Konstruksi identitas perempuan penari gandrung.

(1)

ABSTRAK

Ingat gandrung, ingat Banyuwangi. Inilah yang diinginkan oleh Pemerintah kota Banyuwangi ketika menjadikan gandrung sebagai ikon kota tersebut di tahun 2002. Sepanjang sejarahnya, sebagai sebuah tarian, gandrung mengalami perubahan tidak hanya dari segi penari (yang awalnyaditarikan oleh laki-laki lalu diganti perempuan), gerakan, namun juga soal wacananya.Gandrung yang awal mulanya ditarikan sebagai bagian dari ritual kemudian dikriminalisasikan seiring dengan pengasosiannya dengan PKI pasca 1965. Saat itu, menari gandrung seakan-akan sama dengan berbuat maksiat.

Penelitian ini digagas untuk melihat secara lebih rinci dan mendalam bagaimana penari gandrung memaknai kegandrungan mereka dalam kehidupan sehari-hari, berikut bagaimana cara mereka bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang bermain di sekeliling mereka. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang gandrung yang sudah cukup senior: Temu, Darti, dan Mudaiyah. Selain narasumber utama tersebut, penelitian ini juga melibatkan beberapa narasumber sekunder yang terdiri dari 3 orang gandrung yang masih yunior: Mia, Viroh, dan Reni. Ketiganya merupakan anak asuh Temu. Informan lain yang juga diwawancarai terdiri dari penikmat gandrung,

Dari hasil analisa deskriptif yang dilakukan terlihat bahwa seiring rekonstruksi baru Kabupaten Banyuwangi perempuan penari gandrung juga mengalami rekonstruksi, pencitraan perempuan maksiat tergeser menjadi perempuan tradisi. Di satu sisi hal yang menguntungkan, tetapi di sisi lain terlihat kerentanan perempuan penari gandrung ini sebagai subjek yang tidak punya posisi tawar. Identitas mereka dibuat oleh pemerintah sesuai kebutuhan.


(2)

ABSTRACT

Remember Gandrung, Remember Banyuwangi. This jargon was declared by Banyuwangi local authority while constructing Gandrung as an icon of the city at 2002. During its history, Gandrung has changed. The transformation was happen, not only from the subjects/dancer, who was male then replaced by female, but its parts of gestures and the discourses. Gandrung was related with a kind of ritual. Then, it was criminalized after it was related with PKI (Indonesia Communist Party) after 1965. In that time, doing Gandrung dance is was like an immoral. This research was taken to look up deeper and detail how the Gandrung dancers are making meaning with the gandrung in their daily lives, included how they negotiates with powers which played around them. Informants of this research are three Junior Gandrung dancers. They are Mia, Viroh, and Reni. Three of them are the pupils of Temu. The other informants are the peoples who are enjoying Gandrung.

Three description analysis shows that new reconstruction of Banyuwangi Regency, the Gandrung dancer also reconstructed. The image of immoral women was replaced by the image of traditional women. This new construction was benefited but in the other hand, there is a weakness point that those dancer have no bargaining power. Their identity has been constructed for authority needs.


(3)

KONSTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN PENARI GANDRUNG

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M,Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh

Yovita Triwiludjeng 096322012

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2014


(4)

Tesis

Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung

Oleh

Yovita Triwiludjeng 096322012 Telah disetujui oleh

Dr.Katrin Bandel

---

---Pembimbing 1 Tanggal 6 November 2014

Dr.G.Budi Subanar, SJ

---


(5)

Tesis

Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung

Oleh

Yovita Triwiludjeng 096322012

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : Dr. G. Budi Subanar, S.J ... Sekretaris / Moderator: Dr. Baskara T. Wardaya, S.J ... Anggota : 1. Dr. Katrin Bandel ...

2. Dr. St. Sunardi…...

Yogyakarta, 6 November 2014 Direktur Program Pascasarjana


(6)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya, mahasiswi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Yovita Triwiludjeng (NIM 096322012), menyatakan bahwa tesis dengan judul:

Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung,

ini merupakan hasil karya penelitian saya sendiri.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman / pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai aturan yang berlaku, sebagai mana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 6 November 2014 Yang Membuat Pernyataan


(7)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswi Universitas Sanata Dharma Nama :Yovita Triwiludjeng

Nim :096322021

Demi pengembangan Ilmu Pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul :

Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada)

Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lai untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya atau memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di :Yogyakarta

PadaTanggal : 6 November 2014 Yang membuat pernyataan:


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Gusti Allah yang setia menemani peziarahan saya khususnya selama menimba ilmu di IRB. Sempat terpikir, saya tidak akan bisa menyelesaikan program ini karena keterbatasan dari dalam diri dan dari luar. Ternyata saya bisa. Ini semua berkat; Mbak Katrin Bandel dan Romo Budi Subanar, beliau berdua Guru dan pembimbing paling sabar yang pernah saya punyai. Pak St.Sunardi, Rm.Baskara, Rm.Haryatmoko, Pak George dan PakBudiawan, terimakasih untuk semua ilmu pengetahuan, pengalaman dan semangat yang diberikan.

Terimakasih buat Vita dan Eli yang memberi tumpangan selama saya di Yogya. Lucia, yang setia menemani dan menjadi editor paling setia. Leo yang meminjamkan Laptop saat Laptop saya rusak, Herlina, Fairuz, Iwan, Abed, Anes, Mei, Probo, Rhino dan Agus teman seperjalanan. Kalimat dari kalian,“Ayo mbak pasti bisa”, mampu menjaga api dalam diri saya untuk menyelesaikan tulisan yang masih jauh dari sempurna ini. Beribu terimakasih teman-teman

Mbak Dessy, yang setia mengingatkan urusan administrasi, MasMul, yang membuat ruang belajar kita menjadi selalu nyaman.

Teman-teman komunitas FCJ Baciro yang dengan sangat terbuka menerima saya untuk tinggal bersama selama satus etengah tahun. Teman-teman Komunitas Bandung; Sr, Nance, RSCJ, Sr.Geradette, RSCJ, atas dukungan moral dan finansial, para novis yang rajin mendoakansaya agar saya cepat lulus. Komunitas Lenteng; Sr,Nancy Murphy, RSCJ, para postulant, Sr.Lusni, RSCJ dan Sr.Natalia Dorego, RSCJ. Kalau saya pergi keYogya kalian ketitipan adik-adik


(9)

aspiran. Sr.Inoue Chizoue, RSCJ, tak terbilang kemurahan hati yang suster berikan untuk mendukung proses belajar. Komunitas Kebon Nanas, komunitas yang sering saya tinggalkan karena urusan tesis ini, Sr.Hortencia, RSCJ dan adik-adik aspiran, terimaksih untuk pengertian kalian selama ini.

Dan orang-orang yang kusayang: Ibu, mbak Endah,Mas Edhi,Tutur, Wiwid dan para keponakanku yang selalu menjadi alasan ku untuk pulang dan menyukuri segala yang ada pada diriku sekarangini.

Semoga tesis yang jauh dari sempurna ini berguna bagi siapa saja yang membutuhkannya.


(10)

ABSTRAK

Ingat gandrung, ingat Banyuwangi. Inilah yang diinginkan oleh Pemerintah kota Banyuwangi ketika menjadikan gandrung sebagai ikon kota tersebut di tahun 2002. Sepanjang sejarahnya, sebagai sebuah tarian, gandrung mengalami perubahan tidak hanya dari segi penari (yang awalnyaditarikan oleh laki-laki lalu diganti perempuan), gerakan, namun juga soal wacananya.Gandrung yang awal mulanya ditarikan sebagai bagian dari ritual kemudian dikriminalisasikan seiring dengan pengasosiannya dengan PKI pasca 1965. Saat itu, menari gandrung seakan-akan sama dengan berbuat maksiat.

Penelitian ini digagas untuk melihat secara lebih rinci dan mendalam bagaimana penari gandrung memaknai kegandrungan mereka dalam kehidupan sehari-hari, berikut bagaimana cara mereka bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang bermain di sekeliling mereka. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang gandrung yang sudah cukup senior: Temu, Darti, dan Mudaiyah. Selain narasumber utama tersebut, penelitian ini juga melibatkan beberapa narasumber sekunder yang terdiri dari 3 orang gandrung yang masih yunior: Mia, Viroh, dan Reni. Ketiganya merupakan anak asuh Temu. Informan lain yang juga diwawancarai terdiri dari penikmat gandrung,

Dari hasil analisa deskriptif yang dilakukan terlihat bahwa seiring rekonstruksi baru Kabupaten Banyuwangi perempuan penari gandrung juga mengalami rekonstruksi, pencitraan perempuan maksiat tergeser menjadi perempuan tradisi. Di satu sisi hal yang menguntungkan, tetapi di sisi lain terlihat kerentanan perempuan penari gandrung ini sebagai subjek yang tidak punya posisi tawar. Identitas mereka dibuat oleh pemerintah sesuai kebutuhan.


(11)

ABSTRACT

Remember Gandrung, Remember Banyuwangi. This jargon was declared by Banyuwangi local authority while constructing Gandrung as an icon of the city at 2002. During its history, Gandrung has changed. The transformation was happen, not only from the subjects/dancer, who was male then replaced by female, but its parts of gestures and the discourses. Gandrung was related with a kind of ritual. Then, it was criminalized after it was related with PKI (Indonesia Communist Party) after 1965. In that time, doing Gandrung dance is was like an immoral. This research was taken to look up deeper and detail how the Gandrung dancers are making meaning with the gandrung in their daily lives, included how they negotiates with powers which played around them. Informants of this research are three Junior Gandrung dancers. They are Mia, Viroh, and Reni. Three of them are the pupils of Temu. The other informants are the peoples who are enjoying Gandrung.

Three description analysis shows that new reconstruction of Banyuwangi Regency, the Gandrung dancer also reconstructed. The image of immoral women was replaced by the image of traditional women. This new construction was benefited but in the other hand, there is a weakness point that those dancer have no bargaining power. Their identity has been constructed for authority needs.


(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG TESIS... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

BAB1 PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TEMA PENELITIAN ... 5

C. RUMUSAN MASALAH... 5

D. TUJUAN PENELITIAN ... 5

E. MANFAAT PENELITIAN... 5

F. TINJAUAN PUSTAKA... 6

G. KERANGKA TEORITIS ... 8

H. METODE PENELITIAN ... 10

1. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian………... 11

2. TeknikPegumpulan Data ... 11

3.Teknik Pengolahan Data ... 11

I. SKEMA PENULISAN... 12

BAB II SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI ... 13


(13)

B. AWAL MULA GANDRUNG ... 13

C. GANDRUNG SEMI; GANDRUNG PEREMPUAN PERTAMA DI BANYUWANGI... 16

D. PENGARUH PEMBUKAAN PERKEBUNAN TERHADAP PERKEMBANGAN GANDRUNG... 19

F. GANDRUNG SEBAGAI KOMODITAS PARIWISATA ... 21

G. PEREMPUAN GANDRUNG DIMASA SEKARANG... 23

H. KESIMPULAN... 25

BAB III GANDRUNG; REALITAS DAN KEBERAGAMAN ... 27

A.PENDAHULUAN ... 27

B.SEKILAS GAMBARAN BUMI BLAMBANGAN... 27

1. Keragaman di Bumi Blambangan ... 29

2. Orang Using di Kemiren ... 32

C.PROFIL GANDRUNG DI KEMIREN ... 38

1. Gandrung Darti... 38

2. Gandrung Temu ... 41

3. Gandrung Mudaiyah... 45

D.WACANA SEPUTAR GANDRUNG... 49

1. Pendidikan... 49

2. Praktik Olah Tubuh Penari Gandrung... 54

3.Pertunjukan Gandrung Terop... 57

4.Gandrung Sang Idola... 64

E.MENGGANDRUNG DEMI UANG DAN TRADISI... 65

F.PEREMPUAN PENARI GANDRUNG DI MATA MASYARAKAT ... 67


(14)

BAB IV KONSTRUKSI IDENTITAS GANDRUNG ... 72

A.PENDAHULUAN ... 72

B.SEBAGAI MASKOT PARIWISATA BANYUWANGI... 72

C.LAMBANG KEMAKSIATAN ... 76

D.GANDRUNG BANYUWANGI SAAT INI ... 79

F.USAHA MENENTANG IMAJI NEGATIF ... 79

1. Gerak Tari Tangar ... 79

2. Kluncing... 80

3. Pembuktian Tidak Adanya Pelanggaran Moral ... 81

4.Penyuluhan ... 84

5.Pendampingan ... 84

G. KESIMPULAN... 86

BAB V PENUTUP... 88


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-lah yang memunculkan ketertarikan saya terhadap seni tradisi khususnya tari. Saya membaca novel ini ketika masih duduk di bangku SMP. Dari umur belasan tahun sampai sekarang masuk kepala empat, saya sering terbayang-bayang dengan apa yang diceritakan di dalam novel ini. Novel ini menyentuh perasaan dan pikiran saya, terutama menyangkut tentang pergulatan tokoh Srintil sebagai seorang penari ronggeng.

