27
BAB III GANDRUNG: REALITAS DAN KEBERAGAMAN
A. Pendahuluan
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang realitas gandrung beserta keberagamannya,
bab ini
akan menceritakan
kondisi sosial
masyarakatBanyuwangi serta profil sejumlah perempuan penari gandrung. Bab ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah ke satu: apa saja
wacana seputar gandrung yang ada dimasyarakat Banyuwangi? Ada tiga bagian yang akan dibahas, yakni:
Pertama, pendeskripsian tentang daerah Banyuwangi. Pembahasan
berfokus pada dinamika kehidupan sosial dan budaya di Bumi Blambangan. Dalam kerangka memberi gambaran lingkungan sosial di Banyuwangi berkaitan
dengan keberagaman. Kedua, pemaparan tentang profil sejumlah penari gandrung serta interaksi antara gandrung dengan masyarakat sekitar arena pertunjukan,
khususnya pemaju dan lingkungan tetangga tempat tinggal gandrung. Ketiga, membahas wacana seputar gandrung serta perempuan penarinya dari para
pendatang dan masyarakat asli Using. Keempat, ditutup dengan kesimpulan isi pembahasan serta gambaran singkat sebagai pengantar ke bab berikutnya.
B. Sekilas Gambaran Bumi Blambangan
Pada bab II dijelaskan, bahwa pembukaan perkebunan baru oleh orang- orang Belanda menjadi pintu bagi masuknya orang-orang Jawa, Bali dan Madura
28
ke Tanah Blambangan.
33
Transportasi kereta api mempermudah hijrahnya orang Jawa dan orang-orang Madura datang dengan menggunakan kapal-kapal nelayan.
Maka tidak heran jika mayoritas orang Madura menguasai daerah pantai dan orang Jawa menguasai perkebunan.
Di bagian selatan Banyuwangi ada Kampung Mandar. Menurut cerita, sejak awal abad 17-an mereka telah datang ke Banyuwangikarena urusan dagang.
Banyuwangi yang secara geografis amat strategis serta didukung oleh pelabuhan yang memadai, membuatnya menjadi jalur perekonomian dan pertemuan antar
suku bangsa serta beragam jenis barang dagangan. Oleh karena itu keberagaman bukan hal baru bagi masyarakat Banyuwangi.
34
Kehadiranpara pendatang ini memberi pengaruh besar terhadap perekonomian di Banyuwangi, keuletan para pendatang membuahkan sukses
dalam hal ekonomi mapun pendidikan. Sektor ekonomi banyak dikuasai oleh para pendatang dari Jawa, Bali maupun Keturunan Cina. Dinamika mereka lebih
terlihat jelas di kota kabupaten, jalan serta pasar. Perkantoran di kota Banyuwangi pun hampir dipenuhi oleh orang-orang non Using.
Pada kenyataanya, ditengah keberagaman dan dinamika kehidupan sosial penduduk Kota Banyuwangi, ada orang-orang dari suku “Using” yang mengklaim
diri sebagai yang empunya Banyuwangi. Orang-orang ini tinggal dikantong- kantong Osing yang tersebar di beberapa Desa seperti: 1 Glagah; 2 Kemiren; 3
Cungking; serta 4OlehSari. Mereka punya gaya bahawa tersendiri yang berbeda dari bahasa Jawa Kulonan.
33
Mereka disebut orang Jawa kulonan oleh masyarakat Osing
34
Artikel “wong Osing sejarah perlawanan dan Pewaris Menakjinggo”, dalam SRINTIL, Media Perempuan Multikultural, No.012.2007.hal 30
29
1. Keragaman di Bumi Blambangan
Dalam perjalanan menuju ke bumi Blambangan, saya bertemu dengan ragam manusia serta mengalami berbagai kisah yang memberi gambaran kepada
saya akan bumi Blambangan ini. Salah satu pengalaman itu adalah ketika saya berada dalam bis antar kota
Yogyakarta – Banyuwangi. Ketika itu saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu bernama Nurani. Ketika bis mulai begerak meninggalkan terminal Giwangan
saya membuka obrolan dengan memperkenalkan diri dan bertanya tujuan perjalanan Ibu Nur. Ibu Nurani langsung merespon dan balik bertanya darimana
dan kemana tujuan saya. Kami pun mulai berbincang. Ibu Nur bercerita bahwa kakek dan nenek buyutnya berasal dari Solo-
Jawa Tengah, karena alasan perbaikanekonomi, maka beberapa anak-anaknya hijrah ke Banyuwangi. Rupanya, keberuntungan berada dipihak mereka. Segala
usaha yang dilakukan oleh keluarga mendatangkan uang dan kesejahteraan. Akhirnya karena kesejahteraan yang telah tercapai itu, hampir semua keluarga bu
Nur pindah ke Banyuwangi, dan telah tinggal di Banyuwangi hingga saat ini. Bu Nur sendiri adalah seorang Guru di SMA Islam Jajag. Begitu juga
Bapak dan adiknya, mereka adalah guru-guru yang telah mengabdikan hidup pada profesi itu dengan sepenuh hati. Baginya, profesi guru adalah hal yang turun
temurun dan merupakan sebuah pengabdian. Sementara itu, suami bu Nur adalah seorang petani sayur, yang juga keturunan orang Jawa.
Saya dan Bu Nurani pun terus berbincang sampai akhirnya kami tiba di kota Banyuwangi. Di salah satu sudut terminal Tanjungwangi ketika itu, saya
sempat menyaksikan kesibukan sebuah kota kecil di pagi hari. Para pemilik juga
30
para pekerja toko mulai membuka toko. Mereka menyapu lantai kemudian membersihkan barang dagangan yang digantung dengan kemoceng.
Sementara itu di pinggir terminal lainnya, pedagang buah serta oleh-oleh menata barang dagangan mereka. Barang-barang yang mereka jual itudiantaranya
seperti rengginang, dodol, kerupuk, kue kelapa, kacang goreng pasir, kerupuk warna –warni besar setahu saya kerupuk itu adalah kerupuk khas Madura serta
beragam buah-buahan. Suasana Terminal Tanjungwangi saat itu terlihat sepi penumpang. Satu
dua orang menunggu bis, entah berdiri diluar bis atau sambil duduk didalam. Sepertinya ini memang khas terminal-terminal kecil di daerah.Sibuk tetapi sepi
itu kesan saya pada saat diterminal Tanjungwangi. Jika saya membandingkan dengan Jakarta, tentu jauh berbeda. Di Jakarta, dalam hitungan detik saja, bis dan
angkot pasti sudah penuh. Bahkan tidak jarang calon penumpang harus berlari-lari mengejar bis. Dan kalau sampai ketinggalan, penumpang harus menunggu lagi.
Pola ini akan terjadi terus, hingga jam-jam sibuk selesai. Ketika berada di terminal itu, saya mendengar percakapan orang-orang
yang hilir mudik dengan berbagai logat yang khas. Beragam logat yang bercampur baur itu diantaranya bisa saya kenali sebagai logat Madura, Jawa,
Surabaya, dan Bali. Tidak hanya logat-logat itu, beragam wajah dari beberapa suku bangsa di Nusantara, salah satunya orang-orang keturunan China cukup
mudah sayakenali. Terminal memang tempat yang sangat pas untuk melihat dinamika suatu
kota. Di terminal itu pula, geliat kehidupan kota yang bersangkutan bisa direka dan dikisahkan. Setelah menghabiskan waktu di terminal sembari mengamati
31
berbagai hal di seputarnya, saya kemudian memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Kabupaten.
Di perpustakaan itu saya bertemu ragam manusia bumi Blambangan yang begitu menarik. Orang-orang yang saya temui di perpustaakaan itu, mulai dari
petugas penerima tamu hingga penjaga perpustakaan serta beberapa yang lainnya, adalah orang-orang keturunan Jawa. Kebetulan, mereka semua adalah pegawai
pemerintah, tepatnya karyawan Dewan Kesenian Blambangan. Tampaknya bumi Blambangan memang dipenuhi oleh para pendatang.
Selain hal ini begitu terlihat di terminal, juga perpustakaan kota kabupaten, ketika saya pergi ke warnet warung internet, toko buku, serta makan di warung nasi
terdekat, nuansa keragaman manusia juga begitu terasa. Penjaga warnet, para petugas toko buku serta ibu penjual nasi adalah orang-orang yang nenek
moyangnya berasal dari luar Banyuwangi dan mereka sendiri lahir dan besar di Banyuwangi. Mereka umumnya berasal dari Jawa, Mandar, Madura, serta orang-
orang Keturunan Cina. Kemudian, dari berbagai pengalaman bertemu itu, saya mulai bertanya-
tanya di mana penduduk asli tinggal dan beraktifitas? Menurut sejumlah literatur dan narasi dari sejumlah orang di bumi Blambangan, penduduk asli di bumi ini
adalah orang Osing. Pigeaud scholte, 1927 menyatakan bahwa orang Using adalah:
“Penduduk asli Banyuwangi yang tidak mau hidup bersama dengan wongkulonan”.
35
Mereka yang tidak mau hidup dengan wong kulonan itulah yang disebut orang Using
36
.
35
Pendatang yang datang dari Jawa tengah dan sekitarnya dan orang Jawa timur, selain dari Bumi Blambangan.
36
“Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam” Dalam SRINTIL,Eds.3,Desantara,2004
32
Kutipan dari Pigeaud ini adalah penegas akan kesadaran dari orang-orang Osing ini. Orang-orang ini merasa beradadalam posisi terjepit dan selalu
memperoleh tekanan struktural maupun kultural ditengah-tengah kehidupan dua kebudayaan besar, Jawa-Bali. Mereka selama ini seperti tidak punya posisi yang
menguntungkan di hadapan orang Bali dan Jawa.
