4
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
Berkaitan dengan penelitian yang berjudul “Perbandingan Bioavailabilitas Antara Tablet Biogesic
® ®
dan Tablet Pamol dengan Tablet Parasetamol Generik pada Kelinci Putih Jantan”, maka dilakukan studi pustaka yang akan mendukung analisis
profil bioavailabilitas yang dihasilkan dari penelitian ini. Studi pustaka yang dilakukan meliputi penjelasan mengenai nasib obat di dalam tubuh, fase
farmakokinetika, bioekivalensi, dasar-dasar farmakokinetika, desain cross over, parasetamol, darah, dan kolorimetri.
A. Nasib Obat di Dalam Tubuh
Proses yang terjadi pada selang antara pemberian obat hingga timbul efek dibagi menjadi 3 fase yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetika, dan fase
farmakodinamika. Fase farmasetik meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat. Fase farmakokinetika termasuk proses-proses yang
berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme absorpsi, distribusi, yang disebut juga proses invasi dan proses eliminasi yaitu proses-proses
yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat biotransformasi, ekskresi. Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga proses-proses yang
terlibat di mana akhir dari efek farmakologi terjadi Mutschler, 1991. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Disintegrasi dari bentuk sediaan
Disolusi Obat
EFEK
pemberian
Fase farmasetik
Obat tersedia untuk diabsorpsi
availabilitas farmasetik
Obat tersedia untuk aksi
availabilitas farmakologis Fase farmakokinetika
Fase farmakodinamika
Dosis formulasi obat
Absorpsi, distribusi, metabolisme,
ekskresi
Interaksi obat-reseptor
Gambar 1. Proses obat dalam tubuh hingga menimbulkan efek Bowman and Rand, 1990
B. Fase Farmakokinetika
Untuk obat-obat yang diberikan secara ekstravaskuler diperlukan suatu proses absorpsi. Tempat aksi obat biasanya bukan di dalam darah sehingga obat yang
berada dalam sirkulasi sistemik harus menembus jaringan untuk dapat memberi efek. Perpindahan obat ini disebut proses distribusi. Eliminasi adalah proses pengeluaran
obat, baik bentuk utuh maupun metabolitnya dari dalam tubuh, dapat melalui ginjal dan empedu Clark and Smith, 1993.
6
Tempat Aksi “Reseptor”
terikat bebas Jaringan
terikat bebas
Absorpsi Ekskresi
Sirkulasi sistemik
obat bebas obat terikat
metabolit Biotransformasi
Distribusi
Gambar 2. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh Wilkinson, 2001
1. Absorpsi dan Bioavailabilitas
a. Definisi absorpsi dan bioavailabilitas
Absorpsi menjelaskan mengenai perpindahan obat dari tempat pemberian ke dalam sirkulasi sistemik darah. Tetapi secara klinik, yang lebih penting adalah
bioavailabilitas Wilkinson, 2001. Bioavailabilitas ketersediaan hayati merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang
mencapai tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur dari kadarnya dalam
darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin Anonim, 2004 b. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
disintegrasi Tablet
deagregasi Granul atau
agregat Suspensi partikel
halus di cairan gastrointestinal
Larutan obat dalam cairan
gastrointestinal disolusi
disolusi disolusi
absorpsi Obat dalam darah, cairan
tubuh, dan jaringan Gambar 3. Proses perjalanan absorpsi tablet Proudfoot, 1990
Produk obat umumnya mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses, yang meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat,
pelarutan obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan, dan absorpsi,
kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahap yang paling lambat rate limiting step Shargel, Wu-Pong and Yu, 2005.
b. Mekanisme transpor obat
Setelah molekul obat dalam bentuk larutan maka obat harus berdifusi dari cairan gastrointestinal ke membran kemudian berada dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh Mayersohn, 2002. Membran biologis tersusun dari protein dan lipid sehingga obat-obat yang larut dalam lemak akan lebih mudah melewati
8
membran biologis. Kebanyakan dari obat menembus membran dengan mekanisme yang disebut difusi pasif Proudfoot, 1990. Difusi pasif menunjukkan perpindahan
komponen dari fase aqueous melewati suatu membran dimana membran tersebut bersifat pasif, tenaga penggerak perpindahan tersebut hanya merupakan gradien
konsentrasi komponen Mayersohn, 2002. Mekanisme difusi pasif dapat ditunjukkan secara matematis dengan hukum
Fick :
1
⎟ Δ
=
dt
D ⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎝
⎛ −
→ m
b g
maq m
m b
g dQ
X C
C R
A
b
b g
dt dQ
b
→
= kecepatan obat berada di darah b setelah berdifusi dari cairan saluran cerna g
D = koefisien difusi obat melewati membran
m
A = luas permukaan membran yang tersedia untuk proses difusi obat
m
= koefisien partisi obat antara membran dan cairan aqueous pada saluran cerna
R
maq
-C = gradien konsentrasi antara konsentrasi obat di cairan saluran cerna
C C
g b
g
dengan konsentrasi obat di dalam darah pada tempat absorpsi C
b
ΔX
m
= ketebalan dari membran
Pada kondisi dan obat tertentu maka nilai D
m
, A
m
, R , dan
ΔX
maq m
adalah konstan maka dapat digantikan sebagai koefisien permeabilitas P.
