Pengambilan Plasma Darah Kelinci Orientasi Dosis dan Orientasi Waktu Pengambilan Cuplikan

72 Tabel IX. Nilai faktor kemiripan f 2 Biogesic ® vs generik Pamol ® vs generik Nilai f 2 57,861 33,788 Melihat hasil nilai f 2 tersebut maka dapat disimpulkan jika profil disolusi tablet Biogesic ® memiliki kesamaan dengan profil disolusi tablet parasetamol generik sedangkan profil disolusi tablet Pamol ® tidak memiliki kesamaan dengan profil disolusi dengan tablet parasetamol generik. Selain dengan melihat nilai f 2 , dari kurva gambar 10, nilai rata-rata hasil uji disolusi ± SD dari tablet Biogesic ® dengan tablet parasetamol generik menunjukkan terjadinya overlapping yang telah menunjukkan bahwa nilai tersebut adalah sama.

B. Pengambilan Plasma Darah Kelinci

Pada penelitian ini digunakan kelinci sebagai hewan percobaan. Hal ini dikarenakan kelinci memiliki volume darah yang lebih banyak dan lebih mudah diambil dibandingkan dengan mencit dan tikus. Darah kelinci diambil dari salah satu telinga pada vena marginalis. Pengambilan darah dilakukan pada vena karena darah yang keluar berupa tetesan sehingga mudah ditampung. Penelitian ini menggunakan plasma sebagai cuplikan hayati untuk proses analisis. Plasma dapat diperoleh dengan menambahkan antikoagulan pada darah sehingga protein dalam darah tidak ikut mengendap. Antikoagulan yang digunakan pada penelitian ini adalah heparin. Parasetamol bersifat asam lemah dan mudah terikat pada protein sehingga sebagian besar parasetamol di dalam darah akan terikat pada protein. Plasma dapat diperoleh dengan cara melakukan sentrifugasi pada darah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 yang sudah ditampung dan diberi heparin. Apabila digunakan serum, maka kemungkinan hanya sebagian dari parasetamol yang dapat diperoleh, karena sebagian dari protein darah akan ikut mengendap karena tidak adanya antikoagulan, yang menyebabkan parasetamol yang terikat dengan protein tersebut akan ikut mengendap. Setelah pemusingan tersebut akan diperoleh cairan bening dan endapan sel- sel darah. Untuk memisahkan parasetamol dengan protein pada cairan bening tersebut maka perlu dilakukan proses denaturasi terlebih dahulu. Denaturasi protein ini dilakukan dengan menambahkan asam trikloroasetat TCA. TCA akan merusak struktur tersier dan kuartener protein plasma sehingga ikatan antara parasetamol dan protein plasma tidak terbentuk. Setelah itu dilakukan pemusingan selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm sehingga seluruh protein terendapkan dan parasetamol berada di fase cair fase bening. Kemudian fase cair tersebut dipisahkan untuk dilakukan proses selanjutnya.

