29
masing diberi materai dan disampaikan kepada atasan langsung dengan ketentuan :
pertama, 1 surat pernyataan dikembalikan kepada PNS yang bersangkutan setelah diberi tandatangan atasan langsung dan stempel dinas.
Kedua, 1 surat pernyataan diteruskan kepada pejabat yang berwenang sesuai peraturan
perundang-undangan melalui saluran hierarki, sebagai bahan penetapan keputusan pemberhentian dari jabatan PNS.
28
Pejabat yang berwenang tersebut setelah menerima surat pernyataan PNS yang bersangkutan, menetapkan keputusan pemberhentian dari jabatan negeri
yang dibuat menurut contoh dalam lampiran II peraturan kepala BKN. Pemberhentian dari jabatan PNS tersebut berlaku mulai tanggal PNS yang
bersangkutan ditetapkan oleh KPUD sabagai calon Kepala daerah atau calon Wakil Kepala Daerah.
29
B. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah dan Proses Penyelesaian 1. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah sebagai bagian dari sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Karena melalui Pilkada tidak hanya menjamin
berlangsungnya proses sirkulasi dan regenerasi kekuasaan di tingkat daerah. Akan tetapi partisipasi dan representasi atas kepentingan rakyat terhadap terpenuhinya
pemerintahan yang baik, akan senantiasa terwujud. Kepentingan rakyat sebagai bagian dari hak-hak konstitusional yang harus selalu dijamin, dilindungi dan
28
Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Calon Kepala daerahcalon wakil Kepala Daerah.
29
Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005.
30
dijunjung tinggi. Oleh sebab itu sistem Pilkada yang dibangun, hendaknya dikreasikan dengan tujuan dan maksud tersebut. Selain itu, setiap
penyelenggaraan Pilkada diharapkan mampu berjalan secara jujur dan adil free
and fair election serta transparan. Namun tidak bisa pungkiri, bahwa dalam setiap penyelenggaraan Pilkada sering kali muncul permasalahan atau sengketa.
30
Dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada terdapat beberapa masalah hukum yang berpotensi muncul, misalnya pelanggaran pidana dan administrasi.
Pelanggaran pidana adalah perbuatan yang melanggar ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dikategorikan sebagai tindak pidana.
Sementara pelanggaran administrasi adalah semua pelanggaran kecuali pelanggaran pidana sebagaimana yang ditetepkan dalam Undang-Undang
tersebut. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada adalah bentuk pelanggaran kode etik penyelenggara.
31
Sengketa menurut KBBI diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, perbantahan, pertikaian, perselisihan, atau perkara di
pengadilan.
32
Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, antara kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.
33
Sengketa Pilkada dapat diartikan sebagai sebuah perselisihan antara peserta Pilkada dengan penyelenggara Pilkada, penyelenggara Pilkada dengan warga
30
Yulianto dan Veri Junaidi, Pelanggaran Pemilu 2009 dan Tata cara Penyelesaiannya
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2009, h. 3.
31
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, 2
th
ed. Depok:
Themis Books, 2013, h. 87
32
Diakses pada 30 Mei 2014 dari http:bahasa.cs.ui.ac.idkbbi .php?keyword= sengketavarbidang=allvardialek=allvarragam=allvarkelas=allsubmit=tabe
33
Tri Cahyo Wibowo, “Sengketa Pemilukada”, artikel diakses pada 15 Februari dari http:tricahyowibow.blogspot.com201212sengketa-pemilukada.html
31
Negara yang memiliki hak pilih yang diakibatkan dikeluarkannya keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada.
34
Ketentuan mengenai sengketa Pilkada diatur dalam pasal 66 ayat 4c UU No. 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, didalam Undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa salah satu tugas dan kewenangan Panwaslu adalah untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada. Namun tidak dijelaskan definisi atau pengertian tentang sengketa Pilkada itu sendiri.
35
Permasalahan dan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada yang kemudian menyebabkan sengketa diantaranya adalah: 1. Daftar Pemilih
tidak akurat, 2. Proses pencalonan yang bermasalah munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik, berpindah-pindahnya dukungan patai
politik dan KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon, 3. Pemasalahan pada masa kampanye
Money politics, pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi, kampanye negatif terselubung di luar waktu yang telah
ditetapkan dan curi start, 4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan, 5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
keberpihakan anggota KPUD dan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon, kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon, tidak adanya
34
Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu
2009-2014 Jakarta: Perludem, 2006, h. 96.
35
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Perludem, Menata Kembali Pengaturan
Pemilukada, h. 93.
32
ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon, 6. Kandidat yang kalah tidak siap menerima kekalahannya.
36
Dalam penyelenggaraan Pilkada setidaknya ada dua jenis Sengketa, yaitu Sengketa Pelaksanaan Pilkada dan Sengketa Hasil Pilkada.
37
Pertama, sengketa pelaksanaan Pilkada atau yang biasa dikenal dengan perselisihan administrasi
Pilkada. Perselisihan administrasi Pilkada yaitu perselisihan yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara
Pilkada yang dianggap merugikan Warga negara yang memiliki hak memilih dan dipilih, partai peserta Pilkada, dan bakal calon Kepala DaerahWakil Kepala
Daerah, serta Kepala DaerahWakil Kepala Daerah yang terjadi dalam tahapan- tahapan Pilkada.
38
Kedua, Sengketa hasil Pilkada. Sengketa hasil Pilkada adalah sengketa terhadap keputusan KPUD menyangkut hasil Pilkada. Sedangkan dalam UU No.
12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sengketa hasil Pilkada adalah yang berkenaan dengan
perselisihan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
39
36
Ramlan Surbakti, dkk, Penanganan Sengketa Pemilu Jakarta: Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011, h. 7.
37
Panwaslu Purwakarta, “Pelanggaran Pemilu dan Penanganannya” artikel diakses
pada 24 April 2014 dari http:panwaslupurwakarta.blogspot.com201209bagaimana-anda-harus- melaporkan.html
38
Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu
2009-2014.
39
Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu
2009-2014.
33
2. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya ditentukan dari terlaksananya pemungutan suara dan terpilihnya Kepala Daerah,
tetapi juga dilihat dari penyelesaian sengketa yang terjadi. Masalah penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia mulai ramai dibahas khususnya sejak diterapkannya
sistem pemilihan langsung pada tahun 2005.
40
Dalam penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilkada, ada prinsip-prinsip penyelesaian sengketa yang diterapkan
sebagai instrumen yang digunakan untuk menegakkan keadilan Pemulu dan Pilkada. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan agar dapat mewujudkan paradigma
keadilan PemiluPilkada. Melalui mekanisme tersebut, hak pilih masyarakat dapat dikembalikan kepada kehendak semula.
41
Menurut International Foundation For Electoral IFES, tujuh standar
penyelesaian sengketa yang efektif dalam menjamin integritas dan legitimasi PemiluPilkada adalah:
Pertama, Hak untuk memperoleh pemulihan pada keberatan dan sengketa pemilu.
Kedua, Sebuah rezim standar dan prosedur pemilu yang didefinisikan secara jelas.
Ketiga, Abiter yang tidak memihak dan memiliki pengetahuan.
Keempat, Sebuah sistem peradilan yang mampu menyelesaikan putusan dengan cepat.
Kelima, penentuan beban pembuktian dan standar bukti yang jelas.
Keenam, Ketersediaan tindakan perbaikan yang berarti dan efektif. Ketujuh, pendidikan yang efektif bagi para pemangku kepentingan.
42
40
Ramlan Surbakti, dkk, Penanganan Sengketa Pemilu, h. 2.
41
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, h. 45.
42
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, h. 46.