2 C
P −
=
b g
b g
dt dQ
C .
b
→
9
Volume dimana obat terdistribusi dalam darah jauh lebih besar dibandingkan volume cairan saluran cerna dan karena sirkulasi darah melewati
saluran gastrointestinal cepat dan terus menerus membawa obat yang terabsorpsi, maka nilai C C
g b
. Kondisi ini yang disebut kondisi sink Mayersohn, 2002. 3
g b
g dt
dQ
C .
b
→
P ≅
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi dan Bioavailabilitas Obat
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas suatu obat seperti tercantum di bawah ini.
1. Faktor mekanis
Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yaitu : a.
Rute dan metode pemberian Ketika obat diberikan ke dalam tubuh, obat harus dapat menembus
membran hingga dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Contoh rute dan metode pemberian mempengaruhi bioavailabilitas : ada beberapa obat
yang tidak terabsorpsi jika diberikan secara oral, ada obat yang bila diberikan secara oral akan mengalami first-pass effect yang berlebihan
sehingga hanya sebagian kecil dari obat yang dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan akan menghasilkan AUC kecil, sehingga obat perlu
diberikan dengan cara lain Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Dosis dan aturan dosis b.
Dosis dan aturan dosis berkaitan dengan konsentrasi terapeutik yang dapat dicapai suatu obat di dalam plasma, yang berarti berhubungan dengan
C
maks
dan AUC yang dihasilkan mempengaruhi bioavailabilitas obat Shargel et al., 2005.
c. Efek dari bentuk sediaan.
Faktor dari bentuk sediaan yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas yaitu:
1. Faktor fisikakimia bahan dalam obat meliputi sebagai berikut. Faktor yang mempengaruhi kelarutan
Absorpsi obat tergantung seberapa cepat obat larut dalam cairan gastrointestinal, sehingga faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi
obat akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Kecepatan disolusi obat ditentukan dari persamaan Noyes dan Whitney Proudfoot, 1990 :
4
C
D dm
− =
C
s h
A dt
dmdt = kecepatan disolusi partikel obat
D = koefisien difusi larutan obat di cairan gastrointestinal
A = luas permukaan efektif dari partikel obat
h = ketebalan lapisan difusi sekitar partikel obat
C = kelarutan jenuh obat di lapisan difusi
s
C = konsentrasi larutan obat di dalam cairan gastrointestinal
11
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan obat antara lain : a. Bentuk kristal
Polymorphism . Banyak obat dapat berada dalam lebih dari satu
bentuk kristal. Polimorfi bentuk metastable memiliki kelarutan dalam aqueous dan kecepatan disolusi yang lebih besar
dibandingkan polimorfi bentuk stable. Amorphous state. Obat dalam bentuk amorf biasanya lebih mudah
larut dan lebih cepat terdisolusi daripada obat dalam bentuk kristal sehingga akan mempengaruhi bioavailabilitas.
Solvates. Obat bergabung dengan molekul dari pelarut dan
membentuk bentuk kristal yang disebut solvates. Secara umum, semakin banyak solvasi maka semakin rendah kelarutan dan
kecepatan disolusi obat sehingga dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
b. Asam bebas, basa bebas, bentuk garam, nilai pKa Bentuk garam akan lebih cepat larut di larutan aqueous
dibandingkan asam atau basa lemah Wagner, 1975. Jumlah obat asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam larutan di cairan
lambung dan di darah dapat dihitung dengan persamaan Henderson- Hasselbach Proudfoot, 1990 adalah sebagai berikut.
12
[ ]
[ ]
pKa -
pH HA
A log
-
=
untuk obat asam lemah 5
[ ]
[ ]
pH -
pKa B
BH log
=
+
untuk obat basa lemah 6
pH = keasaman media
pKa = keasaman senyawa
-
] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat asam lemah
[A [HA] = fraksi tak terion molekul dari senyawa yang bersifat asam
lemah
+
[BH ] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat basa lemah [B]
= fraksi tak terion molekul dari senyawa yang bersifat basa lemah
c. Kompleksasi, larutan solid, dan eutetics Bioavailabilitas tergantung dengan konsentrasi efektif obat.
Kompleksasi merupakan interaksi fisikakimia yang dapat terjadi antara bahan-bahan di dalam bentuk sediaan atau di dalam cairan
gastrointestinal sehingga akan mempengaruhi konsentrasi efektif obat di dalam cairan gastrointestinal Proudfoot, 1990. Larutan
solid dan eutectics menghasilkan efek bervariasi pada kecepatan disolusi karena dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan obat
Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
d. Surfaktan Surfaktan dapat menghasilkan efek bervariasi pada proses disolusi
dan absorpsi. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga meningkatkan kecepatan disolusi Wagner, 1975.