Novel karangan Ahmad Tohari1 ini ditulis dengan latar belakang masyarakat tradisi di Banyumas. Masyarakat di sana mempunyai tradisi tari ronggeng yang dibanggakan. Tradisi tersebut merupakan warisan dari sang leluhur, Ki Senca Menggala. Tidak sembarang orang dapat menjadi ahli waris tradisi satu ini. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi penerus.

Orang terpilih itu adalah seorang gadis cilik yatim piatu, Srintil. Sebelum diberi kesempatan manggung, Srintil dilatih oleh seorang dukun ronggeng, Kertareja. Srintil dan Kertareja saling membutuhkan satu sama lain. Eksistensi Kertareja sebagai dukun ronggeng ‘terselamatkan’ karena kehadiran Srintil. Sementara, Srintil dapat mewujudkan impiannya menjadi ronggeng dengan bantuan dari Kertareja. Akan tetapi, posisi Srintil terlihat lebih rentan. Srintil

1

Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”,(Ronggeng Dukuh Paruk itu trilogi, yang terbit tahun 1983 adalahRonggeng Dukuh Paruk: Catatan buat emak, lalu 1985Lintang Kemukus Dini Haridan 1986Jantera Bianglala)


(16)

sepertinya tidak punya daya tawar terhadap apa-apa yang sudah ‘digariskan’ untuknya. Apa yang disyaratkan oleh Kertareja, semua diikuti. Atas nama tradisi, semua dikorbankan.

Srintil kembali menjadi ‘korban’ ketika sebuah partai politik datang dan mempergunakan tubuhnya sebagai alat propaganda. Srintil yang polos hanya terus menari. Ia tidak mengerti soal politik atau propaganda. Tetapi kepolosannya itu tidak mencegahnya untuk tidak ditangkap. Srintil tetap ditangkap karena dianggap sebagai bagian dari partai politik yang telah memanfaatkan tariannnya itu.

Kisah Srintil ini adalah kisah klasik yang menjadi gambaran tentang bagaimana nasib dan kisah hidup perempuan penari tradisi di bumi Nusantara ini. Sebagian gandrung di Banyuwangi juga pernah mengalami nasib yang serupa. Gandrung yang tumbuh di tengah komunitas Using ini, di masa-masa 1965 dan sesudahnya, dilarang dipertunjukkan oleh pemerintah. Sebagaimana digambarkan oleh antropolog, Bakst2

“The women who practiced and performed this dance were marked as communists and many of them were imprisoned and murdered as a result,”

Sama halnya dengan Srintil, mereka juga tidak tahu-menahu tentang pengasosiasian diri mereka dengan ideologi tertentu. Mengutip uangkapan Diyah Larasati, yang diwawancarai Bakst, menjelaskan:

“It’s not about what the dance is about; I think it’s more about the political categorization that is so powerful within Indonesian political consciousness at that time, who belonged to what group.”3

Pentas gandrung memang tidak pernah sepi dari konflik kepentingan. Anoegrajekti menulis, di masa Orde Baru, gandrung sering dipakai di dalam

2

Bakst, lauren Grace.2009. “Displaces female narratives: the embodied diaspora of Indonesia dance practice, hal:5 (http://www.hollidence.com/lauren/displaces%20%20narratives.pdf,13Juni 2013)


(17)

kampanye-kampanye partai politik.4 Penggunaan gandrung di pentas politik didudukkan bukan lagi sebagai ‘kesenian rakyat’, akan tetapi sebagai bagian dari kelokalan yang membentuk imaji tentang keanekaragaman budaya nasional.

Tahun 2002, tepatnya tanggal 31 Desember, Bupati Banyuwangi periode 2000 – 2005, Samsul Hadi, mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya menetapkan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi.5 Penetapan itu memicu kontroversi di tengah masyarakat Banyuwangi. Pemilihan gandrung sebagai maskot dinilai sebagai bagian dari politik etnis.6 Samsul Hadi yang kala itu menjabat merupakan putra ‘asli’ Using. Maka, pemaskotan gandrung dianggap sebagai proyek ‘Using-isasi’ Banyuwangi. Sementara itu, di sisi lain, kalangan agamawan menilai pemaskotan gandrung tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Islam-an yke-Islam-ang dike-Islam-anut oleh mayoritas masyarakat Bke-Islam-anyuwke-Islam-angi. Gke-Islam-andrung disamakke-Islam-an dengan “ladang maksiat”.7

Tidak bisa dipungkiri bahwa seni gandrung memang dilingkari oleh stereotipe negatif. Dalam pentas gandrung memang terjadi interaksi yang cukup intens antara penari gandrung perempuan dengan penontonnya yang mayoritas laki-laki. Di dalam pertunjukan gandrung ada satu tahapan yang dinamakan paju, ketikaaudienslaki-laki diberi kesempatan untuk menari dengan gandrung. Lelaki yang ikut menari ini dinamakan pemaju.Sementara gandrung menari dengan gerakan yang erotis, pemaju menari dengan provokatif dengan gerakan seperti

4

Anoegrajekti, Novi. 2011.” Gandrung Banyuwangi: Kontestasi dan representasi identitas Using.” Jurnal Humaniora. Vol. 23 No. 1, hal: 27

5

Dariharto.” Kesenian Gandrung Banyuwangi.” Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 36 (tanpa keterangan tahun)

6

Anoegrajekti, Novi dan Bisri Effendy. 2007. “Penari gandrung dan gerak sosial Banyuwangi” dalam Srinthil. Kajian Perempuan Desantara: Depok, hal: 10

7 Ibid.


(18)

hendak mencium atau menyentuh tubuh gandrung. Inilah salah satu sebab mengapa gandrung ditanggapi secara negatif.

Interaksi yang intens antara penari gandrung dan penonton ini sering dibaca oleh sejumlah peneliti seni pertunjukan sebagai pelecehan dan eksploitasi terhadap perempuan. Padahal penari gandrung punya siasat, disebut tangar,8 untuk dapat mengelak dari pemaju-pemaju yang nakal. Sesungguhnya gandrung tidak memperlihatkan perempuan yang tersubordinasi sepenuhnya oleh laki-laki, tapi perempuan yang selalu memiliki strategi untuk mengelak dari laki-laki yang hendak menguasainya:

“tari berpasangan sebenarnya lebih memperlihatkan suatu dialog interaktif antara penari perempuan dan penari laki-laki yang terbuka kemungkinan saling memberi dan mengontrol [...] Sekilas dari sudut gerak dan volume tari memang mengesankan dominasi kekuasaan oleh penari laki-laki, tetapi jika ditengok lebih dalam dan detail ternyata penari perempuan juga memperlihatkan hal yang sebaliknya, ia mampu menunjukkan ‘kekuasaan’nya atas penari laki-laki [...]”9

Dari pengantar yang sudah saya ceritakan panjang lebar di atas, saya kemudian semakin tertarik untuk menguliti lebih dalam tentang berbagai pengalaman serta keseharian para penari gandrung ini, maka saya yakin akan mendapatkan banyak gambaran tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan para penari gandrung serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sehingga pada akhirnya saya bias memberikan gambaran kepada dunia luar dan memberi padangan kepada dunia luar bahwa apa yang digambarkan selama ini oleh masyarakat luas tentang seputar kehidupan para penari ini sangatlah tidak tepat.

8

Gerakan kreatif untuk menghindar dan penolakan untuk disentuh dalam gandrung 9


(19)

B. Tema Penelitian

Dalam penelitian ini saya akan fokus pada pengalaman penari gandrung, bagaimana mereka memposisikan dirinya ditengah wacana-wacana seputar gandrung yang beredar.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengalaman sehari-hari perempuan penari gandrung di desa Kemiren?

2. Apa posisi gandung dalam konstruksi identitas Banyuwangi, dan bagaimana wacana itu membentuk identitas dan pengalaman penari gandrung?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengurai wacana-wacana yang berpengaruh dalam pembentukan identitas para penari gandrung;

2. Melihat cara penari gandrung menyikapi dan menegosiasikan wacana-wacana yang membentuk identitas diri mereka.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang problematika gandrung karena menyorot dari dua sisi: sisi sosial dan sisi individual gandrung. Penelitian ini memberi ‘suara’ pada penari gandrung, khususnya gandrung terop (gandrung tradisi) yang termarginalkan secara ekonomi maupun politik.


(20)

F.Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap kehidupan masyarakat Using telah dilakukan oleh sejumlah peneliti di Indonesia. Hampir semua aspek yang berkaitan dengan suku Using telah dibahas. Salah satu peneliti yang banyak mengulik tentang gandrung adalah Novi Anoegrajekti. Dalam salah satu esai berjudulGandrung Banyuwangi: Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama Memperebutkan Representasi Identitas Using, ia membahas gandrung sebagai obyek yang diperebutkan oleh tiga kekuatan besar: pasar, agama, dan tradisi.

