6
Tempat Aksi “Reseptor”
terikat bebas Jaringan
terikat bebas
Absorpsi Ekskresi
Sirkulasi sistemik
obat bebas obat terikat
metabolit Biotransformasi
Distribusi
Gambar 2. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh Wilkinson, 2001
1. Absorpsi dan Bioavailabilitas
a. Definisi absorpsi dan bioavailabilitas
Absorpsi menjelaskan mengenai perpindahan obat dari tempat pemberian ke dalam sirkulasi sistemik darah. Tetapi secara klinik, yang lebih penting adalah
bioavailabilitas Wilkinson, 2001. Bioavailabilitas ketersediaan hayati merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang
mencapai tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur dari kadarnya dalam
darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin Anonim, 2004 b. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
disintegrasi Tablet
deagregasi Granul atau
agregat Suspensi partikel
halus di cairan gastrointestinal
Larutan obat dalam cairan
gastrointestinal disolusi
disolusi disolusi
absorpsi Obat dalam darah, cairan
tubuh, dan jaringan Gambar 3. Proses perjalanan absorpsi tablet Proudfoot, 1990
Produk obat umumnya mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses, yang meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat,
pelarutan obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan, dan absorpsi,
kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahap yang paling lambat rate limiting step Shargel, Wu-Pong and Yu, 2005.
b. Mekanisme transpor obat
Setelah molekul obat dalam bentuk larutan maka obat harus berdifusi dari cairan gastrointestinal ke membran kemudian berada dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh Mayersohn, 2002. Membran biologis tersusun dari protein dan lipid sehingga obat-obat yang larut dalam lemak akan lebih mudah melewati
8
membran biologis. Kebanyakan dari obat menembus membran dengan mekanisme yang disebut difusi pasif Proudfoot, 1990. Difusi pasif menunjukkan perpindahan
komponen dari fase aqueous melewati suatu membran dimana membran tersebut bersifat pasif, tenaga penggerak perpindahan tersebut hanya merupakan gradien
konsentrasi komponen Mayersohn, 2002. Mekanisme difusi pasif dapat ditunjukkan secara matematis dengan hukum
Fick :
1
⎟ Δ
=
dt
D ⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎝
⎛ −
→ m
b g
maq m
m b
g dQ
X C
C R
A
b
b g
dt dQ
b
→
= kecepatan obat berada di darah b setelah berdifusi dari cairan saluran cerna g
D = koefisien difusi obat melewati membran
m
A = luas permukaan membran yang tersedia untuk proses difusi obat
m
= koefisien partisi obat antara membran dan cairan aqueous pada saluran cerna
R
maq
-C = gradien konsentrasi antara konsentrasi obat di cairan saluran cerna
C C
g b
g
dengan konsentrasi obat di dalam darah pada tempat absorpsi C
b
ΔX
m
= ketebalan dari membran
Pada kondisi dan obat tertentu maka nilai D
m
, A
m
, R , dan
ΔX
maq m
adalah konstan maka dapat digantikan sebagai koefisien permeabilitas P.
2 C
P −
=
b g
b g
dt dQ
C .
b
→
9
Volume dimana obat terdistribusi dalam darah jauh lebih besar dibandingkan volume cairan saluran cerna dan karena sirkulasi darah melewati
saluran gastrointestinal cepat dan terus menerus membawa obat yang terabsorpsi, maka nilai C C
g b
. Kondisi ini yang disebut kondisi sink Mayersohn, 2002. 3
g b
g dt
dQ
C .
b
→
P ≅
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi dan Bioavailabilitas Obat
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas suatu obat seperti tercantum di bawah ini.
1. Faktor mekanis
Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yaitu : a.
Rute dan metode pemberian Ketika obat diberikan ke dalam tubuh, obat harus dapat menembus
membran hingga dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Contoh rute dan metode pemberian mempengaruhi bioavailabilitas : ada beberapa obat
yang tidak terabsorpsi jika diberikan secara oral, ada obat yang bila diberikan secara oral akan mengalami first-pass effect yang berlebihan
sehingga hanya sebagian kecil dari obat yang dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan akan menghasilkan AUC kecil, sehingga obat perlu
diberikan dengan cara lain Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Dosis dan aturan dosis b.