Faktor yang mempengaruhi transpor obat Faktor utama yang mempengaruhi obat dalam proses absorpsi obat
menembus membran adalah koefisien partisi, banyaknya ionisasi dalam cairan biologis yang ditentukan dari nilai pKa, pH cairan medium obat
terlarut, dan berat molekul atau volume Mayersohn, 2002.
a. Koefisien partisi Membran biologis merupakan lapisan lipid sehingga obat yang larut
dalam lemak lipofil lebih dapat menembus membran. K
ow
adalah rasio kelarutan obat di dalam minyak oil dengan kelarutan obat di
dalam air water. Hal ini berarti obat-obat yang memiliki nilai K
ow
lebih besar akan lebih banyak yang dapat menembus membran biologis dan dapat diabsorpsi. Peningkatan nilai K
ow
akan meningkatkan kecepatan absorpsi Mayersohn, 2002
b. Nilai pKa, pH, keberadaan muatan Kebanyakan molekul obat merupakan asam atau basa lemah yang
14
akan terionisasi pada cairan biologis. Arti pentingnya ionisasi dalam proses absorpsi obat didasarkan pada observasi dimana obat dalam
bentuk non ion memiliki nilai K
ow
lebih besar dibandingkan obat dalam bentuk ion. Hal ini berarti membran bersifat permeabel
terhadap bentuk non ion dari obat asam lemah dan basa lemah Mayersohn, 2002; Proudfoot, 1990.
c. Molal volume, difusivitas Difusivitas berkaitan dengan berat molekular. Bentuk misel akan
berdifusi lebih lambat dari fase aqueous bulk menuju ke lapisan difusi dan berdifusi lebih lambat dalam melewati lapisan difusi
dibandingkan molekul obat monomerik Wagner, 1975.
d. Stagnant water layers aqueous diffusion layer Proses pelarutan obat diawali dengan pelarutan obat pada permukaan
partikel padat yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel yang disebut stagnant water layers Shargel et al., 2005. Obat harus
berdifusi melewati stagnant water layers yang bersifat aqueous, isi cairan gastrointestinal dan lapisan membran, maka hal ini dapat
menjadi rate-limiting step dalam proses absorpsi Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2. Faktor farmasetik dan pembuatan obat Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yang mungkin menyebabkan
adanya perbedaan pada parameter-parameter bioavailabilitas adalah sebagai berikut.
a. Ukuran partikel dan luas permukaan area Peningkatan luas permukaan area obat untuk kontak dengan cairan
gastrointestinal akan meningkatkan kecepatan disolusi. Secara umum, semakin kecil ukuran partikel obat, semakin besar luas
permukaan area dan semakin besar kecepatan disolusi, yang akan meningkatkan bioavailabilitas Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
b. Static electrification dari obat padat Banyak proses farmasetik seperti blending, pencampuran, coating,
dan sebagainya dapat menghasilkan static electrification dari bahan padat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan obat tidak
bercampur. Agregasi dapat menurunkan luas permukaan efektif sehingga dapat menurunkan kecepatan disolusi Wagner, 1975.
c. Jenis bentuk sediaan Jenis bentuk sediaan mempengaruhi langkah-langkah obat dari
pemberian hingga terlarut dalam cairan gastrointestinal. Semakin banyak langkah-langkah dalam perjalanan obat hingga berada dalam
16
bentuk larutan di cairan gastrointestinal, maka makin banyak penghalang absorpsi obat dan akan mempengaruhi bioavailabilitas
obat. Bioavailabilitas obat larutan aqueous suspensi aqueous kapsul tablet tidak bersalut tablet bersalut Proudfoot, 1990.
d. Jenis dan jumlah bahan tambahan eksipien seperti bahan pengisi, bahan pelicin, bahan pengikat, garam netral, garam asam atau garam
basa, dan lain-lain Eksipien dianggap bahan yang inert, yang tidak memiliki pengaruh
terhadap aksi terapeutik dan tidak mengubah aksi biologik dari obat yang terkandung di dalam bentuk sediaan. Namun, disadari bahwa
eksipien dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang terabsorpsi dengan cara membentuk kompleks obat-eksipien yang
tidak larut seperti tetrasiklin dengan dikalsium fosfat. Selain itu, perubahan eksipien dapat mempengaruhi bioavailabilitas Proudfoot,
1990. Diluen yang tidak larut air akan memberikan kecepatan disolusi yang lebih rendah dibandingkan bila digunakan diluen yang
larut air. Kemungkinannya karena kecepatan deagregasi obat menurun dan obat menjadi lebih bersifat hidrofobik. Garam netral
dapat mempengaruhi disolusi karena air dapat lebih mudah masuk sehingga mempercepat hancurnya tablet dan larutnya tablet
Wagner, 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
e. Ukuran granul dan distribusi ukurannya Dalam proses pembuatan tablet, proses granulasi merupakan proses
pengikatan campuran dan mempengaruhi sifat alir. Setelah granul dibentuk menjadi tablet maka tablet akan mempertahankan
integritasnya. Ukuran granul dan distribusi ukurannya penting karena mempengaruhi hancurnya tablet menjadi granul yang
kemudian hancur menjadi partikel-partikel kecil, sehingga akan mempengaruhi ukuran partikel yang mempengaruhi luas permukaan
dan akan menentukan bioavailabilitas obat Wagner, 1975.
