Rata - Rata Jumlah Anak Dalam Keluarga

☎ ☎ ✡ Kemudian, setelah melewati uji U diketahui bahwa tidak ada perbedaan rata – rata jumlah anak antara kelompok case dan kelompok control dengan nilai signifikan 0,05 yaitu 0,5. Jumlah asupan zat gizi dalam suatu keluarga tidak terlepas dari jumlah anak dalam kelurga, karena jumlah makanan yang ada, akan dibagikan kepada setiap anak yang berada dalam satu keluarga atau satu rumah. Semakin banyakanya jumlah anak maka semakin sedikitnya jumlah makanan yang diperoleh oleh masing – masing anak. Ketidakadaan perbedaan rata - rata jumlah anak dalam satu keluarga antara kelompok case dan kelompok control. Hal ini berkaitan dengan jumlah anak yang sama banyak pada setiap kelompok. Kelompok case memiliki jumlah anak paling banyak adalah 8 anak dan kelompok control adalah 7 anak. Anak yang berasal dari keluarga yang memiliki jumlah anak banyak akan memiliki risiko 1,34 kali lebih besar untuk mengalami stunting Oktarina dan Sudiarti, 2013. Anak yang berada dalam keluarga yang memiliki banyak anak, terutama pada keluarga yang memiliki ekonomi yang rendah kemungkinan besar akan sulit untuk memberikan perhatian dan makanan yang cukup pada seluruh anak Candra, 2011. Kekurangan perhatian dan makanan lebih sering terjadi pada anak – anak yang dilahirkan belakangan Candra, 2011. Hal ini terkait dengan anak yang dilahirkan belakangan, karena beban orang tua dalam mengasuh dan memberi makan anak sudah lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan beban pada anak yang ☎ ☎ ☛ dilahirkan pertama Candra, 2011. Selain itu, usia orang tua pada saat hanya memiliki anak satu cenderung masih muda dan memiliki stamina yang tinggi jika dibandingkan dengan anak yang dilahirkan ke 4 dan seterusnya. Padahal usia dan stamina merupakan faktor yang mempengaruhi pola asuh terhadap anak Candra, 2011. Oleh karena itu, anak yang dilahirkan belakangan akan cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan Candra, 2011. Meskipun tidak ada perbedaan rata – rata jumlah anak antara kelompok case dan control. Namun, diketahui berdasarkan hasil kuesioner bahwa anak pada kelompok case kebanyakan adalah anak – anak yang dilahirkan belakangan atau urutan ke tiga, jika dibandingkan dengan naka – anak kelompok control, kebanyakan dari mereka adalah anak- anak yang dilahirkan lebih dulu yaitu anak ke dua. Bagi keluarga yang terdiri dari jumlah anggota keluarga besar. Disarankan untuk dapat membagi perhatian lebih bijak lagi. Seperti tidak selalu menyalahkan yang besar dan tidak selalu membela yang kecil. Dapat membagi porsi makan dengan baik dan cukup sesuai aktifitas anak. Agar anak selalu merasa mendapatkan perhatian yang adil dan merata.