Dosis dan aturan dosis berkaitan dengan konsentrasi terapeutik yang dapat dicapai suatu obat di dalam plasma, yang berarti berhubungan dengan
C
maks
dan AUC yang dihasilkan mempengaruhi bioavailabilitas obat Shargel et al., 2005.
c. Efek dari bentuk sediaan.
Faktor dari bentuk sediaan yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas yaitu:
1. Faktor fisikakimia bahan dalam obat meliputi sebagai berikut. Faktor yang mempengaruhi kelarutan
Absorpsi obat tergantung seberapa cepat obat larut dalam cairan gastrointestinal, sehingga faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi
obat akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Kecepatan disolusi obat ditentukan dari persamaan Noyes dan Whitney Proudfoot, 1990 :
4
C
D dm
− =
C
s h
A dt
dmdt = kecepatan disolusi partikel obat
D = koefisien difusi larutan obat di cairan gastrointestinal
A = luas permukaan efektif dari partikel obat
h = ketebalan lapisan difusi sekitar partikel obat
C = kelarutan jenuh obat di lapisan difusi
s
C = konsentrasi larutan obat di dalam cairan gastrointestinal
11
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan obat antara lain : a. Bentuk kristal
Polymorphism . Banyak obat dapat berada dalam lebih dari satu
bentuk kristal. Polimorfi bentuk metastable memiliki kelarutan dalam aqueous dan kecepatan disolusi yang lebih besar
dibandingkan polimorfi bentuk stable. Amorphous state. Obat dalam bentuk amorf biasanya lebih mudah
larut dan lebih cepat terdisolusi daripada obat dalam bentuk kristal sehingga akan mempengaruhi bioavailabilitas.
Solvates. Obat bergabung dengan molekul dari pelarut dan
membentuk bentuk kristal yang disebut solvates. Secara umum, semakin banyak solvasi maka semakin rendah kelarutan dan
kecepatan disolusi obat sehingga dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
b. Asam bebas, basa bebas, bentuk garam, nilai pKa Bentuk garam akan lebih cepat larut di larutan aqueous
dibandingkan asam atau basa lemah Wagner, 1975. Jumlah obat asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam larutan di cairan
lambung dan di darah dapat dihitung dengan persamaan Henderson- Hasselbach Proudfoot, 1990 adalah sebagai berikut.
12
[ ]
[ ]
pKa -
pH HA
A log
-
=
untuk obat asam lemah 5
[ ]
[ ]
pH -
pKa B
BH log
=
+
untuk obat basa lemah 6
pH = keasaman media
pKa = keasaman senyawa
-
] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat asam lemah
[A [HA] = fraksi tak terion molekul dari senyawa yang bersifat asam
lemah
+
[BH ] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat basa lemah [B]
= fraksi tak terion molekul dari senyawa yang bersifat basa lemah
c. Kompleksasi, larutan solid, dan eutetics Bioavailabilitas tergantung dengan konsentrasi efektif obat.
Kompleksasi merupakan interaksi fisikakimia yang dapat terjadi antara bahan-bahan di dalam bentuk sediaan atau di dalam cairan
gastrointestinal sehingga akan mempengaruhi konsentrasi efektif obat di dalam cairan gastrointestinal Proudfoot, 1990. Larutan
solid dan eutectics menghasilkan efek bervariasi pada kecepatan disolusi karena dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan obat
Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
d. Surfaktan Surfaktan dapat menghasilkan efek bervariasi pada proses disolusi
dan absorpsi. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga meningkatkan kecepatan disolusi Wagner, 1975.