f. Jenis dan jumlah bahan penghancur dan metode mencampurnya Bahan penghancur biasanya merupakan bahan yang akan
mengembang apabila ada air yang kemudian akan menekan tablet untuk hancur. Proses disintegrasi tablet dalam cairan aqueous pada
saluran gastrointestinal merupakan salah satu rate limiting step yang menentukan bioavailabilitas obat Wagner, 1975.
g.Waktu pencampuran Pada proses pencampuran, diperlukan waktu optimum pencampuran
sehingga bahan-bahan tercampur sempurna, namun setelah melewati waktu optimum pencampuran, ada kemungkinan bahan-bahan
18
tersebut tidak tercampur dengan baik sehingga akan mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh Wagner, 1975.
h. Tekanan kompresi Tekanan kompresi menentukan waktu hancur tablet dan kecepatan
disolusi obat dari bentuk tablet Wagner, 1975.
i. Efek matrik Untuk obat-obat yang lepas lambat maka terjadi efek matrik. Ketika
obat diberikan secara oral, maka pada fase aqueous, air akan masuk ke dalam matrik yang terbuat dari polimer sintetik yang tidak
terabsorpsi pada saluran gastrointestinal, kemudian obat akan terlepas dari matrik secara perlahan-lahan Wagner, 1975.
j. Jenis dan jumlah surfaktan Surfaktan yang dimaksud dapat berupa agen pengemulsi, agen
pelarut, pensuspensi, penstabil, atau sebagai wetting agent. Surfaktan dapat meningkatkan, menurunkan atau menunjukkan tidak adanya
efek pada proses transpor obat menembus membran. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antara obat dengan media disolusi
sehingga meningkatkan kecepatan disolusi. Selain itu, surfaktan dapat menghasilkan perubahan biologis yang mungkin dapat
19
mempengaruhi enzim pemetabolisme obat atau ikatan obat dengan reseptor. Surfaktan dapat mengganggu integritas dan fungsi
membran, surfaktan juga dapat mengubah waktu pengosongan lambung Wagner, 1975; Proudfoot, 1990.
k. Bentuk dan geometri Bentuk dan geometri akan mempengaruhi kecepatan disolusi obat.
Hal ini berhubungan dengan luas permukaan area efektif dan bentuk sediaan Wagner, 1975.
l. Kondisi lingkungan selama pembuatan Kelembaban selama pembuatan dapat mempengaruhi potensi dari
bentuk sediaan yang dibuat misalkan aspirin karena kondisi lembab akan terhidrolisis sehingga mempengaruhi bentuk sediaan yang
dibuat Wagner, 1975.
m. Kondisi penyimpanan dan lama penyimpanan Kondisi dan lama penyimpanan akan mempengaruhi stabilitas obat.
Stabilitas akan mempengaruhi waktu hancur dan kecepatan disolusi obat, yang akan mempengaruhi bioavailabilitas Wagner, 1975.
20
2. Faktor Fisiologi
Faktor fisiologik mempengaruhi pelepasan, disolusi obat dari bentuk sediaan, absorpsi pada saluran pencernaan dan dapat mempengaruhi profil
bioavailabilitas obat. Faktor-faktor tersebut yaitu : a.
Motilitas usus dan waktu transit obat dalam usus Usus merupakan tempat utama terjadinya absorpsi obat sehingga semakin
besar kecepatan transit usus maka semakin kecil waktu tinggal obat di dalam usus berarti makin kecil waktu obat kontak dengan tempat absorpsi sehingga
jumlah obat yang terabsorpsi menjadi kecil Proudfoot 1990.
b. Kecepatan pengosongan lambung
Kebanyakan obat diabsorpsi di usus halus sehingga penurunan kecepatan obat dalam bentuk larutan meninggalkan lambung, akan menurunkan kecepatan
absorpsi obat dan menunda onset efek terapeutik dari obat. Selain itu, ada obat-obat yang akan mengalami degradasi akibat pH lambung dan aktivitas
enzim dalam cairan lambung jika terjadi penundaan pengosongan dalam lambung sehingga akan menurunkan konsentrasi efektif obat dan
mempengaruhi bioavailabilitas. Salah satu faktor yang meningkatkan kecepatan pengosongan lambung adalah rasa lapar Proudfoot, 1990.
c. Tempat absorpsi dan area permukaan yang efektif untuk absorpsi obat
Usus halus memiliki luas permukaan yang terbesar yang disebabkan adanya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
villi dan mikrovilli pada usus halus sehingga kebanyakan obat akan terabsorpsi maksimum di dalam usus halus yang berarti akan menghasilkan
kecepatan dan jumlah obat terabsorpsi yang maksimum menentukan bioavailabilitas. Glycocalyx merupakan lapisan pada mikrovilli. Absorpsi
obat dari lumen usus halus untuk mencapai pembuluh darah harus melewati beberapa barrier. Larutan obat untuk mencapai mikrovilli harus berdifusi
menembus unstirred layer, lapisan mukus dan glycocalyx Proudfoot, 1990.
d. Nilai pH cairan gastrointestinal, konsentrasi elektrolit
Keasaman pH cairan di saluran gastrointestinal bervariasi, pH cairan lambung antara 1-3,5; pH cairan usus halus antara 5-8 pH 5-6 di duodenum
dan sekitar pH 8 di ileum, pH cairan usus besar sekitar 8. Nilai pH cairan gastrointestinal akan mempengaruhi absorpsi obat. Nilai pH cairan
gastrointestinal dapat menentukan absorpsi dalam berbagai cara karena kebanyakan obat merupakan asam lemah atau basa lemah, kelarutan
komponen-komponen tersebut dalam air dipengaruhi pH, dan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan terutama tablet dan kapsul juga dipengaruhi pH.