2. Orang Using di Kemiren
Bagi orang Jawa Kulon maupun Bali, orang Osing dikenal eksklusif, suka menyendiri dan enggan bergaul. Mereka dikenal sebagai orang-orang pemarah
tanpa nalar, tukang santet, serta pemalas. Julukan, stereotipe dan stigma tersebut sudah menjadi hal yang begitu biasa, bahkan banyak orang tua yang menasehati
anak atau kerabatnya agar berhati-hati jika berkawan atau berkenalan dengan orang Using.
Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh ibu Nur, bahwa orang Using terkenal malas dan kasar. Dalam perbincangan dengan Ibu Nur itu, ia bercerita
bahwa sedang terjadi sebuah perdebatan pada koran setempat mengenai satu lagu berbahasa Osing yang kata-katanya seronok serta merujuk pada kelamin
perempuan. Namun ketika saya konfirmasi berita ini kepada Pak Pur,
37
ia hanya tersenyumdan dengan santai berkata “Ya maklum yang membuat lagu itu seniman
jalanan”. Nampaknya memang ada keraguan dalam diri orang Using sendiri. Mungkin karena posisi mereka selama ini yang terjepit sehingga tidak memiliki
suara yang benar-benar mewakili diri mereka.
38
Hal ini seperti diperlihatkan secara
37
Penduduk Kemiren asli, termasuk tokoh Osing ,seorang petani yang cukup berhasil mengembangkan jenis padi lokal juga pencinta gandrung.
38
Wawancara 6 Mei 2011. Desa Kemiren kediaman Pak Pur.
33
jelas oleh Ibu Nur yang seperti mengafirmasi stereotipe negatif di seputar orang Using. Ketika itu saya masih ingat betul nada suara Ibu Nur ketika bercerita
tentang orang Using atau apapun yang berkaitan dengan Using. Nada suaranya begitu negatif, bahkan terkesan melecehkan.
Jika ingin melihat dan bertemu langsung dengan orang Using, desa Kemiren adalah tempat yang tepat untuk dituju. Satu-satunya desa yang
dipandang sebagai “masih murni Using” adalah desa Kemiren. Desa ini berada di kecamatan Glagah kira-kira 5 km arah Barat kota Banyuwangi. Sejak 1993 desa
ini telah ditetapkan sebagai “Desa Using” yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan ‘keusingan’.
Area wisata Budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar Budaya Osing. Desa
yang berada diketinggian 144 m diatas permukaan laut ini memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26º. Kondisi ini membuat desa Kemiren amat sejuk serta
amat menarik untuk dikunjungi, apalagi pemandangan alamnya amat indah dan menawan.
Desa Kemiren memanjang hingga 3 km yang kedua sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari arah Barat ke Timur.
Ditengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 meter yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi Timur dan keperkebunanpemandian kalibendo di sebelah
Barat.Pada siang hari, terutama pada hari libur, jalan yang membelah desa Kemiren ini cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke
pemandian Kalibendo maupun ke lokasi wisata “Desa Using”.
34
Sebagian besar penduduk Kemiren memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka telah lama mengenal pendidikan baik pesantren maupun sekolah-
sekolah umum. Untuk menempuh sekolah diatas SD, para penduduk Kemiren harus keluar desa dan pergi ke ibu kota Kecamatan atau di Kota Banyuwangi
39
. Dengan membayar 25 ribu rupiah saya diantar oleh ojek dari terminal
Karangmente ke rumah Bapak Purwanto. Kedatangan saya itu disambut bunyi- bunyian yang berasal dari alat musik bambu. Bunyi-bunyian itu diperdengarkan
dari pengeras suara yang dipasang tinggi-tinggi di depanrumah seorang warga. Tidak kurang 10 rumah dari situ terdengar kembali lagu daerah berbahasa Using.
Dan begitu seterusnya. Ketika itu saya tiba di desa Kemiren sekitar jam 9 pagi sehingga tidak
mengherankan suasana desa terlihat begitu sepi. Minim sekali aktifitas manusia di desa saat itu. Saya menduga anak-anak sedang pergi kesekolah serta para orang
tua sedang pergi ke sawah atau bekerja di kebun. Kemiren adalah salah satu tujuan wisatawan lokal, nasional maupun
internasional. Hal ini terbukti dengan tersedianya sejumlah penginapan sederhana yang memang diperuntukan bagi para tamu yang datang dari dalam dan luar
negeri. Sejumlah keluarga Kemiren pun membuka pintu rumah mereka untuk dijadikan penginapan bagi para tamu tersebut. Para wisawatan ini datang ke
Kemiren memang berniat untuk merasai kehidupan penduduk yang sarat dengan budaya lokal.
Desa Kemiren memang istimewa. Keistimewaannya itu telah membuatnya mendapat sebutan sebagai desa wisata. Menjadi istimewa karena Kemiren adalah
39
SRINTIL.012-2007.Hal 34-35
35
salah satu desa pemukiman orang-orang suku Using yang sangat hidup tradisinya. Di desa ini pula tinggal dua orang penari Gandrung yang belum tertandingi
popularitasnya. Orang Using menyebut diri sebagai penduduk asli Banyuwangi. Yang
membedakan mereka dari orang-orang Banyuwangi pendatang adalah gaya mereka bicara. Beberapa kata yang sempat saya catat saat bersama mereka,
misalnya: gerimis menjadi gerigis, saiki menjadi saikai, isun adalah sebutan untuk saya, iku menjadi ikau, begitu menjadi bedigau dan telu menjadi telau.
Upaya menghidupi tradisi sengaja dilakukan oleh para orang tua di desa Kemiren. Misalnya latihan seni barongan serta angklung sawah adalah kegiatan
rutin yang dilakukan oleh masyarakat Kemiren seminggu sekali. Kegiatan keagamaan juga dilakukan antara lain membaca Quran bersama yang diikuti oleh
laki-laki segala usia, dilakasanakan setiap hari Rabu malam yang mereka sebut sebagai Reboan.
Menurut Pak Purwanto, kegiatan ini mulai banyak diikuti oleh orang- orang muda.Reboan adalah salah satu ruang belajar dan latihan bagi orang-orang
muda Osing untuk menghidupi tradisi Kemiren. Upaya para orang tua Kemiren ini adalah dalam kerangka mewariskan kesenian tradisional yang menjadi identitas
‘keosingan’. Melalui kesenian barongan maupun Reboan, anak-anak muda Kemiren
ditanamkan kecintaan terhadap kesenian lokal mereka sendiri. Melalui latihan rutin dan kemudiandisertakan dalam pementasan pesta khitanan, perkawinan
ataupun panen raya, para orang muda ini diajak untuk semakin mengenali diri mereka sebagai orang Osing. Namun ada satu hal yang bagi saya sungguh
36
menarik. Dua jenis kesenian ini anggotanya seluruhnya adalah laki-laki. Para perempuan muda tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kesenian
itu. Yang dapat para perempuan ini lakukan adalah menonton kesenian tersebut
40
. Orang Osing di Kemiren adalah sekelompok masyarakat agraris.
Sawahdan ladang adalah sumber rejeki mereka. Hasil pertanian terbesar adalah padi. Selain padi, tanah Kemiren menghasilkan jagung, kacang tanah, dan
kedelai. Selain itu ada perkebunan pemerintah dan swasta seperti PTP XXVI dan PTP XXIX yang menghasilkan karet, coklat, teh, kepala, kapuk dan cengkeh.
Selain pertanian, perikanan juga menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Banyuwangi. Di sektor perdagangan, nilai ekspor terbesar didapat dari
hasil pertanian serta perikanan
41
. Biasanya selepas bekerja di sawah, beberapa dari mereka akan istirahat
sembari minum kopi dan ngobrol santai dengan dua atau tiga orang diantara mereka. Pembicaraan yang terjadi adalah pembicaraan ringan seputar apapun
yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka membicarakan apa saja yang terjadi saat mereka bekerja atau issue-issueaktual di dunia. Tidak jarang mereka
melepas lelah sambil bermain angklung atau alat musik tradisional milik mereka sendiri. Oleh karena itu, merupakan hal yang biasa jika siang hari datang terutama
sehabis makan siang, terdengar suara alat musik angklung sedang dimainkan di beberapa penjuru Desa Kemiren.
Selain mengandalkan pertanian, Orang Using di Desa Kemiren juga memiliki sumber mata pencahariaan pada sektor industri. Salah satunya adalah
pada industri batu bata. Di desa ini terdapat pabrik batu bata rumahan.
40
Hasil wawancara dan pengamatan tanggal 5 Mei 2011
41
Ibid.hal.35
37
Yang bekerja ditempat ini bukan hanya laki-laki. Banyak sekali perempuan Kemiren terutama ibu-ibu muda atau setengah baya yang bekerja di
pabrik ini. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di pabrik batu bata, alasannya sangat sederhana, mereka butuh uang tambahan untuk belanja serta
jajan untuk anak-anak mereka yang masih sekolah. Para perempuan ini akan bekerja di pabrik setelah urusan rumah tangga
mereka selesai. Misalnya menyiapkan makan untuk anak dan suami atau membereskan rumah serta sejumlah pekerjaan domestik lainnya. Jika urusan
domestik selesai, biasanya sekitar pukul 8 atau 9, para perempuan ini akan pergi ke pabrik untuk bekerja mencetak bata. Menjelang siang, sekitar pukul 11 mereka
kembali ke rumah untuk beristirahat. Selepas istirahat, mereka bisa kembali bekerja atau tetap tinggal di rumah. Selain itu mereka juga bisa melanjutkan
kegiatan lainnya, seperti pengajian, atau sekedar ngobrol-ngobrol dengan tetangga.
Upah yang diterima para perempuan ini sungguh tidak banyak. Mereka menerima upah berdasarkan jumlah batu bata yang berhasil mereka cetak. Padahal
harga batu bata tiap satuannya adalah 50 rupiah.