Faktor yang mempengaruhi transpor obat Faktor utama yang mempengaruhi obat dalam proses absorpsi obat
menembus membran adalah koefisien partisi, banyaknya ionisasi dalam cairan biologis yang ditentukan dari nilai pKa, pH cairan medium obat
terlarut, dan berat molekul atau volume Mayersohn, 2002.
a. Koefisien partisi Membran biologis merupakan lapisan lipid sehingga obat yang larut
dalam lemak lipofil lebih dapat menembus membran. K
ow
adalah rasio kelarutan obat di dalam minyak oil dengan kelarutan obat di
dalam air water. Hal ini berarti obat-obat yang memiliki nilai K
ow
lebih besar akan lebih banyak yang dapat menembus membran biologis dan dapat diabsorpsi. Peningkatan nilai K
ow
akan meningkatkan kecepatan absorpsi Mayersohn, 2002
b. Nilai pKa, pH, keberadaan muatan Kebanyakan molekul obat merupakan asam atau basa lemah yang
14
akan terionisasi pada cairan biologis. Arti pentingnya ionisasi dalam proses absorpsi obat didasarkan pada observasi dimana obat dalam
bentuk non ion memiliki nilai K
ow
lebih besar dibandingkan obat dalam bentuk ion. Hal ini berarti membran bersifat permeabel
terhadap bentuk non ion dari obat asam lemah dan basa lemah Mayersohn, 2002; Proudfoot, 1990.
c. Molal volume, difusivitas Difusivitas berkaitan dengan berat molekular. Bentuk misel akan
berdifusi lebih lambat dari fase aqueous bulk menuju ke lapisan difusi dan berdifusi lebih lambat dalam melewati lapisan difusi
dibandingkan molekul obat monomerik Wagner, 1975.
d. Stagnant water layers aqueous diffusion layer Proses pelarutan obat diawali dengan pelarutan obat pada permukaan
partikel padat yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel yang disebut stagnant water layers Shargel et al., 2005. Obat harus
berdifusi melewati stagnant water layers yang bersifat aqueous, isi cairan gastrointestinal dan lapisan membran, maka hal ini dapat
menjadi rate-limiting step dalam proses absorpsi Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2. Faktor farmasetik dan pembuatan obat Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yang mungkin menyebabkan
adanya perbedaan pada parameter-parameter bioavailabilitas adalah sebagai berikut.
a. Ukuran partikel dan luas permukaan area Peningkatan luas permukaan area obat untuk kontak dengan cairan
gastrointestinal akan meningkatkan kecepatan disolusi. Secara umum, semakin kecil ukuran partikel obat, semakin besar luas
permukaan area dan semakin besar kecepatan disolusi, yang akan meningkatkan bioavailabilitas Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
b. Static electrification dari obat padat Banyak proses farmasetik seperti blending, pencampuran, coating,
dan sebagainya dapat menghasilkan static electrification dari bahan padat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan obat tidak
bercampur. Agregasi dapat menurunkan luas permukaan efektif sehingga dapat menurunkan kecepatan disolusi Wagner, 1975.
c. Jenis bentuk sediaan Jenis bentuk sediaan mempengaruhi langkah-langkah obat dari
pemberian hingga terlarut dalam cairan gastrointestinal. Semakin banyak langkah-langkah dalam perjalanan obat hingga berada dalam
16
bentuk larutan di cairan gastrointestinal, maka makin banyak penghalang absorpsi obat dan akan mempengaruhi bioavailabilitas
obat. Bioavailabilitas obat larutan aqueous suspensi aqueous kapsul tablet tidak bersalut tablet bersalut Proudfoot, 1990.
d. Jenis dan jumlah bahan tambahan eksipien seperti bahan pengisi, bahan pelicin, bahan pengikat, garam netral, garam asam atau garam
basa, dan lain-lain Eksipien dianggap bahan yang inert, yang tidak memiliki pengaruh
terhadap aksi terapeutik dan tidak mengubah aksi biologik dari obat yang terkandung di dalam bentuk sediaan. Namun, disadari bahwa
eksipien dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang terabsorpsi dengan cara membentuk kompleks obat-eksipien yang
tidak larut seperti tetrasiklin dengan dikalsium fosfat. Selain itu, perubahan eksipien dapat mempengaruhi bioavailabilitas Proudfoot,
1990. Diluen yang tidak larut air akan memberikan kecepatan disolusi yang lebih rendah dibandingkan bila digunakan diluen yang
larut air. Kemungkinannya karena kecepatan deagregasi obat menurun dan obat menjadi lebih bersifat hidrofobik. Garam netral
dapat mempengaruhi disolusi karena air dapat lebih mudah masuk sehingga mempercepat hancurnya tablet dan larutnya tablet
Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
e. Ukuran granul dan distribusi ukurannya Dalam proses pembuatan tablet, proses granulasi merupakan proses
pengikatan campuran dan mempengaruhi sifat alir. Setelah granul dibentuk menjadi tablet maka tablet akan mempertahankan
integritasnya. Ukuran granul dan distribusi ukurannya penting karena mempengaruhi hancurnya tablet menjadi granul yang
kemudian hancur menjadi partikel-partikel kecil, sehingga akan mempengaruhi ukuran partikel yang mempengaruhi luas permukaan
dan akan menentukan bioavailabilitas obat Wagner, 1975.