Bagian obat yang terionisasi lebih larut dalam air daripada bagian obat yang tak terionisasi Mayersohn, 2002; Shargel et al., 2005.
e. Stabilitas obat pada saluran gastrointestinal
Pada saluran cerna, obat tidak hanya mengalami proses absorpsi, obat dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
mengalami degradasi dan mengalami metabolisme di saluran gastrointestinal, akibatnya fraksi obat yang terabsorpsi menjadi lebih kecil sehingga
menurunkan bioavailabilitas obat Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
f. Metabolisme hepatik
Hati merupakan tempat utama terjadinya metabolisme. First-pass effect merupakan fenomena dimana sebagian obat sebelum mencapai sirkulasi
sistemik mengalami metabolisme di hati sehingga akan menurunkan jumlah obat yang terabsorpsi yang berarti menurunkan bioavailabilitas Proudfoot,
1990
g. Keberadaan makanan di saluran pencernaan
Mekanisme makanan dalam mempengaruhi bioavailabilitas obat yaitu dengan mengubah kecepatan pengosongan lambung, menyebabkan terjadinya
stimulasi sekresi gastrointestinal, kompetisi antara komponen makanan dan obat, kompleksasi obat dengan komponen dalam makanan, meningkatkan
viskositas dari isi gastrointestinal, dan dapat mengubah aliran darah ke hati Proudfoot, 1990; Wagner, 1975.
h. Faktor-faktor lain : kecepatan aliran darah, agen pengemulsi dan
pengkompleks, tegangan permukaan dan tegangan interfasial, gross anatomical body position,
suhu, integritas membran saluran pencernaan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas buffer, dan tonisitas Wagner, 1975.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah Setiawati, Zulnida, Suyatna, 2002. Distribusi merupakan proses perpindahan
obat dari sirkulasi sistemik menuju ke jaringan dan organ tubuh serta ke cairan tubuh lainnya seperti cairan interstitial dan cairan intercellular Wilkinson, 2001.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama berjalan dengan cepat yaitu ke organ-organ yang
perfusinya cepat seperti hati, ginjal, dan otak. Distribusi fase kedua memerlukan waktu lebih lama sebelum mencapai keseimbangan konsentrasi obat di jaringan
dengan yang di dalam darah, yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak secepat organ di atas seperti otot, visera, kulit, dan jaringan lemak Setiawati dkk., 2002;
Wilkinson, 2001.
3. Biotransformasi atau metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu,
pada umumnya obat menjadi inaktif sehingga biotransformasi sangat berperan dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
mengakhiri kerja obat Setiawati dkk., 2002. Biotransformasi terjadi pada hati, saluran cerna, ginjal, dan paru-paru Wilkinson, 2001.
Reaksi biotransformasi obat dapat dibedakan menjadi 2 fase. Reaksi fase I adalah reaksi fungsional yang mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar,
meliputi reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis Setiawati dkk., 2002. Reaksi fase II merupakan reaksi biosintetik konjugasi. Reaksi ini merupakan reaksi konjugasi obat
atau metabolit hasil reaksi fase pertama dengan menggunakan substrat endogen seperti asam glukuronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat. Konjugat yang
dihasilkan akan bersifat polar, inaktif dan dengan cepat dapat diekskresi melalui urin dan feses Setiawati dkk., 2002; Wilkinson, 2001.
4. Ekskresi
Ekskresi merupakan peristiwa pengeluaran obat dan atau metabolitnya dari dalam tubuh. Ginjal merupakan organ terpenting untuk mengekskresi obat dan
metabolitnya. Obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih
cepat daripada obat larut lemak Setiawati dkk., 2002. Ekskresi di sini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di
glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Selain melalui ginjal, ekskresi dapat terjadi pada paru-paru, hati, kelenjar
ludah, dan kelenjar susu, keringat, air mata, dan rambut Setiawati., 2002; Wilkinson, 2001.
25
C. Bioekivalensi
1. Definisi
Ekivalensi dapat didefinisikan antara lain : a.
Ekivalensi kimia menunjukkan dua atau lebih sediaan obat mengandung jumlah yang sama yang tertera pada label kurang lebih pada rentang
tertentu Malinowski, 2000. b.
Ekivalensi klinik terjadi ketika obat yang sama dari dua atau lebih sediaan obat menunjukkan efek in vivo yang identik yang terukur dari respon
farmakologik atau dari kontrol gejala atau penyakit Malinowski, 2000. c.
Ekivalensi terapeutik menyatakan bahwa dua merek produk obat diharapkan akan menghasilkan hasil klinik yang sama Malinowski, 2000. Dua produk
obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian
dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian, ekivalensi inekivalensi
terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik Anonim, 2004 b. Ekivalensi farmasetik
d. ditujukan pada dua produk dengan kesamaan bentuk
sediaan, zat aktif dan jumlah zat aktif Malinowski, 2000; Anonim 2004 b. e.
