduduk lansia di Indonesia tahun 2000 mencapai 17.767.709 orang atau 7.97% dari jumlah penduduk Indonesia. Diprediksi jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 11.20%.

Konsekuensi dari terus meningkatnya jumlah lansia di Indonesia yaitu harus disediakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para lansia. Dengan demikian, banyak keluarga maupun lansia sendiri yang memilih panti werdha sebagai tempat untuk menghabiskan masa tuanya (Nugroho, 2008). Hal ini karena panti werdha dianggap sebagai salah satu penyedia jasa yang dapat memberikan pelayanan berkualitas bagi lansia. Nugroho (2008) menyatakan bahwa masyarakat yang menggunakan pemikiran realistis menganggap bahwa dengan tinggal di panti werdha, lansia akan memperoleh apa yang tidak dapat diberikan oleh anaknya. Misalnya kegiatan sosial dengan orang yang sebaya yang saling mengerti. Selain itu, kelebihan yang ada pada panti werdha adalah setiap panti werdha disediakan layanan jasa seperti perawat yang bersedia memenuhi segala kebutuhan lansia setiap saat.

Menurut Departemen Sosial RI, panti werdha adalah suatu tempat untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram, dan tidak ada perasaan gelisah maupun khawatir dalam menghadapi usia tua (Setiyaningsih, 1999). Seperti yang dikemukakan oleh Departemen Sosial RI (1997), sesuai permasalahan pada lansia, penyelenggaraan panti werdha


(24)

mempunyai beberapa tujuan, yaitu agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia; agar di hari tuanya dalam keadaan tentram lahir batin; dan dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri.

Secara umum, panti werdha berfungsi sebagai pusat pelayanan kesejahteraan lansia; menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan kesempatan bagi lansia untuk melakukan aktivitas sosial-rekreasi; dan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri (Setiyaningsih, 1999). Selain menyediakan fasilitas yang bersifat material, panti werdha juga menyediakan pelayanan jasa untuk merawat dan membantu lansia dalam beraktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh seorang perawat atau perawat. Staf perawat atau perawat tersebut bersedia membantu dan merawat lansia kapanpun dibutuhkan.

Perawat yang merawat lansia disebut juga geriatric nursing. Hal yang membedakan perawat lansia dengan perawat pada umunya yaitu perawat lansia dibekali pengetahuan tentang cara merawat lansia yang didapatkan dari kursus maupun pelatihan (Nugroho, 2008). Perawat lansia termasuk dalam kategori pekerja sosial. Selain perawat lansia, seorang caregiver juga termasuk dalam kategori pekerja sosial. Pekerja sosial adalah seseorang yang dibayar dalam suatu kemampuan profesional untuk mengadakan tugas konseling maupun perencanaan perawatan dan perlindungan sosial (Berry dalam Handayani, 2004). Menurut keputusan menteri sosial RI, pekerja sosial mempunyai kompetensi profesional yang


(25)

diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas fungsional. Sedangkan caregiver adalah orang yang bertugas untuk merawat orang sakit maupun lansia dan dibekali pelatihan singkat (Nugroho, 2000). Caregiver terbagi menjadi 2 jenis yaitu caregiver formal dan informal. Caregiver informal adalah seorang yang memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu maupun sepanjang waktu, dan tinggal terpisah maupun tinggal bersama dengan orang yang dirawat (Sukmarini, 2009). Para pekerja yang menangani lansia sudah dibekali pengetahuan maupun pengalaman untuk menghadapi perubahan fisik maupun psikis yang terjadi pada lansia. Perubahan yang terjadi pada lansia tersebut akan berpengaruh pada perawat yang merawat lansia. Berdasarkan penelitian Insiyah (2014), perawat lansia di panti werdha merasakan beban psikologis ketika merawat lansia. Beban psikologis tersebut diantaranya rasa malu, marah, tegang, lelah, tertekan, dan ketidakpastian. Dijelaskan juga bahwa perasaan bersalah yang dialami perawat disebabkan oleh perasaan tidak bisa memberikan yang terbaik bagi lansia yang dirawatnya.

Dalam hasil penelitiannya, Insiyah (2014) menyatakan bahwa merawat lansia adalah pengalaman yang dapat memicu stress. Perawat dapat mengalami tekanan secara psikologis dan mengalami kelelahan secara fisik karena harus membagi waktu dan perhatian untuk merawat lansia yang menjadi tanggungjawabnya. Sikap dan perilaku lansia yang


(26)

sulit diatur akan menambah beban psikologis dan fisik pada perawat. Selain itu, stressor dapat muncul dari dalam diri perawat, seperti perasaan bersalah karena tidak dapat memberikan perawatan yang baik kepada para lansia. Sehingga jika perawat tidak memiliki strategi coping stress yang baik, hal tersebut membuatnya tidak dapat merawat lansia dengan maksimal. Keadaan tersebut tentunya akan merugikan perawat dan lansia yang membutuhkan perawatan. Jika perawat stress dan merasa bahwa ia tidak mampu lagi merawat lansia, ia akan menyerah dan memutuskan untuk tidak merawat lansia lagi, sedangkan lansia masih sangat membutuhkan perawatan karena kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas secara mandiri. Oleh sebab itu, coping stress pada perawat yang merawat lansia sangat dibutuhkan.

Coping stress menurut Folkman dan Moskowitz (dalam Taylor & Stanson, 2007;2012) adalah pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur dorongan internal dan eksternal dari situasi yang dinilai menekan. Ditambahkan bahwa coping adalah sebuah kesatuan dari transasksi antara seorang individu yang memiliki sumber daya, nilai, dan komitmen dengan lingkungan beserta sumber daya, tuntutan, dan paksaannya. Menurut Suls dan Fletcher (dalam Rice, 1992), perilaku coping mungkin bersifat positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang sifatnya menyenangkan. Oleh karena itu, strategi coping yang digunakan dapat


(27)

berbeda-beda, tergantung dari kondisi lingkungan dan keadaan individu itu sendiri.

Individu yang melakukan coping akan mencoba mengubah hubungan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Berhubungan dengan adanya usaha melakukan coping, Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa ada 2 jenis strategi coping, yaitu problem-focused copingdan emotional-focused coping. Definisi dari problem-focused coping yaitu tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah maupun mencari informasi yang relevan dengan solusi dari permasalahan yang ada. Sedangkan emotional-focused coping yaitu usaha untuk mengurangi reaksi emosional negatif yang ditimbulkan oleh stressor. Strategi coping inilah yang akan membantu perawat untuk dapat terus melayani dan merawat dengan sebaik-baiknya. Keefektifan strategi coping yang dilakukan oleh perawat lansia juga merupakan hal yang penting, karena hal tersebut dapat menjadi acuan untuk perawat lansia lain dalam mengaplikasikan strategi coping.

Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999) menyatakan bahwa coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Peneliti menyimpulkan bahwa strategi coping yang efektif adalah coping yang dapat membuat seseorang menerima keadaan dan kondisi negatif di sekitarnya serta dapat mengevaluasi hal positif yang terdapat dalam diri individu tersebut.


(28)

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengungkap bagaimana perawat yang merawat lansia di panti werdha melakukan strategi coping dalam menghadapi stress saat merawat lansia. Selain itu, peneliti juga akan melihat apa saja faktor yang mendukung subjek melakukan strategi coping. Peneliti akan melihat apa jenis strategi coping yang dilakukan oleh perawat dengan cara memberikan beberapa pertanyaan saat wawancara.

Beberapa penelitian yang relevan mengenai coping stress dan perawat lansia sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai coping stress pernah dilakukan oleh Rosyani (2012). Subjek penelitian ini adalah pasien kanker dewasa yang berusia 20 tahun ke atas dan sedang tidak terbaring sakit dan masih bisa beraktifitas seperti biasa. Kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti kurang spesifik mengenai jenis penyakit kanker yang diderita subjek, sedangkan pada kenyataannya penyakit kanker ada beragam jenisnya. Selain itu, peneliti juga tidak memberikan batasan umur pada subjek yang menderita penyakit kanker. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan proses pengambilan data menggunakan kuesioner. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dengan pemilihan strategi coping pada pasien kanker. Penelitian ini membantu peneliti dalam mengetahui jenis-jenis coping stress dan efektivitas dari strategi coping tersebut.

Sedangkan penelitian mengenai perawat lansia sudah dilakukan oleh Hastuti (2014). Penelitian ini melihat pengaruh terapi penyelesaian


(29)

masalah terhadap penurunan distress psikologik pada perawat lansia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh terapi penyelesaian masalah terhadap penurunan tingkat distress psikologik pada perawat lansia. Penelitian ini membantu peneliti dalam memahami konsep perawat lansia serta tanggungjawab sebagai perawat lansia.