f. Jenis dan jumlah bahan penghancur dan metode mencampurnya Bahan penghancur biasanya merupakan bahan yang akan
mengembang apabila ada air yang kemudian akan menekan tablet untuk hancur. Proses disintegrasi tablet dalam cairan aqueous pada
saluran gastrointestinal merupakan salah satu rate limiting step yang menentukan bioavailabilitas obat Wagner, 1975.
g.Waktu pencampuran Pada proses pencampuran, diperlukan waktu optimum pencampuran
sehingga bahan-bahan tercampur sempurna, namun setelah melewati waktu optimum pencampuran, ada kemungkinan bahan-bahan
18
tersebut tidak tercampur dengan baik sehingga akan mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh Wagner, 1975.
h. Tekanan kompresi Tekanan kompresi menentukan waktu hancur tablet dan kecepatan
disolusi obat dari bentuk tablet Wagner, 1975.
i. Efek matrik Untuk obat-obat yang lepas lambat maka terjadi efek matrik. Ketika
obat diberikan secara oral, maka pada fase aqueous, air akan masuk ke dalam matrik yang terbuat dari polimer sintetik yang tidak
terabsorpsi pada saluran gastrointestinal, kemudian obat akan terlepas dari matrik secara perlahan-lahan Wagner, 1975.
j. Jenis dan jumlah surfaktan Surfaktan yang dimaksud dapat berupa agen pengemulsi, agen
pelarut, pensuspensi, penstabil, atau sebagai wetting agent. Surfaktan dapat meningkatkan, menurunkan atau menunjukkan tidak adanya
efek pada proses transpor obat menembus membran. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antara obat dengan media disolusi
sehingga meningkatkan kecepatan disolusi. Selain itu, surfaktan dapat menghasilkan perubahan biologis yang mungkin dapat
19
mempengaruhi enzim pemetabolisme obat atau ikatan obat dengan reseptor. Surfaktan dapat mengganggu integritas dan fungsi
membran, surfaktan juga dapat mengubah waktu pengosongan lambung Wagner, 1975; Proudfoot, 1990.
k. Bentuk dan geometri Bentuk dan geometri akan mempengaruhi kecepatan disolusi obat.
Hal ini berhubungan dengan luas permukaan area efektif dan bentuk sediaan Wagner, 1975.
l. Kondisi lingkungan selama pembuatan Kelembaban selama pembuatan dapat mempengaruhi potensi dari
bentuk sediaan yang dibuat misalkan aspirin karena kondisi lembab akan terhidrolisis sehingga mempengaruhi bentuk sediaan yang
dibuat Wagner, 1975.
m. Kondisi penyimpanan dan lama penyimpanan Kondisi dan lama penyimpanan akan mempengaruhi stabilitas obat.
Stabilitas akan mempengaruhi waktu hancur dan kecepatan disolusi obat, yang akan mempengaruhi bioavailabilitas Wagner, 1975.
20
2. Faktor Fisiologi
Faktor fisiologik mempengaruhi pelepasan, disolusi obat dari bentuk sediaan, absorpsi pada saluran pencernaan dan dapat mempengaruhi profil
bioavailabilitas obat. Faktor-faktor tersebut yaitu : a.