I. Hubungan Variabel Intervenning Asupan Energi Protein Lemak Terhadap Stunting

Berdasarkan hasil analisis hubungan langsung antara asupan energi, protein dan lemak memiliki nilai T Test 1,97. Hal ini menggambarkan bahwa tidak terdapat hubungan langsung antara asupan ☎ ☎ ☞ energi, protein dan lemak terhadap kejadian stunting di MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu tahun 2015. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Anshori 2013 yang menyatakan bahwa asupan energi tidak berhubungan dengan kejadian stunting dengan p value 0,05 yaitu 0,163. Anshori 2013 menyatakan bahwa kejadian stuntimg lebih berisiko terjadi ketika anak kekurangan asupan protein OR : 11,8 yang artinya anak yang kekurangan protein lebih 11,8 kali lebih berisiko mengalami stunting jika dibandingkan dengan kekurangan energi OR : 0,45 yang hanya berisiko 0,45 kali untuk mengalami stunting Anshori, 2013. Namun, hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dkk 2010 yang menyatakan bahwa kekurangan energi meemiliki hubungan yang signifikan dengan p : 0,035 dan OR : 3,46 terhadap kejadian stunting. Artinya, anak yang mengalami kekurangan energi akan memiliki risiko 3,46 kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kekurangan energi Hidayati dkk., 2010. Melihat hasil analisis hubungan antara protein dan stunting, penelitian ini sejalan dengan penelitian Ardiyah 2015, yang menyatakan bahwa asupan protein tidak berhubungan dengan kejadian stunting p 0,05 Aridiyah, 2015. Namun, hasil tersebut tidak sejalan dengan Anshori, 2013 yang menyatakan bahwa protein berhubungan dengan kajadian stunting p 0,05 , p : 0,009 dengan nilai OR 11,8 Anshori, 2013. Hal ini berkaitan ☎ ☎ ✌ dengan hasil rata – rata asupan protein yaitu dimana rata – rata semua kelompok baik case dan control memiliki asupan kurang dari asupan yang disarankan oleh AKG 2013. Meskipun tidak memiliki hubungan langsung namun menurut Anshori 2013 bahwa anak yang kekurangan asupan protein akan memiliki risiko 11,8 kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kekurangan protein Anshori, 2013. Kemudian, hasil analisis hubungan antara lemak dan stunting, penelitian ini sejalan dengan penelitian Anshori 2013 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara asupan lemak dengan kejadian stunting p 0,05 , p : 0,08 dengan nilai OR 2,7 Anshori, 2013. Anshori 2013 menyatakan bahwa kejadian stunting lebih berisiko jika anak mengalami kekurangan protein, karena kekurangan lemak memiliki risiko lebih kecil jika dibandingkan dengan risiko kekurangan protein yaitu sebesar 2,7 kali lipat. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitan yang dilakukan oleh Oktarina dan Sudiarti 2013, yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan kejaidan stunting yaitu p : 0,02 dan OR : 1,31. Artinya, anak yang mengalami kekurangan lemak akan memiliki risiko 1,31 kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kekurangan asupan lemak Oktarina dan Sudiarti, 2013. Stunting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekurangan nutrisi selama menahun. Jadi, ketika asupan energi tidak ☎ ☎ ✆ mencukupi kebutuhan tubuh, maka metabolisme dalam tubuh tergangu maka akan ada perubahan fisiologis organ – organ utama tubuh untuk menyesuaikan cadangan gizi tubuh. Perubahan fisiologis tubuh ini dilakukan untuk menghemat persedian nutrisi dalam tubuh terutama lemak dan protein Briend dkk., 2015. Jika kekurangan makanan ini bersamaan dengan masa pertumbuhan, maka perubahan besar terjadi pada otak, jatung, ginjal dan otot – otot. Penyesuaain ini diikuti oleh perubahan kadar insulin dan glukagon yang menjadi kunci utama dalam regulasi enzim, sehingga tubuh secara otomatis menyalakan status hemat energi. penggunaan status hemat energi ini, membuat persedian lemak dan protein dalam tubuh akan menjadi kunci utama dalam proses metabolisme. Padahal, nutrisi otak tidak dapat diperoleh dari protein karena kebanyakan protein tidak dapat dengan mudah melewati penghalang antara darah dan otak sehingga