42
Sebuah upah yang sangat kecil mengingat pekerjaan para perempuan ini cukup berat.
Selama dua minggu bersama orang Using, saya melihat kesetiaan merekapada pekerjaan, baik sebagai petani ataupun pembuat batu bata. Saya tidak
atau belum melihat perempuan yang duduk dan santai-santai apalagi nonton sinetron, seperti kebanyakan ibu-ibu di Jakarta. Para ibu di Jakarta ini biasanya
nonton sinetron atau variety show sembarimemasak, atau menyetrika.
42
Hasil omong-omong dengan beberapa perempuan pembuat batu bata tanggal 7 Mei 2011
38
Sementara itu ibu-ibu di Kemiren sehabis melakukan pekerjaan rumah, biasanya ngobrol dengan tetangga. Ada juga yang sambil mencabut uban, atau
mungkin sambil mencari kutu.Aktivitas sosial seperti inipun hanya terlihat sekitar jam 11an. Perempuan kemiren sejauh pengamatan saya adalah perempuan pekerja
keras. Jauh dari gambaran yang saya dengar dari Ibu Nur tentang kemalasan orang-orang Using yang setelah bekerja, mendapat uang lalu menghabiskan hari
itu juga.
C. Profil Gandrung di Kemiren
Pekerja seni gandrung yang berhasil saya temui dan wawancara adalah sosok perempuan mandiri serta bertanggung jawab.Penghasilan menggandrung
yang mereka dapatkan, dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau membantu keluarga lain. Jelas mereka tidak hidup untuk diri mereka sendiri.
Dalam sub bab ini saya akan memamparkan kisah hasil wawancara tiga orang penggandrung, dua asal Kemiren dan satu dari Cungking.Masing-masing
memiliki kisah dan pengalaman, yang –saya pikir- dapat menjawab sejumlah rumusan masalah di atas.
1. Gandrung Darti
Saat saya temui dikediamannya didesa Kluncing, dalam bincang-bincang hari itu Darti didampingi suaminya. Didinding ruang tamu ada foto hitam putih
Darti dengan kostum gandrung.Riasan wajah hanya menggunakan bedak tipis, pemerah bibir dan riasan tipis disekitar mata.Jika dibandingkan dengan riasan
wajah gandrung sekarang, terlihat perbedaan yang mencolok.Riasan gandrung
39
yang saya lihat sekarang menggunakan riasan yang tebal sehingga wajah asli penari hampir tidakbisa dikenali.
Darti adalah cucu dari mbah Semi.Usia Dartisekarang sekitar 50-an, jadi kira-kira dia lahir tahun 1960an.Diusianya yangke-50, Darti masih menerima
tawaran manggung dibeberapa tempat. Bahkan, ikut serta dalam satu projek karya tari seorang koreografer tari bernama Dedy Lutan. Darti juga beberapa kali ikut
latihan tari di Jakarta serta melakukan pentas besar di Jakarta. Selain itu, Darti juga sering melakukan tour ke luar Banyuwangi
43
. Kelincahan gerak tubuh dan keindahan suaranya telah membawa dirinya hingga ke panggung-panggung
internasional. Ia bercerita, sejak usia sekolah dasar ia sudah tertarik pada kesenian
gandrung.Dimanapun, kapanpun jika terdengar alunan musik, tanpa malu dan ragu Darti akan menari gandrung. Bahkan ia sering melakukannya di jalanan,
bersama teman-temannya. Darti sempat menceritakan pengalamannyaketika ia masih bersekolah. Dahulu, jika Darti pulang dari sekolah dan tiba-tiba mendengar
alunan musik gandrung, tubuh Darti akan langsung menari tanpa henti sampai ia tiba dirumah.
Darti yang pada waktu wawancara ditemani oleh suami, mengatakan bahwa menjadi gandrung mendatangkan banyak keuntungan. Selain ia bisa
terkenal, gandrung pun mendatangkan banyak uang. Apalagi ketika gandrung telah dijadikan ikon kota, gandrung pun makin dikenal sebagai kesenian hiburan.
Namun semakin terkenalnya kesenian gandrung ini, tentu membuat banyak sekali gandrung-gandrung muda bermunculan. Kesempatan Darti
43
Hasil wawancara 7 Mei 2011
40
menggandrung pun semakin terbatas. Tapi hal ini tidak terlalu dipikirkan Dartiyang penting kesenian itu tetap ada. Menurut Darti, gandrung-gandrung
muda itu masih perlu banyak latihan baik gerak maupun suara. Karena sebenarnya banyak diantara mereka hanya suka menari tapi tidak berbakat menjadi gandrung.
Bagi Darti, gandrung adalah kesenian yang harus punya dua kebisaan yaitu nyanyi dan gerak tari, kalau hanya bisa menari tetapi tidak bisa menyanyi, tentu akan
percuma. Karena ketika menggandrung, seorang penari gandrung juga harusmenyanyi. “Jika hanya bisa nyanyi tetapi tidak bisa menari, ya bukan
gandrung namanya. Jadi penyanyi saja” ujarnya. Menanggapi stereotipe negatif seputar gandrung yang katanya
sukamenggoda laki-laki Darti berkomentar, “Itu tidak benar, bisa jadi hanya karangan orang-orang yang memang tidak suka terhadap gandrung. Kalaupun
gandrung bekerja didunia malam toh belum tentu menjadi perempuan gampangan yang bisa dibawa kemana-mana”. Menurutnya memang ada gandrung yang
beberapa kali kawin cerai, tapi bukan berarti semua gandrung senang kawin cerai atau tidak setia.
Mukhlis suami Darti bekerja di Dinas Kesenian Blambangan. Sebagai suami seorang gandrung ia sangat mendukung profesi istrinya. Prinsipnya ia tidak
akan ikut campur urusan sang istri supaya Darti memiliki kebebasan untuk berekspresi sepenuhnya di arena gandrung.
44
Pasangan ini tidak dikaruniai anak dan mereka terlihat bisa menerima keadaan ini dan bahagia.
44
Wawancara tanggal 11 Mei 2011 di Desa cungking rumah Kediaman Gandrung Darti
41
Saya bersama Gandrung Darti dan Mukhlis suami Darti, di rumah kediamannya-foto koleksi pribadi
Menyandang tanggung jawab sebagai penerus gandrung Semi adalah pilihannya. Mulai dari lagu-lagu dan gerakan hingga ornament amprok semuanya
masih original seperti yang ada sejak jaman Semi. Terlihat foto Semiberukuran kurang lebih 30 x 35 cmterpajang diruang tamu pasangan Darti dan Mukhlis.
2. Gandrung Temu
Temu, adalah gandrung berusia 50-an.Ia teman seangkatan Darti . Temu berasal dari Desa Kemiren. Temu bercerita ia pernah menikah dengan seorang
pegawai pemerintah. Namun kemudian bercerai setelahmengetahui bahwa si suami memiliki perempuan lain yang dinikahi secara diam-diam. Paling buruk
lagi, ternyata perempuan yang dinikahi suaminya itu adalah rekan kerjanya di kantor. Temu pernah mencoba lagi untuk berkeluarga, namun lagi-lagi ia gagal
ditengah jalan. Selanjutnya Temu memutuskan menjanda dan sekarang tinggal bersama anak angkatnya bernama Amiryang menjadi teman hidupnya sekarang
ini. Temu sudah mengangkat Amir semenjak Amir masih bayi. Sekarang Amir sudah berusia 8 tahun.
42
Rumah tinggal Temu terlihat tidak terurus.Lampu dapur mati, kamar mandi dan WC rusak.Kondisi ini membuat Temu dan Amir harus pergi ke sungai
untuk urusan mandi dan buang air, juga cuci mencuci. Lantai peluran pun sudah kelihatan rusak disana-sini. Bisa dibayangkan, meskipun disapu berkali-kali lantai
itu tetap kotor, karena pasir dan semen bekas peluran memang tidak bisa dibersihkan dengan sempurna. Kalaupun dibersihkan pasti orang pikir rumah ini
tidak pernah disapu. Di ruang tamu itu ada satu set TV dan DVD player yang belakangan saya
ketahui selain sebagai satu-satunya benda untuk hiburan juga dipakai untuk melatih anak-anak SMA yang setiap seminggu sekali latihan gandrung di rumah
Temu. Temu bercerita, ia menjadi gandrung atas keinginan orang tuanya. Ketika
itudukun gandrung meminta agar ibu Temu mengijinkan dirinya untuk mengajarkan gandrung kepada Temu.Keinginan si dukun lalu disampaikan ibu
kepada Temu, dan langsung dijawab “Osing” oleh Temu, yang artinya tidak. Permintaan kedua datang dari dukun yang sama, tapi kali ini, menurut
Temu, disertai guna-guna.Si dukun rupanya memberikan kopi kepada ibunya agar supaya diberikan kepada Temu.Setelah kopi diminum, Temu ditanya apakah
bersedia menjadi gandrung dan tanpa ragu-ragu Temu menjawab “ya”
45
. Tampaknya guna-guna adalah hal biasa di desa ini. Hingga kini saya masih
mencoba untuk memahami masalah ini dengan seksama.
