41
Saya bersama Gandrung Darti dan Mukhlis suami Darti, di rumah kediamannya-foto koleksi pribadi
Menyandang tanggung jawab sebagai penerus gandrung Semi adalah pilihannya. Mulai dari lagu-lagu dan gerakan hingga ornament amprok semuanya
masih original seperti yang ada sejak jaman Semi. Terlihat foto Semiberukuran kurang lebih 30 x 35 cmterpajang diruang tamu pasangan Darti dan Mukhlis.
2. Gandrung Temu
Temu, adalah gandrung berusia 50-an.Ia teman seangkatan Darti . Temu berasal dari Desa Kemiren. Temu bercerita ia pernah menikah dengan seorang
pegawai pemerintah. Namun kemudian bercerai setelahmengetahui bahwa si suami memiliki perempuan lain yang dinikahi secara diam-diam. Paling buruk
lagi, ternyata perempuan yang dinikahi suaminya itu adalah rekan kerjanya di kantor. Temu pernah mencoba lagi untuk berkeluarga, namun lagi-lagi ia gagal
ditengah jalan. Selanjutnya Temu memutuskan menjanda dan sekarang tinggal bersama anak angkatnya bernama Amiryang menjadi teman hidupnya sekarang
ini. Temu sudah mengangkat Amir semenjak Amir masih bayi. Sekarang Amir sudah berusia 8 tahun.
42
Rumah tinggal Temu terlihat tidak terurus.Lampu dapur mati, kamar mandi dan WC rusak.Kondisi ini membuat Temu dan Amir harus pergi ke sungai
untuk urusan mandi dan buang air, juga cuci mencuci. Lantai peluran pun sudah kelihatan rusak disana-sini. Bisa dibayangkan, meskipun disapu berkali-kali lantai
itu tetap kotor, karena pasir dan semen bekas peluran memang tidak bisa dibersihkan dengan sempurna. Kalaupun dibersihkan pasti orang pikir rumah ini
tidak pernah disapu. Di ruang tamu itu ada satu set TV dan DVD player yang belakangan saya
ketahui selain sebagai satu-satunya benda untuk hiburan juga dipakai untuk melatih anak-anak SMA yang setiap seminggu sekali latihan gandrung di rumah
Temu. Temu bercerita, ia menjadi gandrung atas keinginan orang tuanya. Ketika
itudukun gandrung meminta agar ibu Temu mengijinkan dirinya untuk mengajarkan gandrung kepada Temu.Keinginan si dukun lalu disampaikan ibu
kepada Temu, dan langsung dijawab “Osing” oleh Temu, yang artinya tidak. Permintaan kedua datang dari dukun yang sama, tapi kali ini, menurut
Temu, disertai guna-guna.Si dukun rupanya memberikan kopi kepada ibunya agar supaya diberikan kepada Temu.Setelah kopi diminum, Temu ditanya apakah
bersedia menjadi gandrung dan tanpa ragu-ragu Temu menjawab “ya”
45
. Tampaknya guna-guna adalah hal biasa di desa ini. Hingga kini saya masih
mencoba untuk memahami masalah ini dengan seksama.