Penelitian mengenai perawat lansia juga sudah dilakukan oleh Widiastuti (2008). Penelitian ini membahas tentang coping stress pada perawat lansia penderita alzheimer. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, dengan jumlah subjek sebanyak 2 orang. Hasil dari penelitian ini adalah subjek belum dapat melakukan coping stress karena masih sering melakukan tindakan yang bersifat agresi pada lansia penderita alzheimer. Hal tersebut dilakukan subjek untuk melampiaskan kemarahan dan rasa lelah karena merawat lansia tersebut. Penelitian ini berfungsi untuk membantu peneliti dalam mengetahui gambaran apa saja tugas yang harus dilakukan sebagai perawat lansia. Review literatur di atas berfungsi sebagai sumber mengenai materi yang akan diteliti dan untuk melihat kelemahan dari penelitian mengenai topik yang sama sehingga peneliti dapat memperbaikinya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, peneliti merancang penelitian ini karena peneliti ingin mengetahui bagaimana strategi coping stress yang dilakukan perawat lansia khususnya yang dirawat di panti werdha. Mengetahui jenis coping stress penting karena dengan demikian


(30)

dapat diketahui apakah jenis coping yang dilakukan oleh seseorang dapat efektif untuk menghadapi stressor yang ada. Karena berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan, coping stress yang umumnya dipakai oleh perawat adalah emotion focused coping. Hal tersebut ditemukan dalam beberapa penelitian mengenai coping stress yang sudah dilakukan sebelumnya. Selain itu, banyak penelitian mengenai coping stress yang menggunakan metode penelitian kuantitaif dan skala sebagai metode untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dan pengambilan data dengan cara wawancara agar data yang didapatkan lebih terinci dan mendapatkan fakta-fakta dari subjek yang tidak dapat terungkap pada penelitian kuantitatif.

Dalam penelitian mengenai coping stress yang sudah ada sebelumnya, ada penelitian yang memakai metode kualitatif (wawancara) maupun kuantitatif (angket). Kelemahan penelitian yang menggunakan angket adalah kurang dapat menggali data dari subjek. selain itu, peneliti tidak mendapat keterangan atau penjelasan dari subjek secara detil karena angket hanya berisi pertanyaan tertutup. Sedangkan penelitian sebelumnya yang memakai metode wawancara mempunyai kelemahan yaitu pertanyaan yang kurang spesifik sehingga subjek menjawab pertanyaan tersebut dalam cakupan yang luas, sehingga sulit mengambil makna pada jawaban subjek yang sesuai dengan tema penelitian.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Metode ini dirasa akan lebih efektif dalam menggali data dan informasi


(31)

dari subjek karena jawaban yang diberikan subjek akan lebih spesifik karena peneliti menggunakan metode wawancara mendalam (in depth interview) yang berisi pertanyaan terbuka. Dengan wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan data dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh subjek, namun peneliti juga dapat berinteraksi langsung dan melakukan observasi pada subjek selama proses wawancara.

Berbeda dari penelitian sebelumnya, peneliti akan lebih spesifik dalam menyusun pertanyaan sehingga jawaban yang diberikan oleh subjek lebih terperinci. Pertanyaan yang disusun oleh peneliti adalah pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman hidup subjek yang berkaitan dengan coping stress. Pertanyaan wawancara tidak spesifik pada bagaimana subjek melakukan coping stress dan apa saja stressor yang dihadapi oleh subjek, namun cenderung pada pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui oleh subjek. Sehingga saat peneliti melakukan wawancara, subjek akan menceritakan pengalamannya secara lengkap. Dengan demikian, informasi yang didapat akan lebih memadai dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan metode skala dan pertanyaan wawancara yang hanya berfokus pada strategi coping stress.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu bagaimana cara perawat lansia menghadapi stress (coping stress) dalam


(32)

merawat lansia dan jenis strategi coping stress yang digunakan oleh perawat yang merawat lansia di panti werdha.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Bagaimana strategi coping perawat lansia yang merawat lansia di panti werdha. Tujuan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mendapatkan hasil penelitian yang lengkap.

2. Mengetahui jenis strategi coping yang digunakan perawat lansia saat menghadapi situasi sulit atau stressor yang muncul ketika merawat lansia di panti werdha.

Data penelitian didapatkan melalui metode wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka serta berfokus pada pengalaman hidup subjek. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pendapat dan penjelasan spesifik dari subjek. Dengan demikian, informasi yang didapat akan lebih memadai. Selain itu, peneliti juga dapat memberikan pertanyaan lebih lanjut jika jawaban subjek dirasa kurang jelas. Hasil dari wawancara tersebut akan diolah menjadi data penelitian berupa verbatim.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis


(33)

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan khususnya dalam bidang psikogerontologi, keperawatan, dan psikologi klinis. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan mengenai strategi coping yang digunakan saat merawat atau menangani lansia yang tinggal di panti werdha.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memudahkan perawat lansia untuk mengaplikasikan strategi coping ketika mengalami stress atau menghadapi stressor yang ada saat merawat lansia di panti werdha.


(34)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Coping

1. Pengertian

Menurut Folkman dan Moskowitz (dalam Taylor & Stanson, 2007;2012) mengatakan bahwa coping merupakan pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur dorongan internal dan eksternal dari situasi yang dinilai menekan. Ditambahkan bahwa coping adalah sebuah kesatuan dari transaksi antara seorang individu yang memiliki sumber daya, nilai, dan komitmen dengan lingkungan beserta sumber daya, tuntutan, dan paksaannya.

Untuk itu, coping bukanlah merupakan suatu tindakan yang dilakukan satu kali, melainkan sebuah susunan respons yang muncul dalam suatu waktu dimana lingkungan dan individunya saling memenuhi (Taylor, 2012). Dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu tindakan yang mengatur dorongan internal dan eksternal dari situasi yang sifatnya mendesak atau menekan.

2. Jenis-jenis Coping

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999), ada beberapa jenis coping menurut kegunaannya, diantaranya adalah problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused


(35)

coping yaitu usaha untuk melakukan tindakan untuk mengatasi kondisi yang mengakibatkan stress seperti mengancam, mengganggu, atau menantang individu. Menurut Carver, Weintraub, dan Scheier (1989), problem focused coping melibatkan beberapa dimensi yang berbeda yaitu:

a. Active coping, yaitu proses pengambilan langkah yang ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan stressor ataupun memperbaiki akibatnya. Aktivitas ini merlibatkan tindakan langsung, meningkatkan usaha dalam menghadapi masalah, serta berusaha mengatasi masalah secara bertahap. b. Planning, yaitu memikirkan bagaimana cara menghadapi

stressor yang ada.

c. Supression of competing activities, yaitu mengurangi aktivitas lain sehingga dapat lebih terfokus dalam menghadapi masalah atau tantangan yang ada. Aktivitas ini meliputi usaha untuk mengabaikan hal-hal lain yang dapat memecah perhatian dalam menghadapi stressor.

d. Restraint coping, yaitu pengendalian diri untuk menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri, dan bertindak dengan pemikiran yang matang.

e. Seeking instrumental support, yaitu tindakan mencari dukungan sosial. Misalnya mencari informasi serta bantuan yang dapat membantunya memecahan masalah.


(36)

f. Behavioral disengagement, yaitu tindakan mengurangi usaha untuk menghadapi stressor, menyerah dalam usaha untuk mencapai tujuan dimana stressor mengganggu.

Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999) menyatakan bahwa emotion-focused coping, yaitu keadaan saat individu akan lebih berfokus pada mengurangi emosi negatif yang muncul akibat stres yang dialami. Strategi ini digunakan ketika seseorang merasa stressor merupakan suatu hal yang dapat ditahan (Carver, 1989). Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999), dalam strategi ini terdapat beberapa proses kognitif yang berlangsung untuk mengurangi tekanan emosional seperti menghindar, menjaga jarak, mencari nilai positif dari kejadian yang dihadapi, serta memandingkannya dengan hal yang positif. Carver (1989) menyatakan bahwa terdapat komponen yang termasuk dalam emotion-focused coping, yaitu:

a. Seeking of emotional support, yaitu mencari dukungan sosial yang berupa dukungan moral, simpati, dan pengertian untuk alasan emosional.

b. Positive reinterpretation and growth, yaitu aktivitas yang ditujukan untuk melepasksan emosi negatif yang dirasakan, mengatur emosi yang berkaitan dengan stress yang dialami. c. Mental disengagement, yaitu pelarian secara mental yang


(37)

muncul ketika kondisi saat itu menghambat munculnya tindakan pelarian.

d. Denial, yaitu menolak untuk mempercayai bahwa stressor yang dihadapi benar-benar ada atau bertindak seolah-olah stressor itu tidak nyata.

e. Acceptance, yaitu keadaan saat individu menerima kenyataan akan adanya situasi yang mengakibatkan stress.

f. Turning to religion, yaitu pengembalian masalah pada agama untuk meminta pertolongan dari Tuhan. Hal ini bisa dilakukan dengan rajin beribadah, berdoa, meminta dukungan moral dari ahli/pemuka agama.

g. Focus on and venting of emotion, yaitu kecenderungan untuk melepaskan emosi yang dirasakan individu.

h. Humor, yaitu dengan cara membuat lelucon atas masalah yang sedang dihadapinya.

i. Substance use, yaitu menggunakan minuman beralkohol atau obat-obatan untuk melupakan masalahnya.

