Dengan demikian, kebaharuan kajian ini terletak pada penjelasan mengenai Wong Sikep sebagai komunitas agama lokal yang bukan
sekedar menjadi obyek namun menjadi subyek yang memiliki agensi ketika berelasi dengan pelaku-pelaku di luar dirinya.
C. Fokus Kajian
Relasi kuasa antara Wong Sikep dengan kelompok di luar dirinya merupakan konsekwensi dari kebijakan atau aturan yang
dilakukan negara pada skala nasional. Berbagai kebijakan negara tersebut ditujukan untuk mengubah budaya mereka, dan dalam
pengimplementasiannya bukan hanya dilakukan oleh aparat pemerintah setempat, namun melibatkan juga muslim setempat.
Pelaku-pelaku dari aparat pemerintah memainkan kuasanya melalui ’pembinaan’ atau pengonstruksian kepada kelompok Wong Sikep
agar berubah kebudayaannya dan masuk ke agama resmi. Misalnya dengan mencantumkan agama global tertentu pada Kartu Tanda
Penduduk KTP penganut agama lokal tersebut. Wong Sikep membiarkan bedakan dengan menerima pencantuman agama
resmi di KTP-nya karena kepentingannya diterima oleh aparat pemerintah. Aparat pemerintah dan muslim juga melempar wacana
yang menyudutkan Wong Sikep dengan isu PKI. Sebuah wacana yang dikenakan juga pada Wong Sikep di tempat lain seperti di
Bojonegoro Makhasi, 1985: 45. Di sisi lain Wong Sikep melakukan pembalikan wacana dan tindakan-tindakan untuk
melawan dan akomodasi.
Kajian ini melihat relasi kuasa dari perspektif tindakan pelaku dalam medan sosial pengubahan budaya Wong Sikep,
sebagai implementasi dari regulasi negara. Pendekatan kuasa dalam perspektif tindakan pelaku dirasa penting saat ini. Hal ini
setidaknya karena dua hal. Pertama, sejalan dengan isu global yang lebih mengedepankankan makna penting individu atau
kelompok sebagai aktor dan agen dalam relasinya dengan pihak lain. Isu yang berkaitan dengan protes dan tuntutan pemenuhan keadilan
sosial-ekonomi-politik, hak-azasi manusia, dan perjuangan untuk penafian deskriminasi oleh minoritas menunjukkan hal itu. Pada
gilirannya proses globalisasi dengan segala isunya tersebut melahirkan dua arah sekaligus yaitu: di satu sisi terjadi proses
homogenisasi komunitas di seluruh dunia, di sisi lain terjadi heterogenisasi.
8
Dalam konteks Indonesia, isu-isu global itu bukan hanya merambah dan merubah cara berpikir dan bertindak masyarakat
8
Speed 2002: 207 misalnya menegaskan bahwa kajian terbaru menunjukkan proses-proses yang berlawanan dari globalisasi tersebut
berlangsung serempak. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa para ahli melihat pengaruh proses globalisasi terhadap kebudayaan lokal kepada
dua hal yaitu proses homogenisasi kebudayaan lokal melalui penyejagatan kebudayaan umum Amerika baca: Barat pada umumnya.
Ahli lain melihat proses globalisasi melahirkan multiplisitas dan keragaman kebudayaan baru, sebuah kebudayaan cangkokan hibrida atau
penegasan kembali identitas dan kebudayaan lokal Speed, 2002. Bahasa populer untuk menunjukkan dua proses tersebut adalah ‘think
globally, act locally’. Hal yang senada dikemukakan Saifuddin 2005: 44 bahwa pada saat bersamaan terjadi kecenderungan yang berlawanan
dalam proses globalisasi. Di satu sisi terjadi peningkatan sentralisasi kuasa pada perencanaan dan pengambilan keputusan tingkat tinggi dan
lahirnya bisnis intetrnasional seperti Dana Moneter Internasional, dan Bank Dunia. Di pihak lain secara bersamaan melahirkan lokalisme dan
chauvisme kesukuan serta nasionalisme.
perkotaan, namun juga masyarakat perdesaan termasuk komunitas terpencil. Orang-orang yang dianggap tidak berdaya dan banyak
diam ketika menghadapi tindakan pihak lain mulai berani melakukan perlawanan, misalnya melalui protes dan tuntutan.
Semuanya menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu individu jumawan atau berdaulat dalam berelasi dengan pihak lain sekaligus
mampu merubah tindakan pihak lain, dia sosok aktif, kreatif, dan manipulatif. Akibatnya pusat kejumawanan menjadi tersebar, ia
bukan sekedar ’dimiliki’ pihak-pihak penguasa struktur elite ekonomi, politik, dan agama.
Kedua, isu-isu yang mengiringi proses globalisasi yang melahirkan keberdaulatan pelaku, individu atau kelompok,
mengandaikan berjalannya konstruktivisme dalam kehidupan masyarakat. Lanskap budaya dunia moderen sedang berubah dan
karenanya pemahaman mengenai masyarakat sebagai kesatuan entitas yang stabil mulai dipertanyakan.