massa otak akan berkurang, hal ini lebih sering terjadi pada anak – anak karena massa otak anak lebih besar dari pada massa otak orang dewasa Briend dkk., 2015. Status hemat energi akan banyak menggunakan persedian protein dalam otot, yang pada akhirnya organ – organ tubuh akan mengalami perubahan bentuk atau mengecil terutama otot tubuh. Hal ini karena asam amino yang didalam otot juga digunakan untuk mempertahankan metabolisme protein. Ketika persediaan protein sudah habis dalam tubuh, maka metabolisme tergantung pada persediaan lemak. Dalam situasi seperti ini, ☎ ☎ ✝ akan menyebabkan kematian jika persedian lemak dalam tubuh sudah habis. Singkatnya, ketika terjadi malnutrisi maka penyesuaian tubuh untuk melakukan metabolisme akan menyebabkan penurunan massa otot dan penurunan lemak. Perubahan komposisi tubuh ini tercerminkan secara tidak langsung dari indeks antropometri stunting Briend dkk., 2015. Energi merupakan nutrisi utama sebagai bahan bakar kerja metabolisme dalam tubuh, namun energi tidak memiliki persediaan dalam tubuh. Sehingga jika tubuh mengalami kekurangan energi, tubuh akan secara langsung menyalakan mode hemat energi. Kekurangan energi ini akan dialihkan kepada persediaan protein. Persediaan protein merupakan kunci utama untuk mepertahankan tubuh, dan biasaannya kekurang protein ini terjadi bersamman ketika kekurangn energi sehingga kerja protein akan 2 kali lebih berat. Dalam pertumbuhan anak, protein merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan yang optimal Sharlin dan Edelstein, 2011. Sehingga kekurangan protein ini yang banyak mempengaruhi pertumbuhan seperti otot, otak dan tulang. Karena kekurangan protein ini lah yang banyak mempengaruhi komposisi tubuh. Jika persediaan protein sudah habis, kebutuhan untuk bahan bakar metabolisme akan dialihkan kepada persediaan lemak dalam tubuh. Biasanya, kehabisan lemak dalam tubuh akan diikuti dengan kematian. Tidak ada hubungan antara asupan energi, protein dan lemak. Hal ini disebabkan karena hasil univariat menunujkkan bahwa rata – rata asupan energi, protein dan lemak antara kelompok case dan control tidak ☎ ☎ ✞ memiliki perbedaan tingkat asupan energi, protein dan lemak. Berdasarkan hasil food recall dan food record, diketahui bahwa tidak banyak keanekaragaman makanan responden baik pada kelompok case dan control seperti sarapan lebih sering dengan nasi lengko, nasi kuning atau lontong sayur. Lauk yang sering keluar adalah tempe, tahu dan jajan yang sering dikonsumsi adalah jajanan yang ada diwarung rata – rata yaitu snack dalam kemasan. Sehingga, hal ini menyebabkan kesamaan rata – rata tingkat asupan energi, protein dan lemak pada kelompok case dan control. Hasil analisis food recall dan food record juga menunjukkan bahwa meskipun tidak ada perbedaan rata – rata asupan energi, protein dan lemak. Namun, sumber protein yang dikonsumsi pada kelompok case lebih banyak berasal dari sumber protein nabati sepeti tempe, tahu dan kacang tanah. Hal ini bukan berarti pada kelompok case tidak mengonsumsi makanan sumber protein. Kebanyakan dari mereka mengonsumsi makanan sumber protein hewani seperti bakso pentol biasanya bakso berisikan potongan telur, bakso ikan, bakso sapi atau bakso ayam yang mana bakso ini memiliki kandungan protein lebih rendah jika dibandingkan dengan ayam, ikan, telur dan daging yang belum diolah menjadi bakso. Berdasarkan hasil uji U pada BAB IV menunjukkan bahwa tidak ada perbedaam rata – rata asupan protein nabati pada kelompok case dan control. Namun, ada kecenderungan bahwa asupan protein nabati kelompok case lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok control. Sehingga, peneliti memprediksi bahwa kurang adekuatnya asupan protein ☎ ☎ ✟ hewani pada kelompok case yang menyebabkan kelompok case mengalami stunting Selain asupan protein yang berasal dari hewani, asupan kalsium pada kelompok case lebih rendah jika dibandingkan dengan asupan kalsium kelompok control. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan, namun asupan kalsium pada kelompok case lebih rendah jika dibandingkan dengan asupan kalsium kelompok total. Namun, ada kecenderungan bahwa asupan kalsium kelompok case lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok control. Sehingga, peneliti memprediksi bahwa kurang asupan kalsium yang mengahambat pertumbuhan tulang pada kelompok case dan menyebabkan kelompok case mengalami stunting. Protein dan kalsium merupakan zat gizi yang memiliki dampak besar pada pertumbuhan tulang. Pertumbuhan fisik anak terutama dalam pembentukan tulang dan otot sangan membutuhkan asupan protein yang adekuat Primasoni, 2012. Protein lebih penting dalam penyusunan bentuk tubuh jika dibandingkan dengan zat gizi energi Primasoni, 2012. Hal ini terkait dengan molekul – molekul yang membentuk protein, molekul pembentuk protein terdiri dari rantai – rantai asam amino N, C, H, O, dan terkadang S, P, Fe yang terikat satu sama lainnya dalam ikatan peptida dan moleku – moleku ini tidak dimiliki oleh zat gizi lain seperti lemak atau karbohidrat Primasoni, 2012. Protein bersumber dari protein hewani dan protein nabati. Protein nabati memiliki asama amino yang tidak selengkap kandungan asam ☎ ✡ ✠ amino pada protein hewani Primasoni, 2012. Sehingga, protein sumber nabati memperlukan kombinasi sumber protein nabati lainnya untuk melengkapi kandungan asam amino yang kurang Primasoni, 2012. Misalkan, mencampurkan tepung gandum dengan kacang – kacangan, dimana tepung gandum kekurangan asam amino lisin tetepi kelebihan asam amino belerang, sebaliknya kacang – kacangan memiliki kelebihan asam amino lisin dan kekurangan asam amino belerang. Oleh karenanya, kombinasi tepung gandung dengan kacang – kacangan akan meperlengkap kandungan asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh Primasoni, 2012. Selain itu, mengingat bahwa stunting merupakan kekurangan asupan nutrisi menahun, makan membutuhkan waktu yang cukup lama juga agar anak tidak mengalami stunting pada masa remajanya. Maka, anak disarankan untuk meningkatkan asupan makanan yang bergizi. Oleh karena itu, peneliti menyarankan bagi ibu untuk meningkatkan makanan ringan yang bergizi. Seperti, kacang hijau dengan ketan hitam dan selai kacang dengan roti. Agar kebutuhan oprotein tubuh tetep dapat terpenuhi.

J. Hubungan Variabel Intervenning Penyakit Infeksi Dengan Variabel Endogen Stunting

Berdasarkan hasil analisis hubungan langsung antara penyakit infeksi dengan stunting memiliki nilai t test 1,97. Hal ini menggambarkan bahwa tidak terdapat hubungan langsung antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting di MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu tahun 2015. ☎ ✡ ☎ Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dekker dkk 2010 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit infeksi pernafasan dan penyakit infeksi diare terhadap kejadian stunting dengan nilai p :0,93 dan p ; 1,01. Artinya anak yang mengalami penyakit pernafasan atau diare belum tentu mengalami stunting dikemudian harinya. Akan tetapi, hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Arifin 2012 yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting p = 0,021 dengan OR = 2,2 artinya anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi akan memiliki risiko 2,2 kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi . Selama tubuh mengalami infeksi, kebutuhan nutrisi akan menjadi 2 kali lipat lebih besar dari yang biasanya. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan asam amino yang meningkat untuk sintesis protein, produksi glutathione dan untuk membangn kembali kekebalan tubuh Briend dkk., 2015. Ketika infeksi yang terkait dengan pola makan buruk atau asupan gizi yang tidak memadai, maka efek ini akan saling memperkuat satu sama lain yang menyebabkan penurunan masaa otot dengan cepat Briend dkk., 2015. Singkatanya, penyesuaian metabolik selama malnutrisi akan menyebabkan penurunan lemak dan massa otot dan akan menjadi lebih penting ketika terkait dengan infeksi. Maka, erunahan komposisi tubuh ini