3. Efektivitas Strategi Coping

Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999) menyatakan bahwa coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya.


(38)

Coping yang efektif mengacu pada lima fungsi tugas coping yaitu: mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan niat untuk memperbaikinya; mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan; mempertahankan gambaran diri yang positif; mempertahankan keseimbangan emosional; dan melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain (Cohen dan Lazarus dalam Taylor, 1991).

Jika tugas-tugas tersebut sudah berhasil dilakukan, maka coping dapat dianggap efektif. Setelah dapat memenuhi semua tugas tersebut, individu diharapkan memiliki evaluasi yang lebih positif akan hidupnya, yakni penerimaan dan penilaian positif akan lingkungan, diri sendiri, serta kondisi gangguan yang merupakan cerminan dari kesejahteraan dan kepuasan hidup.

B. Stress

1. Pengertian

Menurut Kozier (2004), stress adalah suatu keadaan ketika seseorang berespon terhadap perubahan yang terjadi dari situasi normal dan stabil dalam hidupnya. Stress bukanlah suatu penyakit, namun kondisi stress dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik fisik, emosional intelektual, maupun sosial dan spiritual. Selye (dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa stress adalah segala situasi dimana tuntutan nonspesifik


(39)

mengharuskan seorang individu untuk merespon atau melakukan tindakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stress adalah suatu respon individu terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya.

2. Tahap Stres

Menurut Amberg (dalam Hawari, 2008) ada beberapa tahapan stres. Tahap-tahap ini menunjukkan apakah seseorang lebih stress atau tidak. Stress ringan ditandai dengan seseorang yang mengalami gangguan tidur, tegang, dan merasa tidak tenang secara emosional. Stress menengah ditandai dengan hilangnya kemampuan merespon secara memadai, dan timbul ketakutan serta kecemasan. Stress berat ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tinggi, serta mudah bingung dan panik.

3. Reaksi Terhadap Stress

Menurut Potter & Perry (2005) reaksi seseorang terhadap stress dapat dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu faktor internal dan ekstrenal. Faktor internal yang mempengaruhi reaksi terhadap stress yaitu kondisi fisik, keadaan emosi, dan motivasi atau harapan. Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar, hubungan interpersonal, dan sosial budaya.


(40)

C. Perawat Lansia 1. Pengertian

Pada dasarnya, keperawatan di Indonesia adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-kultural dan spiritual yang didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia (Nugroho, 2009). Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan di bidang kesehatan yang didasari ilmu yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai meninggal (Effendy, 1997).

Secara khusus perawatan lansia atau geriatric nursing adalah perawat yang menangani penyakit pada proses menua (Kozier dalam Nugroho, 1992). Perawat lansia mempunyai peranan untuk melayani lansia dengan menggunakan pengetahuan, keahlian dan keterampilan merawat untuk mengoptimalkan kesejahteraan hidup para lansia (Nugroho, 1992). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para pekerja yang menangani lansia khususnya perawat lansia (geriatric nursing) sudah dibekali pengetahuan maupun pengalaman untuk menghadapi perubahan fisik maupun psikis yang terjadi pada lansia.


(41)

2. Jenis Perawat

Ada beberapa jenis perawat berdasarkan tugas, kompetensi, dan pasien yang harus dirawatnya. Jenis perawat tersebut diantaranya pekerja sosial, caregiver, dan perawat lansia. Pekerja sosial adalah seseorang yang dibayar dalam suatu kemampuan profesional untuk mengadakan tugas konseling maupun perencanaan perawatan dan perlindungan sosial (Berry dalam Handayani, 2004). Menurut keputusan menteri sosial RI, pekerja sosial mempunyai kompetensi profesional yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas fungsional. Pekerja sosial dapat merawat orang sakit, lansia, maupun orang yang membutuhkan bantuan karena kebutuhan khusus (difabel). Sehingga pekerja sosial dapat mencakup caregiver maupun perawat lansia. Sedangkan caregiver adalah orang yang bertugas untuk merawat orang sakit maupun lansia dan dibekali pelatihan singkat (Nugroho, 2000).

Caregiver terbagi menjadi 2 jenis yaitu caregiver formal dan informal. Caregiver informal adalah seorang yang memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu maupun sepanjang waktu, dan tinggal terpisah maupun tinggal bersama dengan orang yang dirawat (Sukmarini, 2009). Sedangkan perawat lansia yaitu


(42)

perawat yang secara khusus menangani dan merawat lansia. Perawat lansia dibekali pengetahuan tentang cara merawat lansia yang didapatkan dari kursus maupun pelatihan (Nugroho, 2008).termasuk dalam kategori pekerja sosial. Selain perawat lansia, seorang caregiver juga termasuk dalam kategori pekerja sosial.

3. Tugas-tugas Perawat Lansia

Perawat lansia perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan terutama pada lansia yang diduga menderita penyakit tertentu. Selain itu, perawat lansia juga harus mendekatkan diri dengan lansia dan membimbing dengan sabar dan ramah, menanyakan apakah ada keluhan yang dirasakan, mengingatkan agar tidak lupa minum obat. Perawat lansia juga perlu memberikan penjelasan tentang kesehatan, jika ada keluhan dari lansia harus segera dicari penyebabnya, kemudian mengkomunikasikan dengan mereka tentang solusinya (Nugroho, 1995).

4. Beban pada Perawat Lansia

Beban perawat didefinisikan sebagai tekanan-tekanan mental atau beban yang muncul pada orang yang merawat lansia, penyakit kronis, anggota keluarga, atau orang lain yang cacat. Sebagai perawat lansia, memberikan perawatan untuk lansia


(43)

memerlukan pengorbanan yang besar secara fisik dan emosional (Okoye dan Asa, dalam Sarwendah, 2013). Terlebih jika lansia yang dirawat mengalami penurunan kondisi fisik dan mental. Stres pada perawat lansia akan berdampak pada kesehatan fisik bahkan verbal agresif pada lansia (Okoye, dalam Sarwendah, 2013).

Perawat lansia yang mengalami stres sangat mungkin menderita gangguan kecemasan, penyakit fisik seperti mudah lelah, pusing, dan merasa putus asa (Sarwendah, 2013). Jika perawat lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lansia tersebut, maka perawat akan mengalami tekanan hingga berakibat stres.

Karena lansia yang tinggal di panti werdha membutuhkan perawatan yang baik sehingga lansia tersebut mendapatkan kualitas hidup yang maksimal, maka diperlukan perawat yang berpengalaman serta sehat mental supaya dapat merawat lansia dengan maksimal.

D. Lansia

1. Pengertian

Proses menua atau aging adalah proses perubahan biologis secara terus-menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) adalah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Laslett (Caselli dan


(44)

Lopez, 1996) dalam Suardiman, 2011). Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Nugroho, 2008).

Berdasarkan pendapat para ahli, peneliti menyimpulkan bahwa lansia adalah seseorang baik pria maupun wanita yang berusia 60 tahun ke atas yang masih aktif maupun yang sudah tidak berdaya dan berada dalam tahap akhir perkembangan manusia.

2. Klasifikasi

Klasifikasi lansia dibagi menjadi 5 yaitu: a. Pralansia

Seseorang yang sudah memasuki usia antara 45-59 tahun. b. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. c. Lansia resiko tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan bermasalah dengan kesehatan seperti menderita rematik, demensia, mengalami kelemahan fisik maupun psikis.


(45)

Seseorang yang sudah memasuki masa lansia namun masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial

Seseorang yang sudah tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Darmojo, 2009).

E. Panti werdha 1. Pengertian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), panti werdha didefinisikan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat lansia. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, panti werdha adalah tempat untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram dengan tidak ada perasaan gelisah maupun khawatir dalam menghadapi usia tua.

