Sosial-Kependudukan: Minimalisasi Modal Demografis

233 Pada periode Kades Jinamo 1981-1989 misalnya, ada dua 2 program pokok yang ditujukan untuk merubah kebudayaan Wong Sikep yaitu: kawin massal 7 Agustus 1989, dan berusaha memasukkan mereka ke agama yang diakui pemerintah 1988. Untuk acara perkawinan massal dilakukan dengan cara mendatangkan semua tokoh agama yang diakui pemerintah, namun akhirnya Wong Sikep memilih kawin dengan agama Budha, ketika itu ada sekitar 120-an 4 pasangan yang dikawinkan atau dicatat secara massal di Catatan Sipil. Pilihan Agama: Untuk mengkonversi Wong Sikep ke agama yang diakui pemerintah, Kades tersebut mendatangkan tokoh semua agama yang diakui pemerintah. Tokoh-tokoh Sikep seperti Mbah Ontar, Mbah Oyot, dan lainnya dikumpulkan oleh aparat kelurahan dan kecamatan di rumah Mbah Yodo. Tujuannya agar mereka memilih agama yang diakui oleh pemerintah seperti Islam, Kathalik, Kristen, Hindu, dan Budha. Dulu pernah ada usaha dari pemerintah desa dan kabupaten agar Wong Sikep WS menganut agama pemerintah, Wong Sikep ketika itu terpaksa mau dan memilih agama Budha. Kemudian pemerintah menghubungi pimpinan agama Budha di Bumi Minotani agar mengajarkan ajaran Budha. Ketika tokoh Budha mengajarkannya, WS disuruh membayar dana ziarah, namun WS tidak ada yang mau memberikannya. Ketika itu tokoh Budha itu bertanya kepada WS, mengapa tidak mau bayar dana ziarah. Untuk itu Mbah Oyot yang mewakili WS menjawab, bahwa sebenarnya mereka tidak mau memilih salah satu dari agama yang ditawarkan oleh pemerintah, namun karena dipaksa untuk memilih, ya mereka terpaksa memilih. Setelah mendengarkan penjelasan Mbah Oyot tersebut maka tokoh Budha tidak mau lagi datang. Sementara di kalangan WS sendiri menyatakan bahwa yang dimaksud Budha adalah mlebu udho ketika melakukan hubungan suami-isteri dalam keadaan telanjang. Tokoh Sikep ketika itu tetap menyatakan ikut agama Adam, namun pihak pemerintah memberi penjelasan bahwa agama yang diakui negara di Indonesia adalah lima agama tersebut. Pada akhirnya dengan ‘terpaksa’ secara lisan mereka mengatakan ikut agama Budha. Pernyataan ini ternyata mengandung makna ganda. Bagi Wong Sikep Budha merupakan kepanjangan dari mlebu-udho kalau laki-laki dan perempuan berhubungan kelamin mesti telanjang, ini sesuai dengan bahasa sangkak atau kirotoboso. Di kalangan Wong Sikep memang banyak istilah yang terkait dengan agama banyak di’plesetkan’ ke arah hubungan 4 Ada perbedaan versi mengenai jumlah pasangan kawin ini, ada yang menyatakan sebanyak 117 pasangan, sementara yang lain menyatakan 300 pasangan, dan ada yang menyatakan 120-an pasangan. Versi yang menyatakan 300 pasangan saya kira terlalu berlebihan, sebab jika dibandingkan dengan tahun 2006 seperti tercantum dalam Formulir Instrumen Pemutakhiran Data Komunitas Adat Terpencil misalnya jumlah kepala keluarga Wong Sikep sebanyak 192 KK. Padahal perkawinan massal itu berlangsung pada tahun 1989. Atinya, tidak mungkin terjadi pengurangan jumlah KK yang banyak dalam jangka waktu 7 tahunan, sementara tidak terjadi kejadian luar biasa yang dapat mengurangi jumlah KK yang begitu drastis, meskipun ada program Keluarga Berencana yang dilancarkan kepada Wong Sikep. Mungkin yang lebih tepat adalah ada 150-an pasangan dengan jumlah sebanyak 300 orang. Hanya yang penting dicatat bahwa perbedaan versi mengenai jumlah ini tidak terlalu penting dalam konteks ini, yang lebih penting adalah penunjukkan adanya usaha dari aparat pemerintah untuk merubah toto-coro Wong Sikep melalui perkawinan. 234 kelamin laki-laki dan perempuan, misalnya sembahyang mesem tambah grayang, artinya kalau mau berhubungan kelamin mulai dari merayu dan menggrayangi isteri, agama adalah gaman lanang penis. Sebagian dari kirotoboso tersebut merupakan simbol resistensi. Seperti halnya kirotoboso ’sekolah’ , kirotoboso ’budho’ mengandung makna resistensi diam untuk bertahan terhadap tindakan pelaku di luar kelompoknya. Di pihak lain aparat pemerintah menganggap mereka betul-betul memilih agama Budha. Hal ini terlihat dari tindakan aparat pemerintah untuk mengajarkan agama Budha kepada Wong Sikep. Bahkan pihak pemerintah desa dan kecamatan memasukkan mereka secara formal-administratif sebagai penganut agama Budha, misalnya yang tercantum dalam monografi. Wong Sikep tetap bertahan menganut agamanya Adam, dan mereka memang tidak pernah ikut agama Budha dalam pengertian yang dipahami pihak aparat pemerintah, tapi Budha dalam pengertian mereka sendiri yaitu mlebu udho ketika mereka melakukan hubungan suami-isteri. Kekurangmampuan pelaku dari aparat pemerintah untuk merubah agama Wong Sikep sangat disesalkan oleh tokoh-tokoh Islam. Dia mempertanyakan mengapa pemerintah mampu mengurus Aceh, namun tidak mampu merubah keyakinan Wong Sikep. P. Ru misalnya menyatakan: ‘moso pemerintah ngatur sakelompok ga’ iso, klambi ijo kok dikalahke satunggal wongkelompok, padahal Aceh wae iso dikalahke’. Maksudnya pemerintah kok bisa dikalahkan hanya oleh satu orang yaitu Mbah Ontar, sesepuh Sikep, yang memutuskan menolak agama yang diakui pemerintah, padahal Aceh saja dapat dikalahkan. Kecenderungan ini mengandung makna bahwa kuasa yang dijalankan oleh aparat pemerintah justru melahirkan resistensi diam dari pelaku di kalangan Wong Sikep, resistensi diam diekspresikan melalui kirotoboso. Pada masa-masa berikutnya tidak ada lagi petinggi yang melakukan pendekatan ngotot untuk merubah agama, dan perkawinan menurut tata cara agama resmi, kepada Wong Sikep. Hal ini terjadi baik dalam masa petinggi sesudah Jinamo yaitu Tukul maupun Ono, dan petinggi yang sekarang. Penyebabnya, bukan hanya karena resistensi yang diperlihatkan Wong Sikep, namun yang lebih penting adalah dampaknya secara politik yang akan dialami oleh para petinggi tersebut, sebagaimana dialami oleh petinggi Jinamo yang menjadi tidak terpilih lagi sebagai petinggi pada periode berikutnya. Sebab Wong Sikep ternyata memiliki modal demografis, baik dari segi kuantitas maupun soliditas ketika dalam medan politik lokal, khususnya Pilkades. Kondisi ini dipahami betul oleh seorang mantan petinggi: WS kalau kebutuhan atau kepentingannya tidak terpenuhi biasanya diam, tapi tetap ngotot dengan keyakinan dan pendiriannya atau siap tidak mendukung orang yang telah menyinggung