Motilitas usus dan waktu transit obat dalam usus Usus merupakan tempat utama terjadinya absorpsi obat sehingga semakin
besar kecepatan transit usus maka semakin kecil waktu tinggal obat di dalam usus berarti makin kecil waktu obat kontak dengan tempat absorpsi sehingga
jumlah obat yang terabsorpsi menjadi kecil Proudfoot 1990.
b. Kecepatan pengosongan lambung
Kebanyakan obat diabsorpsi di usus halus sehingga penurunan kecepatan obat dalam bentuk larutan meninggalkan lambung, akan menurunkan kecepatan
absorpsi obat dan menunda onset efek terapeutik dari obat. Selain itu, ada obat-obat yang akan mengalami degradasi akibat pH lambung dan aktivitas
enzim dalam cairan lambung jika terjadi penundaan pengosongan dalam lambung sehingga akan menurunkan konsentrasi efektif obat dan
mempengaruhi bioavailabilitas. Salah satu faktor yang meningkatkan kecepatan pengosongan lambung adalah rasa lapar Proudfoot, 1990.
c. Tempat absorpsi dan area permukaan yang efektif untuk absorpsi obat
Usus halus memiliki luas permukaan yang terbesar yang disebabkan adanya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
villi dan mikrovilli pada usus halus sehingga kebanyakan obat akan terabsorpsi maksimum di dalam usus halus yang berarti akan menghasilkan
kecepatan dan jumlah obat terabsorpsi yang maksimum menentukan bioavailabilitas. Glycocalyx merupakan lapisan pada mikrovilli. Absorpsi
obat dari lumen usus halus untuk mencapai pembuluh darah harus melewati beberapa barrier. Larutan obat untuk mencapai mikrovilli harus berdifusi
menembus unstirred layer, lapisan mukus dan glycocalyx Proudfoot, 1990.
d. Nilai pH cairan gastrointestinal, konsentrasi elektrolit
Keasaman pH cairan di saluran gastrointestinal bervariasi, pH cairan lambung antara 1-3,5; pH cairan usus halus antara 5-8 pH 5-6 di duodenum
dan sekitar pH 8 di ileum, pH cairan usus besar sekitar 8. Nilai pH cairan gastrointestinal akan mempengaruhi absorpsi obat. Nilai pH cairan
gastrointestinal dapat menentukan absorpsi dalam berbagai cara karena kebanyakan obat merupakan asam lemah atau basa lemah, kelarutan
komponen-komponen tersebut dalam air dipengaruhi pH, dan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan terutama tablet dan kapsul juga dipengaruhi pH.
Bagian obat yang terionisasi lebih larut dalam air daripada bagian obat yang tak terionisasi Mayersohn, 2002; Shargel et al., 2005.
e. Stabilitas obat pada saluran gastrointestinal
Pada saluran cerna, obat tidak hanya mengalami proses absorpsi, obat dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
mengalami degradasi dan mengalami metabolisme di saluran gastrointestinal, akibatnya fraksi obat yang terabsorpsi menjadi lebih kecil sehingga
menurunkan bioavailabilitas obat Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
f. Metabolisme hepatik
Hati merupakan tempat utama terjadinya metabolisme. First-pass effect merupakan fenomena dimana sebagian obat sebelum mencapai sirkulasi
sistemik mengalami metabolisme di hati sehingga akan menurunkan jumlah obat yang terabsorpsi yang berarti menurunkan bioavailabilitas Proudfoot,
1990
g. Keberadaan makanan di saluran pencernaan
Mekanisme makanan dalam mempengaruhi bioavailabilitas obat yaitu dengan mengubah kecepatan pengosongan lambung, menyebabkan terjadinya
stimulasi sekresi gastrointestinal, kompetisi antara komponen makanan dan obat, kompleksasi obat dengan komponen dalam makanan, meningkatkan
viskositas dari isi gastrointestinal, dan dapat mengubah aliran darah ke hati Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
h. Faktor-faktor lain : kecepatan aliran darah, agen pengemulsi dan
pengkompleks, tegangan permukaan dan tegangan interfasial, gross anatomical body position,
suhu, integritas membran saluran pencernaan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas buffer, dan tonisitas Wagner, 1975.
2. Distribusi