Beberapa pelayanan yang didapatkan di panti werdha antara lain pelayanan kesehatan, bantuan untuk lansia yang mengalami cacat fisik atau lemah fisik dalam melakukan kegiatannya sehari-hari secara intensif oleh perawat, serta kegiatan seperti senam maupun aktifitas lain yang dapat dilakukan oleh


(46)

beberapa lansia lainnya agar lansia tetap memiliki hubungan sosial yang baik. Hal tersebut juga menjadi kelebihan dari panti werdha (Setiyaningsih, 1999).

Namun ada pula beberapa kekurangan panti jompo yaitu beberapa perawat tidak memiliki pengetahuan atau ilmu dasar mengenai keperawatan lansia (MacMahon dkk dalam Gormally, 1992). Peneliti menyimpulkan bahwa panti werdha yaitu tempat pemeliharaan dan perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan para lansia.

2. Tujuan Panti werdha

Tujuan didirikannya panti werdha menurut Dinas Sosial RI (1997) antara lain:

a. Agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia.

b. Agar dihari tuanya dalam keadaan tentram lahir batin.

c. Dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri.

3. Kondisi Lansia yang Tinggal di Panti Werdha

Pada umumnya, lansia yang masih memiliki fisik kuat dan mampu hidup mandiri lebih memilih untuk tinggal sendiri di rumah pribadinya. Sedangkan lansia yang sudah menderita sakit atau mengalami lemah fisik, akan lebih memilih untuk tinggal


(47)

bersama anak dan menantunya untuk mendapatkan perawatan dan bantuan dalam melakukan aktifitasnya sehari-hari.

Sebagian besar lansia yang tinggal di panti werdha mengalami keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik serta mental lansia. Pada umumnya, lansia mengalami kekakuan pada persendian, gemetar pada tangan dan rahang bawah (Hurlock, 1980). Selain mengalami penurunan kondisi psikologis yang ditandai dengan menurunnya tingkat konsentrasi, tingkat pemahaman, serta penerimaan diri yang rendah karena merasa dirinya sudah tidak berguna dan tidak dapat melakukan banyak hal seperti saat muda dahulu (Hurlock, 1980).

Lansia yang tinggal di panti werdha merupakan lansia yang berusia 60 tahun ke atas, baik yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan secara mandiri maupun yang sudah tidak berdaya sehingga hidupnya bergantung pada orang lain (Darmojo, 2009). Selain itu, ada beberapa tipe lansia yang tinggal di panti werdha seperti lansia yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan, ramah, rendah hati, dan dapat mencari kegiatan baru di masa tuanya. Ada pula lansia yang mengalami konflik lahir batin menentang proses penuaannya sehingga menjadi pemarah, mudah tersinggung, dan sulit dilayani (Nugroho, 2008).


(48)

Beberapa alasan umum mengapa lansia tinggal di panti werdha yaitu lansia tidak ingin merepotkan keluarga karena tingkat kesibukan anggota keluarga yang tinggi. Hal tersebut juga membuat lansia merasa tidak mempunyai teman bicara, shingga menimbulkan perasaan tidak nyaman dan kesepian. Keputusan keluarga adalah alasan mengapa lansia tinggal di panti werdha. Keputusan ini tentu disetujui juga oleh lansia, sehingga dengan adanya keputusan untuk tinggal di panti werdha tidak membuat lansia merasa diasingkan. Tinggal sebatang kara adalah salah satu alasan mengapa lansia tinggal di panti werdha. Lansia yang hidup sebatang kara direkomendasikan oleh RT atau RW tempat tinggalnya agar dirawat di panti werdha karena tidak ada keluarga yang merawat dan mengawasi kondisi kesehatannya (Ariyani, 2014).

4. Dukungan Sosial Terhadap Lansia di Panti Werdha

Dukungan sosial didefinisikan sebagai keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan (Johnson dan Johnson, 1991). Menurut hasil penelitian Hertamina (2009), dukungan sosial yang paling diharapkan oleh lansia adalah dukungan emosi, persahabatan, informasi, penghargaan, instrumen,


(49)

dan pemberian pertolongan bagi orang lain. Selain itu, dukungan emosional dari perawat lansia dan dari keluarga juga sangat dibutuhkan oleh lansia.

Harapan lansia akan bentuk dukungan tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lansia di panti. Dari hasil penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa lansia yang mendapatkan dukungan baik sosial maupun emosional lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan panti serta menunjukkan perilaku yang kooperatif dengan para perawat lansia. Dengan demikian, dukungan sosial sangat penting untuk para lansia di panti werdha, karena hal tersebut berpengaruh pada kesejahteraan hidup lansia di panti werdha.

F. Fokus Penelitian

Kondisi dan perubahan pada lansia yang mengalami kemunduran

fisik dan psikis serta perilaku lansia menjadi kendala dalam merawat

lansia.

Perawat lansia

bertugas dan bertanggungjawab untuk

merawat lansia dengan segala kondisi psikis dan fisik lansia.

Perawat memiliki cara tersendiri yang selalu dilakukan ketika merasa

stress agar tetap dapat merawat lansia.

Perawat merasa tertekan dengan adanya kendala yang

ada, namun tetap harus melaksanakan

tugasnya sebagai perawat lansia.


(50)

Wujud coping stres yang efektif.


(51)

32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan kata-kata dan bahasa dalam mendeskripsikan sebuah fenomena. Peneliti menggunakan metode ini karena dapat lebih mendalami untuk mencapai tujuan penelitian. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian dengan menganalisis secara keseluruhan pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2008).

Secara khusus metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode fenomenologi. Metode ini merujuk pada suatu pengalaman dari berbagai subjek yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan makna dari suatu pengalaman atau fenomena yang dialami oleh satu atau lebih individu yang mengalami pengalaman atau fenomena yang sama. Penelitian ini berfokus pada deksripsi mengenai kesamaan yang dimiliki oleh subjek dalam pengalamannya (Creswell, 2007).

Penelitian ini mengolah data yang berupa transkrip wawancara. Creswell (2010) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah alat untuk memaparkan dan memahami makna yang berasal dari individu dan


(52)

kelompok mengenai masalah sosial atau masalah individu. Penelitian ini disebut penelitian deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap obyek penelitian melalui sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat simpulan yang berlaku umum (Denzin, 1994).

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah perawat lansia yang tinggal di panti werdha bersama lansia yang dirawatnya. Cara pemilihan subjek yaitu dengan metode purposive sampling. Peneliti memilih subjek berjenis kelamin perempuan. Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat bahwa perempuan cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Martina, 2012). Peneliti memilih subjek juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan subjek dalam merawat lansia. Peneliti juga ingin membandingkan apakah ada persamaan dalam strategi menghadapi stress yang dilakukan oleh para subjek.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan tahapan yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tahapan tersebut adalah:

a. Menentukan topik penelitian dan menyusun rancangan penelitian. Topik penelitian yang dipilih peneliti berdasarkan pada fenomena yang ada.


(53)

b. Menentukan karakteristik subjek penelitian dan menentukan individu yang akan menjadi subjek dalam penelitian ini.

c. Menyusun panduan pertanyaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan wawancara.

d. Bertemu langsung dan membangun rapport dengan subjek. Dalam tahap ini, peneliti juga menanyakan kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti dan subjek menentukan waktu dan tempat pengambilan data dan wawancara.

e. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menanyakan kembali kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar informed consent yang berisi proses pengambilan data, efek yang akan didapatkan oleh subjek, dan hak-hak yang bisa didapatkan oleh subjek ketika melakukan proses wawancara ini.

f. Setelah melakukan wawancara, peneliti menyusun verbatim dari hasil rekaman wawancara yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Peneliti juga membuat kode dan keterangan kode pada hasil verbatim untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan metode yang sudah ditentukan.

g. Menarik kesimpulan dari hasil olah data yang sudah dikonsultasikan pada dosen pembimbing. Dari hasil olah data tersebut juga didapatkan saran bagi masyarakat dan peneliti lain.


(54)

D. Batasan Istilah

1. Coping stress keadaan saat individu dapat mengendalikan pikiran dan perilaku saat menghadapi stressor atau situasi menekan yang ada di sekitarnya.

2. Perawat lansia adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan perawatan yang disebabkan ketidakmampuannya melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri.

3. Lansia adalah seseorang baik pria maupun wanita yang berusia 60 tahun ke atas yang masih aktif maupun yang sudah tidak berdaya dan berada dalam tahap akhir perkembangan manusia.