Berdasarkan keterangan Anoegrajekti, pertarungan antara pasar, agama, dan tradisi dalam mengkonstruksi identitas gandrung meningkat pada periode 2000 – 2005.10 Pasar, yang disebut Anoegrajekti sebagai kekuatan yang lebih dominan, mengkonstruksi gandrung sebagai semata-mata hiburan. Pementasan gandrung yang digerakkan oleh kekuatan pasar tidak memiliki aturan baku, melainkan “pentas terbuka, komersial, dan penuh alkohol”.11

Sementara itu, birokrasi dan elit budayawan Using yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan berusaha melakukan pembakuan terhadap gandrung dalam rangka apa yang disebut sebagai ‘konservasi seni tradisi’. Gandrung dikonstruksi seperti apa yang dibayangkan di masa lalu, yaitu:

“[...] mengikuti pembabakan (Jejer, Paju, Seblang-seblang), menyanyikan lagu-lagu Osing terutama yang bermuatan historis dan heroisme (lagu Gandrung dan lagu Banyuwangen), menyajikan tari Ukir dan Prapatan yang berbeda dari tari Jawa dan Bali, mengalunkan musik yang bukan Jawa dan bukan pula Bali, dan bersih dari minuman keras.”12

Salah satu upaya yang ditempuh Pemerintah Daerah Banyuwangi bersama dengan Dewan Kesenian Blambangan untuk ‘mengembalikan orisinalitas tradisi’ 10

Anoegrajekti, Novi. Op.cit. hal: 26 11


(21)

itu yakni dengan membuat aturan baku dalam pementasan gandrung yang kemudian disosialisasikan melalui pelatihan gandrung secara reguler. Dengan begitu, gandrung yang dicetak akan sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.13

Di tengah-tengah kedua kekuatan itu, kaum santri yang berada di seputar Banyuwangi, ikut bersuara. Kaum Santri atau mereka-mereka yang berada di pesantren atau para alumnus pesantren, mendesak supaya pementasan gandrung ditiadakan karena dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Ada pula yang meminta supaya pementasan gandrung di-Islam-kan. Maksudnya antara lain, “tidak erotis, tanpa tari berpasangan, memakai pakaian tertutup, dan bersih dari minuman keras.”14

Penelitian Anoegrajekti, yang tidak terbatas pada satu tulisan itu saja, kaya akan data yang bisa dipakai dalam mengembangkan penelitian ini, antar lain artikel-artikelnya yang banyak ditulis dalam Media Perempuan Multikultural “SRINTIL”. Akan tetapi, penelitian ini memiliki pemahaman yang berbeda dari yang diajukan Anoegrajekti. Anoegrajekti melihat kekuatan pasar, agama, dan tradisi sebagai terpisah satu sama lain. Ia membayangkan tiga kekuatan itu berada dalam sebuah arena pertarungan, dengan kekuatan pasar keluar sebagai pemenang.

Sementara, penelitian ini lebih melihat pada pengalaman hidup sehari-hari perempuan penari gandrung. Saya memotret dan mengamati interaksi sosial perempuan penari gandrung di rumah maupun dipentas gandrung.

13

Ibid., hal: 31 – 32 14


(22)

G. Kerangka Teoretis

Konsep identitas dalam penelitian ini dipahami dalam kerangka non-esensialis. Identitas sebagai sebuah proses ketimbang sesuatu yang tetap. Identitas tidak sekaku apa yang tertulis di kartu pengenal. Seperti yang ditulis Hall:

“[...] not ‘who we are’ or ‘where we come from’, so much as what we might become, how we have been represented and how that bears on how we might represent ourselves”.15

Dalam buku Identity, Community, culture and Difference, Stuart Hall menekankan konsep identitas pada cultural identity, karena menurutnya identitas adalah sebuah produksi yang tak pernah selesai melainkan selalu berada dalam proses (Hall,1990:22).

Identitas terkait dengan masa lalu namun tidak terikat secara esensialis dengan masa lalu. Identitas seorang imigran misalnya, akan terkait dengan keberadaannya sebagai migran namun eksistensinya tidak terbatas pada identitasnya sebagai imigran (being) melainkan pada proses becoming. Proses ini berkaitan dengan masa depan, karena identitasnya bukanlah sebuah proses yang sudah selesai.

Teori Representasi: salah satu makna yang terkandung dalam kata representasi adalah:to represent atau menghadirkan kembali sesuatu danto stand inatau untuk mewakili sesuatu (Hall.2001:15).

“Representasi berkaitan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang. Representasi sendiri merupakan sistem yang memiliki proses.”(Hall.2003:17)

Identitas berkaitan erat dengan diri seseorang atau komunitas, menyangkut individu atau kelompok. Menurut Barker, Identitas dibedakan menjadiself identity 15


(23)

dan social identity. Pembedaan ini didasarkan dari sudut pandang melihat identitas. Bagaimana seseorang atau sekelompok melihat dirinya adalah self identity, sementara bagaimana konstruksi msyarakat melihat mereka adalah social identity. Identitas seseorang atau kelompok ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan, mengenai diri pribadi dan sosial.

Kathryn Woodward, mengatakan bahwa konstruksi identitas diambil dari pemaknaan atas perbedaan: “identity is constructed in relation to other terms of

others”.Dalam pengertian ini identitas merupakan hubungan yang bersifat oposisi biner dengan yang lain. Identitas seseorang dapat terkonstruksi atau dikonstruksikan melalui keberadaan yang lain. Bukan hanya individu yang penting, melainkan kaitan antara individu dengan komunitas atau orang-orang lain juga memegang peranan.

Identitas lebih banyak terkonstruksi dalam hubungannya dengan yang lain dan dengan perbedaan daripada dalam hubungan dengan diri sendiri. Identitas seringkali diidentifikasikan oleh orang lain dan dikontraskan dengan orang lain.Dalam pengertian ini, individu diletakan dalam konteks masyarakat. Tidak hanya dirinya yang menjadi pokok, namun juga posisinya dimasyarakat.

Stuart Hall mengatakan dalam Identity and Diaspora (1990:222-237) bahwa kita harus melihat identitas sebagai proses produksi yang tak pernah selesai. Ia selalu berada dalam proses dan selalu berada bersamaan dengan representasi. Terutama ketika timbul permasalahan mengenai identitas budaya (cultural identity). Di satu sisi, identitas budaya berkaitan dengan budaya asal subjek. Ini bisa dianggap sebagai one shared cultural yang dekat dengan sejarah.


(24)

Artinya, berbagai latar pengetahuan, pengalaman keseharian, serta berbagai hal yang dibagi bersama dalam sebuah konteks budaya.

Hall menjelaskan juga mengenai identitas budaya sebagai konstruksi yang tak pernah selesai sangat erat hubungannya dengan masalalu yang akan datang . It

is a matter of ‘becoming’ as well as of ‘being’ It is belongs to the future as much as to the past.

Hall, menjelaskan posisi identitas dalam pengertian esensialis dan non esensialis. Pandangan non–esensialis melihat identitas sebagai sesuatu yang dikonstruksi dan terkonstruksi (construted and being constructed) subjek dan lingkungan memiliki peranan yang sama penting dalam konsep identitas. Konsep identitas sebagai suatu proses yang terus berlanjut dan karenanya harus dipandang dengan cara non-esensialis, inilah yang akan dipakai dalam penelitian ini..

Pencarian identitas seseorang selalu terkait dengan permasalahan bagaimana orang itu berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam satu lingkup masyarakat yang telah menempatkan dirinya dalam lingkup lain (being positioned). Hal ini terkait erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas budaya. Perbedaan dan persamaan ini ada dalam cakupan identitas budaya. Identitas juga dipaparkan oleh Hall sebagai sesuatu hal yang selalu berubah dan titak tetap, oleh karena itu seseorang dapat mengalami perubahan identitas seiring dengan kehidupannya.

H. Metode Penelitian


(25)

Subyek yang dipilih adalah penari gandrung yang berdomisili di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tepatnya di Desa Kemiren. Subyek gandrung yang diwawancarai secara mendalam terdiri dari Temu, Darti dan Mudaiyah. Ditambah Mia, Viroh dan Reni16 (mereka bertiga adalah anak asuh Temu). Darto (sopir angkutan desa sekaligus penggemar gandrung), Bpk.Mucklis (suami gandrung Darti, pegawai di DKB), Bapak Sauni (pemilik sanggar Sekar Jagad, pelatih tari gandrung dan pegawai DKB), Purwanto (Penggemar gandrung, pemilik penginapan dan termasuk tokoh Osing), Dayat dan Rahman (petani, pemain musik angklung sawah dan pernah ikut membantai orang-orang yang dianggap PKI), Ibu Suci (Pembuat kostum gandrung dan pernah rekaman lagu-lagu gandrung), Pak Jo, (kluncing/pemain musik). Ibu Nur (perempuan yang saya temui di jalan yang banyak memberi informasi tentang orang-orang Osing)

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a. Observasi lapangan: mengamati proses interaksi penari gandrung baik ketika pertunjukan maupun di keseharian;

b. Wawancara mendalam dengan setiap informan;

c. Mempelajari teks yang terkait dengan tari tradisi dan gandrung pada khususnya yang bersumber dari koran, majalah, buku, hasil penelitian (thesis maupun disertasi), foto, dan film.

3. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, bersifat deskriptif, dengan membuat catatan etnografis berdasar hasil observasi lapangan. Kedua,

16


(26)

melakukan pemetaan data berdasarkan hasil wawancara dipadukan dengan data sekunder dari berbagai sumber. Pemetaan dilakukan sesuai kebutuhan, hanya yang terkait dengan tema tulisan. Ketiga, analisa data dengan menggunakan teori dalam kerangka penelitian kemudian dijelaskan dalam bentuk deskriptif interpretatif.

I. Skema Penulisan

Bab satu: berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka dan metode pengambilan dan pengolahan data.

Bab dua: membahas tentang sejarah gandrung. Penulis banyak menggunakan data pustaka dan memanfaatkan hasil penelitian dan tulisan orang lain yang berfokus pada penari seni tradisi, penggemar dan pemerhati gandrung.

Bab tiga: memaparkan hasil temuan lapangan yang saya koleksi selama di Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di desa Kemiren dan desa Oleh Sari. Berbagai temuan lapangan yang akan menjawab berbagai masalah yang sudah saya rumuskan di atas.

Bab empat: adalah bab analisa yang akan meramu berbagai temuan lapangan, data literatur, serta teori dan konsep yang telah saya pilih sehingga dapat menjawab segala kegelisahan saya.


(27)

BAB II

SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI

A.Pendahuluan

Jika membicarakan sejarah gandrung di Banyuwangi, maka akan ditemukan beberapa versi, tergantung siapa yang berbicara serta kepentingannya. Dalam tulisan ini, saya akan menyertakan beberapa aliran pendapat itu tanpa berusaha menghakimi mana yang paling benar. Bab ini dibuka dengan menelusuri awal mula munculnya gandrung di daerah Banyuwangi.

Bila ditilik dari sejarahnya, gandrung pertama kali ditarikan oleh laki-laki, baru di penghujung abad 19, gandrung mulai ditarikan oleh perempuan. Gandrung17. Semi tercatat sebagai gandrung perempuan pertama di Banyuwangi. Dalam kesempatan ini saya akan membahas gandrung Semi secara agak mendalam karena di masa gandrung Semi inilah terjadi beberapa perubahan dalam gandrung. Perubahan itu diantaranya terkait dengan, adanya tari berpasangan, dan musik pengiring yang lebih beragam, gamelan salahsatunya.

Selanjutnya, saya akan membahas dengan menyoroti masa sekarang dimana gandrung mendapat tantangan ‘baru’ dari masyarakatnya sendiri. Antara lain terkait dengan sebutan sebagai ‘perempuan murahan’.

B. Awal Mula Gandrung

17

Gandrung, digunakan sebagai nama tarian dan untuk sebutannama depan penari gandrung,mis:Gandrung Temu.


(28)

Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, disebutkan bahwa gandrung berasal dari sebuah kesenian bernama “juru I angin”. Kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit. “Juru I angin” merupakan tarian istana di mana “seorang wanita menari sambil menyanyi dengan sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang ‘buyut’, yaitu seorang pria tua yang berfungsi sebagai panakawan”.18

Tarian “juru I angin” dianggap sebagai cikal-bakal tarian gandrung sebab: “penari gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu melawak”.19Jika bersandar pada satu alasan itu saja, tentu asumsi bahwa gandrung mengekor dari tradisi “juru I angin” kurang kuat. Dariharto mengakui hal itu. Ia mencoba memperkuat argumennya dengan meminjam pernyataan Drs. Sri Soeyatmi Satari bahwa daerah-daerah yang berada di pinggiran kerajaan, pola kebudayaan dan tradisinya mengekor ke pusat.Akhirnya disimpulkan, karena Blambangan adalah ‘pinggiran Majapahit’ maka ia akan meniru kebudayaan Majapahit.20

Sebenarnya tidak terlalu penting apakah argumen di atas valid atau tidak, yang menarik yaitu adanya usaha untuk mendudukkan gandrung sebagai seni kraton. Pemahaman ini berbeda dari cara PKI dulu merumuskannya. Gandrung dipakai sebagai lambang seni rakyat. Sampai disini, kita melihat bagaimana usaha konstruksi dan rekonstruksi terhadap gandrung yang berkebalikan satu sama lain. Ningrat versus rakyat jelata.