45
Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011
43
Kemudian sejak berkata “ya”, Temu tinggal bersama dukun
46
gandrung dan berlatih setiap hari. Menurut Temu, ternyata si dukun sudah mengetahui
bahwa dirinya punya potensi untuk menjadi gandrung terkenal. Menurut dukun itu, Temu memiliki suara yang indah serta gerakan yang lincah dan luwes,
didukung dengan postur tubuh yang tinggi semampai dan leher jenjang. Dari berbagai potensi yang dimiliki oleh Temu itu, si dukun mendapat
keuntungan besar dengan melatih Temu. Hampir tiap malam grupnya menerima tawaran untuk pentas dimana-mana. Ketika itu,kenang Tinah, tiap malam ia dan
grup gandrungnya harus berjuang menempuh tempat pentas yang jaraknya cukup jauh. Dan yang lebih sulit lagi adalah kendaraan yang dapat disewa masih amat
terbatas. Sehingga sering ditempuh dengan berjalan kaki. Seorang perempuan seusia Temu sekitar 50an yang saya temui diarena
gandrung pada malam pertunjukan berkata” Saya suka suara Temu sejak masa muda, meskipun sudah tua dan tidak selincah dulu, tapi gending-gending yang
dilagukannya selalu membuat saya mengeluarkan air mata”, Kini diusia ke-53, Temu sudah jarang menerima tawaran mentas. Kalaupun ada itu juga belum tentu
sebulan sekali. Padahal sampai hari ini gandrung adalah andalannya untuk mempertahankan hidup. Temu tidak memiliki keahlian lain selain menggandrung.
Memang ada beberapa ayam kampung yang ia ternakan untuk dijual telurnya, tetapi itupun tidak pasti, atau menjadi buruh tani. Melihat kondisi Temu, Pak Pur
menyarankan kepada setiap orang yang datang mewawancarai atau berguru menari kepada Temu, untuk memberikan uang tanda terimakasih.
46
Istilah dukun sekarang tidak dipakai lagi, mereka memakai istilah pelatih.
44
Didepan rumah Temu terpampang “sanggar kesenian gandrung sopo
ngiro”.Tidak seperti sanggar-sanggartari lainnya yang selalu ramai didatangi anak-anak yang datang untuk belajar, sanggar Tinah ini hanya beberapa kali
dalam seminggu ramai didatangi anak-anak setingkat SMA yang datang untuk berlatih dengannya. Sanggar ini juga berfungsisebagai wadah kelompok gandrung
beserta krunya, yaitu para pemain musik, untuk berkumpul. Ditempat Tinah memang tidak akan ditemui alat musik apapun untuk
mengiringi gandrung. Nampaknya sanggar ini bentuk kolaborasi antar beberapa orang yang punya kepandaian bermain alat musik pengiring. Keuntungan dari
sanggar ini adalah jika orang menyewa Temu sebagai gandrung, maka mereka juga akanmendapatkan para pemain musik beserta beberapa penari yang menjadi
anggota sanggar tersebut. Temu mempunyai murid-murid, yang dibawanya setiap kali Temu
mendapat tawaran, Anak buah Temu yang sempat saya temui antara lain Reni, Mia dan Viroh. Mereka bertiga berguru pada Temu, dan temu selalu menantang
mereka untuk berlatih lebih keras terutama soal menyanyikan gending-gending wajib gandrung. Dan sebaliknya kalau mereka mendapat tawaran pentaspun akan
mengajak kelompok sanggar sopo ngiro.
45
Depan rumah Temu-foto koleksi pribadi Dalam kesehariannya para pengiring gandrung ini adalah petani, tidak jauh
berbeda dengan Temu yang terkadang menjadi buruh tani. Rumah yang ditempati Temu sekarang merupakan rumah warisan yang sudah pernah direnovasi
bertahun-tahun lalu.Sekarang, Temu tidak lagi bisa memperbaiki kerusakan apapun termasuk tidak bisamembeli lampu kamar mandi juga dapur yang mati
entah sejak kapan. Kondisi keuangan Temu memang amat menyedihkan. Hal ini bisa dilihat
dari kondisi rumahnya serta dari makanan yang dimakannya sehari-hari. Hari itu Tinah menggoreng gereh ikan asin yang harganya amat murah. Ia juga memasak
sayur daun lontar yang dipetiknya dari kebon tetangga. Menurutnya kalau urusan makan, ia memang makan seadanya. Baginya, yang penting Amir bisa makan
setiap hari. Menurut Temu, Amir makannya banyak sekali. “Maklum anak laki- laki”, kata Tinah sambil tertawa.
3. Gandrung Mudaiyah
46
Mudaiyah adalah gandrung berusia sekitar 48 tahun. Pagi itu ia kelihatan bugar memakai t-shirt berwarna hitam bermotif bunga dari payet perak.Saat kami
datang, ia sedang menghias amprok hiasan kepala untuk kepentingan kostum gandrung yang baru dibuatnya. Kadang dia juga membuat kostum gandrung
sendiri. Tidak heran kalau kostum gandrungnya selalu terlihat baru, karena dia merawatnya dengan baik.
Mudaiyah pernah menikah dengan laki-laki yang ditemuinya di arena gandrung. Namun setelah selang beberapa waktu, ia mengetahui bahwa laki-laki
yang ia nikahi tersebut sudah punya istri, maka dirinya memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Hingga kini relasi mereka berdua masih amat baik
47
. Mudaiyah bercerita, bahwa ketika sekolah dasar kelas tiga, ia lebih sering
tidur di kelas ketimbang ikut mendengarkan guru mengajar. Kebiasaan tidurnya itu terjadi karena dirumah ia harus membantu orang tuanya melakukan pekerjaan
rumah sekaligusmencari makan. Ia harus pergi nganksak memungut sisa-sisa padi orang panen atau pergi kesungai untukmencari udang atau ikan apa saja
ikan sungai, supaya adik-adiknya bisa makan. Membatu tetangga agar mendapatkan sedikit makanan.
Dalam hal akademik Mudaiyah memang ketinggalan jauh dari teman- temannya.Namun pada suatu hari ketika ada acara disekolah dan ia berlatih
menari gandrung, seorang guru berkata kepadanya “Kamu akan menjadi penari gandrung terkenal”. Mud -begitu panggilan akrabnya- memang lebih suka menari
daripada belajar di kelas. Ketika ia tidak naik kelas, ia memutuskan untuk tidak
47
Hasil wawancara dengan yang bersangkutan tanggal 6 Mei 2011
47
melanjutkan sekolah dan mulai berguru pada seorang gandrung terkenal dimasanya.
Buah dari kerja kerasnya berlatih gandrung adalah kemakmuran ekonomi di masa depan yaitu sekarang ini. Sekarang Mud menikmati kemakmuran
ekonomi bersama ibunya yang sudah semakin tua. Rumah besar dan cukup terawat bersih serta teratur dengan perlengkapan furniture yang kelihatan mewah
untuk ukuran orang desa Kemiren. Lemari yang biasa dipakai untuk menyimpan barang-barang pajangan diruang tamu juga kelihatan mewah.
Ia bercerita bahwa sejak pertama manggung gandrung, ia menyisihkan uangnya untuk ditabung dan sisanya untuk membantu kehidupan keluarga.
Tabungannya lama-lama cukup untuk membeli sawah dan sapi, sehingga ayahnya tidak lagi menjadi buruh tani tetapi menjadi pemilik sawah yang diolahnya
sendiri. Kemudian ia menabung lagi hingga akhirnya bisa memperbaiki rumahnya yang sekarang ditempati. Tidak sampai disitu, Mud menyadari bahwa
menggandrung tidak akan dilakoninya seumur hidup, maka dia menabung dan memulai usaha salon kecantikan yang sekarang ini dikerjakan bersama dengan
anak angkatnya. Mud juga melihat peluang usaha lainnya. Ia melihat bahwa banyak orang yang membutuhkan mobil kol terbuka untuk mengangkut sayuran
atau hasil kebon lainnya. Maka Mud pun membeli mobil kol untuk disewakan kepada para petani pada saat musim panen raya tiba. Kemampuan Mud rupanya
tidak sebatas pada menari gandrung. Ia juga pandaiberbisnis. Dengan kemampuannya itu, kini Mud mempunyai sejumlah anak angkat yang dibiayainya
sekolah hingga SMA. Mud juga mampu memberikan modal kepada sejumlah orang yang ingin mengikuti jejaknya.
48
Diceritakan bahwa
pantang baginya
untuk menolak
tawaran menggandrung. Meskipun sakit, jika tidak terlalu parah, ia pun pergi. Ini
merupakan janji terhadap dirinya sendiri.Kadang tawaran bisa seminggu 2 sampai 3 kali, dan itu cukup melelahkan. Meskipun sekarang banyak gandrung muda,
popularitas Mud belum pudar, mengingat Mud mempunyai keunikan sendiri dalam menari yang belum bisa ditiru oleh gandrung lainnya. Mud memiliki gaya
jenaka serta ramahkepada setiap tamu yang hadir.
48
Mud termasuk gandrung yang rajin dan pintar.Kemampuanya melihat masa depan membantu dia menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi. Mud adalah tipe yang rajin bekerja. Tangannya tidak pernah berhenti melakukan pekerjaan. Ia rajin membuat dan menghias aprok
gandrungnya sendiri, maka tidak heran jika amprok Mudselalu terlihat bagus dan ada corak-corak yang berubah.
Sikap bersahabatnya terhadap siapa saja, terlihatdari keramahannya menerima saya dan menerima tamu seorang petugas dari Dewan Kesenian
Blambangan DKB yang menjadi sahabatnya. Kedekatannya pada pemerintahan lokal, ternyata membuat posisinya aman. Mud selalu mendapat tawaran
manggung atau mengajar tari.Saya menduga kedatangan orang dari DKB pada waktu itu berkaitan dengan pelatihan gandrung masal.
48
Diungkapkan pada saat wawancara tanggal 10 Mei 201i
49
Mudaiyah-foto koleksi pribadi Setelah berbicara dan mengamati kehidupan ketiga gandrung itu, saya
melihat kesamaan diantara ketiganya. Bagi saya, mereka bertiga adalah perempuan-dperempuan pekerja seni tradisi profesional yangbekerja untuk
kelangsungan hidup mereka sendiri dan sebenarnya tidak terlalu perduli dengan tradisi, Mereka menari gandrung semata-mata untuk uang saja. Kebetulan profesi
mereka ini berkaitan erat dengan kesenian lokal, yang historis.