C. Validasi Metode Analisis

Metode Chafetz et al. 1971 merupakan metode penetapan kadar parasetamol secara kolorimetri. Metode ini dipilih karena merupakan metode yang selektif untuk penetapan kadar parasetamol dalam plasma. Metode kolorimetri ini dilakukan dengan mengubah parasetamol menjadi senyawa yang berwarna, apabila digunakan metode spektrofotometri ultraviolet, ada kemungkinan komponen- komponen lain dari plasma yang memiliki kromofor dan auksokrom dapat terukur sehingga akan mengganggu penetapan kadar parasetamol. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 Sebelum melakukan penetapan kadar parasetamol maka perlu dilakukan validasi metode analisis terlebih dahulu. Hal ini disebabkan metode Chafetz 1971 merupakan metode penetapan kadar parasetamol di dalam sediaan farmasi. Metode Chafetz 1971 dimodifikasi oleh Glynn dan Kendal 1975 untuk menetapkan kadar parasetamol di dalam plasma. Oleh sebab kondisi penelitian yang berbeda, maka perlu dilakukan terlebih dahulu validasi metode analisis sehingga metode tersebut sahih dan dapat digunakan. Metode ini diawali dengan menambahkan asam klorida 6N yang berlebih dan Natrium nitrit 10. Campuran keduanya akan menghasilkan asam nitrit yang kemudian akan menjadi ion nitrozonium dikarenakan masih terdapat kelebihan asam. HCl HNO 2 H + NaNO 2 NO + HNO 2 H 2 O NaCl + + + + ion nitrozonium Gambar 11. Reaksi antara asam klorida dengan natrium nitrit sehingga membentuk ion nitrozonium Ion Nitrozonium yang terbentuk akan menyebabkan terjadinya reaksi substitusi aromatik elektrofilik pada posisi ortho dari gugus hidroksil parasetamol. Reaksi tersebut terjadi dikarenakan gugus hidroksil pada parasetamol lebih kuat sebagai pengarah ortho dibandingkan gugus asetamida. Hal ini disebabkan adanya elektron bebas yang lebih banyak pada gugus hidroksil. Reaksi antara ion nitrozonium dengan parasetamol akan menghasilkan senyawa 2-nitroso-4- asetamidofenol yang kemudian akan teroksidasi oleh udara menjadi senyawa 2-nitro- 4-asetamidofenol yang memiliki warna kuning. 75 Warna kuning yang terbentuk merupakan hasil dari penambahan panjang gugus kromofor dan gugus auksokrom. Peningkatan panjang gugus kromofor dan gugus auksokrom tersebut akan menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan transisi elektron ke tingkat eksitasi menjadi kecil sehingga panjang gelombang senyawa tersebut akan menjadi panjang. Energi berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Akibatnya, intensitas warna yang terbentuk akan meningkat. OH HN C O CH 3 N O O 2-nitro-4-asetamidofenol berwarna kuning muda OH HN C O CH 3 + NO O parasetamol ion nitrozonium + H = kromofor = auksokrom Gambar 12. Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrozonium membentuk 2-nitro-4 asetamidofenol Proses berikutnya adalah penambahan asam sulfamat H 2 NSO 3 H 15 . Asam sulfamat pada proses ini dimaksudkan untuk menghilangkan asam nitrit berlebihan yang dihasilkan pada reaksi sebelumnya. Asam nitrit yang berlebih tersebut perlu dihilangkan karena dapat mengganggu kestabilan serapan 2-nitro-4- asetamidofenol. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76 HNO 2 HSO 3 NH 2 N 2 H 2 SO 4 H 2 O + + + asam nitrit asam sulfamat Gambar 13. Reaksi antara asam nitrit dengan asam sulfamat Penambahan asam sulfamat ini harus dilakukan secara hati-hati dan perlahan-lahan melewati dinding labu dikarenakan reaksi yang terbentuk bersifat eksotermis melepas panas dan reaksi ini akan menghasilkan gas nitrogen. Tahap berikutnya adalah penambahan natrium hidroksida 10 yang digunakan untuk membentuk suasana basa yang diperlukan untuk menetralkan sisa asam dari reaksi-reaksi sebelumnya dan membentuk ion 2-nitro-4-asetamidofenolat. OH - O HN C O CH 3 N O O H 2 O + + ion 2-nitro-4-asetamidofenolat OH HN C O CH 3 N O O 2-nitro-4-asetamidofenol berwarna kuning muda OH - + H + H 2 O = kromofor = auksokrom Gambar 14. Reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dalam suasana basa menghasilkan ion 2-nitro-4- asetamidofenolat 77 OH N HN C O O + OH O N HN C O O O N HN C O O + H 2 O O CH 3 O CH 3 O CH 3 H + = kromofor = auksokrom berwarna orange Gambar 15. Reaksi menstabilkan diri ion 2-nitro-4-asetamidofenolat Ion 2-nitro-4-asetamodofenolat yang terbentuk tidak stabil sehingga akan menstabilkan diri membentuk senyawa yang akan memberikan kromofor yang lebih panjang dibandingkan ion 2-nitro-4-asetamidofenolat sehingga terjadi pergeseran panjang gelombang menjadi lebih besar lagi dan menyebabkan energi yang diperlukan menjadi lebih kecil. Akibatnya, warna yang terbentuk lebih intensif, dari kuning menjadi orange. Langkah terakhir yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan degassing . Hal ini perlu dilakukan karena larutan yang terbentuk masih memiliki banyak gelembung gas yang perlu dihilangkan. Gelembung tersebut perlu dihilangkan agar diperoleh larutan yang jernih yang memenuhi persyaratan analisis kuantitatif dengan spektrofotometri memenuhi hukum Lambert-Beer. Gelembung dapat mengganggu sinar yang masuk sehingga tidak semua sinar akan diteruskan melainkan dapat dibiaskan dan dipantulkan, akibatnya serapan yang terbaca akan menjadi lebih besar. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 + NO OH HN C O CH 3 OH HN C O CH 3 N H O H OH HN C O CH 3 N O O OH HN C O CH 3 N O O + OH O N HN C O O O N HN C O O O CH 3 O CH 3 + H 2 O Gambar 16. Mekanisme reaksi parasetamol dalam metode Chafetz et al. 1971