18

Dariharto. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 5 (tanpa keterangan tahun)

19 Ibid.


(29)

Pertunjukan gandrung sendiri mulai berkembang di tanah Blambangan kira-kira sekitar tahun 1890. Ketika itu, penarinya adalah laki-laki berusia 7 sampai 16 tahun. Gandrung laki-laki mengenakan kostum perempuan, dan mereka dikenal dengan sebutan gandrung lanang (gandrung laki-laki). Diduga, tingkah laku dan kostum gandrung lanang yang feminin itu sudah merupakan fenomena yang umum pada masa itu, hal sama serupa terjadi pada Ludruk, Reyog Ponorogo, Ketoprak, Mendu (dari kepulauan tujuh, kepulauan Riau serta Kalimantan Barat), Mamanda (Kalimantan Barat), Dulmuluk (Sumatra Selatan) serta Gambus (Jombang-Mojokerto) yang semuanya itu menampilkan laki-laki dengan peran perempuan.

Pada masa itu pertunjukan gandrung dilakukan dari desa ke desa dengan menerima upah berupa beras serta uang. Alat musik yang digunakan pun sangat sederhana, hanya berupa kenong, biola, gong besar serta kluncing (besi jenis kuningan berbentuk segi tiga).

Gandrung Druning adalah gandrung lanang pertama yang sempat dicatat. Tapi sepertinya gandrung Marsan lebih melegenda, diduga karena Marsan satu-satunya gandrung yang bertahan hingga usia 40 tahun sementara yang lainnya hanya sampai usia 16 tahun.

Kira-kira tahun 1895, tercatat perempuan gandrung pertama yang berasal dari Seblang.21 Merunut ke belakang, pada tahun 1850, diketahui desa Cungking

21

Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upcara magis untuk

mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan Hindu yang sampai sekarang dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri (trance) karena kerasukan atau kesurupan roh halus, baik roh yang bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada tari seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke penari. Ciri-ciri gerakannya yaitu dilakukan dengan ritme monoton.


(30)

dan sekitarnya dihidupi oleh masyarakat yang beragama Hindu. Kedekatan masyarakat dengan alam, membentuk hidup mereka yang terintegrasi dalam satu kesenian Seblang. Kesenian yang menjadi wujud rasa syukur masyarakat pendukungnya ini dipenuhi dengan unsur-unsur magis. Hingga hari ini, kesenian Seblang masih bisa ditemukan di desa Bakungan dan Olehsari.

Secara fungsional, Seblang digunakan oleh masyarakat sebagai sarana penyembuhan bagi orang sakit. Menurut cerita, orang desa biasa bernazar jika orang yang mereka kasihi sembuh dari sakit. Misal, kalau anaknya sembuh dari sakit maka ia akan menanggap gandrung. Selain itu, kesenian seblang juga dapat ditampilkan saat acara bersih desa.

Hingga kini, gandrung dan seblang adalah dua kesenian yang saling melengkapi. Ketika masyarakat ingin melakukan upacara syukur akan berkah yang mereka terima dalam hidup dan desa mereka, masyarakat setempat biasanya akan mengundang para penari gandrung serta menanggap kesenian seblang. Seblang sebagai media untuk mengucap syukur dan gandrung sebagai media untuk menghibur dan membuat suasana semakin meriah.

C. Gandrung Semi: Gandrung Perempuan Pertama di Banyuwangi

Semi dikenal sebagai gandrung perempuan pertama. Menurut cerita, Semi kecil mengalami sakit berkepanjangan dan tidak menemukan obat yang cocok untuknya. Midah, ibu Semi bernazar “kadung sira mari, sun dadeaken seblang,

kadung sira sing mari ya using”(“kalau kamu sembuh akan kujadikan seblang, tapi kalau tidak sembuh ya, tidak”)22.


(31)

Berselang beberapa waktu Semi kecil sembuh dari sakitnya. Maka Midah memenuhi janjinya dengan menjadikan Semi sebagai seblang. Sebelumnya, semi kecil sudah sering menonton pertunjukan gandrung lanang. Pada saat bermain dengan teman-temannya Semi kecil dengan luwesnya menirukan gerakan tari gandrung.Karena keluwesannya Semi berhasil memikat hati masyarakat. Ia pun didaulat menjadi gandrung perempuan pertama. Sayangnya tidak diketahui kapan tepatnya Semi menjadi gandrung.

Semi

(Gandrung perempuan pertama-foto repro koleksi pribadi)

Semi bukanlah asli Banyuwangi. Ibunya Berasal dari Semarang. Orang Banyuwangi menyebutnya Jawa Kulonan. Sementara bapak Semi berasal dari Ponorogo, bernama Midin.23

Hijrahnya Raminah (yang dikenal dengan sebutan mak Midah) dari Semarang ke daerah Jawa Timur tidak lepas dari situasi perubahan ekonomi politik Belanda yang berkaitan dengan pembukaan perkebunan baru dan tenaga kerja. Ini terjadi di Jawa dan sekitarnya, kira-kira tahun 1850-1900. Konon kebijakan Belanda tersebut cenderung menyesengsarakan rakyat. Akibatnya,

23


(32)

untuk mencari kehidupan yang lebih baik, banyak yang keluar dari kampung halaman, termasuk Raminah.24

Dari perkawinannya, Midin dan Raminah dikarunia delapan orang anak. Dari delapan orang anak itu yang menjadi gandrung adalah Semi,Suyati,Misti dan Midah. Meskipun hanya empat orang menjadi gandrung, namun dikemudian hari beberapa cucu Raminah ikut menjadi gandrung. Semi akhirnya menikah dengan Sutomo dan dikaruniai 14 orang anak. Salah seorang anak Semi kemudian mengikuti jejak Semi menjadi gandrung, anak itu bernama Suwanah, yaitu anak Semi yang paling akhir. Semi kecil menghabiskan waktu dengan bermain di area persawahan yang kering bersama teman-temannya. Ketika itu, saat musim kering datang area persawahan biasa dipakai untuk pentas kesenian rakyat. Dari sekian banyak teman-temannya, Semi yang tampak paling luwes saat menari. Keluwesannya menggerakan tubuh dibarengi dengan suaranya yang bagus serta kemampuannya menyanyikan gending-gending seblang membuatnya menjadi gandrung yang dikagumi. Yang paling mengagumkan adalah segala kemampuannya itu ia pelajari secara otodidak.

Dengan kemampuannya itu Semi akhirnya menjadi gandrung terkenal. Bersama dua saudarinya Miati dan Suyati, mereka berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk mengadakan pertunjukan. Ini pulalah yang membuat namanya semakin dikenal. Bahkan pada akhirnya Semi menggantikan peran Drungin seorang gandrung laki-laki pertama di Banyuwangi. Salah satu alasan Drungin tergantikan adalah lebih pada alasan estetik, keindahan serta keharmonisan.25

24

Setiawan Sigit Budhi,“Aslinya Banyuwngi itu tidak ada” dalam “SRINTIL” Penari Gandrung dan gerak Sosial Banyuwngi.Eds.012.2007. Hal 53


(33)

D. Pengaruh Pembukaan Perkebunan Terhadap Perkembangan Gandrung Bersamaan dengan kehadiran gandrung perempuan, area perkebunan milik kolonial Belanda pun mulai dibuka. Pembukaan perkebunan itu pun membuat kebutuhan akan infrastruktur, utamanya jalan, meningkat. Untuk mengakomodir hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membuka jalan tembus Banyuwangi-Jember. Pembukaan jalan ini mengakibatkan mengalirnya arus migrasi dari berbagai tempat di wilayah sekitar Banyuwangi, termasuk Bali, yang hanya dibatasi oleh selat pendek. Arus migrasi ini juga terjadi dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Mandar) yang ditempuh melalui pelayaran laut.

Dalam konteks perubahan sosial budaya seperti itulah Semi lahir sebagai penari gandrung. Agak sulit mencari hubungan yang pasti antara Semi yang berada di Cungking (Selatan Banyuwangi), Banyuwangi, dengan pusat perkebunan yang teletak di bagian Barat wilayah Banyuwangi.Tetapi dua pertimbangan berikut mungkin dapat menjembatani keterkaitan tidak langsung tersebut.

Pertama,migrasi sebagai akibat dari terbukanya Banyuwangi yang diawali oleh perkebunan kopi di Glenmore, telah meluas hampir diseluruh wilayah daerah itu. Akibatnya, tenaga kerja yang menjadi tenaga di perkebunan, jauh lebih sedikit dibanding migran yang datang untuk mencarikehidupan yang lebih layak, seperti yang dilakukan oleh Raminah dan Midin (orang tua Semi) yang datang ke daerah Blambangan dan membuka sawah sendiri.

Kedua, munculnya Semi sebagai penari gandrung segera disusul oleh perubahan-perubahan teks pertunjukan (struktur dari tari-nyanyi) serta alat musik yang dipergunakan. Adegan jejer,paju dan seblang-seblang hasil olahan Semi


(34)

yang terkenal hingga saat ini tidak dikenal pada jaman gandrung lanang.Gandrung lanang hanya mementaskan tari dan nyanyi tunggal, bersifat tontonan serta tidak melibatkan audiens ke dalam pentas.

Adegan jejer,paju dan seblang-seblang, yang diasumsikan oleh pemerhati gandrung Banyuwangi, diadopsi dari ritual seblang.Termasuk nyanyian-nyanyian yang disajikan dalam seluruh pertunjukan itu. Pertunjukan ini merupakan sebuah ritual yang dikembangkan dari ritus yang sebelumnya dibawa oleh migran dari Bali dan Jawa untuk keperluan yang sama dalam upacara bersih desa, serta minta hujan.

Paju atau tari berpasangan dengan melibatkan penonton laki-laki, kemungkinan besar diadopsi Semidari kesenian Jawa yaitu Tayub. Kesenian Tayub diperkirakan berkembang jauh sebelum abad 20, saat dimana Semi mulai menapaki karirnya sebagai penari gandrung.Tidak ada catatan sedikitpun bagaimana proses adopsi Semi terhadap tari berpasangan itu. Bisa jadi Semi menghadapi struktur sosial baru serta warga masyarakat yang plural dengan berbagai keinginan serta tuntutan yang berbeda. Akhirnya pertunjukan gandrung dimasa Semi, mau tidak mau disajikan kepada audiens baru yaitu para migran. Sebuah karakter masyarakat migran yang plural serta hampir semuanya adalah pekerja. Sangat mungkin tarian berpasangan ini digunakan sebagai ruang hiburan semata.

Semi juga melantunkan lagu-lagu Jawa-Bali, bahkan lagu-lagu khusus yang dipersembahkan untuk kaum santri. Perubahan lain yang terjadi di masa Semi adalah jenis alat musik,perpaduan alat musik Jawa dan Bali yang di dukung kenong, kluncing,biola,kendang serta gong.Padahal sebelumnya alat yang


(35)

digunakan hanya kendang dan gong. Seperti pada perubahan struktur pertunjukan dan lagu-lagu, perubahan corak musik dan peralatannya itu membuktikan fase baru dalam kesenian gandrung. Dibukanya perkebunan dan datangnya migran dari sekitar Banyuwangi adalah penanda masuknya arus modernitas serta globalisasi.

