76
C. Lambang kemaksiatan
Disaat yang sama perempuan penari gandrung dipandang sebagai perempuan maksiat. Faktor yang memperkuat stereotipe itu antara lain:
banyaknya kasus kawin cerai diantara para gandrung dialami oleh Mudaiyah dan Temu, terjadi perselingkuhan antara gandrung dan pemaju, jadwal pertunjukan
malam hari yang di warnai dengan pesta minuman keras diantara pemaju, dan tari berpasangan antara gandrung serta pemaju.
Masuknya arus Islam modern yang mulai mengibarkan kekuasaannya di Indonesia pada awal abad ke-20 semakin membuat orang-orang Using terdesak.
Nahdlatul Ulama NU dalam Muktamar pertamanya di Surabaya, membahas dua komponen kesenian itu. Mereka akhirnya menjadikan hal itu sebagai keputusan
Muktamar. Dua komponen kesenian diantaranya adalah alat musik dan gerak tari
lenggak-lenggok. Yang menarik dalam keputusan ini adalah, tarian dalam teks keputusan tersebut eksplisit disebut sebagai “tari lenggak-lenggok”. Keputusan ini
merujuk pada hadist Nabi, melalui Aisyah, tentang tari komunitas Habasyah dari Eitopia yang pernah disaksikan Nabi Muhamad. Sejumlah ulama seperti imam
al-Qaffal, al-Rauyani, Imam al-Haramain, dll berpendapat bahwa hukum tari- tarian adalah mubah boleh
74
, selanjutnya keputusan muktamar itu menyebutkan:
“Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh mubah meskipun dengan lenggak-lenggok dan lemah gemulai,
selama tidak terdapat gerak wanita bagi kaum laki-laki, dan
74
Effendy, Bisri. Dalam Jurnal Perempuan-untuk pencerahan dan kesetaraan.No.62. Edisi Khusus 2009.Hal.26
77
menyerupai gerak laki-laki bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut, maka hukumnya haram.”
75
Namun, sebagian besar ulama dan santri Banyuwangi rupanya menyoroti gandrung sebagai kesenian yang haram dan lebih banyak hal buruknya. Hal ini
diakui oleh beberapa tokoh Osing yang beragama Islam, namun tidak sepikiran dengan para ulama penentang gandrung.
Sejumlah penduduk Banyuwangi yang beragama Islam mengkritik pemasangan patung gandrung di hampir setiap sudut kota. Pemasangan patung ini
memang pada akhirnya menimbulkan banyak kritik dan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan kritis yang sering muncul adalah soal kesenian gandrung yang
dianggap sangat tidak Islami, bernuansa erotis, menghalalkan seks bebas, menghalalkan alkohol serta perselingkuhan.
Salah satu pernyataan sinis tentang gandrung, keluar dari mulut Bu Nur. Bu Nur adalah salah seorang warga Banyuwangi yang kisahnya telah saya
ceritakan pada bab III. Pernyataan sinis Bu Nur itu adalah “kesenian antara hidup dan mati”.
Ia juga melanjutkan bahwa “kesadaran orang hidup beragama sudah semakin kuat jadi
kalau orang mau panggil gandrung untuk mengisi pesta mereka akan pikir-pikir dahulu”.
76
Dari pernyataan tersebut, saya menangkap bahwa ibu Nur, tidak pernah belajar tentang keosingan apalagi soal perempuan gandrung. Melalui pernyataan-
pernyataan sinisnya itu menggambarkan bahwa beliau memposisikan diri sebagai orang pendatang yang memandang Osing sebagai suku yang terbelakang.
75
Ibid.
76
Hasil wawancara 10 Mei 2011
78
Bersamaan dengan itu, dia juga mengganggap perempuan gandrung sebagai perempuan murahan.
Sebagai seorang pendidik di sekolah Islam Muhammadiyah, Ibu Nur, mengakui bahwa beberapa siswanya juga ikut serta dalam pelatihan gandrung.
Tapi soal kostum, mereka diminta untuk menggunakan kaos berlengan panjang.Ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian. Tampaknya identitas gandrung sebagai
kesenian, begitu lentur dan mudah di tarik-tarik. Mengingat mayoritas penduduk Banyuwangi beragama Islam, maka
wajar-wajar saja jika banyak orang tidak setuju dengan keputusan Pemda menjadikan gandrung sebagai maskot pariwisata sekaligus maskot Kota
Banyuwangi. Hal tersebut dianggap tidak mewakili pluralitas di Kabupaten Banyuwangi, dan hanya merujuk pada satu kebudayaan saja. Padahal perlu diakui
dinamika bumi Blambangan ini banyak dipengaruhi oleh penduduk yang nenek moyangnya berasal dari Madura, Jawa, Bali dan sekitarnya. Bagi beberapa orang,
pemaskotan ini adalah seuatu yang hanya menuruti kehendak institusi atau orang- orang yang punya dominasi kuat.
Konstruksi identitas Banyuwangi melalui representasi perempuan gandrung telah melalui berbagai perdebatan yang amat seru. Kekuatan simbol
sejarah dan agama telah memposisikan perempuan gandrung sebagai representasi yang berada dalam proses yang terus menerus mengalami perubahan.
Kedua kekuatan tersebut, mengusung kepentingan yang berbeda. Penulisan sejarah mengusung romantisme kedaerahan melalui pariwisata budaya
daerah, sementara agama mengusung nilai-nilai normatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
79
D. Gandrung Banyuwangi Saat Ini