4. Panti werdha adalah suatu tempat untuk menampung para lansia yang terlantar dengan segala fasilitas dan perawatan yang dibutuhkan oleh lansia.

E. Metode Pengumpulan Data

Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) menyatakan bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan wawancara mendalam (depth interview), yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan maksud untuk menetapkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti (Moleong, 2007) sebagai metode pengumpulan data. Banister dkk (dalam Poerwandari,


(55)

2005) menyatakan bahwa wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan dari penelitian.

Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Pada wawancara semi terstruktur, peneliti membuat suatu rancangan pertanyaan yang akan diajukan pada subjek. Namun rancangan tersebut hanya berfungsi untuk menuntun peneliti saat memberi pertanyaan pada subjek, jadi peneliti tidak harus menyampaikan pertanyaan sama persis dengan apa yang sudah dirancang terlebih dahulu (Smith, 2013). Ciri-ciri wawancara semi terstruktur menurut Kerlinger (1990) yaitu:

1. Adanya pertanyaan berdasarkan teori yang diambil

2. Adanya kebebasan yang dimiliki peneliti dalam mengajukan pertanyaan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya dan tidak terikat oleh susunan kata-kata maupun urutan pertanyaan yang harus diajukan.

Langkah-langkah yang akan ditempuh oleh peneliti dalam melaksanakan wawancara ini adalah sebagai berikut:

a. Peneliti melakukan rapport terlebih dahulu kepada subjek. Hal ini berguna untuk membangun kepercayaan (trust) subjek pada peneliti.

b. Menjelaskan mengenai kegunaan dan tujuan dari penelitian kepada subjek. Penjelasan ini diharapkan dapat menjadi motivasi untuk terlibat dalam penelitian ini.


(56)

c. Melakukan tanya jawab pendahuluan untuk mengetahui apa saja penyebab stress atau stressor yang pernah dialami subjek saat merawat lansia di panti werdha.

d. Melaksanakan wawancara kepada perawat lansia lansia dengan berlandaskan pedoman wawancara. Peneliti tidak membatasi subjek untuk memberikan informasi tambahan.

e. Wawancara direkam menggunakan alat perekam dari handphone dan telah disetujui oleh subjek.

f. Membuat transkrip wawancara, yaitu salinan hasil wawancara dari audio menjadi tulisan.

Dalam proses wawancara ini, peneliti akan menggunakan pedoman wawancara berdasarkan strategi coping stress yang dilakukan perawat saat menghadapi stressor. Pedoman wawancara disusun oleh peneliti dengan tujuan untuk membantu mengarahkan peneliti dalam melaksanakan wawancara. Selain itu, pedoman wawancara juga digunakan untuk mengecek apakah data yang diperlukan oleh peneliti sudah terpenuhi. Alat rekam digunakan untuk menyimpan data yang berupa hasil wawancara sehingga data penting yang diperoleh dari subjek tidak ada yang terlupakan. Rekaman wawancara berfungsi untuk membantu peneliti dalam menyusun verbatim sehingga dapat mempermudah dalam melakukan pengkodean dan analisis data (Poerwandari, 2001).


(57)

Bentuk pertanyaan yang digunakan pada penelitian ini adalah pertanyaan terbuka (open question) dengan tujuan untuk memperoleh pendapat subjek (Bogdan dan Biklen, 1992).

Tabel pertanyaan untuk mengetahui strategi coping stress perawat dalam merawat lansia di panti werdha (berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1980, dalam Rice, 1999):

Tabel 1. Pedoman Pertanyaan Wawancara.

No. Tujuan Pertanyaan Pertanyaan

1. Mengetahui apa saja yang menjadi stressor pada perawat saat merawat lansia.

a. Kapan Anda mulai merawat lansia?

b. Apa saja tugas-tugas yang harus Anda lakukan ketika merawat lansia?

c. Hal apa saja yang biasanya menjadi kendala atau beban saat merawat lansia?

d. Apa yang Anda rasakan dan pikirkan saat terjadi kendala atau masalah dalam merawat lansia?


(58)

kendala tersebut membuat Anda menjadi stress?

2. Mengetahui strategi

menghadapi stress pada perawat saat merawat lansia.

a. Saat Anda mengalami stress, apa yang Anda lakukan?

b. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan saat Anda merasa stress?

c. Bagaimana cara Anda untuk mengurangi stress yang sedang dialami? Apakah Anda meminta atau mencari bantuan dari orang lain?

d. Mengapa Anda memilih cara tersebut? Apakah cara tersebut efektif mengurangi stress?

e. Bagaimana cara Anda menghadapi situasi yang memicu stress kembali muncul?


(59)

F. Metode Pengukuran 1. Organisasi Data

Organisasi data dilakukan dengan menyusun data hasil wawancara dan catatan lapangan secara rapi dan sistematik agar membantu peneliti memperoleh data yang baik dan memudahkan proses penelusuran data. Setelah itu, peneliti akan melakukan pengkategorian dan pengkodean sesuai dengan aspek jenis strategi coping.

2. Koding

Koding merupakan proses mengolah materi/informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya (Rossman dan Rallis, dalam Creswell, 2010). Delapan langkah dalam proses koding menurut Tesch (dalam Creswell, 2010) yaitu:

Delapan langkah proses koding:

a) Berusaha untuk memperoleh pemahaman umum. Membaca semua

transkripsi dengan hati-hati dan berusaha menangkap gagasan-gagasan inti dari transkripsi tersebut.

b) Pilih satu dokumen yang paling menarik, paling singkat, dan paling penting. Tulislah gagasan tersebut dalam bentuk catatan kecil.

c) Buatlah daftar topik mengenai semua topik yang diperoleh lalu gabungkan topik-topik yang sama.

d) Ringkaslah topik-topik ini menjadi sebuah kode, lalu tulislah kode tersebut dalam sebuah segmen atau kategori.


(60)

e) Buatlah satu kalimat/frasa/kata yang paling cocok untuk menggambarkan topik-topik yang sudah diperoleh sebelumnya, lalu masukkan topik-topik ini dalam kategori khusus.

f) Ringkas kembali kategori-kategori ini, lalu susunlah kode-kode untuknya.

g) Masukkan materi-materi data ke dalam setiap kategori tersebut dan bersiaplah untuk melakukan analisis awal.

h) Jika perlu, kodinglah kembali data yang sudah ada.

3. Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan tema, model tema atau indikator kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal diantara atau gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut akan mampu mendeskripsikan tema bahkan menginterpretasikan tema. Analisis tema akan membantu peneliti menemukan “pola” tertentu yang masih tersebar secara acak dalam data verbatim. Setelah menemukan pola, peneliti akan mengklasifikasikan pola tersebut dengan cara memberi label, definisi, atau deskripsi (Boyatzis dalam Poerwandari, 2005).

G. Kredibilitas Penelitian

Keberhasilan penelitian ini akan terlihat dari deskripsi coping stress perawat lansia di panti werdha. Selain itu, keberhasilan penelitian juga


(61)

dilihat dari member checking. Member checking adalah pengecekan kembali data yang sudah diberikan kepada subjek dengan cara menunjukkan hasil akhir penelitian kepada subjek. Dengan cara ini, peneliti memastikan keakuratan hasil penelitian yang berupa rumusan tema-tema pada subjek. Jika rumusan tema-tema tersebut sudah disetujui keakuratannya oleh subjek, maka peneliti dapat menuliskan hasil rumusan tema sebagai laporan akhir (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Lincoln dan Guba (dalam Poerwandari, 2005) mengemukakan bahwa reliabilitas penelitian kualitatif mengenal transferability, yaitu hasil penelitian dapat diterapkan pada situasi lain yakni coping stress perawat pada lansia yang tinggal di panti werdha dengan subjek yang berbeda.


(62)

43

BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Profil Responden

Peneliti melibatkan tiga orang subjek berjenis kelamin perempuan yang bekerja sebagai perawat lansia yang tinggal di panti werdha. Berikut ini adalah profil dari responden dalam penelitian ini:

1. Responden R

Responden pertama adalah seorang perempuan berusia 43 tahun dengan inisial R. Pendidikan terakhir responden adalah pada tingkat SMA. Responden berstatus belum menikah dan beragama Kristen. Responden tidak pernah mengikuti kursus atau pelatihan khusus untuk merawat lansia.

Sebelum merawat lansia di panti werdha tempat ia bekerja sekarang, ia hanya pernah merawat neneknya. Melalui pengalaman merawat neneknya tersebut, responden merasa terpanggil untuk melayani dengan cara merawat lansia di panti werdha yang dikelola oleh yayasan Kristen di Yogyakarta.