E. Gandrung Sebagai komoditi Pariwisata

Dalam rangka menciptakan kekhasan daerah berkaitan dengan promosi pariwisata, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan patung gandrung yang dipajang ditempat strategis hampir di setiap sudut kota dan desa. Surat Keputusan Bupati bernomor 173 tertanggal 31 Desember 2002 menyatakan;

“Bahwa dalam rangka mendorong tumbuhnya semangat ikut serta memiliki daerah dengan segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pembangunan dibidang kepariwisataan, maka perlu adanya upaya peningkatan promosi pariwisata di Kabupaten Banyuwangi”.26

Surat keputusan ini seperti memberi penegasan bahwa selain menciptakan Banyuwangi kota pariwisata yang layak dikunjungi sekaligus menciptakan sebuah representasi kedaerahan yang khas Banyuwangi.

Posisi gandrung sebagai tanda daerah Banyuwangi tersebut mengalahkan tanda yang sudah berumur puluhan tahun, yakni patung ular berkepala gatot kaca, yang terpajang dibanyak tempat di kota dan desa di Banyuwangi. Tanda ini sudah tersosialisasi ke dalam kehidupan masyarakat dan menjadi aksesoris di atas pigura gong gandrung.Identifikasi gandrung bagi pariwisata daerah Banyuwangi menjadi

26

Anoegrajekti, Novi”Patung itu Bukan Penari” dalam SRINTIL,”Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi” Media Perempuan Multikultural.eds.012.Hl..75.tahun 2007


(36)

sorotan publik, diperdebatkan, dikritik serta melulu dipersoalkan. Bahkan para wakil rakyat di DPRD Banyuwangi yang didominasi non-Osing mempersoalkan hal itu sebagai politik etnis yang tidak sesuai dengan kenyataan penduduk Banyuwangi. Sebuah daerah yang masyarakatnya begitu beragam serta plural. Padahal sejatinya, gandrung adalah kesenian tradisional khas Osing, yang merupakan salah satu kelompok etnik di daerah itu.

Anggota DPRD dari fraksi PPP menolak pemaskotan gandrung dari sudut agama. Mereka menolak hal itu karena gandrung dipandang bertentangan dengan agama Islam yang dipeluk mayoritas orang Banyuwangi. Selain karena pemaskotan ini dianggap tidak sesuai dengan pluralitas penduduk Banyuwangi yang majemuk dari segi etnis.27

Oleh banyak orang, gandrung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik tertentu diluar dirinya. Dalam konteks pemaskotan ini, selain kemungkinan kepentingan representasi identitas, gandrung juga dimanfaatkan sebagai komoditi pariwisata yang selalu disebut dapat menambah pendapatan daerah. Sebagai daerah yang berdampingan dengan Bali, Banyuwangi tergolong lebih maju dalam hal pariwisata dibanding daerah-daerah sekitarnya seperti Jember, Bondowoso, dan Situbondo.28. Tidak mengherankan jika Banyuwangi telah ditetapkan menjadi kota wisata. Jika mengunjungi Banyuwangi, nuansa Banyuwangi-anserta ke-gandrung-an dapat dirasakan serta dinikmati lewat musik serta lagu-lagu yang terdengar di bis-bis antar kota.

27

Ibid. hal.77l 28


(37)

F. Perempuan Gandrung di Masa Sekarang

Di antara hiruk pikuk perdebatan di kalangan elite politik, budayawan, intelektual dan orang biasa, seorang perempuan penari gandrung juga sibuk berdiskusi dengan kehidupannya sehari-hari. Diantara cacimaki dan sanjungan, eksistensi perempuan penari gandrung masih tetap hidup dan masih menjadi pilihan banyak perempuan untuk meniti karir.

Pada jaman pasca Semi banyak perempuan ingin menjadi gandrung karena profesi ini dianggap cukup menjanjikan, terutama dari segi ekonomis. Namun tidak pada jaman ini. Sejak beredarnya isu-isu negatif seputar gandrung, jarang orang mau menggeluti gandrung, khususnya para gandrung yang menjadi nara sumber saya. Kakak beradik Darti dan Wiwik adalah dua dari sekian gandrung yang saat itu hingga kini memilih seni tradisi gandrung sebagai profesi karena limpahan tradisi keluarga. Sementara, Temu, Reni dan Viroh, memilih gandrung karena popularitas dan uang yang mudah didapat.

Tidak banyak yang bisa benar-benar sukses menjadi penari gandrung. Rupanya sukses menjadi gandrung bukan hanya bakat yang melekat sejak lahir. Banyak orang meyakini bahwa menjadi gandrung yang digemari oleh banyak orang memerlukan ritual-ritual khusus untuk memuluskan jalan menjadi primadona. Berbagai macam ritual sebagai salah satu unsur magic,sampai saat ini ternyata masih banyak dilakukan agar seorang gandrung menjadi terkenal.

Pengakuan terhadap eksistensi seorang gandrung menjadi penting untuk membuktikan kelayakan si gandrung yang dapat tampilmemuaskan dihadapan


(38)

audiens, ritual pengukuhan disebut meras.29 Penilaian masyarakat apakah ‘para pendatang baru’ pantas disejajarkan dengan gandrung lain yang lebih senior, juga sangat ditentukan oleh kelihaian menari dan kemerduan suaranya.

Usaha mempercantik diri melalui alat-alat kecantikan yang sudah dibubuhi mantra memang diakui oleh sebagian gandrung. Bahkan ada sabuk yang diselipi oleh razab (mantra tulisan) serta susuk yang dimasukan kedalam bagian tubuh supaya terlihat menarik. Semua ini dilakukan semata-mata untuk terlihat cantik dan memukau penonton. Ada kesadaran bahwa menjadi gandrung bukanlah peran asal jadi dan dimainkan secara sembarangan. Beban sebagai penari tradisi membuat gandrung harus hati-hati agar tidak menyimpang dari yang diwarisinya.

Meskipun begitu, tampilan mereka juga tidak selalu mulus, seperti dialami Tinah.Pada saat pentas tiba-tiba tangannya tidak dapat digerakan dan untuk beberapa saat tidak dapat menari, lalu dia menuturkan ,“Namanya juga panggung, persaingan pasti ada, ya untuk menjatuhkan teman bisa saja memakai cara-cara yang begitu (magic).Sejak hari itu saya juga punya pegangan supaya tidak ada orang yang mengganggu saya lagi”.30

Persaingan antara penari gandrung bukan hanya sebatas pada order yang diterima dan gandrung siapa mengajak gandrung siapa, tetapi juga urusan persaingan gandrung tua dan muda. Menanggapi soal persaingan tua-muda, Mud, berujar

“Saya sudah ndak perduli, kalau gandrung tua mau bersaing dengan gandrung muda, orang pasti cari gandrung yang lebih muda”.31

29

Upacara yang dilakukan terhadap penari gandrung yang dianggp layak manggung dan mendapat bayaran.

30


(39)

Gandrung tua seperti Darti dan Temu, merasa unggul dalam hal pengalaman pentas.Mereka menjadi guru buat yang muda, dan suara indah mereka belum ada yang mengalahkan, bahkan gandrung muda sekalipun. Sementara gandrung muda, banggaakan kelincahan geraknya, “seperti kijang”, dan kepandaian mereka memadukan berbagai jenis alat musik pengiring. Dengan kemampuan ini, suasana pentas gandrung pun akan menjadi lebih hidup,32

G. Kesimpulan

Gandrung Banyuwangi yang berkembangdi Bumi Blambangan diduga berasal dari kerajaan Majapahit, yang dibawa oleh pejabat kerajaan yang memberontak dan lari untuk kemudian membuka lahan baru. Di Bumi Blambangan inilah mereka memulai satu pemerintahan baru dan membangun tatanan sosial yang baru, keturunan mereka inilah yang disebut orang Using. Gandrung, merupakan tarian yang menurut sejarah juga diadopsi dari keraton Majapahit.

Kesenian gandrung tidak bisa melepaskan diri dari perubahan sosial pada setiap jamannya. Pembukaan lahan perkebunan baru membawa perubahan yang cukup mendasar.Para pendatang dan orang-orang perkebunan ‘memaksa’ terjadinya perubahan pada tatanan sosial penduduk asli Using, yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada kesenian ini.

Gandrung Semi adalah salah satu pencetus yang menjadi titik balik dari berubahnya kesenian gandrung. Lewat gandrung Semi, gandrung lanang berganti menjadi gandrung perempuan.Peristiwa ini menandai, betapa penduduk

32 ibid


(40)

Banyuwangi khususnya Using, memiliki karakeristik terbuka dan bersahabat. Datanganya migran dari Jawa, Madura, Sulawesi dan Bali telah menandai masuknya era globalisasi ke tanah Balmbangan.

Bergeser pada pemaskotan gandrung, sebagian besar politisi, budayawan dan kelompok agama menganggapnya sebagai bentuk politik yang menggunakan identitas ke-Using-an. Sebuah identitas dari Suku Using yang dianggap sebagai suku asli Banyuwangi. Identifikasi ini kemudian melahirkan pro dan kontra. Banyak yang melihat dari berbagai sudut pandang sesuai kepentingan masing-masing.Kaum agamawan menyinggung soal gandrung yang tidak Islami, sementara itu wakil rakyat yang duduk di DPRD menganggap tidak adil jika gandrung yang hanya mewakili etnis Osing diangkat sebagai maskot kota, karena yang perlu diangkat adalah tentang pluralitas di Banyuwangi.

Namun apakah tarik menarik gandrung Banyuwangi dirisaukan penari gandrung sendiri? Apa pengaruh perdebatan itu bagi hidup mereka sendiri?Ataukah tampil sebagai gandrung professional menjadi lebih penting bagi mereka? Hal itu akan dijawab pada bab selanjutnya.


(41)

BAB III

GANDRUNG: REALITAS DAN KEBERAGAMAN

A. Pendahuluan

Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang realitas gandrung beserta keberagamannya, bab ini akan menceritakan kondisi sosial masyarakatBanyuwangi serta profil sejumlah perempuan penari gandrung. Bab ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah ke satu: apa saja wacana seputar gandrung yang ada dimasyarakat Banyuwangi? Ada tiga bagian yang akan dibahas, yakni:

Pertama, pendeskripsian tentang daerah Banyuwangi. Pembahasan berfokus pada dinamika kehidupan sosial dan budaya di Bumi Blambangan. Dalam kerangka memberi gambaran lingkungan sosial di Banyuwangi berkaitan dengan keberagaman. Kedua,pemaparan tentang profil sejumlah penari gandrung serta interaksi antara gandrung dengan masyarakat sekitar arena pertunjukan, khususnya pemaju dan lingkungan tetangga tempat tinggal gandrung. Ketiga, membahas wacana seputar gandrung serta perempuan penarinya dari para pendatang dan masyarakat asli Using. Keempat, ditutup dengan kesimpulan isi pembahasan serta gambaran singkat sebagai pengantar ke bab berikutnya.

B. Sekilas Gambaran Bumi Blambangan

Pada bab II dijelaskan, bahwa pembukaan perkebunan baru oleh orang-orang Belanda menjadi pintu bagi masuknya orang-orang-orang-orang Jawa, Bali dan Madura


(42)

ke Tanah Blambangan.33Transportasi kereta api mempermudah hijrahnya orang Jawa dan orang-orang Madura datang dengan menggunakan kapal-kapal nelayan. Maka tidak heran jika mayoritas orang Madura menguasai daerah pantai dan orang Jawa menguasai perkebunan.

