Keragaman di Bumi Blambangan

29

1. Keragaman di Bumi Blambangan

Dalam perjalanan menuju ke bumi Blambangan, saya bertemu dengan ragam manusia serta mengalami berbagai kisah yang memberi gambaran kepada saya akan bumi Blambangan ini. Salah satu pengalaman itu adalah ketika saya berada dalam bis antar kota Yogyakarta – Banyuwangi. Ketika itu saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu bernama Nurani. Ketika bis mulai begerak meninggalkan terminal Giwangan saya membuka obrolan dengan memperkenalkan diri dan bertanya tujuan perjalanan Ibu Nur. Ibu Nurani langsung merespon dan balik bertanya darimana dan kemana tujuan saya. Kami pun mulai berbincang. Ibu Nur bercerita bahwa kakek dan nenek buyutnya berasal dari Solo- Jawa Tengah, karena alasan perbaikanekonomi, maka beberapa anak-anaknya hijrah ke Banyuwangi. Rupanya, keberuntungan berada dipihak mereka. Segala usaha yang dilakukan oleh keluarga mendatangkan uang dan kesejahteraan. Akhirnya karena kesejahteraan yang telah tercapai itu, hampir semua keluarga bu Nur pindah ke Banyuwangi, dan telah tinggal di Banyuwangi hingga saat ini. Bu Nur sendiri adalah seorang Guru di SMA Islam Jajag. Begitu juga Bapak dan adiknya, mereka adalah guru-guru yang telah mengabdikan hidup pada profesi itu dengan sepenuh hati. Baginya, profesi guru adalah hal yang turun temurun dan merupakan sebuah pengabdian. Sementara itu, suami bu Nur adalah seorang petani sayur, yang juga keturunan orang Jawa. Saya dan Bu Nurani pun terus berbincang sampai akhirnya kami tiba di kota Banyuwangi. Di salah satu sudut terminal Tanjungwangi ketika itu, saya sempat menyaksikan kesibukan sebuah kota kecil di pagi hari. Para pemilik juga 30 para pekerja toko mulai membuka toko. Mereka menyapu lantai kemudian membersihkan barang dagangan yang digantung dengan kemoceng. Sementara itu di pinggir terminal lainnya, pedagang buah serta oleh-oleh menata barang dagangan mereka. Barang-barang yang mereka jual itudiantaranya seperti rengginang, dodol, kerupuk, kue kelapa, kacang goreng pasir, kerupuk warna –warni besar setahu saya kerupuk itu adalah kerupuk khas Madura serta beragam buah-buahan. Suasana Terminal Tanjungwangi saat itu terlihat sepi penumpang. Satu dua orang menunggu bis, entah berdiri diluar bis atau sambil duduk didalam. Sepertinya ini memang khas terminal-terminal kecil di daerah.Sibuk tetapi sepi itu kesan saya pada saat diterminal Tanjungwangi. Jika saya membandingkan dengan Jakarta, tentu jauh berbeda. Di Jakarta, dalam hitungan detik saja, bis dan angkot pasti sudah penuh. Bahkan tidak jarang calon penumpang harus berlari-lari mengejar bis. Dan kalau sampai ketinggalan, penumpang harus menunggu lagi. Pola ini akan terjadi terus, hingga jam-jam sibuk selesai. Ketika berada di terminal itu, saya mendengar percakapan orang-orang yang hilir mudik dengan berbagai logat yang khas. Beragam logat yang bercampur baur itu diantaranya bisa saya kenali sebagai logat Madura, Jawa, Surabaya, dan Bali. Tidak hanya logat-logat itu, beragam wajah dari beberapa suku bangsa di Nusantara, salah satunya orang-orang keturunan China cukup mudah sayakenali. Terminal memang tempat yang sangat pas untuk melihat dinamika suatu kota. Di terminal itu pula, geliat kehidupan kota yang bersangkutan bisa direka dan dikisahkan. Setelah menghabiskan waktu di terminal sembari mengamati 31 berbagai hal di seputarnya, saya kemudian memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Kabupaten. Di perpustakaan itu saya bertemu ragam manusia bumi Blambangan yang begitu menarik. Orang-orang yang saya temui di perpustaakaan itu, mulai dari petugas penerima tamu hingga penjaga perpustakaan serta beberapa yang lainnya, adalah orang-orang keturunan Jawa. Kebetulan, mereka semua adalah pegawai pemerintah, tepatnya karyawan Dewan Kesenian Blambangan. Tampaknya bumi Blambangan memang dipenuhi oleh para pendatang. Selain hal ini begitu terlihat di terminal, juga perpustakaan kota kabupaten, ketika saya pergi ke warnet warung internet, toko buku, serta makan di warung nasi terdekat, nuansa keragaman manusia juga begitu terasa. Penjaga warnet, para petugas toko buku serta ibu penjual nasi adalah orang-orang yang nenek moyangnya berasal dari luar Banyuwangi dan mereka sendiri lahir dan besar di Banyuwangi. Mereka umumnya berasal dari Jawa, Mandar, Madura, serta orang- orang Keturunan Cina. Kemudian, dari berbagai pengalaman bertemu itu, saya mulai bertanya- tanya di mana penduduk asli tinggal dan beraktifitas? Menurut sejumlah literatur dan narasi dari sejumlah orang di bumi Blambangan, penduduk asli di bumi ini adalah orang Osing. Pigeaud scholte, 1927 menyatakan bahwa orang Using adalah: “Penduduk asli Banyuwangi yang tidak mau hidup bersama dengan wongkulonan”. 35 Mereka yang tidak mau hidup dengan wong kulonan itulah yang disebut orang Using 36 . 35 Pendatang yang datang dari Jawa tengah dan sekitarnya dan orang Jawa timur, selain dari Bumi Blambangan. 36 “Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam” Dalam SRINTIL,Eds.3,Desantara,2004 32 Kutipan dari Pigeaud ini adalah penegas akan kesadaran dari orang-orang Osing ini. Orang-orang ini merasa beradadalam posisi terjepit dan selalu memperoleh tekanan struktural maupun kultural ditengah-tengah kehidupan dua kebudayaan besar, Jawa-Bali. Mereka selama ini seperti tidak punya posisi yang menguntungkan di hadapan orang Bali dan Jawa.

2. Orang Using di Kemiren