D. Wacana Seputar Gandrung
Sub bab ini akan membahas sejumlah wacana yang berputar-putar di seputar gandrung. Berbagai pendapat tentang gandrung sebagai sebuah bentuk
kesenian, perempuan penarinya serta interaksi yang terjalin diantara mereka dengan para pendatang dan masyarakat asli Osing, juga akan dibahas dalam sub
bab ini.
1. Pendidikan
“Menjadi gandrung tidak perlu pintar dan berpendidikan”. Hal ini sering diungkapkan oleh dua narasumber yaitu Mudaiyah dan Temu. Karir
50
menggandrung mereka memang terhitung berhasil, walaupun keduanya tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar.
Dari ketiga gandrung yang saya wawancarai secara mendalam, hanya Darti yang lulus sekolah dasar.Alasan pertama karena tidak ada biaya sekolah,
kedua ia menganggap dirinya tidak pintar, serta yang ketigakeinginannya menjadi penari gandrung mengalahkan semangat bersekolah. Kurangnya pendidikan dan
pengalaman di luar panggung gandrung membuat mereka seringkalijadi ‘permainan’ pihak lain.
Pada tahun 1980-an Temu menerima tawaran rekaman. Sebut saja Zamroni, seorang broker asal Banyuwangi. Dengan bujuk rayu dia meminta Temu
untuk membantu bisnis rekaman yang dijalaninya. Ternyata bisnis itu memberi keuntungan banyak bagi para produser, broker hingga ke distributor. Hampir
semua albumnya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Album Disco Etnic 2000 misalnya yang di produseri oleh Sandi Record
tahun 2003 terhitung cukup sukses. Sebanyak 50.000 keping CD terjual dan sekitar 4.000 keping kaset pita laris terjual. Lagu Kangen Banyuwangi yang
dinyanyikannya menjadi andalan.
49
Meskipun demikian, setiap hari Temu masih harus berpikir keras apa yang bisa dimakan besok. Sehingga mau tidak mau
menjadi buruh sawah.Baginya yang penting ada beras yang bisa dimakan keesokan harinya. Padahal kalau
dihitung-hitung, keuntungan yang didapat oleh pihak produser 200 kali lipat
51
sekitar Rp.350.000.000. Jumlah yang luar biasa banyak jika diterima oleh si penyanyi. Sementara upah yang diterima si Tinah hanya 1,5 juta rupiah.
50
Kasus tersebut kerap dialami Temu, tetapi dirinya tidak mampu berbuat banyak. Tidak pernah ada perjanjian tertulis atau kontrak, kalaupun ada itu hanya
mengatur masalah hak dan kewajiban. Itupun hanya perjanjian produser dengan broker.
Dyah Larasati
51
, ternyata juga mengenal satu nama yang sama yaitu gandrung Temu.Kami berdua dalam waktu yang berbeda pernah datang
kerumahnya di desa Kemiren. Dari Dyah, saya mengetahui bahwa rekaman lagu- lagu Osing yang dinyanyikan sudah sampai ke teman-temannya di Amerika dan
Eropa. Mbak Dyah –demikian saya memanggilnya- sebelumnya mengira kehidupan Temu jauh lebih baik karena royalty yang cukup lumayan dari hasil
rekamannya. Namun ternyata apa yang ia bayangkan amat jauh dari kenyataan.Ia amat menyayangkan tidak ada pihak yang bersedia mengakomodir persoalan
“penipuan” tersebut. Terbayang sejumlah uang royalti yang seharusnya diterima Temu setiap
tahunnya. Tapi ternyata kemiskinan tetap menggelayuti hidupnya. Tidak sepeserpun keuntungan diterimanya, karena memang tidak ada perjanjian apapun
sebelumnya.Peristiwa tersebut seharusnya tidak terjadi jika gandrung cukup mempunyai pengetahuan tentangsegala sesuatu yang berkaitan dengan profesinya.
Memang di jaman Mudaiyah dan Temu, para penari gandrung tidak bersekolah. Namun sekarang, menggandrung adalah salah satu jalan untuk
50
“Pertarungan Identitas”.Dalam Etnografi Gandrung.Desantara 2008.Hal.115
51
Dyah adalah seorang profesor seni di salah satu Universitas di Amerika Serika. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di IRB.
52
memenuhi biaya sekolah. Sebut saja Intan seorang gandrung yang masih kuliah di salah satu universitas swasta di Banyuwangi. Intan membiayai kuliahnya sendiri
dari hasil nggandrung. Bagi Intan, tidak sulit membagi waktu antara kuliah serta nggandrung, karena tawaran hanya datangseminggu dua kali.
52
Selebihnya waktu bisa diatur sendiri. Meskipun banyak temannya yang mengolok-olok, tapi Intan
terus menari untuk membayar kuliahnya bahkan bisa membantu kebutuhan ekonomi orang tuanya.
Jika mendengar kehidupan para gandrung yang menjadi narasumber dalam tulisan ini, pendidikan tampaknya memang tidak terlalu penting ketika itu.
Gandrung ternama seperti Temu, Mudaiyah dan Darti, tidak terlalu mementingkan pendidikan formal. Karena kemungkinan besar orientasi pada masa itu lebih pada
memenuhi ekonomi dan bukan pendidikan. Sebaliknya,gandrung sekarang paling rendah pendidikan mereka adalah Sekolah Menengah Atas SMA.
Pada tahun 60-an, belajar gandrung dibayar dengan tenaga. Ketika belajar gandrung Mudaiyah tidak mengeluarkan sepeserpun. Ia harus membayar dengan
tenaga, misalnya dengan membersihkan rumah si guru atau melakukan pekerjaan rumah lainnya.
Berbeda dengan gandrung Mudaiyah, gandrung Darti adalah keturunan Mbah Semi. Sejak kecil kalau mendengar musik gandrung atau musik apapun,
secara otomatis tubuhnya menarikan gerakan gandrung. “Kegilaan” pada gandrung ini membuat dirinya tidak tertarik untuk belajar, sehingga baginya, bisa
membaca dan menulis sudah amat cukup. Sejak kecil, banyak yang yakin kepada
52
Hasil wawancara redaksi SRINTIL dengan Intan, dalam rekaman video tahun 2008
53
Darti bahwa ia akan menjadi gandrung terkenal. Hal ini juga memperkuat niatnya untuk tidak melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
Diakui oleh para gandrung bahwa profesi ini menawarkan uang dan popularitas. Pertama-tama yang harus diraih adalah popularitas. Setiap gandrung
memiliki cara berbeda untuk mendapatkan yang satu ini. Sikap ramah, menahan marah jika ada yang mengganggu, adalah salah satu kekhasan individu penari.
Misalnya seperti yang di lakukan oleh gandrung Mudaiyah. Kelincahan menjadi ciri khasnya.
53
Sementara gandrung Temu memiliki suara indah dan sampai hari ini belum ada gandrung yang memiliki suara melebihi keindahan
suaranya.
54
Menurut para gandrung, bersamaan dengan popularitas akan datang tawaran pentas dan uang. Dan ketika itu, ditahun 60-an para gandrung ini masih
sering pentas. Sehingga mereka tidak perlu kuatir akan kehabisan uang. Pada waktu itu, gandrung memang kesenian tradisi yang amat populer. Hampir
seminggu dua kali para penari ini mendapat tawaran untuk pentas. Tetapi sekarang ini masyarakat memiliki banyak pilihan hiburan.
Gandrung pun mulai menjadi nomor sekian untuk mengisi acara pesta serta syukuran. Tawaran mentas menjadi tidak rutin, sementara kehidupan terus
berjalan. Berbeda dengan gandrung Temu yang kehidupannya memprihatinkan.
Kalau tidak ada tawaran pentas gandrung, untuk kebutuhan hidup setiap harinya, ia harus ‘gali lobang tutup lobang’
55
. Sebegitu memprihatinkannya kehidupan Temu, membuat banyak orang menaruh belas kasih kepadanya dan memberi
53
Diungkapkan pada saat wawancara dengan yang bersangkutan pada tanggal 10 Mei 2011
54
Berdasarkan wawancara dengan pak Pur, dan dikuatkan oleh beberapa orang penonton yang saya temui.
55
berhutang pada satu orang untuk menutup hutang yang lain
54
bantuan berupa makanan atau uang. Bahkan ada himbauan dari seorang kerabat Temu, yang ditujukan kepada para pewawancara untuk memberi uang setiap kali
selesai wawancara. Dan bagi para siswa SMA yang belajar gandrung kepadanya, paling tidak setiap kali Dating memberi urunan sebesar Rp.5000 orang.
Dibanding berbagai kisah hidup para gandrung senior, saya melihat ada semacam kesan dari para gandrung muda sekarang ini untuk tidak hanya
menggantungkan diri pada keahlian menggandrung, tetapi lebih kreatif dengan bergabung bersama kelompok nyanyi atau kelompok kesenian lainnya. Selain itu,
pendidikan harus terus dijalankan bahkan hingga keperguruan tinggi.
2. Praktik Olah Tubuh Penari Gandrung
Menjadi gandrung membutuhkan profesionalisme. Para penari gandrung harus serius menjaga diri mereka agar tetap bugar dan tidak mudah sakit. Selain
itu, mereka juga harus menjaga kualitas suara agar tidak mengecewakan ketika harus bernyanyi saat di atas pentas. Penjagaan suara ini salah satunya dilakukan
dengan tidak makan goreng-gorengan serta melakukan gurah untuk menjaga keindahan suara. Para gandrung ini juga rutin minum jamu untuk menjaga
kebugaran, menjaga kesehatan kulit serta penampilan. Mereka sesekali juga harus luluran supaya kulit tetap halus dan terawat. Ketika pentas, para gandrung ini
harus merias wajah dengan total, sehingga penampilan mereka tidak mengecewakan penonton.