Di bagian selatan Banyuwangi ada Kampung Mandar. Menurut cerita, sejak awal abad 17-an mereka telah datang ke Banyuwangikarena urusan dagang. Banyuwangi yang secara geografis amat strategis serta didukung oleh pelabuhan yang memadai, membuatnya menjadi jalur perekonomian dan pertemuan antar suku bangsa serta beragam jenis barang dagangan. Oleh karena itu keberagaman bukan hal baru bagi masyarakat Banyuwangi.34

Kehadiranpara pendatang ini memberi pengaruh besar terhadap perekonomian di Banyuwangi, keuletan para pendatang membuahkan sukses dalam hal ekonomi mapun pendidikan. Sektor ekonomi banyak dikuasai oleh para pendatang dari Jawa, Bali maupun Keturunan Cina. Dinamika mereka lebih terlihat jelas di kota kabupaten, jalan serta pasar. Perkantoran di kota Banyuwangi pun hampir dipenuhi oleh orang-orang non Using.

Pada kenyataanya, ditengah keberagaman dan dinamika kehidupan sosial penduduk Kota Banyuwangi, ada orang-orang dari suku “Using” yang mengklaim diri sebagai yang empunya Banyuwangi. Orang-orang ini tinggal dikantong-kantong Osing yang tersebar di beberapa Desa seperti: 1) Glagah; 2) Kemiren; 3) Cungking; serta 4)OlehSari. Mereka punya gaya bahawa tersendiri yang berbeda dari bahasa Jawa Kulonan.

33

Mereka disebut orang Jawa kulonan oleh masyarakat Osing 34


(43)

1. Keragaman di Bumi Blambangan

Dalam perjalanan menuju ke bumi Blambangan, saya bertemu dengan ragam manusia serta mengalami berbagai kisah yang memberi gambaran kepada saya akan bumi Blambangan ini.

Salah satu pengalaman itu adalah ketika saya berada dalam bis antar kota Yogyakarta – Banyuwangi. Ketika itu saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu bernama Nurani. Ketika bis mulai begerak meninggalkan terminal Giwangan saya membuka obrolan dengan memperkenalkan diri dan bertanya tujuan perjalanan Ibu Nur. Ibu Nurani langsung merespon dan balik bertanya darimana dan kemana tujuan saya. Kami pun mulai berbincang.

Ibu Nur bercerita bahwa kakek dan nenek buyutnya berasal dari Solo-Jawa Tengah, karena alasan perbaikanekonomi, maka beberapa anak-anaknya hijrah ke Banyuwangi. Rupanya, keberuntungan berada dipihak mereka. Segala usaha yang dilakukan oleh keluarga mendatangkan uang dan kesejahteraan. Akhirnya karena kesejahteraan yang telah tercapai itu, hampir semua keluarga bu Nur pindah ke Banyuwangi, dan telah tinggal di Banyuwangi hingga saat ini.

Bu Nur sendiri adalah seorang Guru di SMA Islam Jajag. Begitu juga Bapak dan adiknya, mereka adalah guru-guru yang telah mengabdikan hidup pada profesi itu dengan sepenuh hati. Baginya, profesi guru adalah hal yang turun temurun dan merupakan sebuah pengabdian. Sementara itu, suami bu Nur adalah seorang petani sayur, yang juga keturunan orang Jawa.

Saya dan Bu Nurani pun terus berbincang sampai akhirnya kami tiba di kota Banyuwangi. Di salah satu sudut terminal Tanjungwangi ketika itu, saya sempat menyaksikan kesibukan sebuah kota kecil di pagi hari. Para pemilik juga


(44)

para pekerja toko mulai membuka toko. Mereka menyapu lantai kemudian membersihkan barang dagangan yang digantung dengan kemoceng.

Sementara itu di pinggir terminal lainnya, pedagang buah serta oleh-oleh menata barang dagangan mereka. Barang-barang yang mereka jual itudiantaranya seperti rengginang, dodol, kerupuk, kue kelapa, kacang goreng pasir, kerupuk warna –warni besar (setahu saya kerupuk itu adalah kerupuk khas Madura) serta beragam buah-buahan.

Suasana Terminal Tanjungwangi saat itu terlihat sepi penumpang. Satu dua orang menunggu bis, entah berdiri diluar bis atau sambil duduk didalam. Sepertinya ini memang khas terminal-terminal kecil di daerah.Sibuk tetapi sepi (itu kesan saya pada saat diterminal Tanjungwangi). Jika saya membandingkan dengan Jakarta, tentu jauh berbeda. Di Jakarta, dalam hitungan detik saja, bis dan angkot pasti sudah penuh. Bahkan tidak jarang calon penumpang harus berlari-lari mengejar bis. Dan kalau sampai ketinggalan, penumpang harus menunggu lagi. Pola ini akan terjadi terus, hingga jam-jam sibuk selesai.

Ketika berada di terminal itu, saya mendengar percakapan orang-orang yang hilir mudik dengan berbagai logat yang khas. Beragam logat yang bercampur baur itu diantaranya bisa saya kenali sebagai logat Madura, Jawa, Surabaya, dan Bali. Tidak hanya logat-logat itu, beragam wajah dari beberapa suku bangsa di Nusantara, salah satunya orang-orang keturunan China cukup mudah sayakenali.

Terminal memang tempat yang sangat pas untuk melihat dinamika suatu kota. Di terminal itu pula, geliat kehidupan kota yang bersangkutan bisa direka dan dikisahkan. Setelah menghabiskan waktu di terminal sembari mengamati


(45)

berbagai hal di seputarnya, saya kemudian memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Kabupaten.

Di perpustakaan itu saya bertemu ragam manusia bumi Blambangan yang begitu menarik. Orang-orang yang saya temui di perpustaakaan itu, mulai dari petugas penerima tamu hingga penjaga perpustakaan serta beberapa yang lainnya, adalah orang-orang keturunan Jawa. Kebetulan, mereka semua adalah pegawai pemerintah, tepatnya karyawan Dewan Kesenian Blambangan.

Tampaknya bumi Blambangan memang dipenuhi oleh para pendatang. Selain hal ini begitu terlihat di terminal, juga perpustakaan kota kabupaten, ketika saya pergi ke warnet (warung internet), toko buku, serta makan di warung nasi terdekat, nuansa keragaman manusia juga begitu terasa. Penjaga warnet, para petugas toko buku serta ibu penjual nasi adalah orang-orang yang nenek moyangnya berasal dari luar Banyuwangi dan mereka sendiri lahir dan besar di Banyuwangi. Mereka umumnya berasal dari Jawa, Mandar, Madura, serta orang-orang Keturunan Cina.

Kemudian, dari berbagai pengalaman bertemu itu, saya mulai bertanya-tanya di mana penduduk asli tinggal dan beraktifitas? Menurut sejumlah literatur dan narasi dari sejumlah orang di bumi Blambangan, penduduk asli di bumi ini adalah orang Osing.

Pigeaud (scholte, 1927) menyatakan bahwa orang Using adalah: “Penduduk asli Banyuwangi yang tidak mau hidup bersama dengan wongkulonan”.35 Mereka yang tidak mau hidup dengan wong kulonan itulah yang disebut orang Using36.

35

Pendatang yang datang dari Jawa tengah dan sekitarnya dan orang Jawa timur, selain dari Bumi Blambangan.

36


(46)

Kutipan dari Pigeaud ini adalah penegas akan kesadaran dari orang-orang Osing ini. Orang-orang ini merasa beradadalam posisi terjepit dan selalu memperoleh tekanan struktural maupun kultural ditengah-tengah kehidupan dua kebudayaan besar, Jawa-Bali. Mereka selama ini seperti tidak punya posisi yang menguntungkan di hadapan orang Bali dan Jawa.

2. Orang Using di Kemiren

Bagi orang Jawa Kulon maupun Bali, orang Osing dikenal eksklusif, suka menyendiri dan enggan bergaul. Mereka dikenal sebagai orang-orang pemarah tanpa nalar, tukang santet, serta pemalas. Julukan, stereotipe dan stigma tersebut sudah menjadi hal yang begitu biasa, bahkan banyak orang tua yang menasehati anak atau kerabatnya agar berhati-hati jika berkawan atau berkenalan dengan orang Using.

Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh ibu Nur, bahwa orang Using terkenal malas dan kasar. Dalam perbincangan dengan Ibu Nur itu, ia bercerita bahwa sedang terjadi sebuah perdebatan pada koran setempat mengenai satu lagu berbahasa Osing yang kata-katanya seronok serta merujuk pada kelamin perempuan.

Namun ketika saya konfirmasi berita ini kepada Pak Pur,37 ia hanya tersenyumdan dengan santai berkata “Ya maklum yang membuat lagu itu seniman jalanan”. Nampaknya memang ada keraguan dalam diri orang Using sendiri. Mungkin karena posisi mereka selama ini yang terjepit sehingga tidak memiliki suara yang benar-benar mewakili diri mereka.38Hal ini seperti diperlihatkan secara

37

Penduduk Kemiren asli, termasuk tokoh Osing ,seorang petani yang cukup berhasil mengembangkan jenis padi lokal juga pencinta gandrung.


(47)

jelas oleh Ibu Nur yang seperti mengafirmasi stereotipe negatif di seputar orang Using. Ketika itu saya masih ingat betul nada suara Ibu Nur ketika bercerita tentang orang Using atau apapun yang berkaitan dengan Using. Nada suaranya begitu negatif, bahkan terkesan melecehkan.

Jika ingin melihat dan bertemu langsung dengan orang Using, desa Kemiren adalah tempat yang tepat untuk dituju. Satu-satunya desa yang dipandang sebagai “masih murni Using” adalah desa Kemiren. Desa ini berada di kecamatan Glagah (kira-kira 5 km arah Barat kota Banyuwangi). Sejak 1993 desa ini telah ditetapkan sebagai “Desa Using” yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan ‘keusingan’.

Area wisata Budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar Budaya Osing. Desa yang berada diketinggian 144 m diatas permukaan laut ini memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26º. Kondisi ini membuat desa Kemiren amat sejuk serta amat menarik untuk dikunjungi, apalagi pemandangan alamnya amat indah dan menawan.

Desa Kemiren memanjang hingga 3 km yang kedua sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari arah Barat ke Timur. Ditengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 meter yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi Timur dan keperkebunan/pemandian kalibendo di sebelah Barat.Pada siang hari, terutama pada hari libur, jalan yang membelah desa Kemiren ini cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke pemandian Kalibendomaupun ke lokasi wisata “Desa Using”.


(48)

Sebagian besar penduduk Kemiren memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka telah lama mengenal pendidikan baik pesantren maupun sekolah-sekolah umum. Untuk menempuh sekolah-sekolah diatas SD, para penduduk Kemiren harus keluar desa dan pergi ke ibu kota Kecamatan atau di Kota Banyuwangi39.

Dengan membayar 25 ribu rupiah saya diantar oleh ojek dari terminal Karangmente ke rumah Bapak Purwanto. Kedatangan saya itu disambut bunyi-bunyian yang berasal dari alat musik bambu. Bunyi-bunyi-bunyian itu diperdengarkan dari pengeras suara yang dipasang tinggi-tinggi di depanrumah seorang warga. Tidak kurang 10 rumah dari situ terdengar kembali lagu daerah berbahasa Using. Dan begitu seterusnya.

