21
digunakan hanya kendang dan gong. Seperti pada perubahan struktur pertunjukan dan lagu-lagu, perubahan corak musik dan peralatannya itu membuktikan fase
baru dalam kesenian gandrung. Dibukanya perkebunan dan datangnya migran dari sekitar Banyuwangi adalah penanda masuknya arus modernitas serta globalisasi.
E. Gandrung Sebagai komoditi Pariwisata
Dalam rangka menciptakan kekhasan daerah berkaitan dengan promosi pariwisata, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan
patung gandrung yang dipajang ditempat strategis hampir di setiap sudut kota dan desa. Surat Keputusan Bupati bernomor 173 tertanggal 31 Desember 2002
menyatakan; “Bahwa dalam rangka mendorong tumbuhnya semangat ikut
serta memiliki daerah dengan segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pembangunan dibidang
kepariwisataan, maka perlu adanya upaya peningkatan promosi pariwisata di Kabupaten Banyuwangi”.
26
Surat keputusan ini seperti memberi penegasan bahwa selain menciptakan Banyuwangi kota pariwisata yang layak dikunjungi sekaligus menciptakan
sebuah representasi kedaerahan yang khas Banyuwangi. Posisi gandrung sebagai tanda daerah Banyuwangi tersebut mengalahkan
tanda yang sudah berumur puluhan tahun, yakni patung ular berkepala gatot kaca, yang terpajang dibanyak tempat di kota dan desa di Banyuwangi. Tanda ini sudah
tersosialisasi ke dalam kehidupan masyarakat dan menjadi aksesoris di atas pigura gong gandrung.Identifikasi gandrung bagi pariwisata daerah Banyuwangi menjadi
26
Anoegrajekti, Novi”Patung itu Bukan Penari” dalam SRINTIL,”Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi” Media Perempuan Multikultural.eds.012.Hl..75.tahun 2007
22
sorotan publik, diperdebatkan, dikritik serta melulu dipersoalkan. Bahkan para wakil rakyat di DPRD Banyuwangi yang didominasi non-Osing mempersoalkan
hal itu sebagai politik etnis yang tidak sesuai dengan kenyataan penduduk Banyuwangi. Sebuah daerah yang masyarakatnya begitu beragam serta plural.
Padahal sejatinya, gandrung adalah kesenian tradisional khas Osing, yang merupakan salah satu kelompok etnik di daerah itu.
Anggota DPRD dari fraksi PPP menolak pemaskotan gandrung dari sudut agama. Mereka menolak hal itu karena gandrung dipandang bertentangan dengan
agama Islam yang dipeluk mayoritas orang Banyuwangi. Selain karena pemaskotan ini dianggap tidak sesuai dengan pluralitas penduduk Banyuwangi
yang majemuk dari segi etnis.
27
Oleh banyak orang, gandrung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik tertentu diluar dirinya. Dalam konteks pemaskotan ini, selain kemungkinan
kepentingan representasi identitas, gandrung juga dimanfaatkan sebagai komoditi pariwisata yang selalu disebut dapat menambah pendapatan daerah. Sebagai
daerah yang berdampingan dengan Bali, Banyuwangi tergolong lebih maju dalam hal pariwisata dibanding daerah-daerah sekitarnya seperti Jember, Bondowoso,
dan Situbondo.
28
. Tidak mengherankan jika Banyuwangi telah ditetapkan menjadi kota wisata. Jika mengunjungi Banyuwangi, nuansa ke-Banyuwangi-anserta ke-
gandrung-an dapat dirasakan serta dinikmati lewat musik serta lagu-lagu yang terdengar di bis-bis antar kota.
27
Ibid. hal.77l
28
Anoegrajekti, Novi”Patung itu Bukan Penari” dalam SRINTIL,”Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi” Media Perempuan Multikultural.2007,Hal..75.
23
F. Perempuan Gandrung di Masa Sekarang