56
Kain yang melilit bagian pinggang kebawah para penari gandrung juga dibuat sangat ketatagar sepanjang malam mereka tahan untuk tidak ke toilet. Oleh
karena itu mereka memiliki cara tersendiri untuk mengikat bagian bawah perut
56
Wawancara dengan Mudaiyah, di rumahnya tgl. 10Mei 2011
55
sekencang-kencangnya untuk menekan saluran urine, supaya selama pertunjukan hasrat buang air kecil dapat ditahan. Untuk menahan kantuk, mereka mereka
minum semacam pil khusus yang membuat tubuh tetap segar. Segala upaya memang dilakukan para gandrung ini agar setiap penampilan diatas panggung
terlihat prima hingga pagi hari. Temu berperawakan tinggi ramping dan berleher panjang. Di usianya yang
ke 53 tubuh Temu tetap terlihat sangat terawat.Begitu juga dengan Mudaiyah yang perawakan kecil ramping dan berleher panjang. Menurut Mudaiyah itulah
ciri-ciri tubuh idaman untuk menjadi seorang gandrung. Pendapat ini menurut saya amat menarik untuk dicermati, karena ketika saya melihat gandrung Darti,
diusianya yang sama dengan Temu, tubuhnya terlihat sedikit gemuk. Namun bagi Darti soal perubahan bentuk tubuh sepertinya tidak jadi masalah. Walaupun
gemuk ia masih saja menerima undangan menggandrung di tempat lain, bahkan di Jakarta bersama kelompok tari pimpinan Dedy Lutan.
Satu malam, ketika saya berada di rumah kediaman Temu, sambil menunggu waktu berangkat manggung, datanglah seorang gandrung muda
ditemani suaminya. Bernama Reni, perempuan muda ini berusia sekitar 25 tahun. Tubuhnya tinggi besar,bagian dada dan bokongnya kelihatan besar, apalagi kaos
dan celana panjang yang dipakai pada waktu itu kelihatan sekali memperlihatkan lekuk tubuh Reni.Si suami menghampiri saya dan berkata, “Ibu, kalau orang
nyandu obat atau rokok saya nyandu istri saya”.
57
Pernyataan ini sungguh tidak saya duga. Reni rupanya juga mendengar apa yang dikatakan suaminya. “Sejak kemarin saya tidak ‘nyampur’ dengan istri, ada
57
Hasil pengamatan lapangan 11 Mei 2011
56
pantangan tidak boleh ‘nyampur’ tiga hari sebelum pentas, agar stamina terjaga”, lanjut suami Reni itu, yang -sebut saja- bernama Hasan.
Malam itu Hasan ikut bersama kami rombongan ke lokasi gandrung. Padahal gandrung yang lain tidak diantar oleh suami. Menurut kasak kusuk,
Hasan melakukan ini terhadap istrinya karena dia overprotectif terhadap istrinya.Padahal anak mereka, ditinggal dirumah sendirian.
Aktifitas perempuan gandrung berupa pentas yang dilakukan pada malam hari merupakan sebuah kerja professional berorientasi pada uang. Dalam
pengamatan saya, Temu dan Reni gandrung hasil didikan Temu bersedia menerima undangan pentas dimana saja kapan saja, karena mereka harus
membiayai hidup keluarganya. Menurut Reni, suaminya tidak mempunyai pekerjaan yang jelas sehingga setiap ada kesempatan gandrung pasti akan
diterimanaya. Selain menjaga kesehatan, memelihara tubuh serta suara, para perempuan
gandrung juga harus pandai menjaga sikap dan tingkah laku agar terlihat tenang. Sikap santun dan mampu menguasai emosi harus dimiliki, terutama ketika berada
di atas panggung. Sikap ini diperlukan karena mereka tidak pernah tahu siapa saja tamu yang akan datang.
58
Tua, muda, miskin maupun kaya, semua harus dilayani dengan cara yang sama.
Tidak jarang ada tamu yang nakal, ingin pegang-pegang atau bicara dengan nada melecehkan. Seperti yang diceritaka Reni kepada saya, bahwa pada
satu hari ada seorang pemaju yang membisikan “Daripada semalaman disini ayo temeni saya tidur di hotel”. Tentu Reni menolaknya dengan nada yang
58
Wawancara dengan pasangan Reni dan Hasan di kediaman gandrung Temu13 Mei 2011,
57
sopan.Namun jawaban Reni itu ditanggapi lagi dengan “Ayolah,sedikit aja, ujungnya aja juga tidak apa-apa”. Selain itu, juga pernah ada tamu yang
mengatakan kepada penari gandrung “Eh…, tidur bareng aku yuk.” Atau pada saat menari bersama sikap tubuh tamu itu terkesan agresif seperti ingin menyentuh
bagian pinggul atau dengan sengaja wajahnya dihadapkan persis didepan payudara si gandrung.
59
Godaan dan pelecehan yang dihadapi oleh Reni itu adalah hal yang biasa. Bagi para gandrung, hal-hal seperti itutentu harus dihadapi dengan
tenang dan sikap bijak. Mudaiyah adalah salah seorang gandrung senior yang kelincahan geraknya
telah dikenal orang.Bahkan menurutnya ada pihak-pihak yang mengkritik gerakannya keluar dari pakem gandrung. Kelincahannya dalam gerak tari mampu
menghidupkan suasana pesta menjadi lebih meriah kadang mengundang tawa. Kalau ada seorang pemaju yang tidak bisa mengimbangi gerakannya.
Mudaiyah, tidak segan-segan mengajari tamu yang tidak bisa ngibing atau malu- malu. Baginya tugas utama sebagai penari gandrung adalah menghibur para tamu
undangan, baik tua ataupun muda, berduit ataupun tidak berduit. Mudaiyah selalu berusaha
peka pada
suasana sekitar
panggung untuk
menciptakan kegembiraan.
60
Baginya, jika para tamu terhibur dan senang ia berarti telah berhasil menunaikan tugasnya sebagai penari gandrung.
3.Pertunjukan Gandrung Terop
Hari itu bulan Mei 2011, adalah observasi lapangan pertama saya dalam pertunjukan gandrung terop. Pertunjukan ini untukmenghibur para tamu
untdangan warga desa dalam acara syukuran sunatan. Bersama kelompok sopo
59
Diperkuat hasil pengamatan lapangan tanggal 12 Mei 2011
60
Hasil wawancara tanggal 10Mei 2011, di rumah Gandrung Mudaiyah
58
ngiro, antara lain ada gandrung Mia dan Viroh. Para pemusik antara lain Karman,
sebagai pemain kendang kempul, Surip memainkan trianglesekaligus menjadi kluncing,
Tarpin sebagai pemain gong,
61
Sejak sebelum Maghrib saya sudah berada di rumah Temu untuk melihat persiapan pentas malam itu. Seorang perempuan setengah baya sibuk
mempersiapkan kostum lengkap dengan amprok berikut syarat-syaratnya, seperti kembang sepatu warna merah serta peralatan rias lainnya.
Beruntung disekitar rumah tetangga masih ditemukan kembang sepatu berwarna merah, dan saya menemani perempuan ini memetiknya. Setibanya di
rumah, mulai dipersiapkan bedak bubuk dan segala rupa.Ada air dalam botol, dan mangkok plastik.Belakangan saya baru tahu kalau mangkok plastik itu untuk
tempat campuran bedak bubuk serta air mawar. Bedak bubuk itu itu nantinya akan diborehkan keseluruh tubuh Temu, sehingga warna kulit Temu nampak lebih
kuning dan bersinar. Menjelang pukul 19:00 datang Mia, seorang gandrung muda asuhan
Temuberusia 25 tahun. Kemudian menjelang pukul 20:00 datanglah mobil bak tertutup yang didalamnya terdapat alat musik yang akan digunakan untuk
mengiringi pentas malam ini, berupa kendang kempul, gong, serta kluncing. Dengan mobil inilah kami berangkat ke lokasi yang letaknya
membutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Sebuah perjalanan yang lumayan lama serta menantang. Kondisi jalan yang berbatu serta licin akibat hujan
lebat yang baru saja turun membuat saya sedikit gugup, jangan-jangan kami tidak bisa sampai dengan selamat. Tetapi melihat seluruh rombongan gandrung tampak
61
Karman, Surip, Tarpin adalah nama samaran.
59
santai, dan sopir sepertinya sudah terbiasa dengan kondisi itu, membuat saya lebih tenang.
Setibanya di lokasi, rombongan “Sopo Ngiro” ini masih harus melewati pematang sawah yang becek dan licin. Tetapi tampaknya hal ini sudah menjadi
hal biasa bagi mereka. Tidak ada wajah-wajah yang takut saat melewati pematang sawah itu. Mereka malah tertawa-tawa dan bercanda dengan sesama rombongan.
Sepertiya hanya saya yang takut terpeleset melewati pematang yang becek dan berlumpur itu.
Sampai di rumah yang punya gawe, rombongan ini sudah ditunggu oleh yang empunya rumah serta seluruh tamu undangan. Setelah istirahat kira-kira 15
menit sambil minum teh, kelompok pemusik bersiap menata peralatan musik. Gandrung Temu dan Mia kemudian masuk kerumah empunya pesta dan mulai
mempersiapkan diri. Sesampainya di ruang tamu empunya pesta, kedua gandrung ini membongkar tas dan mengeluarkan isinya lalu mulai berdandan.
Ruang berdandan ini dipenuhi oleh anak-anak dan perempuan. Mereka menonton para gandrung ini berhias diri, bahkan si anak yang disunat sengaja
dibawa masuk ruangan.Alat rias yang dipunyai Mia bermerek LaTulip. Alat-alat itu terlihat tersusun sangat teratur. Sementara peralatan dandan Temu tampak
seadanya, misalnya bedak Viva kantong plastikan, gincu merah yang sudah tak terurus serta bulu mata palsu yang juga sudah tidak pada tempatnya.