45
Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011
43
Kemudian sejak berkata “ya”, Temu tinggal bersama dukun
46
gandrung dan berlatih setiap hari. Menurut Temu, ternyata si dukun sudah mengetahui
bahwa dirinya punya potensi untuk menjadi gandrung terkenal. Menurut dukun itu, Temu memiliki suara yang indah serta gerakan yang lincah dan luwes,
didukung dengan postur tubuh yang tinggi semampai dan leher jenjang. Dari berbagai potensi yang dimiliki oleh Temu itu, si dukun mendapat
keuntungan besar dengan melatih Temu. Hampir tiap malam grupnya menerima tawaran untuk pentas dimana-mana. Ketika itu,kenang Tinah, tiap malam ia dan
grup gandrungnya harus berjuang menempuh tempat pentas yang jaraknya cukup jauh. Dan yang lebih sulit lagi adalah kendaraan yang dapat disewa masih amat
terbatas. Sehingga sering ditempuh dengan berjalan kaki. Seorang perempuan seusia Temu sekitar 50an yang saya temui diarena
gandrung pada malam pertunjukan berkata” Saya suka suara Temu sejak masa muda, meskipun sudah tua dan tidak selincah dulu, tapi gending-gending yang
dilagukannya selalu membuat saya mengeluarkan air mata”, Kini diusia ke-53, Temu sudah jarang menerima tawaran mentas. Kalaupun ada itu juga belum tentu
sebulan sekali. Padahal sampai hari ini gandrung adalah andalannya untuk mempertahankan hidup. Temu tidak memiliki keahlian lain selain menggandrung.
Memang ada beberapa ayam kampung yang ia ternakan untuk dijual telurnya, tetapi itupun tidak pasti, atau menjadi buruh tani. Melihat kondisi Temu, Pak Pur
menyarankan kepada setiap orang yang datang mewawancarai atau berguru menari kepada Temu, untuk memberikan uang tanda terimakasih.
46
Istilah dukun sekarang tidak dipakai lagi, mereka memakai istilah pelatih.
44
Didepan rumah Temu terpampang “sanggar kesenian gandrung sopo
ngiro”.Tidak seperti sanggar-sanggartari lainnya yang selalu ramai didatangi anak-anak yang datang untuk belajar, sanggar Tinah ini hanya beberapa kali
dalam seminggu ramai didatangi anak-anak setingkat SMA yang datang untuk berlatih dengannya. Sanggar ini juga berfungsisebagai wadah kelompok gandrung
beserta krunya, yaitu para pemain musik, untuk berkumpul. Ditempat Tinah memang tidak akan ditemui alat musik apapun untuk
mengiringi gandrung. Nampaknya sanggar ini bentuk kolaborasi antar beberapa orang yang punya kepandaian bermain alat musik pengiring. Keuntungan dari
sanggar ini adalah jika orang menyewa Temu sebagai gandrung, maka mereka juga akanmendapatkan para pemain musik beserta beberapa penari yang menjadi
anggota sanggar tersebut. Temu mempunyai murid-murid, yang dibawanya setiap kali Temu
mendapat tawaran, Anak buah Temu yang sempat saya temui antara lain Reni, Mia dan Viroh. Mereka bertiga berguru pada Temu, dan temu selalu menantang
mereka untuk berlatih lebih keras terutama soal menyanyikan gending-gending wajib gandrung. Dan sebaliknya kalau mereka mendapat tawaran pentaspun akan
mengajak kelompok sanggar sopo ngiro.
45
Depan rumah Temu-foto koleksi pribadi Dalam kesehariannya para pengiring gandrung ini adalah petani, tidak jauh
berbeda dengan Temu yang terkadang menjadi buruh tani. Rumah yang ditempati Temu sekarang merupakan rumah warisan yang sudah pernah direnovasi
bertahun-tahun lalu.Sekarang, Temu tidak lagi bisa memperbaiki kerusakan apapun termasuk tidak bisamembeli lampu kamar mandi juga dapur yang mati
entah sejak kapan. Kondisi keuangan Temu memang amat menyedihkan. Hal ini bisa dilihat
dari kondisi rumahnya serta dari makanan yang dimakannya sehari-hari. Hari itu Tinah menggoreng gereh ikan asin yang harganya amat murah. Ia juga memasak
sayur daun lontar yang dipetiknya dari kebon tetangga. Menurutnya kalau urusan makan, ia memang makan seadanya. Baginya, yang penting Amir bisa makan
setiap hari. Menurut Temu, Amir makannya banyak sekali. “Maklum anak laki- laki”, kata Tinah sambil tertawa.
3. Gandrung Mudaiyah