1. Penentuan Operating Time OT

Tahap pertama dalam pengukuran kadar parasetamol secara kolorimetri adalah penetapan operating time. Penetapan OT ini diperlukan untuk mengetahui rentang waktu pengukuran dimana senyawa memberikan serapan yang stabil. Hal ini berarti semua parasetamol di dalam larutan telah bereaksi dengan pereaksi pada metode Chafetz et al. 1971. Pada penelitian ini, penetapan OT dilakukan setelah larutan ditambah dengan natrium hidroksida dan proses degassing. Waktu yang dibutuhkan dari penambahan natrium hidroksida dan proses degassing hingga larutan hendak diukur adalah ± 25 menit. Penetapan OT dilakukan selama 60 menit. Hasil dari penelitian ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79 menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 25 menit setelah penambahan natrium hidroksida dan degassing hingga menit ke-85, larutan tersebut memberikan serapan yang stabil. Gambar 17. Pengukuran operating time OT larutan parasetamol dalam plasma kadar 100 μgml Gambar 18. Pengukuran operating time OT larutan parasetamol dalam plasma kadar 400 μgml Penentuan OT ini dilakukan pada 2 seri kadar larutan parasetamol yaitu pada kadar 100 µgml dan 400 µgml. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan secara pasti bahwa parasetamol memiliki OT yang sama untuk kedua kadar yang berbeda, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 dimana kedua kadar tersebut mewakili kadar kecil dan kadar besar.

2. Penentuan panjang gelombang maksimum parasetamol

Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang saat suatu senyawa memberikan serapan yang maksimum. Penentuan panjang gelombang maksimum ini dimaksudkan agar sensitifitas serapan maksimum dan kesalahan pembacaan serapan menjadi minimum. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran panjang gelombang pada panjang gelombang 380-580 nm termasuk dalam daerah panjang gelombang sinar tampak. Penentuan panjang gelombang maksimum ini dilakukan pada kadar 100 µgml dan 400 µgml. Hal ini bertujuan agar hasil yang didapat benar-benar menunjukkan panjang gelombang maksimum dari senyawa tersebut. Gambar 19. Pengukuran panjang gelombang maksimum larutan parasetamol 100 µgml 81 Gambar 20. Pengukuran panjang gelombang maksimum larutan parasetamol 400 µgml Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada spektogram gambar 19 dan 20, dapat disimpulkan bahwa parasetamol dengan metode Chafetz et al. 1971 akan memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 433,0 nm. Menurut metode Chafetz et al. 1971, serapan maksimum parasetamol berada pada panjang gelombang ± 430 nm. Panjang gelombang yang didapat pada penelitian ini tetap dapat digunakan karena menurut Farmakope Indonesia Edisi IV 1995, panjang gelombang pada saat serapan maksimum yang bisa digunakan untuk analisis apabila selisih panjang gelombang antara teori dengan optimasi tidak lebih dari 3 nm. Jadi, panjang gelombang yang digunakan adalah 433,0 nm.