Alternatif farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia garam, ester, dsb. atau bentuk sediaan atau
kekuatan Anonim, 2004 b; Chereson, 1999. f.
Bioekivalensi menunjukkan bahwa obat dalam dua atau lebih bentuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
sediaan yang sama mencapai sirkulasi sistemik dengan kecepatan dan jumlah yang sama atau bisa disebut memiliki bioavailabilitas yang sama.
Bioekivalensi ditunjukkan jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis
molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan
Malinowski, 2000; Anonim, 2004 b.
2. Studi Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh
Food and Drug Administration FDA untuk dipasarkan. FDA dalam menyetujui
suatu produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan serta harus memenuhi seluruh standar
yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian Shargel et al., 2005.
Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi bioavailabilitas farmakokinetika dan bila perlu persyaratan
bioekivalensi untuk semua produk Shargel et al., 2005. Dalam tahun-tahun terakhir ini, studi bioavailabilitas dan bioekivalensi dilakukan untuk menurunkan biaya
kesehatan dengan cara meningkatkan pemakaian obat generik. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kepastian bahwa produk generik bioekivalen terhadap produk
27
dagang Chereson, 1999. Bioavailabilitas dari produk obat sering menentukan efikasi terapeutik dari
obat tersebut karena hal ini mempengaruhi onset, intensitas, dan durasi dari respon terapeutik obat tersebut Chereson, 1999. Pada studi bioekivalensi, dibutuhkan suatu
formulasi obat sebagai standar pembanding yang hendaknya mengandung obat aktif terapeutik dalam formulasi yang paling banyak berada dalam sistemik yakni larutan
atau suspensi, dalam jumlah sama, dan hendaknya diberikan dengan rute sama seperti formulasi yang dibandingkan Shargel et al., 2005.
Bioekivalensi dapat dilakukan menggunakan uji in vitro jika uji in vitro memiliki korelasi yang baik dengan data bioavailabilitas secara in vivo. Selain itu, uji
bioekivalensi dapat dilakukan melalui studi farmakodinamika melalui uji perbandingan klinis Malinowski, 2000.
3. Korelasi in vitro dan in vivo
Korelasi in vitro dan in vivo yang dimaksud adalah hubungan antara karakteristik biologi obat efek farmakodinamika atau konsentrasi obat dalam plasma
dan karakteristik fisika kimia produk obat Shargel et al., 2005. Korelasi in vitro dan in vivo
ini penting untuk diketahui agar dalam menentukan bioavailablitas suatu obat cukup dengan uji in vitro saja, tidak perlu dengan uji in vivo. Selama ini, uji
bioavailabilitas secara in vivo memerlukan waktu yang lama, biaya yang relatif tinggi, serta terdapat beberapa masalah dalam pemberian obat kepada subjek uji sehatpasien
Chereson, 1999. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Parameter uji in vitro yang paling dekat hubungannya dengan bioavailabilitas adalah kecepatan disolusi. Obat yang masuk ke dalam tubuh dapat
diabsorpsi jika sudah dalam bentuk larutan sehingga kecepatan obat untuk larut dari bentuk sediaannya laju disolusi akan menentukan kecepatan dan atau jumlah obat
yang terabsorpsi Chereson, 1999.
D. Dasar-dasar Farmakokinetika
1. Definisi
Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi terdiri dari metabolisme dan ekskresi dari obat. Studi farmakokinetika
meliputi pendekatan eksperimental dan teoritis. Aspek eksperimental dari farmakokinetika meliputi perkembangan teknik pengambilan sampel biologis, metode
analisis obat dan metabolitnya, dan prosedur pengolahan data. Aspek teoritis dari farmakokinetika meliputi perkembangan model farmakokinetika yang digunakan
untuk memprediksikan proses disposisi yang terjadi setelah pemberian obat. Aplikasi dari metode statistik termasuk dalam studi farmakokinetika yaitu untuk penetapan
parameter farmakokinetika dan interpretasi data Shargel, Wu-Pong, B. C. Yu, 2005.
2. Model Farmakokinetika
Model farmakokinetika adalah struktur hipotesis yang digunakan untuk menggambarkan kecepatan dari proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat
sehingga dapat diperkirakan konsentrasi obat dalam tubuh sebagai fungsi waktu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Model farmakokinetika digunakan untuk menginterpretasikan data-data farmakokinetika Shargel et al., 2005.
Kompartemen dianggap sebagai sebuah jaringan atau kumpulan jaringan yang memiliki kesamaan aliran darah dan afinitas terhadap obat. Di setiap
kompartemen, obat dianggap terdistribusi secara seragam. Model ini merupakan suatu sistem terbuka apabila obat dapat dieliminasi dari tubuh Shargel et al., 2005.