Lansia yang tinggal di panti werdha tempat responden R bekerja berjumlah 10 orang, 8 orang berjenis kelamin perempuan dan 2 orang berjenis kelamin laki-laki. Kondisi lansia di panti tersebut cukup baik, namun ada 2 orang lansia yang harus dirawat secara intensif karena


(63)

harus memakai infus. Kedua lansia tersebut menderita penyakit kronis dan mengalami cacat mental dan cacat fisik. Sedangkan pengurus panti werdha berjumlah 3 orang, namun hanya responden R yang bersedia tinggal di panti werdha tersebut. Terdapat beberapa kegiatan rutin yang dilakukan bersama-sama dengan para lansia. Kegiatan senam bersama dilakukan seminggu sekali setiap hari Jumat dipimpin oleh instruktur senam lansia. Selain itu, ada kegiatan membaca Alkitab dan berdoa bersama setiap hari yang dilaksanakan pada pukul 7 pagi atau sebelum sarapan.

2. Responden SR

Responden kedua adalah seorang perempuan berusia 19 tahun dengan inisial SR. Pendidikan terakhir responden adalah pada tingkat SMA, kemudian ia mengikuti pelatihan untuk menjadi perawat lansia di salah satu LPK di Purwokerto. Responden beragama Islam dan berstatus belum menikah.

Saat ini responden SR merawat lansia di panti werdha yang dikelola oleh yayasan Kristen di Purbalingga. Sebelum merawat di panti werdha tempat ia bekerja sekarang, responden SR mengaku bahwa ia sempat merawat di salah satu panti werdha di Semarang. Responden SR mengaku bahwa ia memutuskan untuk menjadi perawat lansia atas dasar keinginannya sendiri, berbekal pengetahuan dari pelatihan yang sudah pernah diikutinya.


(64)

Di panti werdha tempat responden ST bekerja, lansia yang tinggal di panti tersebut berjumlah 13 orang, 9 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Kondisi lansia di panti tersebut cukup baik, sebagian besar lansia masih sehat, hanya ada sekitar 3 orang yang harus memakai kursi roda karena kondisi fisik yang sudah lemah. Sedangkan perawat dan pengurus panti werdha tersebut berjumlah 20 orang, 15 orang perawat lansia dan 5 orang pengurus panti werdha. Semua perawat lansia tinggal di panti werdha tersebut. ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukan bersama lansia. Di panti werdha tersebut juga ada beberapa kegiatan rutin, diantaranya adalah senam pagi setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Selain itu ada pula kegiatan membaca Alkitab dan berdoa bersama. Responden ST mengaku bahwa walaupun ia beragama non Kristen, ia tetap mengikuti kegiatan tersebut.

3. Responden SN

Responden ketiga adalah seorang perempuan berinisial SN yang berusia 20 tahun. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh responden adalah SMA. Setelah lulus SMA, responden mengikuti pelatihan khusus untuk merawat lansia di Purwokerto. Responden beragama Islam dan belum menikah.

Saat ini responden SN merawat lansia di panti werdha yang dikelola oleh yayasan Kristen di Purbalingga. Sama seperti responden


(65)

SR, responden SN sempat merawat di salah satu panti werdha di Semarang sebelum ia menjadi perawat lansia di panti werdha dimana saat ini ia bertugas. Responden SN berkata bahwa ia menjadi perawat lansia atas keinginannya sendiri dan ia merasa siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya saat merawat lansia.

Di panti werdha tempat responden ST bekerja, lansia yang tinggal di panti tersebut berjumlah 13 orang, 9 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Kondisi lansia di panti tersebut cukup baik, sebagian besar lansia masih sehat, hanya ada sekitar 3 orang yang harus memakai kursi roda karena kondisi fisik yang sudah lemah. Sedangkan perawat dan pengurus panti werdha tersebut berjumlah 20 orang, 15 orang perawat lansia dan 5 orang pengurus panti werdha. Ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukan untuk dilaksanakan bersama lansia. Kegiatan tersebut diantaranya adalah senam rutin yang dilakukan setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Ada juga kegiatan berdoa dan membaca Alkitab bersama yang dilaksanakan setiap hari. Meskipun beragama non Kristen, responden SN mengaku bahwa ia tetap mengikuti kegiatan berdoa tersebut dan merasa senang saat ikut berdoa bersama.

B. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data pada responden I dilakukan pada tanggal 13 Januari 2016 di Panti Werdha Perandan Padudan Gondokusuman, Yogyakarta.


(66)

Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti bersama dengan responden menentukan waktu dan tempat untuk melaksanakan wawancara. Peneliti memberikan informed consent pada para responden sebagai bukti bahwa responden bersedia menjadi narasumber dalam penelitian dan agar responden mengetahui manfaat dan tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan. Peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur yang meliputi pengalaman responden sebagai perawat lansia, kendala atau stressor yang dialami saat merawat lansia, dan strategi para responden untuk menghadapi stres.

Pengambilan data pada responden II, dan responden III dilakukan pada tanggal dan tempat yang sama, yaitu 7 Maret 2016 di Panti Werdha Budi Dharma Kasih. Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti bersama dengan kepala panti werdha menentukan tempat, waktu, dan jumlah responden yang akan diwawancara. Peneliti memberikan informed consent pada para responden sebagai bukti bahwa responden bersedia menjadi narasumber dalam penelitian. Selain itu, melalui informed consent responden juga dapat mengetahui manfaat dan tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan. Peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur yang meliputi pengalaman kedua responden sebagai perawat lansia, kendala atau stressor yang dialami saat merawat lansia, dan strategi para responden untuk menghadapi stres. Selain itu, peneliti juga menggali data tentang kondisi dan perilaku lansia yang dirawat.


(67)

C. Hasil Penelitian

1. Responden I (inisial R)

a. Tugas sebagai perawat lansia

Berdasarkan paparan responden I, ada beberapa tugas yang harus dikerjakan dalam tugasnya merawat lansia, diantaranya adalah memandikan, menyuapi, mengganti pakaian para lansia dan mengerjakan urusan administrasi panti werdha. Tugas-tugas tersebut ia lakukan sendiri karena hanya ada satu perawat di panti werdha tempat responden I bekerja. Namun karena sebagian besar lansia masih mandiri, responden I tidak terlalu kesulitan dalam merawat para lansia, ia hanya perlu mengawasi lansia yang masih mandiri dan memberikan perawatan yang lebih intensif pada lansia yang sudah mengalami lemah fisik. Hal ini diungkapkan oleh responden I dalam kutipannya sebagai berikut:

“Ya ngurusin administrasi, ya ngurusi laporan pertanggungjawaban, ya ngurusi neneknya dari memandikan, nyuapin, mengganti pakaian, ya nyuci, ngepel, saya lakukan soalnya disini saya cuma sendiri, seperti itu.” (14-18)


(68)

b. Kendala atau stressor dalam merawat lansia

Responden I mengaku bahwa tidak selalu ia dapat mengerjakan tugas-tugas tersebut dengan lancar dan tidak ada kendala. Responden I berkata bahwa ia sering mengalami kendala dalam merawat lansia terutama pada saat ia harus menghadapi lansia yang mempunyai watak dan sifat yang berbeda-beda, sehingga seringkali para lansia tersebut susah untuk diberitahu. Hal ini diungkapkan oleh responden I dalam kutipannya sebagai berikut:

“Kendalanya itu ya cuma nenek-nenek saya itu beda watak, sifat, karakter jadi saya harus menyesuaikan watak, sifat, karakter mereka itu.” (19-21)

Responden I berpendapat bahwa kendala yang muncul dapat berasal dari pola pikir lansia yang berbeda-beda dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga para lansia susah untuk diatur dan diberitahu:

“Mungkin karena itu dia mungkin kurang berpendidikan, jadi cara berpikirnya, pola berpikirnya agak beda.” (36-40)


(69)

Kendala lain yang dialami responden I adalah kondisi kesehatan lansia yang sudah menurun dan menderita penyakit seperti epilepsi dan cacat ganda (cacat mental dan fisik). Responden I mengaku bahwa ia kewalahan saat harus merawat lansia yang menderita cacat ganda, karena selain sulit diajak berkomunikasi, lansia tersebut juga tidak dapat menggerakkan badannya sendiri sehingga butuh perawatan ekstra. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan responden I dalam kutipan sebagai berikut:

“Cuma kendalanya waktu epilepsinya dia kumat, awalnya saya nggak tau kalo dia epilepsi.” (64-63)