Ketika itu saya tiba di desa Kemiren sekitar jam 9 pagi sehingga tidak mengherankan suasana desa terlihat begitu sepi. Minim sekali aktifitas manusia di desa saat itu. Saya menduga anak-anak sedang pergi kesekolah serta para orang tua sedang pergi ke sawah atau bekerja di kebun.

Kemiren adalah salah satu tujuan wisatawan lokal, nasional maupun internasional. Hal ini terbukti dengan tersedianya sejumlah penginapan sederhana yang memang diperuntukan bagi para tamu yang datang dari dalam dan luar negeri. Sejumlah keluarga Kemiren pun membuka pintu rumah mereka untuk dijadikan penginapan bagi para tamu tersebut. Para wisawatan ini datang ke Kemiren memang berniat untuk merasai kehidupan penduduk yang sarat dengan budaya lokal.

Desa Kemiren memang istimewa. Keistimewaannya itu telah membuatnya mendapat sebutan sebagai desa wisata. Menjadi istimewa karena Kemiren adalah


(49)

salah satu desa pemukiman orang-orang suku Using yang sangat hidup tradisinya. Di desa ini pula tinggal dua orang penari Gandrung yang belum tertandingi popularitasnya.

Orang Using menyebut diri sebagai penduduk asli Banyuwangi. Yang membedakan mereka dari orang-orang Banyuwangi pendatang adalah gaya mereka bicara. Beberapa kata yang sempat saya catat saat bersama mereka, misalnya: gerimis menjadigerigis,saikimenjadisaikai,isunadalah sebutan untuk saya,ikumenjadiikau, begitu menjadibedigaudantelumenjaditelau.

Upaya menghidupi tradisi sengaja dilakukan oleh para orang tua di desa Kemiren. Misalnya latihan seni barongan serta angklung sawah adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Kemiren seminggu sekali. Kegiatan keagamaan juga dilakukan antara lain membaca Quran bersama yang diikuti oleh laki-laki segala usia, dilakasanakan setiap hari Rabu malam yang mereka sebut sebagaiReboan.

Menurut Pak Purwanto, kegiatan ini mulai banyak diikuti oleh orang-orang muda.Reboan adalah salah satu ruang belajar dan latihan bagi orang-orang muda Osing untuk menghidupi tradisi Kemiren. Upaya para orang tua Kemiren ini adalah dalam kerangka mewariskan kesenian tradisional yang menjadi identitas ‘keosingan’.

Melalui kesenian barongan maupun Reboan, anak-anak muda Kemiren ditanamkan kecintaan terhadap kesenian lokal mereka sendiri. Melalui latihan rutin dan kemudiandisertakan dalam pementasan pesta khitanan, perkawinan ataupun panen raya, para orang muda ini diajak untuk semakin mengenali diri mereka sebagai orang Osing. Namun ada satu hal yang bagi saya sungguh


(50)

menarik. Dua jenis kesenian ini anggotanya seluruhnya adalah laki-laki. Para perempuan muda tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kesenian itu. Yang dapat para perempuan ini lakukan adalah menonton kesenian tersebut40.

Orang Osing di Kemiren adalah sekelompok masyarakat agraris. Sawahdan ladang adalah sumber rejeki mereka. Hasil pertanian terbesar adalah padi. Selain padi, tanah Kemiren menghasilkan jagung, kacang tanah, dan kedelai. Selain itu ada perkebunan pemerintah dan swasta seperti PTP XXVI dan PTP XXIX yang menghasilkan karet, coklat, teh, kepala, kapuk dan cengkeh. Selain pertanian, perikanan juga menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Banyuwangi. Di sektor perdagangan, nilai ekspor terbesar didapat dari hasil pertanian serta perikanan41.

Biasanya selepas bekerja di sawah, beberapa dari mereka akan istirahat sembari minum kopi dan ngobrol santai dengan dua atau tiga orang diantara mereka. Pembicaraan yang terjadi adalah pembicaraan ringan seputar apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka membicarakan apa saja yang terjadi saat mereka bekerja atau issue-issueaktual di dunia. Tidak jarang mereka melepas lelah sambil bermain angklung atau alat musik tradisional milik mereka sendiri. Oleh karena itu, merupakan hal yang biasa jika siang hari datang terutama sehabis makan siang, terdengar suara alat musik angklung sedang dimainkan di beberapa penjuru Desa Kemiren.

Selain mengandalkan pertanian, Orang Using di Desa Kemiren juga memiliki sumber mata pencahariaan pada sektor industri. Salah satunya adalah pada industri batu bata. Di desa ini terdapat pabrik batu bata rumahan.

40


(51)

Yang bekerja ditempat ini bukan hanya laki-laki. Banyak sekali perempuan Kemiren terutama ibu-ibu muda atau setengah baya yang bekerja di pabrik ini. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di pabrik batu bata, alasannya sangat sederhana, mereka butuh uang tambahan untuk belanja serta jajan untuk anak-anak mereka yang masih sekolah.

Para perempuan ini akan bekerja di pabrik setelah urusan rumah tangga mereka selesai. Misalnya menyiapkan makan untuk anak dan suami atau membereskan rumah serta sejumlah pekerjaan domestik lainnya. Jika urusan domestik selesai, biasanya sekitar pukul 8 atau 9, para perempuan ini akan pergi ke pabrik untuk bekerja mencetak bata. Menjelang siang, sekitar pukul 11 mereka kembali ke rumah untuk beristirahat. Selepas istirahat, mereka bisa kembali bekerja atau tetap tinggal di rumah. Selain itu mereka juga bisa melanjutkan kegiatan lainnya, seperti pengajian, atau sekedar ngobrol-ngobrol dengan tetangga.

Upah yang diterima para perempuan ini sungguh tidak banyak. Mereka menerima upah berdasarkan jumlah batu bata yang berhasil mereka cetak. Padahal harga batu bata tiap satuannya adalah 50 rupiah.42 Sebuah upah yang sangat kecil mengingat pekerjaan para perempuan ini cukup berat.

Selama dua minggu bersama orang Using, saya melihat kesetiaan merekapada pekerjaan, baik sebagai petani ataupun pembuat batu bata. Saya tidak atau belum melihat perempuan yang duduk dan santai-santai apalagi nonton sinetron, seperti kebanyakan ibu-ibu di Jakarta. Para ibu di Jakarta ini biasanya nonton sinetron atau variety show sembarimemasak, atau menyetrika.

42


(52)

Sementara itu ibu-ibu di Kemiren sehabis melakukan pekerjaan rumah, biasanya ngobrol dengan tetangga. Ada juga yang sambil mencabut uban, atau mungkin sambil mencari kutu.Aktivitas sosial seperti inipun hanya terlihat sekitar jam 11an. Perempuan kemiren sejauh pengamatan saya adalah perempuan pekerja keras. Jauh dari gambaran yang saya dengar dari Ibu Nur tentang kemalasan orang-orang Using yang setelah bekerja, mendapat uang lalu menghabiskan hari itu juga.

C. Profil Gandrung di Kemiren

Pekerja seni gandrung yang berhasil saya temui dan wawancara adalah sosok perempuan mandiri serta bertanggung jawab.Penghasilan menggandrung yang mereka dapatkan, dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau membantu keluarga lain. Jelas mereka tidak hidup untuk diri mereka sendiri.

Dalam sub bab ini saya akan memamparkan kisah hasil wawancara tiga orang penggandrung, dua asal Kemiren dan satu dari Cungking.Masing-masing memiliki kisah dan pengalaman, yang –saya pikir- dapat menjawab sejumlah rumusan masalah di atas.

1. Gandrung Darti

Saat saya temui dikediamannya didesa Kluncing, dalam bincang-bincang hari itu Darti didampingi suaminya. Didinding ruang tamu ada foto hitam putih Darti dengan kostum gandrung.Riasan wajah hanya menggunakan bedak tipis, pemerah bibir dan riasan tipis disekitar mata.Jika dibandingkan dengan riasan wajah gandrung sekarang, terlihat perbedaan yang mencolok.Riasan gandrung


(53)

yang saya lihat sekarang menggunakan riasan yang tebal sehingga wajah asli penari hampir tidakbisa dikenali.

Darti adalah cucu dari mbah Semi.Usia Dartisekarang sekitar 50-an, jadi kira-kira dia lahir tahun 1960an.Diusianya yangke-50, Darti masih menerima tawaran manggung dibeberapa tempat. Bahkan, ikut serta dalam satu projek karya tari seorang koreografer tari bernama Dedy Lutan. Darti juga beberapa kali ikut latihan tari di Jakarta serta melakukan pentas besar di Jakarta. Selain itu, Darti juga sering melakukan tour ke luar Banyuwangi43. Kelincahan gerak tubuh dan keindahan suaranya telah membawa dirinya hingga ke panggung-panggung internasional.

Ia bercerita, sejak usia sekolah dasar ia sudah tertarik pada kesenian gandrung.Dimanapun, kapanpun jika terdengar alunan musik, tanpa malu dan ragu Darti akan menari gandrung. Bahkan ia sering melakukannya di jalanan, bersama teman-temannya. Darti sempat menceritakan pengalamannyaketika ia masih bersekolah. Dahulu, jika Darti pulang dari sekolah dan tiba-tiba mendengar alunan musik gandrung, tubuh Darti akan langsung menari tanpa henti sampai ia tiba dirumah.

Darti yang pada waktu wawancara ditemani oleh suami, mengatakan bahwa menjadi gandrung mendatangkan banyak keuntungan. Selain ia bisa terkenal, gandrung pun mendatangkan banyak uang. Apalagi ketika gandrung telah dijadikan ikon kota, gandrung pun makin dikenal sebagai kesenian hiburan.

Namun semakin terkenalnya kesenian gandrung ini, tentu membuat banyak sekali gandrung-gandrung muda bermunculan. Kesempatan Darti

43


(54)

menggandrung pun semakin terbatas. Tapi hal ini tidak terlalu dipikirkan Dartiyang penting kesenian itu tetap ada. Menurut Darti, gandrung-gandrung muda itu masih perlu banyak latihan baik gerak maupun suara. Karena sebenarnya banyak diantara mereka hanya suka menari tapi tidak berbakat menjadi gandrung. Bagi Darti, gandrung adalah kesenian yang harus punya dua kebisaan yaitu nyanyi dan gerak tari, kalau hanya bisa menari tetapi tidak bisa menyanyi, tentu akan percuma. Karena ketika menggandrung, seorang penari gandrung juga harusmenyanyi. “Jika hanya bisa nyanyi tetapi tidak bisa menari, ya bukan gandrung namanya. Jadi penyanyi saja” ujarnya.

Menanggapi stereotipe negatif seputar gandrung yang katanya sukamenggoda laki-laki Darti berkomentar, “Itu tidak benar, bisa jadi hanya karangan orang-orang yang memang tidak suka terhadap gandrung. Kalaupun gandrung bekerja didunia malam toh belum tentu menjadi perempuan gampangan yang bisa dibawa kemana-mana”. Menurutnya memang ada gandrung yang beberapa kali kawin cerai, tapi bukan berarti semua gandrung senang kawin cerai atau tidak setia.

Mukhlis (suami Darti) bekerja di Dinas Kesenian Blambangan. Sebagai suami seorang gandrung ia sangat mendukung profesi istrinya. Prinsipnya ia tidak akan ikut campur urusan sang istri supaya Darti memiliki kebebasan untuk berekspresi sepenuhnya di arena gandrung.44 Pasangan ini tidak dikaruniai anak dan mereka terlihat bisa menerima keadaan ini dan bahagia.