Kompartemen farmakokinetik ini tidak berhubungan dengan lokasi secara anatomi tubuh namun hanya parameter operasional yang diturunkan secara matematis
Mutschler, Derendorf, Schäfer-Korting, Elrod and Estes, 1995. Model satu kompartemen menunjukkan bahwa setelah pemberian, obat
terdistribusi secara langsung. Model dua atau lebih kompartemen, terjadi distribusi obat ke dalam ruang distribusi yang dapat dilewatinya dengan kecepatan berbeda-
beda Mutschler et al., 1995. Model dua kompartemen, obat dapat berpindah antara kompartemen sentral ke dan dari kompartemen perifer jaringan. Kompartemen
sentral menggambarkan plasma dan organ yang memiliki perfusi tinggi dan secara cepat seimbang dengan obat. Jumlah total obat di dalam tubuh dapat dihitung dari
jumlah obat di dalam kompartemen sentral ditambah dengan obat di dalam kompartemen jaringan Shargel et al., 2005.
3. Parameter Farmakokinetika
Parameter farmakokinetika adalah konstanta yang menunjukkan profil obat yang dapat diperkirakan dari data-data percobaan Shargel et al., 2005. Parameter
30
farmakokinetika diperoleh dari profil kinetika dari obat yang dapat diperoleh melalui kurva konsentrasi obat terhadap waktu. Konsentrasi obat dapat diukur sebagai fungsi
terhadap waktu di beberapa cairan tubuh seperti darah, plasma, serum, saliva, dan urin. Konsentrasi obat dalam darah mencerminkan perubahan kinetika di sirkulasi
sistemik. Untuk mendapatkan kurva konsentrasi obat terhadap waktu maka perlu dilakukan pengukuran konsentrasi obat berulangkali pada beberapa titik waktu
Mutschler et al., 1995. Parameter-parameter farmakokinetika antara lain: a.
AUC Area under the curve AUC merupakan ukuran dari jumlah obat di dalam tubuh dan dapat
dihitung dengan menggunakan rumus trapezoid, yaitu :
[ ]
1 -
n n
n 1
- n
t t
t t
2 C
C AUC
n 1
- n
− +
= 7
AUC = area di bawah kurva t
= waktu pengamatan dari konsentrasi obat C
n n
t
n-1
= waktu pengamatan sebelumnya yang berhubungan dengan konsentrasi obat
C
n-1
Mutschler et al., 1995.
Rumus trapezoid ini menganggap titik-titik data berada pada suatu fungsi linier. Jika titik-titik data tersebar secara luas, maka lengkung dari garis
akan menyebabkan kesalahan yang besar dalam memperkirakan area. Pada suatu waktu area di bawah kurva kadar plasma-waktu diekstrapolasikan
sampai t = ∞.
31
Dalam hal ini area tersisa,
[ ]
k C
AUC
n p
t t
n
=
∞
8 Cp
n
= konsentrasi dalam plasma terakhir pada t
n
k = slop yang diperoleh dari bagian akhir kurva Shargel et al., 2005.
Untuk menghitung AUC total AUC
∞
maka dilakukan ekstrapolasi bagian akhir area setelah titik terakhir yang diukur AUCt
n - ∞
. Prosedur yang digunakan disebut sahih bila bagian ekstrapolasi tersebut kira-kira di bawah
10 dari AUC total dan tidak boleh digunakan bila melebihi 20 dari AUC total Mutschler et al., 1995.
b. Volume distribusi V
d
Parameter ini menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. V
d
tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi
hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan V
d
menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum Setiawati, 2002.
D
B
= V
d
. C 9
p
D = jumlah obat dalam tubuh
B
C = konsentrasi obat dalam plasma.
p
32
Tubuh dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan volume yang konstan. Oleh karena itu, volume distribusi untuk suatu obat umumnya
konstan Shargel et al., 2005. Volume distribusi besar menunjukkan jumlah obat yang terdistribusi ke dalam jaringan besar atau terkonsentrasi di jaringan
tertentu Mutschler, et al., 1995.
c. Bersihan total Klirens Cl
Klirens adalah volume plasma yang dibersihkan dari obat per satuan waktu oleh seluruh tubuh mlmenit. Parameter ini menunjukkan kemampuan
tubuh untuk mengeliminasi obat. Untuk obat dengan kinetika orde satu, Cl merupakan bilangan konstan pada kadar obat yang biasa ditemukan dalam
klinik.
oral oral
IV IV
AUC F.D
AUC D
Cl =
= 10
el d
k V
Cl ⋅
= 11
D = Dosis
F = Fraksi obat yang
terabsorpsi AUC =
Area under the curve Vd
= Volume distribusi k
= tetapan laju eliminasi
el
33
Umumnya bersihan total merupakan hasil beberapa bersihan bagian bersama-sama, yang terpenting adalah bersihan ginjal Cl
R
dan bersihan hati Cl
H
Mutschler, 1991.
d. Waktu paruh eliminasi t dan kecepatan eliminasi
½
Waktu paruh eliminasi adalah waktu yang diperlukan untuk turunnya kadar obat dalam plasma atau serum pada fase eliminasi setelah fase absorpsi
dan distribusi menjadi separuhnya. Untuk obat-obat dengan kinetika orde reaksi satu, t
½
ini merupakan bilangan konstan, tidak tergantung dari besarnya dosis, interval pemberian, kadar plasma maupun cara pemberian Setiawati,
2002.