Ketika berganti kostum, Temu dengan santai membuka baju dan kutang didepan anak-anak dan perempuan yang menonton. Berbeda dengan Mia yang
saat ganti kostum masuk kedalam kamar hingga siap pentas.
60
Mia sedang berdandan-foto koleksi pribadi Kelompok gandrung ini ditanggap berdasarkan nadhar seorang nenek
terhadap cucunya. Nenek itu mengatakan kepada cucunya bahwa ia akan nanggap gandrung kalaucucu pertama laki-lakinya disunat.
Untuk menyatakan bahwa nadhar telah dibayar, dibuatlah satu ritual kecil. Ritual ini dilakukan oleh pihak keluarga yang terdiri dari suami, istri serta
didampingi gandrung Mia dan gandrung Viroh.
62
Setelah pihak keluarga mengatakan “Hutang sudah dibayar, maka jangan ada yang menagih lagi,” dan
dilanjutkan “Bismillahirrahmanirrahim,” mereka akan saling menarik ujung ketupat sehingga beras yang ada di dalamnya keluar berantakan. Kemudian
setelah ritual kecil itu selesai dilakukan, arena gandrung dibuka oleh gandrung Mia dan gandrung Viroh.
Meja-meja tamu penuh diisi oleh laki-laki. Hanya ada satu perempuan pada meja itu. Saya kemudian mengamati orang-orang yang duduk di meja tamu
tersebut. Di meja satu terlihat satu orang menaruh bir bintang di atas meja. Meja dua fmengeluarkan botol-botol plastik Aqua, yang kalau diperhatikan, dan saya
yakin, itu bukan air putih melainkan semacam minuman beralkohol seperti ciu
62
Gandrung Viroh, anak asuh Temu yang datang terlambat karena alasan hujan, datang bersama ayahnya dalam keadaan sudah dirias hanya benrganti kostum yang dilakukan dengan
cepat dibantu si ayah.
61
atau sejenisnya. Meja tiga berisi bir bintang. Di setiap meja hanya ada satu gelas, dan ada satu orang yang menuangkan kedalam gelas dan memberikan kepada
teman semeja, begitu seterusnya. Katanya pemberian itu tidak boleh ditolak sebagai bentuk pertemanan dan solidaritas. Dan berbagi minuman lintas meja
amat dimungkinkan. Gandrung duduk di meja satusambil ngobrol-ngobrol dengan tamu. Sejauh
pengamatan saya, tidak terlihat sekalipun gandrung ikut minum atau merokok. Gandrung hanya menghibur dan menuruti kemauan tamu pilihannya. Dua orang
gandrung menari dengan iringan gending atau menyanyi sambil menari sendiri. Terkadang mereka menerima uang atau saweran dengan tangan mereka,
untukkemudian diselipkan di balik kemben mereka. Begitu seterusnya hingga secara adil setiap meja mendapatkan giliran yang sama.
Jika ada yang ingin si penari gandrung tetap semeja, maka harus minta ijin pada petugas supaya meja lain tidak iri hati. Selama pertunjukan ini berlangsung
ada seorang laki-laki yang bertugas mengatur perpindahan gandrung dari satu meja kemeja lain dan menjaga keamanan saat tari berpasangan belangsung.
Menjelang jam 12 malam arena gandrung terbuka dimulai. Pemaju mulai menari bersama gandrung pilihan mereka. Kelihatan sekali gerakan-gerakan
agresif yang terkadang mengundang tawa atau kengerian untuk saya.Tidak jarang terjadi pelecehan terhadap si penari. Entah itu berupa kata-kata maupun
tindakan. Misalnya “mhhh gemes aku karo susune”, atau para undangan tertawa- tawa ketika melihat pemaju yang begitu agresif seolah ingin mengejar gandrung.
Tangar, merupakan salah satu gerak yang sering dipakai oleh penari gandrung ketika berada di arena. Tangar dilakukan untuk menolak, menghindar
62
atau melindungi diri dari pemaju yang terlalu agresif, seperti hendak mencium, menyentuh juga memandang bagian tubuh gandrung yang sensual.Jika terlalu
lama dibiarkan memandang, biasanya para pemaju ini akan melakukan tindakan yang tergolong nekat seperti menyeruduk para gandrung. Dibutuhkan skill untuk
melakukan gerakan ini dan gandrung harus selalu waspada jika berada diatas panggung.
Kadang saya sendiri merasa cemas jika sudah ada pemaju yang menari terlalu dekat dengan gandrung. Pada saat seperti inilah gandrung harus melempar
sampur dan berputar dengan lembut serta cepat. Inilah gerakan tangar. Viroh, seorang gandrung yang berusia sekitar 20 tahun. Ia adalah
gandrung muda cantik kelihatan ABG = Anak Baru Gede. Viroh berguru gandrung pada Temu.Entah sudah berapa kali Viroh pentas bersama
gurunya.Malam itu ada seorang pemaju yang sudah agak mabuk dan kepalanya hampir menyeruduk payudara Viroh. Viroh tampak amat ketakutan.Dengan cepat
tangannya mendorong kepala si pemajuhingga jarak mereka menjadi jauh. Apa yang dilakukan Viroh, itu adalah spontanitas seorang perempuan yang menghidar
dari tindakan yang melecehkan profesinya sebagai penari.Tindakan pelecehan lainnya adalah memegang pinggul, merangkul atau hampir mencium si penari.
Semakin malam kegilaan pentas semakin menjadi. Para pemaju sudah mulai mabuk sementara para gandrung harus lebih lincah lagi jika tidak ingin
dicium atau dipeluk. Menurut beberapa orang, kadang memang tidak bisa dihindari gerakan-gerakan yang melecehkan gandrung, karena itu gandrung harus
gesit dan pandai menghindar. Semakin pagi tamu yang tertinggal hanya beberapa, tapi merekalah yang mabuk berat, bahkan tidak mau berhenti menari.
63
Sesaat sebelum azan subuh terdengar, gandrung harus disudahi dengan tarian penutup yang disebut seblang subuh. Tapi sayang, pagi itu tarian penutup
tidak dilakukan karena semua pemaju mabuk dan waktu sudah lewat. Sehingga pagi itu gandrung ditutup begitu saja tanpa ritual penutup.
Berbeda dengan pesta pernikahan
63
yang saya hadiri beberapa hari setelahnya.Terlihat para tamu duduk di kursi-kursi yang tersedia. Dalam satu meja
bundar ada sekitar 6 kursi yang diduduki tamu. Kami agak terlambat datang karena lokasi agak jauh. Dari pengamatan saya, saya melihat ketika rombongan
turun dari mobil, semua orang saling memberi kabar bahwa gandrung sudah datang dan anak-anak berlarian untuk mengelilingi tempat pesta.
Terlihat para tamu sudah memenuhi kursi-kursi undangan yang memang disediakan untuk kelompok gandrung ini. Karena alasan sudah terlambat, kami
langsung ke ruang dandan dan mempersiapkan diri untuk mentas. Perbedaan lainnya, ruang dandan terlihat lebih tertutup. Yang ada hanya tim gandrung dan
tukang rias pengantin. Kalau di acara pesta sunat, gandrung Temu membuka dengan ngremo. Di
pesta ini langsung dibuka dengan tari Jejer tari pembuka gandrung. Menurut gandrung Temuhal itu dilakukan sesuai permintaan yang punya gawe.Selanjutnya
pesta berjalan dengan sangat meriah, kali ini penonton perempuannya banyak, kemungkinan karena empunya gawe seorang tua yang tampaknya memiliki
keluarga besar cukup guyub. Malam itu dalam pesta pernikahan, aroma minuman keras cukup
terkendali, menurut beberapa pemusik, pengadaan minuman keras tergantung
63
Observasi kedua tanggal 13 Mei 2011
64
kerjasama antara empunya pesta dengan pemilik mimunan, dan tentu saja keputusan ada ditangan si empunya pesta.
4. Gandrung Sang Idola
Di tengah-tengah keramaian para tamu, tampak di salah satu kursi tamu seorang laki-laki tua yang membawa foto Temu ketika muda. Sebagai penghibur,
Temu harus berkeliling dari satu meja lain, dan giliran tiba di meja tersebut.Laki- laki tua ini meminta Temuuntuk duduk disebelahnya sambil mengeluarkan uang
50 ribu yang kemudian diselipkan di tangannya. Sambil berdiri, gandrung Temu menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Osing. Itu artinya, setiap lagu ada harganya.
Terlihat beberapa kali Temu menerima salam tempel dari laki-laki tua itu. Pada observasi pentas pertama, lokasi pentasnya lebih rendah dari jalan
setapak yang mengelilingi tempat tersebut. Saya memperhatikan seorang perempuan berusia 50-an yang ketika itu berada di arena gandrung. Ia duduk di
atas batu yang terletak dibelakang para tamu. Sejak muda ia telah mengagumi gandrung Temu. Dalam kesempatan itu, saya melihat iamelipat uang senilai lima
puluh ribu rupiah. Lipatan uang itu ia masukkan ke dalam lipatan kertas bertuliskan syair lagu. Kertas itu diberikan kepada Temu untuk dinyanyikan
olehnya. Ia bercerita, dari dulu sampai sekarang kalau mendengar suara Temu
menyanyi meskipun dari kejauhan, hatinya terasa sedih dan selalu mengeluarkan air mata. Menurutnya, sampai hari ini, belum ada yang bisa mengalahkan
keindahan dan kekhasan suara gandrung yang satu ini. Maka tidak heran kalau ada pemaju yang datang dari desa yang jauh hanya untuk mendengarkeindahan
suaraTemu. Diusianya yang tidak muda lagi Temu memang masih laris untuk
65
manggung.Ia belum terkalahkan oleh gandrung-gandrung muda. Ini terbukti di usianya ke-50, iamasih menerima tawaran pentas,meskipun tidak sepadat
jamannya muda.
