72
BAB IV KONSTRUKSI IDENTITAS GANDRUNG
A.Pendahuluan
Bab ini berisi analisa tentang perempuan penari gandrung yang identitasnya terkonstruk oleh imaji masyarakat. Analisa dalam bab ini akan
membicarakan tentang pengalaman para perempuan gandrung berhadapan dengan berbagai imaji tersebut. Pembicaraan ini dilakukan sepabagai upaya untuk
menemukan apa saja yang mempengaruhi terbentuknya identitas gandrung terop. Sebuah identitas yang kental dengan stereotipe ‘perempuan maskiat’.
B. Sebagai Maskot Pariwisata Banyuwangi
Berefleksi dari sejarah, Kabupaten Banyuwangi kemudian melakukan berbagai upaya untuk menciptakan sebuah program kerja yang dapat
meningkatkan citra pariwisata daerah. Lewat kerjasama antara pemerintah daerah dengan Dewan kesenian Blambangan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi
menciptakan sebuah maskot pariwisata Kabupaten melalui representasi perempuan gandrung.
Proses rekonstruksi dilakukan setiap saat, mulai dari tingkat kesadaran hingga pada tingkat ketidaksadaran, bahwa segala yang terdengar, terlihat, dan
tersentuh seputar gandrung adalah sebuah proses konstruksi. Misalnya, diruang- ruang publik seperti terminal, sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintah, pinggir
73
jalan, gapura-gapura gang kecil, diletakkan patung perempuan penari gandrung. Bahkan gapura mereka berbentuk amprok gandrung.
Seperti yang tertulis dalam sejarah Banyuwangi yang ditulis ulang oleh Dariharto, budayawan Osing yang mendalami gandrung, tarian gandrung adalah
adopsi dari seni tari kerajaan Majapahit. Ketika itu para tokoh yang berperan di Blambangan adalah sejumlah mantan pejabat Majapahit. Mereka berbalik
melawan Majapahit karena ada ketidaksepahaman. Dari latar sejarah itu, maka tidak mengherankan bila \jenis tarian yang masih dilestarikan dalam gandrung ini
memperlihatkan identitas kebangsawanan
73
dengan cukup jelas.Menjelaskan bahwa ada ikatan asal usul sejarah masa lalu yang berkaitan dengan identitas
sebelumya. Menjadi maskot berarti mewakili sesuatu, dalam hal ini tidak saja
mewakili bota Banyuwangi tetapi juga mewakili etnis Osingsuku asli yang identitasnya dikenal masyarakat sebagai orang-orang malas, pemarah dan tertutup.
Melalui maskotisasi ini, stereotipe diatas direkontruksi lewat kegiatan budaya Osing, dengan menghidupkan kembali seni budaya khas osing, diantaranya adalah
Gandrung. Sejarah lokal ini berkaitan dengan upaya mendudukan gandrung sebagai
seni kraton. Hal ini amat berbeda dengan masa PKI masih berkuasa. Ketika itu gandrung didudukan sebagai kesenian rakyat. Ini adalah dua cara pandang
berbeda dalam memposisikan gandrung Banyuwangi sesuai jamannya. Keduanya merupakan upaya yang berlawanan untuk merekonstruksi kesenian gandrung.
73
Identitas kebangsawanan ditandai lewat kostum gandrung; amprok mahkota, pakaian merah menyala dengan kombinasi warna-warna emas
74
Melalui kegiatan gandrungisasi, seolah-olah penduduk Banyuwangi secara serentak mendukung program DKB tersebut. Sebuah program yang menjadikan
gandrung sebagai aset pariwisata, yang terbukti telah memikat hati para wisatawan.
Pertunjukan gandrung mulai berkembang di Blambangan sekitar tahun 1890 an. Ketika itu penarinya adalah laki-laki berusia tujuh sampai enambelas
tahun. Mereka disebut sebagai gandrung lanang. Karena alasan keindahan, gandrung lanang bergeser digantikan dengan gandrung perempuan.
Perempuan terlihat lebih luwes ketimbang laki-laki, suara perempuan juga lebih enak didengar. Unsur keindahan gerak dan keindahan suara penari
perempuan menumbuhkan carapandang baru yang mengabaikan unsur sejarah lokal.
Popularitas gandrung ini terbukti dari penuh sesaknya pawai budaya yang dilaksanakan setiap tahun. Pawai ini selalu dipenuhi oleh tarian masal dari para
perempuan gandrung tersebut. Melalui berbagai pertunjukan lokal, nasional maupun internasional, identitas permpuan gandrung dikonstruksi sebagai simbol
kebudayaan Banyuwangi.Tradisional dan menyejarah. Kini, produksi lagu-lagu berbahasa Osing semakin marak saja. CD lagu-
bernuansa Osing yang dinyanyikan oleh Temu, Mudaiyah dan penyanyi daerah Osing lainnya beredar dengan cepat dan makin mudah didapat. Seniman jalanan
pun mendapat kesempatan mengkonstruksi ulang Banyuwangi. Lagu berbahasa Osing pun diperdengarkan secara terus menerus. Bahkan
dalam bis antar kota, para pengamen juga melengkapi diri dengan alat musik tradisional. Di dalam bis itu mereka menyanyikan lagu-lagu Osing, yang
75
menambah kekentalan nuansa keosingan.Wisatawan yang masuk ke desa Kemiren, sejak memasuki gapura, juga sudah dikondisikan dengan lagu-lagu
berbahasa Osing. Pelatihan tari gandrung massal yang diselenggarakan oleh DKB juga
melibatkan hampir semua penduduk dari berbagai usia, mulai dari usia Taman Kanak-kanak hingga siswa SMA sederajat. Secara khusus juga dilaksanakan
pelatihan tingkat junior dewasa. Pelatihan ini khusus diadakan bagi para penari yang berminat terhadap tari gandrung terop.
Untuk jenis pelatihan ini, pelaksanaannya dilakukan secara khusus. Para peserta dikarantina selama 7 tujuh sampai 10 sepuluh hari. Selama karantina
itu mereka dilatih olah vokal, olah gerak serta sikap saat berhadapan dengan pemaju. Ini amat berkaitan dengan anggapan bahwa moralitas perempuan penari
gandrung telah mengalami degradasi. Akibat anggapan ini, Dewan Kesenian Blambangan pun melakukan pembakuan gerak tari yang dianggap lebih ‘sopan’
dan tidak liar. Apabila dipandang dari perspektif pemikiran Stuart Hall tentang identitas,
segala bentuk yang mengatasnamakan “promosi wisata” lewat budaya Osing dapat dipahami sebagai bagian dari konstruksi identitas budaya. Mulai dari
pelatihan masal, pelatihan khusus, peningkatan produksi lagu-lagu berbahasa Osing dan Banyuwangen, semuanya merujuk pada pembentukan dirinya sebagai
becoming and being.
76
C. Lambang kemaksiatan