19
D. Pengaruh Pembukaan Perkebunan Terhadap Perkembangan Gandrung
Bersamaan dengan kehadiran gandrung perempuan, area perkebunan milik kolonial Belanda pun mulai dibuka. Pembukaan perkebunan itu pun membuat
kebutuhan akan infrastruktur, utamanya jalan, meningkat. Untuk mengakomodir hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membuka jalan tembus
Banyuwangi-Jember. Pembukaan jalan ini mengakibatkan mengalirnya arus migrasi dari berbagai tempat di wilayah sekitar Banyuwangi, termasuk Bali, yang
hanya dibatasi oleh selat pendek. Arus migrasi ini juga terjadi dari Sulawesi Selatan Bugis dan Mandar yang ditempuh melalui pelayaran laut.
Dalam konteks perubahan sosial budaya seperti itulah Semi lahir sebagai penari gandrung. Agak sulit mencari hubungan yang pasti antara Semi yang
berada di Cungking Selatan Banyuwangi, Banyuwangi, dengan pusat
perkebunan yang teletak di bagian Barat wilayah Banyuwangi.Tetapi dua pertimbangan berikut mungkin dapat menjembatani keterkaitan tidak langsung
tersebut. Pertama,
migrasi sebagai akibat dari terbukanya Banyuwangi yang diawali oleh perkebunan kopi di Glenmore, telah meluas hampir diseluruh wilayah daerah
itu. Akibatnya, tenaga kerja yang menjadi tenaga di perkebunan, jauh lebih sedikit dibanding migran yang datang untuk mencarikehidupan yang lebih layak, seperti
yang dilakukan oleh Raminah dan Midin orang tua Semi yang datang ke daerah Blambangan dan membuka sawah sendiri.
Kedua, munculnya Semi sebagai penari gandrung segera disusul oleh
perubahan-perubahan teks pertunjukan struktur dari tari-nyanyi serta alat musik yang dipergunakan. Adegan jejer,paju dan seblang-seblang hasil olahan Semi
20
yang terkenal hingga saat ini tidak dikenal pada jaman gandrung lanang.Gandrung lanang hanya mementaskan tari dan nyanyi tunggal, bersifat tontonan serta tidak
melibatkan audiens ke dalam pentas. Adegan jejer,paju dan seblang-seblang, yang diasumsikan oleh pemerhati
gandrung Banyuwangi, diadopsi dari ritual seblang.Termasuk nyanyian-nyanyian yang disajikan dalam seluruh pertunjukan itu. Pertunjukan ini merupakan sebuah
ritual yang dikembangkan dari ritus yang sebelumnya dibawa oleh migran dari Bali dan Jawa untuk keperluan yang sama dalam upacara bersih desa, serta minta
hujan. Paju atau tari berpasangan dengan melibatkan penonton laki-laki,
kemungkinan besar diadopsi Semidari kesenian Jawa yaitu Tayub. Kesenian Tayub diperkirakan berkembang jauh sebelum abad 20, saat dimana Semi mulai
menapaki karirnya sebagai penari gandrung.Tidak ada catatan sedikitpun bagaimana proses adopsi Semi terhadap tari berpasangan itu. Bisa jadi Semi
menghadapi struktur sosial baru serta warga masyarakat yang plural dengan berbagai keinginan serta tuntutan yang berbeda. Akhirnya pertunjukan gandrung
dimasa Semi, mau tidak mau disajikan kepada audiens baru yaitu para migran. Sebuah karakter masyarakat migran yang plural serta hampir semuanya adalah
pekerja. Sangat mungkin tarian berpasangan ini digunakan sebagai ruang hiburan semata.
Semi juga melantunkan lagu-lagu Jawa-Bali, bahkan lagu-lagu khusus yang dipersembahkan untuk kaum santri. Perubahan lain yang terjadi di masa
Semi adalah jenis alat musik,perpaduan alat musik Jawa dan Bali yang di dukung kenong, kluncing,biola,kendang serta gong.Padahal sebelumnya alat yang
21
digunakan hanya kendang dan gong. Seperti pada perubahan struktur pertunjukan dan lagu-lagu, perubahan corak musik dan peralatannya itu membuktikan fase
baru dalam kesenian gandrung. Dibukanya perkebunan dan datangnya migran dari sekitar Banyuwangi adalah penanda masuknya arus modernitas serta globalisasi.
E. Gandrung Sebagai komoditi Pariwisata