16
dan sekitarnya dihidupi oleh masyarakat yang beragama Hindu. Kedekatan masyarakat dengan alam, membentuk hidup mereka yang terintegrasi dalam satu
kesenian Seblang. Kesenian yang menjadi wujud rasa syukur masyarakat pendukungnya ini dipenuhi dengan unsur-unsur magis. Hingga hari ini, kesenian
Seblang masih bisa ditemukan di desa Bakungan dan Olehsari. Secara fungsional, Seblang digunakan oleh masyarakat sebagai sarana
penyembuhan bagi orang sakit. Menurut cerita, orang desa biasa bernazar jika orang yang mereka kasihi sembuh dari sakit. Misal, kalau anaknya sembuh dari
sakit maka ia akan menanggap gandrung. Selain itu, kesenian seblang juga dapat ditampilkan saat acara bersih desa.
Hingga kini, gandrung dan seblang adalah dua kesenian yang saling melengkapi. Ketika masyarakat ingin melakukan upacara syukur akan berkah
yang mereka terima dalam hidup dan desa mereka, masyarakat setempat biasanya akan mengundang para penari gandrung serta menanggap kesenian seblang.
Seblang sebagai media untuk mengucap syukur dan gandrung sebagai media untuk menghibur dan membuat suasana semakin meriah.
C. Gandrung Semi: Gandrung Perempuan Pertama di Banyuwangi
Semi dikenal sebagai gandrung perempuan pertama. Menurut cerita, Semi kecil mengalami sakit berkepanjangan dan tidak menemukan obat yang cocok
untuknya. Midah, ibu Semi bernazar “kadung sira mari, sun dadeaken seblang, kadung sira sing mari ya using”“kalau kamu sembuh akan kujadikan seblang,
tapi kalau tidak sembuh ya, tidak”
22
.
22
Anoegrajekti,Novi “Penari Gandrung dan Gerak sosial Banyuwangi” dalam SRINTIL.No.012,2007
17
Berselang beberapa waktu Semi kecil sembuh dari sakitnya. Maka Midah memenuhi janjinya dengan menjadikan Semi sebagai seblang. Sebelumnya, semi
kecil sudah sering menonton pertunjukan gandrung lanang. Pada saat bermain dengan teman-temannya Semi kecil dengan luwesnya menirukan gerakan tari
gandrung.Karena keluwesannya Semi berhasil memikat hati masyarakat. Ia pun didaulat menjadi gandrung perempuan pertama. Sayangnya tidak diketahui kapan
tepatnya Semi menjadi gandrung.
Semi Gandrung perempuan pertama-foto repro koleksi pribadi
Semi bukanlah asli Banyuwangi. Ibunya Berasal dari Semarang. Orang Banyuwangi menyebutnya Jawa Kulonan. Sementara bapak Semi berasal dari
Ponorogo, bernama Midin.
23
Hijrahnya Raminah yang dikenal dengan sebutan mak Midah dari Semarang ke daerah Jawa Timur tidak lepas dari situasi perubahan ekonomi
politik Belanda yang berkaitan dengan pembukaan perkebunan baru dan tenaga kerja. Ini terjadi di Jawa dan sekitarnya, kira-kira tahun 1850-1900. Konon
kebijakan Belanda tersebut cenderung menyesengsarakan rakyat. Akibatnya,
23
ibid.hal.56
18
untuk mencari kehidupan yang lebih baik, banyak yang keluar dari kampung halaman, termasuk Raminah.
24
Dari perkawinannya, Midin dan Raminah dikarunia delapan orang anak. Dari delapan orang anak itu yang menjadi gandrung adalah Semi,Suyati,Misti dan
Midah. Meskipun hanya empat orang menjadi gandrung, namun dikemudian hari beberapa cucu Raminah ikut menjadi gandrung. Semi akhirnya menikah dengan
Sutomo dan dikaruniai 14 orang anak. Salah seorang anak Semi kemudian mengikuti jejak Semi menjadi gandrung, anak itu bernama Suwanah, yaitu anak
Semi yang paling akhir. Semi kecil menghabiskan waktu dengan bermain di area persawahan yang kering bersama teman-temannya. Ketika itu, saat musim kering
datang area persawahan biasa dipakai untuk pentas kesenian rakyat. Dari sekian banyak teman-temannya, Semi yang tampak paling luwes saat menari.
Keluwesannya menggerakan tubuh dibarengi dengan suaranya yang bagus serta kemampuannya menyanyikan gending-gending seblang membuatnya menjadi
gandrung yang dikagumi. Yang paling mengagumkan adalah segala kemampuannya itu ia pelajari secara otodidak.
Dengan kemampuannya itu Semi akhirnya menjadi gandrung terkenal. Bersama dua saudarinya Miati dan Suyati, mereka berkeliling dari satu desa ke
desa lain untuk mengadakan pertunjukan. Ini pulalah yang membuat namanya semakin dikenal. Bahkan pada akhirnya Semi menggantikan peran Drungin
seorang gandrung laki-laki pertama di Banyuwangi. Salah satu alasan Drungin tergantikan adalah lebih pada alasan estetik, keindahan serta keharmonisan.
25
24
Setiawan Sigit Budhi,“Aslinya Banyuwngi itu tidak ada” dalam “SRINTIL” Penari Gandrung dan gerak Sosial Banyuwngi.Eds.012.2007. Hal 53
25
Artikel “Asli Banyuwangi itu Tidak ada” dalam SRINTIL No.012. Hal .53
19
D. Pengaruh Pembukaan Perkebunan Terhadap Perkembangan Gandrung