3. Pembuatan kurva baku

Tujuan dari pembuatan kurva baku adalah untuk memperoleh persamaan kurva baku yang digunakan untuk menghitung kadar sampel parasetamol Persamaan kurva baku ini didapat dengan cara mengukur serapan seri kadar larutan baku PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 parasetamol pada panjang gelombang 433,0 nm. Kemudian dilanjutkan dengan membuat persamaan garis regresi antara kadar sebagai variabel bebas dan serapan sebagai variabel tergantung. Hasil pengukuran serapan seri kadar larutan baku parasetamol dan persamaan regresi kurva baku disajikan pada tabel X. Tabel X. Data persamaan kurva baku Seri Kadar µgml Serapan 1 50,1 0,101 2 100,2 0,202 3 150,3 0,344 4 200,4 0,486 5 250,5 0,560 6 300,6 0,669 7 350,7 0,794 8 400,8 0,919 Slope = 0,00231 Intercept = 0,01214 Corr Coeff = 0,9983 Persamaan regresi y = 0,00231x - 0,01214 Dari kurva gambar 21, dapat dilihat bahwa peningkatan kadar parasetamol akan menghasilkan peningkatan absorbansi dan hubungan tersebut bersifat linier. Hal ini ditunjukkan dengan kurva yang terbentuk menyerupai garis lurus dan nilai linieritas r yang mendekati angka 1. Oleh karena itu, persamaan kurva baku tersebut dapat digunakan untuk menghitung kadar parasetamol. Hasil persamaan kurva baku yaitu Y = 0,00231 X – 0,01214 selanjutnya digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83

0.2 0.4

0.6 0.8

1

50.1 100 150 200 251 301 351 401 Kadar µgml

Sera pa n Y = 0,00231x – 0,01214 Gambar 21. Kurva baku parasetamol

4. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik

Setelah ditentukan persamaan kurva baku, dilakukan penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik. Hal ini dilakukan untuk menentukan apakah metode Chafetz et al. 1971 memenuhi persyaratan kesahihan metode analisis. Nilai perolehan kembali recovery merupakan tolok ukur akurasi analisis. Kesalahan sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar, sedangkan kesalahan acak merupakan tolok ukur imprecision suatu analisis. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh tetapan variasi. Suatu metode analisis dikatakan metode yang sahih apabila memiliki nilai perolehan kembali dalam rentang 80-120, kesalahan acak di bawah 10, dan kesalahan sistematik di bawah 10 Mulja dan Suharman, 1995 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84 Tabel XI. Nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak parasetamol di dalam plasma kadar 100 µgml Kadar sediaan µgml Kadar terukur µgml Perolehan kembali Kesalahan sistematik Kesalahan acak 101,2 97,03 95,88 4,12 101,2 97,90 96,74 3,26 101,2 100,49 99,30 0,70 1,83 rata-rata ± SD 98,47 ± 1,80 97,31 ± 1,78 2,69 ± 1,78 Keterangan Memenuhi syarat Memenuhi syarat Memenuhi syarat Tabel XII. Nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak parasetamol di dalam plasma kadar 400 µgml Kadar sediaan µg.ml Kadar terukur µgml Perolehan kembali Kesalahan sistematik Kesalahan acak 404,8 407,42 100,65 0,65 404,8 400,49 98,94 1,06 404,8 406,12 100,33 0,33 0,91 rata-rata ± SD 404,68 ± 3,68 99,97 ± 0,91 0,68 ± 0,37 Keterangan Memenuhi syarat Memenuhi syarat Memenuhi syarat Berdasarkan hasil penelitian seperti yang tercantum di dalam tabel XI dan tabel XII, kadar parasetamol dalam plasma menunjukkan nilai perolehan kembali sebesar 98,47 ± 1,80 untuk kadar 101,2 µgml dan 99,97 ± 0,91 untuk kadar 404,8 µgml. Dengan hasil yang didapat tersebut dapat disimpulkan bahwa metode penetapan kadar parasetamol dalam plasma menurut Chafetz et al. 1971 memenuhi persyaratan dengan nilai perolehan kembali masuk dalam rentang 80-120 . Selain perolehan kembali, didapatkan pula nilai kesalahan sistematik yaitu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 2,69 ± 1,78 untuk parasetamol dalam plasma dengan kadar 101,2 µgml dan 0,68 ± 0,37 untuk parasetamol dalam plasma dengan kadar 404,8 µgml, sedangkan nilai kesalahan acak yang diperoleh untuk parasetamol dalam plasma kadar 101,2 µgml adalah 1,83 dan untuk parasetamol dalam plasma kadar 404,8 µgml adalah 0,91. Hasil tersebut memenuhi persyaratan kesahihan metode analisis dimana kesalahan sistematik dan kesalahan acak diharapkan di bawah 10. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa metode Chafetz et al. 1971 merupakan metode analisis yang sahih sehingga metode tersebut dapat digunakan sebagai metode untuk penelitian ini.