“Dulu awal-awal masuk ya saya sempat kewalahan, saya harus ngangkat dia dari kursi ke tempat tidur, ngangkat dia dari kursi duduk terus memandikan, itu bener-bener saya kewalahan.” (73-76)

c. Strategi coping stres

Responden I mengaku bahwa kendala-kendala dalam merawat lansia menjadi penyebab stres yang dialaminya. Dengan demikian, responden I menyadari bahwa ia tidak dapat menjalani tugasnya sebagai perawat lansia dengan baik jika ia mengalami stres, sehingga ia harus menghadapi rasa stresnya


(70)

dengan melakukan coping. Beberapa strategi coping yang dilakukan responden I sebagai tindakan kuratif adalah melepaskan atau mengengkspresikan emosi negatif yang dirasakannya. Hal ini diungkapkan oleh responden I dalam kutipan sebagai berikut:

“Saya mending wek wek wek tapi nggak jadi beban, nggak jadi masalah dengan mereka. Kalo sudah ya sudah, selesai urusannya, seperti itu. Lebih baik saya keluarkan daripada dipendam.” (157-161)

“Akhirnya saya terus teriak-teriak itu tadi, menghilangkan kejengkelan hati saya, saya luapkan.” (190-191)

Selain melepaskan emosi negatif, secara personal responden I juga beranggapan bahwa menyelesaikan masalah secara langsung lebih baik daripada dipendam. Responden I juga berkata bahwa dengan menyelesaikan masalah secara langsung dapat membuatnya merasa lega. Hal ini dibuktikan dalam pernyataan responden I sebagai berikut:

“Mending langsung diselesaikan sekalian trus sudah. Jadi kalo ada permasalahan sedikit yang itu mengganggu pikiran saya, itu bikin saya nggak nyaman,


(71)

jadi langsung saya selesaikan tapi setelah itu saya lega.”(337-340)

Responden I mengaku bahwa ia juga melakukan upaya preventif dan kuratif dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Upaya ini ia lakukan untuk mengantisipasi adanya luapan emosi negatif saat ia merasa stres. Responden I berkata bahwa secara personal dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan, ia mendapatkan ketenangan dan merasakan adanya hikmat dan tuntunan Tuhan dalam menjalankan tugasnya merawat lansia. Dalam upaya mengatasi stres dengan cara mendekatkan diri dengan Tuhan, Responden I mempunyai 2 cara yaitu dengan berdoa dan membaca firman Tuhan. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden I sebagai berikut:

“Akhirnya setiap saya mau marah, saya ambil renungan. Jadi setiap pagi mau makan, kita harus renungan dulu.” (127-129)

“Selalu baca renungan sebelum makan pagi, bacaan Firman Tuhan, ya melalui itu tadi saya berikan ke mereka.” (193-195)

“Pokoknya berdoa mohon hikmat pada Tuhan, dan saya tetep berpegang pada firman Tuhan. Saya merasa


(72)

nyaman kalo udah berdoa, dan merasa selalu dibukakan jalan oleh Tuhan.” (262-266)

Responden I mengaku bahwa ia membutuhkan orang lain untuk mendengarkan keluhannya dan menceritakan segala permasalahan yang dialaminya, sehingga ia dapat meluapkan emosi negatifnya. Jika ia tidak bercerita dengan orang lain, ia akan tetap merasa stres dan jengkel sehingga hal tersebut akan menjadi beban pikirannya. Menurut responden I, dengan cara bercerita dengan orang lain, beban dan stres yang dirasakannya sudah berkurang. Bercerita kepada orang lain dirasa efektif oleh responden I untuk mengurangi rasa jengkel dan stres yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan

responden berikut:

“Saya curhat ke orang tertentu. Soalnya kalo saya nggak curhat ke seseorang, beban itu berat. Jadi rasanya jengkel, stres, marah, nggak mau ngeliat orangnya, itu beban mbak. Daripada nanti saya marah, jadi batu sandungan, mending saya curhat.” (286-290)

“Saya main ketempat siapa gitu. Kita ngobrol, tapi bukan ngobrol tentang simbah. Nanti pas pulang, walaupun masih ada rasa jengkel tapi beban dan stres saya sudah berkurang.” (309-312)


(73)

Berdasarkan paparan dari responden I, stressor saat merawat lansia adalah saat ia harus menghadapi lansia yang sulit diberitahu, mengurus administrasi serta membersihkan panti sendiri, dan merawat lansia yang mengalami cacat fisik dan mental. Dalam menghadapi stres, responden I melakukan tindakan preventif yaitu berdoa dan membaca Alkitab. Upaya ini juga didukung dengan adanya kegiatan rutin di panti yaitu membaca renungan bersama. Sedangkan tindakan kuratif yang ia lakukan adalah menyelesaikan masalah secara langsung dan bercerita kepada orang lain. Dengan demikian, secara personal ia merasa bahwa dengan cara-cara tersebut rasa stresnya dapat berkurang. Coping stres yang digunakan responden I termasuk dalam emotion-focused coping.

2. Responden II (inisial Si)

a. Tugas sebagai perawat lansia

Berdasarkan hasil wawancara, responden II mempunyai beberapa tugas yang harus dikerjakan sebagai perawat lansia, yaitu menjaga kebersihan dan kesehatan lansia, memandikan, menyiapkan makanan, dan menyuapi. Responden II berkata bahwa tiap hari ia harus memandikan lansia yang mengalami lemah fisik atau cacat dan lansia yang memakai kursi roda.


(74)

Dalam hal menjaga kebersihan lansia, responden II mengaku bahwa ia bertugas untuk mengepel dan menjaga kebersihan kamar para lansia. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden sebagai berikut:

“Kalo pagi paling yang pertama ngepel depan gitu dulu terus nyiapin air panas buat mandi, gitu ntar jam setengah 6 mandiin.” (8-10)

“Kalo makan ya selalu ikut mba, makan terus sampe selesai gitu, kan kalo di belakang ada yang disuapin 1, terus makannya juga dihalusin.” (15-17)

Selain itu responden II juga bertugas untuk mengantar lansia yang mengeluh sakit ke poliklinik dan mengawasi lansia dalam mengonsumsi obat-obatan. Ketika waktu makan sudah tiba, responden II bersama perawat lainnya menyiapkan makanan untuk para lansia. Lansia yang cacat atau sedang sakit biasanya disuapi oleh perawat.Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden II sebagai berikut:

“Kalo misalkan ada yang sakit langsung dibawa ke balai pengobatan yang di depan. Kadang juga ditanya satu-satu, ada yang sakit apa nggak. Kalo ada yang lemes nggak kayak biasa ditanyain kenapa, ada yang sakit apa pusing gitu mba.” (20-24)


(75)

“Malem-malem pasti ada yang manggil, kalo ada yang mau kencing atau apa kan mesti manggil buat bantuin kencing.” (29-31)

b. Kendala atau stressor dalam merawat lansia

Pada saat merawat lansia, responden II mengaku ada beberapa kendala yang dialaminya. Kendala yang sering dialami yaitu lansia yang susah diberitahu untuk mandi. Selain itu lansia juga menggit dan mencakar perawat ketika dimandikan. Responden II mengaku bahwa ada beberapa lansia yang susah dimandikan dan sering memberontak. Perilaku lansia ini membuat responden II kesulitan dalam merawat. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan pernyataan sebagai berikut:

“Ya itu sih, kalo dimandiin ada yang suka nggigit. Ada yang nggigit, ada yang nyakar. Terus kalo di depan juga yang mandiin harus berdua mba.”(38-41)

“Emm... paling kalo susah dibilangin gitu, yang dibelakang itu susah mandi, susah dibilangin suruh mandi.” (36-37)

Responden II juga mengalami kesulitan saat merawat lansia dengan kondisi lemah mental dan menderita pikun. Lansia yang pikun sering bertanya hal yang sama secara berulang sehingga responden II merasa kewalahan dalam


(1)

4 48

49 50 51 52 53 54 56 57 58 59 60 61 62 63 64

kadang rasanya sedih, kayak nggak dianggep. Kalo ngomong kayak nggak dianggep, apa gara-gara dia udah tua itu jadi ndak ndengerin saya yang masih muda, apa gimana ya? Jadi malah rasanya kayak sendiri gitu mbak, putus asa. Mbak pernah ngerasain jengkel, marah gitu juga nggak? Pernah mbak, marah-marah, jengkel. “Maunya apa sih? Dibilangin kok ngeyel. Ndak mau dibilangin, apa mau pulang? Apa mau dibilangin ke keluarganya?” Kadang-kadang marah-marah gitu mbak, ndak sengaja malah jadinya mbentak-mbentak. Kalo mbak rasanya lagi marah, biasanya mbak ngapain? Yaa.. kadang langsung marahin gitu mbak, “Minta pulang ya? Apa mau dibilangin ke keluarganya biar dijemput pulang? Apa gimana maunya?” Biasanya kayak gitu mbak. Kalo udah gitu biasanya yang pada rewel jadi diem, tapi ada juga yang malah balik marah-marah. Kalo udah gitu saya jadi

sedih, kayak nggak dianggep. Kalo ngomong kayak nggak dianggep.

