13
BAB II SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI
A.Pendahuluan
Jika membicarakan sejarah gandrung di Banyuwangi, maka akan ditemukan beberapa versi, tergantung siapa yang berbicara serta kepentingannya.
Dalam tulisan ini, saya akan menyertakan beberapa aliran pendapat itu tanpa berusaha menghakimi mana yang paling benar. Bab ini dibuka dengan menelusuri
awal mula munculnya gandrung di daerah Banyuwangi. Bila ditilik dari sejarahnya, gandrung pertama kali ditarikan oleh laki-laki,
baru di penghujung abad 19, gandrung mulai ditarikan oleh perempuan. Gandrung
17
. Semi tercatat sebagai gandrung perempuan pertama di Banyuwangi. Dalam kesempatan ini saya akan membahas gandrung Semi secara agak
mendalam karena di masa gandrung Semi inilah terjadi beberapa perubahan dalam gandrung. Perubahan itu diantaranya terkait dengan, adanya tari berpasangan, dan
musik pengiring yang lebih beragam, gamelan salahsatunya. Selanjutnya, saya akan membahas dengan menyoroti masa sekarang
dimana gandrung mendapat tantangan ‘baru’ dari masyarakatnya sendiri. Antara lain terkait dengan sebutan sebagai ‘perempuan murahan’.
B. Awal Mula Gandrung
17
Gandrung, digunakan sebagai nama tarian dan untuk sebutannama depan penari gandrung,mis:Gandrung Temu.
14
Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, disebutkan bahwa gandrung berasal dari sebuah kesenian bernama
“juru I angin”. Kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit. “Juru I angin” merupakan tarian istana di mana “seorang wanita menari sambil menyanyi dengan
sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang ‘buyut’, yaitu seorang pria tua yang berfungsi sebagai panakawan”.
18
Tarian “juru I angin” dianggap sebagai cikal-bakal tarian gandrung sebab: “penari gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu
melawak”.
19
Jika bersandar pada satu alasan itu saja, tentu asumsi bahwa gandrung mengekor dari tradisi “juru I angin” kurang kuat. Dariharto mengakui hal itu. Ia
mencoba memperkuat argumennya dengan meminjam pernyataan Drs. Sri Soeyatmi Satari bahwa daerah-daerah yang berada di pinggiran kerajaan, pola
kebudayaan dan tradisinya mengekor ke pusat.Akhirnya disimpulkan, karena Blambangan adalah ‘pinggiran Majapahit’ maka ia akan meniru kebudayaan
Majapahit.
20
Sebenarnya tidak terlalu penting apakah argumen di atas valid atau tidak, yang menarik yaitu adanya usaha untuk mendudukkan gandrung sebagai seni
kraton. Pemahaman ini berbeda dari cara PKI dulu merumuskannya. Gandrung dipakai sebagai lambang seni rakyat. Sampai disini, kita melihat bagaimana usaha
konstruksi dan rekonstruksi terhadap gandrung yang berkebalikan satu sama lain. Ningrat versus rakyat jelata.
18
Dariharto. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 5 tanpa keterangan tahun
19
Ibid.
20
Ibid.
15
Pertunjukan gandrung sendiri mulai berkembang di tanah Blambangan kira-kira sekitar tahun 1890. Ketika itu, penarinya adalah laki-laki berusia 7
sampai 16 tahun. Gandrung laki-laki mengenakan kostum perempuan, dan mereka dikenal dengan sebutan gandrung lanang gandrung laki-laki. Diduga, tingkah
laku dan kostum gandrung lanang yang feminin itu sudah merupakan fenomena yang umum pada masa itu, hal sama serupa terjadi pada Ludruk, Reyog Ponorogo,
Ketoprak, Mendu dari kepulauan tujuh, kepulauan Riau serta Kalimantan Barat, Mamanda
Kalimantan Barat, Dulmuluk Sumatra Selatan serta Gambus Jombang-Mojokerto yang semuanya itu menampilkan laki-laki dengan peran
perempuan. Pada masa itu pertunjukan gandrung dilakukan dari desa ke desa dengan
menerima upah berupa beras serta uang. Alat musik yang digunakan pun sangat sederhana, hanya berupa kenong, biola, gong besar serta kluncing besi jenis
kuningan berbentuk segi tiga. Gandrung Druning adalah gandrung lanang pertama yang sempat dicatat.
Tapi sepertinya gandrung Marsan lebih melegenda, diduga karena Marsan satu- satunya gandrung yang bertahan hingga usia 40 tahun sementara yang lainnya
hanya sampai usia 16 tahun. Kira-kira tahun 1895, tercatat perempuan gandrung pertama yang berasal
dari Seblang.
21
Merunut ke belakang, pada tahun 1850, diketahui desa Cungking
21
Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upcara magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan
Hindu yang sampai sekarang dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri trance karena kerasukan atau
kesurupan roh halus, baik roh yang bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada tari seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke penari. Ciri-ciri
gerakannya yaitu dilakukan dengan ritme monoton.
16
dan sekitarnya dihidupi oleh masyarakat yang beragama Hindu. Kedekatan masyarakat dengan alam, membentuk hidup mereka yang terintegrasi dalam satu
kesenian Seblang. Kesenian yang menjadi wujud rasa syukur masyarakat pendukungnya ini dipenuhi dengan unsur-unsur magis. Hingga hari ini, kesenian
Seblang masih bisa ditemukan di desa Bakungan dan Olehsari. Secara fungsional, Seblang digunakan oleh masyarakat sebagai sarana
penyembuhan bagi orang sakit. Menurut cerita, orang desa biasa bernazar jika orang yang mereka kasihi sembuh dari sakit. Misal, kalau anaknya sembuh dari
sakit maka ia akan menanggap gandrung. Selain itu, kesenian seblang juga dapat ditampilkan saat acara bersih desa.
Hingga kini, gandrung dan seblang adalah dua kesenian yang saling melengkapi. Ketika masyarakat ingin melakukan upacara syukur akan berkah
yang mereka terima dalam hidup dan desa mereka, masyarakat setempat biasanya akan mengundang para penari gandrung serta menanggap kesenian seblang.
Seblang sebagai media untuk mengucap syukur dan gandrung sebagai media untuk menghibur dan membuat suasana semakin meriah.
C. Gandrung Semi: Gandrung Perempuan Pertama di Banyuwangi