el el
k 0,693
k 2
ln t
2 1
= =
12 k
el
adalah konstanta kecepatan eliminasi. Waktu paruh eliminasi adalah parameter farmakokinetik yang berbeda
dengan waktu paruh dari efek atau waktu yang diperlukan untuk menjadikan efek farmakologi menjadi separuh dengan efek semula Mutschler et al.,
1995. Kecepatan eliminasi merupakan kecepatan pengeluaran per satuan
waktu Mutschler et al., 1995 : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2 1
t 2
ln k
el
= 13
e. Bioavailabilitas
Parameter ini menunjukkan fraksi dari dosis obat yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif Setiawati, 2002. Faktor yang
menentukan bioavailabilitas adalah kecepatan dan jumlah obat yang dilepas dari bentuk sediaannya, kecepatan dan jumlah obat yang mengalami absorpsi,
dan besarnya efek lintas pertama Mutschler et al., 1995. Besarnya bioavailabilitas absolut dapat dihitung dengan cara sebagai
berikut : 100
AUC AUC
F
i.v x
⋅ =
14 F
= bioavailabilitas absolut AUC = AUC pemberian nonsistemik
x
= AUC pemberian intravaskuler AUC
iv
Dalam kasus apabila dosis dan formulasi untuk rute pemberian i.v tidak ada, maka dapat ditentukan bioavailabilitas relatif yang diperoleh
dengan cara :
100 AUC
AUC F
standar x
rel
⋅ =
15 F =
bioavailabilitas relatif
rel
35
= AUC pemberian nonsistemik AUC
x
AUC = AUC produk standar
standar
Parameter untuk menggambarkan kecepatan absorpsi adalah konsentrasi obat dalam plasma maksimum C
maks
dan selang waktu antara pemberian obat hingga mencapai konsentrasi maksimum dalam plasma
t Mutschler et al., 1995.
maks
4. Strategi Penelitian Farmakokinetika
Strategi penelitian farmakokinetika SPF adalah rencana yang disusun sebelum meneliti tahap farmakokinetika obat, guna memperoleh informasi tentang
nasib obat dalam tubuh secara kuantitatif. Objek penelitian farmakokinetika adalah tahap farmakokinetika obat dengan parameter farmakokinetika sebagai tolok ukurnya.
Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematik dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin Suryawati
dan Donatus, 1998. Tahap-tahap SPF meliputi :
1. Pemilihan rancangan uji coba.
2. Pemilihan subjek uji dan jumlahnya.
3. Pemilihan cuplikan hayati.
4. Pemilihan metode analisis penetapan kadar.
Syarat-syarat metode analisis yaitu : a.
selektivitas PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan suatu obat dengan metabolitnya, obat lain dan kandungan endogen cuplikan
hayati. b.
sensitivitas sensitivitas berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur dengan
metode analisis yang digunakan. Hal ini diperlukan karena untuk menghitung parameter farmakokinetika suatu obat diperlukan kadar obat
tertinggi sampai terendah pada rentang waktu tertentu. c.
ketelitian dan ketepatan ketelitian dan ketepatan ini akan menentukan kesahihan hasil penetapan
kadar. Ketepatan accuracy ditunjukkan oleh kemampuan metode memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai yang
sesungguhnya. Ketelitian precision menunjukkan kedekatan hasil pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama.
5. Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat.
Takaran dosis yang diberikan harus menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolitnya pada rentang waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cukup
memadai untuk analisis farmakokinetika. 6.
Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati. Bila menggunakan cuplikan darah, sebaiknya pengambilan dilakukan sebanyak 3
– 5 kali t ½ eliminasi obat yang diuji. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut, 99,2 - 99,9 obat telah diekskresi. Frekuensi pengambilan cuplikan
37
obat sebaiknya dilakukan setidaknya 3 kali pada tahap absorpsi, 3 kali di sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi.
7. Analisis dan evaluasi hasil.
Langkah-langkah ini meliputi analisis sederetan kadar obat utuh atau metabolitnya dalam darah atau urin, analisis statistika dan evaluasi Suryawati
dan Donatus, 1998.
E. Desain Cross Over
Desain cross over
merupakan desain blok secara acak dimana tiap blok menerima lebih dari satu formulasi obat pada waktu yang berbeda. Keuntungan dari
desain cross over pada studi bioavailabilitas-bioekivalensi adalah tiap subjek bertindak sebagai kontrol sendiri, desain ini menghilangkan variasi biologik
antarsubjeknya, dan dengan randomisasi yang tepat maka hal ini akan memberikan kalkulasi yang paling baik mengenai perbedaan tiap formulasi Chow and Jen-Pei,
2000 Perlakuan pertama dan perlakuan kedua dipisahkan oleh periode washout
yang cukup untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan biasanya lebih dari lima kali waktu paruh terminal dari obat, atau lebih lama jika mempunyai metabolit
aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang. Jika obat mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antarsubjek, periode washout yang lebih lama
diperlukan untuk memperhitungkan kecepatan eliminasi yang lebih rendah pada beberapa subjek. Karena itu, untuk obat dengan waktu paruh eliminasi yang panjang
38
24 jam, dapat dipertimbangkan penggunaan desain dua kelompok paralel Anonim, 2004 b.
F. Parasetamol