(55)

(Saya bersama Gandrung Darti dan Mukhlis (suami Darti), di rumah kediamannya-foto koleksi pribadi)

Menyandang tanggung jawab sebagai penerus gandrung Semi adalah pilihannya. Mulai dari lagu-lagu dan gerakan hingga ornament amprok semuanya masih original seperti yang ada sejak jaman Semi. Terlihat foto Semiberukuran kurang lebih 30 x 35 cmterpajang diruang tamu pasangan Darti dan Mukhlis. 2. Gandrung Temu

Temu, adalah gandrung berusia 50-an.Ia teman seangkatan Darti . Temu berasal dari Desa Kemiren. Temu bercerita ia pernah menikah dengan seorang pegawai pemerintah. Namun kemudian bercerai setelahmengetahui bahwa si suami memiliki perempuan lain yang dinikahi secara diam-diam. Paling buruk lagi, ternyata perempuan yang dinikahi suaminya itu adalah rekan kerjanya di kantor. Temu pernah mencoba lagi untuk berkeluarga, namun lagi-lagi ia gagal ditengah jalan. Selanjutnya Temu memutuskan menjanda dan sekarang tinggal bersama anak angkatnya bernama Amiryang menjadi teman hidupnya sekarang ini. Temu sudah mengangkat Amir semenjak Amir masih bayi. Sekarang Amir sudah berusia 8 tahun.


(56)

Rumah tinggal Temu terlihat tidak terurus.Lampu dapur mati, kamar mandi dan WC rusak.Kondisi ini membuat Temu dan Amir harus pergi ke sungai untuk urusan mandi dan buang air, juga cuci mencuci. Lantai peluran pun sudah kelihatan rusak disana-sini. Bisa dibayangkan, meskipun disapu berkali-kali lantai itu tetap kotor, karena pasir dan semen bekas peluran memang tidak bisa dibersihkan dengan sempurna. Kalaupun dibersihkan pasti orang pikir rumah ini tidak pernah disapu.

Di ruang tamu itu ada satu set TV dan DVD player yang belakangan saya ketahui selain sebagai satu-satunya benda untuk hiburan juga dipakai untuk melatih anak-anak SMA yang setiap seminggu sekali latihan gandrung di rumah Temu.

Temu bercerita, ia menjadi gandrung atas keinginan orang tuanya. Ketika itudukun gandrung meminta agar ibu Temu mengijinkan dirinya untuk mengajarkan gandrung kepada Temu.Keinginan si dukun lalu disampaikan ibu kepada Temu, dan langsung dijawab “Osing” oleh Temu, yang artinya tidak.

Permintaan kedua datang dari dukun yang sama, tapi kali ini, menurut Temu, disertai guna-guna.Si dukun rupanya memberikan kopi kepada ibunya agar supaya diberikan kepada Temu.Setelah kopi diminum, Temu ditanya apakah bersedia menjadi gandrung dan tanpa ragu-ragu Temu menjawab “ya”45. Tampaknya guna-guna adalah hal biasa di desa ini. Hingga kini saya masih mencoba untuk memahami masalah ini dengan seksama.


(1)

yang bisa ditafsirkan secara bebas oleh masyarakat, alasan pertama, soal berpakaian dan cara berdandan. Yang pertama adalah soal kostum tari mereka yang memang agak terbuka di bagian atas sehingga lengan dan bagian ketiak dapat terlihat bebas serta riasan wajah yang amat tebal. Salah satu item kostum penari Gandrung ini adalah kain panjang. Kain itu dipakai dengan sangat ketat sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, mulai dari dada hingga kaki. Riasan atau make up yang dipakai pun tampak berlebihan. Bahkan dengan penggunaan make up itu, orang yang sama bisa terlihat sangat berbeda. Manglingke kalau kata orang Jawa, atau membuat orang tak mengenalinya.

Alasan kedua, waktu pertunjukan yang terjadi mulai pukul 21:00 sampai pukul 03:30 pagi atau menjelang terdengarnya suara azan subuh. Pada umumnya, diyakini oleh masyarakat bahwa perempuan yang bekerja malam hari apalagi berhubungan dengan hiburan dianggap bukan perempuan “baik-baik”. Alasan

ketiga, audiens gandrung sebagian besar adalah laki-laki. Tua dan muda. Kalaupun ada audiens perempuan biasanya tidak hadir menonton Gandrung sampai pagi.

Alasan keempat, hampir dalam setiap pertunjukan Gandrung di malam hari, selalu ada sajian berupa minuman beralkohol yang jelas-jelas dilarang oleh agama dan pemerintah. Secara praktis alkohol dianggap dapat memicu kerusuhan. Alasan kelima, pada waktu tertentu ada tahapan dimana antara penari dan audiens menari bersama dan saling berhadapan. Masalah yang seringkali muncul adalah agresifitas dari para penonton yang tidak terkontrol. Agresifitas ini sering muncul ketika penonton laki-laki lepas kontrol dan melakukan berbagai


(2)

gerakan yang sifatnya melecehkan para penari, misalnya saja mencium kemudian memegang bagian tubuh tertentu dari perempuan gandrung.

Citra yang dilekatkan kepada perempuan gandrung tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus menjadi penari gandrung. Masalah ekonomi menjadi alasan utama. Dari ketiga penari gandrung yang sempat saya wawancarai dan sejumlah penari gandrung yang sempat saya temui saat di arena pertunjukan mengatakan bahwa alasan utama mereka menjadi penari gandrung karena amat mudah untuk mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Uang hasil menggandrung digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan anak-anak mereka, juga anggota keluarga yang membutuhkan bantuan ekonomi. Salah seorang perempuan Gandrung muda yang saya wawancarai mengatakan memilih profesi ini karena terdesak oleh kebutuhannya yaitu membayar biaya kuliahnya serta membantu keluarganya.

Pemerintah Banyuwangi melihat sudah waktunya Banyuwangi memunculkan ke-Usingan melalui kekayaan budaya mereka. Selain itu hal ini juga bisa dijadikan sumber pendapatan daerah. Dari beragam kekayaan budaya Banyuwangi, pemerintah setempat memilih Gandrung sebagai maskot kota Banyuwangi yang baru. Patung gandrung menandai bahwa Banyuwangi adalah kota wisata. Maskot ular berkepala Gatot Kaca diganti dengan perempuan penari Gandrung.

Pemerintah daerah Banyuwangi melakukan ini dengan ‘radikal’. Hampir

di setiap sudut kota berdiri patung Gandrung. Perubahan ini menuai pro dan kontra dintara masyarakat Banyuwangi sendiri. Alasan pro, karena Gandrung adalaha tarian asli Using yang selama ini tenggelam diantara masyarakat


(3)

pendatang lainya yang secara ekonomi dan pendidikan dianggap lebih berhasil. Dengan dijadikannya Gandrung sebagai Maskot, ke-Usingan – Banyuwangi

terlihat lewat kesenian asli. Kelompok yang kontra terhadap keputusan pemerintah mendasarinya dari sudut moralitas. Citra perempuan maksiat yang bertahun-tahun melekat mulai melemah. Masyarakat yang dulu termakan issue negatif seputar perempuan gandrung mulai menikmatinya sebagai sebuah pertunjukan kesenian dan sekarang berubah citra menjadi “ perempuan tradisi”

yang dianggap memiliki nilai budaya dan sejarah.

Upaya rekonstruksi perempuan gandrung dari maksiat menjadi penari tradisi dilakukan melalui promosi budaya yang diagendakan oleh DKB (Dewan Kesenian Blambangan) secara terjadwal. Pertunjukan Gandrung tidak mutlak dilakukan pada malam hari, bahkan sering ditampilkan sebagai tarian untuk menyambut tamu. Jika ada pawai budaya, ribuan perempuan penari gandrung dibariskan pada bagian depan pawai sebagai maskot kota. Tarian gandrung sudah menjadi program sekolah-sekolah di Banuwangi.

Pemerintah Banyuwangi melakukan konstruksi baru dengan mengangkat issue yang ada di akar rumput yang berkaitan dengan budaya. Budaya dan tradisi yang dimiliki Using adalah modal utama dalam mengangkat Banyuwangi ke mata dunia, walaupun ada semacam dugaan bahwa, seperti tertulis pada bab sebelumnya, Banyuwangi memiliki sejarah kelam berkaitan dengan peristiwa G30S PKI serta peristiwa dukun santet tahun 1999. Namun upaya mengkonstruk Banyuwangi menjadi kabupaten berbudaya dan mandiri, telah dimulai oleh pemerintah daerah melalui pembangunan sarana dan prasarana wisata budaya daerah. Bupati Banyuwangi yang kebetulan adalah putra daerah Using, telah


(4)

cukup sigap merespon berbagai situasi serta issue yang ada di masyarakat mengenai Gandrung. Sehingga pencitraan Banyuwangi dengan ke-Usingan-nya tetap dapat berjalan dengan baik.

Identitas perempuan penari gandrung adalah sebuah identitas yang terkonstruksi oleh penguasa dari jaman ke jaman. Upaya menyesuaikan diri oleh para penari Gandrung itu selalu dilakukan untuk dapat bertahan. Sebagai subjek tradisi, keberadaan Gandrung ironisnya tidak hanya sebagai pelaku ritual budaya, tetapi juga sebagai komoditas budaya lokal yang laku dijual.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas: Pergaulan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera

Kumbara, Anom. Konstruksi identitas orang Sasak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Humaniora, Vol.20, 3 Oktober 2008

Anoegrajekti, Novi. Gandrung Banyuwangi: Kontestasi dan representasi identitas Using. Jurnal Humaniora, Vol.23, 2011

Hall, Stuart. 2003. Who needs identity? Question of Cultural Identity. London: Sage

Larasati, Rachmi Dyah. 2012. Desiring The Stage: The Interplay of Mobility and Resistance (in Neoliberalism and Global Theatres: Performance Permutations. Eds. Lara Nielsen and Patricia Ybarra. Palgrave

Yekti, Maunati. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. LKIS: Yogyakarta

Ham, Ong Hok. 2009. Sukarno Orang Kiri Revolusi & G30S 1965. Komunitas Bambu: Jakarta

Jurnal Perempuan. 2009. Edisi Khusus 62: Perempuan dan Seni Pertunjukan. Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta

Procter, James & Stuart Hall. 2004.Critical Thinkers. Routledge: London

Setiawan, Eko Budi. 2000. Resistensi Budaya dan Ekspresi Politik Masyarakat Using. Kelompok Pencinta Banyuwangi

Suharto, Ben. 1999. Pertunjukan Tayub dan Ritus Kesuburan. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

SRINTHIL: Media Perempuan Multikultural. 2002. Edisi 1: Jaipong Jatinegara: Merebut Ruang di Kegelapan Malam Kota. Desantara: Depok

_______. 2004. Edisi 6: Politik Tubuh Seksualitas Perempuan Seni. Desantara: Depok


(6)

_______. 2006. Edisi 3: Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam. Desantara: Depok

_______. 2007. Edisi 12: Penari Gandrung dan Gerak Sosial di Banyuwangi. Desantara: Depok

_______. 2008. Edisi 1: Etnografi Gandrung Pertarungan Identitas. Desantara: Depok

Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Gramedia: Jakarta

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Cetakan I. Gajah Hidup

Seri Buku Tempo. 2014. LEKRA dan Geger 1965. PT.Gramedia: Jakarta Media Cetak

Dari Banyuwangi: “Isun Gandrung, Gandrungono Isun”, KOMPAS, 14 Desember

2013

“Gandrung Banyuwangi, Tarian Penggerak Ekonomi”, KOMPAS, 8 Januari 2011

Kalender Wisata 2008 Kabupaten Banyuwangi

“Ronggeng Ciamis, Bergoyang di Tengah Perubahan Zaman”, KOMPAS, 24 Juli