D. Orientasi Dosis dan Orientasi Waktu Pengambilan Cuplikan

Tujuan dari orientasi dosis adalah menentukan dosis yang sesuai untuk digunakan pada penelitian ini. Dosis tersebut harus berada pada jendela terapi, yaitu berada di atas KEM Kadar Efek Minimum dan di bawah KTM Kadar Toksik Minimum. Hal ini bertujuan agar efek yang dihasilkan tidak menyebabkan toksik pada subjek uji sehingga subjek uji dapat digunakan kembali, selain itu, dosis tersebut harus berada di atas KEM sehingga menimbulkan efek terapi dan kadarnya di dalam plasma cukup besar untuk dapat dianalisis dengan metode kolorimetri yang berarti dosis yang digunakan harus memberikan serapan yang memenuhi hukum Lambert- Beer yaitu berada di antara 0,2-0,8. Menurut Katzung 1995, untuk parasetamol, manusia 70 kg memiliki KEM adalah 10-20 µgmL, sedangkan KTM adalah 300 µgmL. Untuk menentukan dosis 86 yang digunakan pada kelinci maka perlu diketahui terlebih dulu LD 50 parasetamol pada kelinci. Menurut The Merck Index 2001 a, LD 50 parasetamol pada mencit adalah 338 mgkg. Nilai tersebut dikonversikan pada kelinci sehingga didapatkan LD 50 pada kelinci sebesar 6264 mgkg. Orientasi dosis ini diawali dengan memberikan dosis rendah yaitu sebesar 5-10 LD 50 kemudian dosis dinaikkan menurut besaran tertentu. Penelitian ini menggunakan dosis awal sebesar 625 mgkg kemudian dinaikkan karena serapan yang didapat belum memenuhi persyaratan metode analisis. Dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 1200 mgkg. Penentuan waktu pengambilan cuplikan juga dilakukan pada tahap ini. Penentuan waktu pengambilan cuplikan ini dapat menggambarkan apa yang terjadi pada tiap fase farmakokinetika. Oleh sebab itu, dianjurkan cuplikan diambil pada 3 titik tahap absorpsi, 3 titik pada tahap distribusi, 3 titik pada area sekitar puncak dan 3 titik pada tahap eliminasi. Selain itu, pengambilan cuplikan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan rentang waktu pada tahap-tahap awal tidak terlalu besar. Penentuan waktu pengambilan cuplikan ini dilakukan dengan mencoba beberapa titik waktu kemudian hasil pengukuran kadarnya dalam darah dianalisis dengan program STRIPE Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai AIC, makin kecil nilai AIC berarti makin kecil kesalahan yang terjadi. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah waktu paruh eliminasi yang menentukan seberapa lama waktu pengambilan cuplikan dilakukan. Langkah awal adalah menentukan terlebih dahulu nilai t½ parasetamol. 87 Menurut Anonim 2005 c, t½ parasetamol berkisar antara 1 hingga 4 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parasetamol memiliki t½ sekitar 1 jam maka lama pengambilan cuplikan, untuk yang menggunakan plasma adalah 3-5 kali t½, maka peneliti mengambil cuplikan selama 3,5 kali t½ yaitu selama 210 menit. Selain itu, juga perlu memperhatikan prosentase nilai AUC t n - ∞ terhadap nilai AUC 0- ∞. Prosentase nilai AUC t n - ∞ terhadap nilai AUC 0-∞ diusahakan berada di bawah angka 10 dan tidak melebihi angka 20. Pada penelitian ini diperoleh hasil lebih dari 10, namun masih di bawah 20. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa waktu pengambilan cuplikan yang optimal adalah pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, dan 210.

E. Perbandingan Bioavailabilitas