E. Menggandrung Demi Uang dan Tradisi
Sebagai penerus gandrung Semi, tampaknya Darti lebih berhati-hati dalam menjaga nilai dan tradisi gandung yang diwariskan oleh Semi. Ini terungkap saat
saya berbincang-bincang tentang gandrung yang kini mendapat citra negatif di masyarakat. Menurutnya, gandrung sudah mulai keluar dari jalurnya, misalnya
issue yang beredar dimasyarakat bahwa gandrung suka merebut suami orang atau
mau diajak jalan-jalan oleh laki-laki beristri. Selain itu, kebiasaan kawin cerai diantara keluarga gandrung juga telah mendapat stigma negatif di masyarakat.
Bagi Darti hal tersebut sudah keluar dari aturan main gandrung Semi. Gandrung Darti mengatakan bahwa hal itu tergantung dari sikap setiap individu
gandrung pada waktu di arena. Ia juga tidak menampik bahwa sering ada godaan berupa celotehannakal dari laki-laki yang ingin tidur bersama atau sekedar main
kerumah. Godaan-godaan semacam itu dianggap wajar. Lagi-lagi kembali pada sikap individu.
Suami Darti yang mendampinginya saat wawancara ini mengatakan bahwa suami para gandrung harus mengerti keadaan istrinya dan mendukung supaya
tidak cemburu. Apalagi sampai pada perceraian. Menurut suami Darti, Kelompok Seniman Osing berupaya untuk terus melakukan pembinaan kepada para penari
66
gandrung.
64
Usaha ini dulakukan salah satunya untuk mengurangi tuduhan- tuduhan negatif tersebut.
Perkembangan lain yang dapat diamati adalah terjadinya perubahan ornamen pada amprok atau kostum gandrung. Bagi Darti perubahan pada
ornamen pakaian atau amproktidak terlalu penting, karena baginya hal itu adalah kebebasan setiap individu asal tidak keluar jauh dari tradisi gandrung pada
umumnya. Darti sendiri setia pada ornamen yang diwariskan oleh Semi,gandrung perempuan pertama yang juga neneknya.
Ibu Suci Shinta,
65
seorang perempuan pembuat kostum gandrung, juga tetap setia pada pola yang diwariskan oleh gandrung Semi. Tidak ada yang
dirubah sedikitpun kecuali hiasan bunga. Biasanya, menurut Ibu Shinta, pada waktu pentas, gandrung menggunakan kembang sepatu warna merah. Tetapi
karena alasan sulitnya mencari bunga segar, maka diganti dengan bunga dari kertas yang dibentuk seperti kembang sepatu.
Ibu Suciter masuk orang langka yang bisa membuat kostum gandrung
66
tanpa belajar sebelumnya. Ia belajar secara otodidak, caranya hanya dengan melihat dan meniru. Pak Sauni, suami ibu Shinta, adalah pemilik “sanggar Sekar
Jagad” yang mempunyai anak binaan berkisar 40 anak-anakdan remaja. Untuk memenuhi kebutuhan kostum tari gandrung, Shinta mencoba untuk membuatnya
sendiri. Alhasil ia berhasil dan menjadikannya sebagai bisnis keluarga. Bahkan
64
Wawancara Mei 2011
65
Shinta, istri Bapak Sauni pemilik sanggar Sekar Jagad, pengrajin kostum gandrung lengkap. Menerima pesanan kostum untuk segala umur , mulai untuk anak TK hingga dewasa. Semua
dikerjakan sendiri tanpa merubah corak awal dekorasi kostum.
66
Yang saya wawancarai dirumahnya sekaligus tempat membuat kostum gandrung, tanggal 18 Mei 2011
67
sekarang banyak sekolah-sekolah Taman Kanak-Kanak juga ikutan memesan baju gandrung kecil kepada Shinta.
Bagi perempuan asli Cungking tempat asal mbah Semi ini, meski punia tidak bisa menari gandrung, namun ia dikaruniai kemampuan membuat kostum
dan suara indah khas gandrung. Karena keindahan suaranya itu, Shinta pernah mengikuti rekaman di salah satu studio di Surabaya. Sampai sekarang kegiatan
rekaman masih terus dilakukan paling tidak satu kali setahun dan lagu-lagu Osing yang dinyanyikannya adalah ciptaan sang suami, yaitu pak Sauni.
F.Perempuan Penari Gandrung di Mata Masyarakat
Sub bab ini akan membicarakan tentang bagaimana tanggapan sejumlah masyarakat, khususnya masyarakat Banyuwangi, lebih khusus lagi masyarakat
Kemiren, terhadap para perempuan penari Gandrung. Pembicaraan pada bab ini akan memfokuskan pada pengalaman keseharian perempuan penari Gandrung,
terutama para penari Gandrung di Kemiren yang telah menjadi narasumber saya. Sekarang ini begitu banyak stigma negatif di sekitar gandrung. Banyak
yang menganggap gandrung senior hanya menuruti keinginan pemaju saja hanya untuk uang repenan yang lebih banyak.
Salah satu informan saya mengatakan bahwa “Gandrung sekarang kehilangan wibawa sebagai tarian tradisi”.
67
Ia mengatakan bahwa gandrung muda sekarang ini tidak semuanya bisa menyanyikan gending dengan bagus,
sehingga kurang bisa menggerakkan emosi, terutama kalau menyanyikan lagu- lagu khas gandrung.
67
Hasil obrolan dengan seorang laki-laki disalah satu warung nasi di terminal Sasak Perot,tanggal 9 Mei 2011
68
Program pelatihan gandrung yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Blambangan selama ini dianggap cukup berhasil dalam hal kuantitas. Akan tetapi
dalam hal kualitas, diakui masih jauh dari harapan. Bagi Sauni,
68
kemampuan gerak tubuh atau menari bisa dipelajari bila dibandingkan dengankemampuan
mengolah suara.
69
Kemampuan olah suara adalah hal yang amat penting bagi gandrung. Ini adalah salah satu ciri khas gandrung.Sauni, mengungkapan
kegelisahannya terhadap gandrung-gandrung muda sekarang yang tidak pandai menyanyi. Oleh karena itu salah satu mimpinya adalah mendirikan sekolah khusus
gandrung. Di sekolah itu nantinya setiap orang akan dilatih ketrampilanmenari, olah suara serta sopan santun.
Tamu atau pemaju yang menonton gandrung umumnya datang dari berbagai kalangan masyarakat dengan perbedaan latar belakang pendidikan serta
ekonomi. Namun di arena gandrung, perbedaan status sosial tidak berlaku. Setiap orang punya kesempatan untuk menari dengan gandrung pujaan.Bagi Dadang,
70
lokasi pementasan yang jauh bukan halangan untuk melihat dan menari bersama gandrung idola. Menurutnya saat menari bersama gandrung, semua beban hidup
hilang.Yang ada hanya kegembiraan. Bagi Dadang yang berprofesi sebagai sopir, pekerjaannya adalah hal yang
amat melelahkan. Tetapi rasa lelah hilang pada saat paju bersama gandrung. Apalagi kalau si gandrung sanggup mengimbangi aksi pajunya yang kelihatan
agresif dan cendrung menyerang. Perempuan penari gandrung adalah partner yang cocok untuk memperlihatkan kemampuannya menari dan bersenang-senang.
68
Pegawai DKB, pemilik sanggar Sekar Jagad sekaligus pelatih gandrung
69
Seorang praktisi sekaligus pegawai Dewan Kesenian Blambangan
70
Salah satu pemaju yang saya wawancara pada tanggal, 13 Mei 2011
69
Tradisi meminum minuman keras di arena gandrung rupanya sudah ada sejak jaman gandrung lanang. Bedanya, sekarang inisorotan masyarakat terhadap
minuman keras di arena gandrung sangatlah negatif. Hal ini disebabkan oleh perkelahian antar pemaju yang mabuk. Citra negatif terhadap gandrung tidak
mempengaruhi Dadang untuk meninggalkan arena gandrung. Baginya, tidak ada yang salah dengan gandrung. Rasa cemburu dari para istri dan pacar terhadap
gandrung dianggap hal wajar. Minuman keras di meja-meja para tamu juga hal biasa, meskipun menurut Purwanto,
71
ada atau tidaknya minuman keras tergantung dari pemilik pesta. Karena tuan rumah berhak mengatakan tidak pada
orang-orang yang sengaja membawa minuman keras ke arena gandrung sebagai dagangan. Maka tanpa seijin empunya rumah, bir tidak mungkinakan ada.
Gandrung Banyuwangi bagi Ibu Nur
72
, adalah kesenian rakyat yang mati segan hidup pun tak mau. Ia mengkritik cara berpakaian gandrung yang
dianggapnya pakaian setengah telanjang. Menurutnya, gandrung sebaiknya menggunakan stocking dan tutup kepala, namun banyak orang penggilai gandrung
tidak setuju. Menurutnya sekarang sudah banyak orang sadar pada nilai-nilai moral
agama, sehingga banyak orang enggan memanggil gandrung untuk mengisi acara pesta keluarga. Apalagi, menurut ibu Nur kasus kawin cerai dalam hidup para
gandrung sering terjadi. Inilah yang membuat stigma negatif di seputar gandrung makin menjadi. Hal tersebut disetujui oleh Temu. Menurut Temu, begitulah
tingkah polah para gandrung generasi muda sekarang ini. Dikatakannya, mereka
71
Penggemar gandrung
72
Perempuan yang saya kenal dalam bis perjalanan Yogya - Banyuwangi
70
berganti-ganti suami seperti ganti baju. Hal ini berbeda dengan gandrung di jamannya yang setia pada pasangannya.
G. Kesimpulan