Kadang-kadang marah-marah gitu mbak, ndak sengaja malah jadinya mbentak-mbentak

saat ia berbicara dengan lansia tidak didengarkan dan merasa tidak dianggap.

Terkadang perawat membentak lansia untuk

mengekspresikan kemarahannya.

merawat lansia: sedih dan merasa tidak dianggap.

Ekspresi kemarahan: membentak.


(2)

5 65

66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80

tambah sedih mbak. Biasanya kalo mbak lagi ngerasa stres gitu, apa yang mbak lakukan untuk ngurangin rasa stresnya? Yaa biasanya bercanda sama temen-temen, ndengerin lagu, nanti nyanyi-nyanyi bareng, ketawa-ketawa bareng, gitu. Biasanya ngeledekin orang yang pikun, kan biasanya nggak inget nanti diledekin trus ketawa-ketawa bareng. Selain cara-cara itu, ada lagi nggak mbak? Ada mbak biasanya saya cerita-cerita aja sih sama temen-temen. Biasanya cerita “Itu lho mbahnya ndak nurut, sukanya ngomel.” Terus nanti ada temen yang bilang “Yaudah nanti dibilangin aja, yang penting kalo nanya apa gitu dijawab iya aja biar ndak ngomel terus.” Biasanya saling berbagi gitu, saling cerita sama saling kasih semangat gitu lah mbak. Kasih nasihat juga “Mungkin itu mbahnya lagi banyak pikiran, lagi inget keluarganya dirumah, jadinya marah-marah ngomel, trus jadinya

Biasanya bercanda sama temen-temen, ndengerin lagu, nanti nyanyi-nyanyi bareng, ketawa-ketawa bareng.

Ada mbak biasanya saya cerita-cerita aja sih sama temen-temen

Biasanya saling berbagi gitu, saling cerita sama saling kasih semangat gitu lah mbak. Kasih nasihat juga.

Untuk mengatasi stresnya, perawat menghibur diri bersama teman-temannya.

Untuk mengatasi stres, perawat bercerita pada temannya.

Perawat dan teman-temannya saling bercerita, memberi semangat, dan memberi nasihat.

Upaya mengatasi stres: menghibur diri bersama orang lain.

Upaya mengatasi stres: mencari dukungan sosial.

Upaya mengatasi stres: mencari dukungan sosial.


(3)

6 81

82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96

ngomel ke mbak-mbaknya. Udah diemin aja, ndak usah dimasukin ke hati. Semangat aja semangat.” Kalo udah gitu saya ya jadi semangat lagi, saya mikir yaa bener ya mungkin karena udah tua jadi ya kadang-kadang pikun, kadang-kadang lupa, kadang-kadang marah, yaudahlah dimaklumin aja nggak papa, disabarin aja. Kadang juga saya berdoa, supaya apa ya, biar dikasih kesabaran aja. Pernah saya nangis sendirian di kamar juga mbak. Kadang-kadang nangis sendirian habis sholat. Kadang telpon sama ibu dirumah, minta... ya mungkin kan beda kalo cerita sama ibu dibanding cerita sama temen-temen, rasanya lebih ayem kalo cerita sama ibu. Didoain sama ibu juga lebih tenang rasanya, jadi lebih semangat lagi kerjanya. Kalo misalnya mbak ngadepin situasi atau masalah yang bikin mbak stres, gimana cara mbak ngadepinnya? Ya gitu mbak, paling kalo udah bener-bener nggak tahan ya

Yaudahlah dimaklumin aja nggak papa, disabarin aja. Kadang juga saya berdoa, supaya apa ya, biar dikasih kesabaran aja.

Kadang-kadang nangis sendirian habis sholat. Kadang telpon sama ibu dirumah.

Marah-marah sebentar, nanti

Sebagai upaya mengatasi stres, perawat menerima kondisi lansia yang dirawatnya dan berdoa agar mendapatkan kesabaran.

Perawat mengekspresikan perasaannya dengan menangis. Perawat juga menelepon ibunya untuk mendapatkan dukungan.

Perawat bercerita pada

Upaya mengatasi stres: - Menerima keadaan - Berdoa

- Mencari dukungan sosial

Cara mengekspresikan perasaan: menangis.


(4)

7 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112

marah-marah sebentar, nanti trus curhat lagi, yang penting berdoa aja sih mbak. Tapi kalo udah bener-bener nggak tahan banget ya... mesti mundur, pasrah aja. Perilaku lansia disini yang bener-bener bikin mbak stres tu biasanya yang gimana mbak? Ya itu... yang pikun sama yang suka marah-marah. Apalagi yang suka nggigit sama mukulin kalo pas dimandiin mbak, itu rasanya... aduh, sedih banget, bikin stres. Kalo dirasa-rasain itu kayak... aku rasanya ndak bakalan lama disini lho, paling 3 bulan-4 bulan udah keluar lah, ndak betah. Tapi terus biasanya temen-temen kasih motivasi, “Jangan gitu lah, harus semangat. Kita kan disini kerja sama-sama. Nanti kalo kerjasama kan kita bisa ngatasin permasalahan yang ada disini,” paling kayak gitu mbak. Apa sih yang jadi motivasi mbak ngerawat lansia? Kalo saya sih pengen dapet pengalaman mbak. Kalo ngerawat lansia kan juga

trus curhat lagi, yang penting berdoa aja sih mbak. Tapi kalo udah bener-bener nggak tahan banget mesti mundur, pasrah aja.

Yang pikun sama yang suka marah-marah. Apalagi yang suka nggigit sama mukulin kalo pas dimandiin mbak, itu rasanya sedih banget, bikin stres.

Tapi terus biasanya temen-temen kasih motivasi, “Jangan gitu lah, harus semangat. Kita kan disini kerja sama-sama. Nanti kalo

temannya sebagai upaya mengatasi stres. Namun perawat akan menyerah jika ia merasa tidak mampu menghadapi stressor.

Kondisi lansia yang sudah pikun dan perilaku lansia yang suka menggigit dan memukul saat dimandikan menjadi kendala dalam merawat lansia.

Perawat diberi semangat dan motivasi oleh teman-temannya sehingga dapat mengurangi stres yang dirasakan oleh perawat.

mencari dukungan sosial,

menyerah atau menghindari stressor.

Kendala merawat lansia:

- Kondisi lansia: kemunduran mental (pikun).

- Perilaku lansia: menggigit, memukul saat dimandikan.

Upaya mengatasi stres: mendapatkan dukungan sosial dari orang lain.


(5)

8 113

114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128

biasanya dapet cerita dari jaman mudanya dulu kayak gimana, cerita-cerita dulu jadi guru, sukses, susah senengnya itu pasti kan dikasih tau sama perawatnya, kalo pengen berhasil itu gini lho, usaha dulu kayak gini, nanti kan jadi saya dapet pengalaman dari mbah-mbahnya itu dari cerita mereka. Saya juga itung-itung belajar dari pengalaman mereka dulu mbak. dulunya mereka misal ndak sukses, trus usaha, belajar terus sampe sukses. Saya jadi mikir kalo emang mau sukses ndak boleh putus asa harus mau belajar terus gitu. Seneng sih mbak kalo ndengerin cerita dari mbah-mbahnya itu, jalan hidupnya itu puter-puter. Kondisi lansia yang mbak rawat itu gimana aja sih mbak? Ada yang cacat, udah ndak bisa ngapa-ngapain, ada yang buta juga. Jalan aja pake kursi roda, kalo udah gitu saya ngerasa kasian mbak, kadang diajak ngobrol, diajak bercanda biar seneng, ketawa-ketawa.

kerjasama kan kita bisa ngatasin permasalahan yang ada disini.”

Ada yang cacat, udah ndak bisa ngapa-ngapain, ada yang buta juga. Jalan aja pake kursi roda, kalo udah gitu saya

Lansia yang dirawat di panti werdha ada yang mengalami lemah fisik, buta dan cacat sehingga harus menggunakan

Kondisi lansia: lemah fisik, cacat, buta.


(6)

9 129

130 131

Disuruh nyanyi juga biar seneng mbak. Tapi kalo disini masih banyak yang mandiri, masih pada bisa jalan sendiri semua.