9
Dengan demikian perkembangan globalisasi tersebut bukan hanya berdampak kepada
terjadinya perubahan sosial-politik, namun juga merubah paradigma keilmuan. Dalam konteks antropologi, gejala tersebut jelas
membutuhkan penjelasan atau paradigma dan metodologi kajian
9
Terjadinya protes, tuntutan pihak minoritas akan keadilan sosial, hak azasi manusia dan lainnya menunjukkan adanya gejala keretakan,
fragmentasi atau dislokasi, dan hal ini bukan hanya berpengaruh dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, namun juga bagi ilmu pengetahuan
termasuk antroplologi. Artinya, sebagaimana dilansir Saifuddin 2005 bahwa keadaan tersebut melahirkan ketidakpastian penggunaan cara
yang tepat dalam memaparkan realitas dan melahirkan kristisisme atau mempertanyakan kembali paradigma ilmiah dan meta naratif yang ada
seperti Marxisme, strukturalisme, dan struktural fungsionalisme.
baru
10
agar teori-teori
antropologi mampu
memahami perkembangan kondisi atau realitas sosial masyarakat kontemporer.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pergeseran paradigma dalam ilmu pengetahuan, antropologi khususnya, selain karena adanya
kritik internal dalam paradigma itu sendiri, juga karena terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perubahan-perubahan
dalam masyarakat membutuhkan pemahaman baru sehingga akan menggeser paradigma lama. Hal ini tentu akan berakibat juga
kepada aspek metodologis. Misalnya antropolog menganalisis isu- isu global dalam lingkup lokal. Hal ini dimaksudkan, seperti
diungkap Nash 2005, agar antropologi punya konstribusi dalam memahami proses globalisasi tersebut dalam medan lokal.
11
Pengubahan budaya komunitas Wong Sikep dalam bahasan ini dikonseptualisasikan sebagai medan sosial karena di dalamnya
para pelaku saling bertindak melalui hubungan-hubungan sosial di antara mereka. Di dalamnya terdapat kiat-kiat atau strategi pelaku
dalam melaksanakan dan atau mengalami kuasa, sehingga berpengaruh terhadap posisi masing-masing. Di dalam medan
tersebut ada relasi dan persaingan antara Wong Sikep dengan aparat
10
Abdullah 2006 misalnya menjelaskan hubungan perubahan- prubahan yang terjadi akibat globalisasi yaitu adanya deteritorialisasi
budaya dengan aspek metodologis dalam antroplogi, baik yang berkaitan dengan analisis, pengumpulan data, representasi dan unit analisis.
11
Speed 2002 misalnya melakukan kajian isu hak azasi manusia di medan lokal komunitas Nicolas Ruiz di Chiapas Meksiko yaitu
bagaimana komunitas tersebut memperjuangkan hak-haknya agar diakui secara hukum oleh negara bahkan untuk memperoleh otonomi. Dia
menemukan bahwa konsep hak azasi manusia yang mendunia itu disesuaikan dengan sejarah dan subyektivitas komunitas lokal, dan dalam
proses itu justru memunculkan kembali identitas budaya lokal.
pemerintah dan muslim setempat. Masing-masing pihak berusaha menguatkan dan mempertahankan posisinya. Wong Sikep misalnya,
melakukan penguatan identitasnya. Penguatan itu merupakan bagian dari dijalankannnya kuasa oleh mereka, misalnya melalui sosialisasi
nilai keagamaan dari sesepuh kepada anggotanya. Bahkan terjadi persaingan di antara warga Sikep sendiri ketika berelasi dengan
kedua kelompok tersebut. Dengan demikian kajian ini menjadikan medan pengubahan budaya Wong Sikep sebagai titik pijak
memahami relasi-relasi kuasa di antara mereka. Di dalam medan sosial tersebut para pelaku menjalankan dan atau mengalami kuasa
secara simultan sebagaimana dilansir oleh Foucault dalam Cheater, 1999:3 bahwa setiap individu sebenarnya selalu berada dalam
posisi mengalami dan melaksanakan kuasa, karena mereka bukan sekedar obyek kuasa yang patuh begitu saja, namun juga berkiat
dalam menjalankan kuasa. Ketika relasi kuasa beroperasi akan ada pertarungan dan
pergumulan antar pelaku untuk meraih keunggulan. Seturut dengan Bourdieu 1977, dalam medan sosial yang terdiri dari banyak
pelaku, dengan segala habitus yang dimilikinya, akan terdapat perjuangan secara kontinu untuk saling unggul atau sekedar
bertahan. Untuk unggul dan bertahan tersebut mereka berstrategi atau melakukan kiat-kiat dengan menggunakan sumber daya atau
modal yang dimilikinya. Selain itu karena setiap orang berada dalam kelompok agama, setiap individu hakikatnya berada dalam ragam
jaringan kuasa, baik kelompok agama lokal maupun agama global dan aparat pemerintah memiliki jaringannya sendiri yang sekaligus
menjadi modal dalam berelasi. Kuasa, sebagaimana dilansir Saifuddin 2005, dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang
atau kelompok untuk mengendalikan, mempengaruhi, dan membuat orang atau kelompok lain melakukan sesuatu.
Relasi kuasa yang terjadi antar kelompok di Bumi Minotani, nama semboyan pembangunan dari lokasi penelitian ini,
menunjukkan tiga hal. Pertama, negara, yang dalam batas-batas tertentu direpresentasikan oleh aparat pemerintah, melakukan
berbagai peraturan atau kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan dan komunitas lokal. Selain itu negara juga
melakukan penafsiran mengenai makna dan definisi agama, serta mengeluarkan kebijakan yang bertujuan mengubah budaya
kelompok agama lokal. Aturan-aturan pada level nasional ini kemudian berpengaruh bukan hanya terhadap relasi sosial antara
aparat pemerintah dengan kelompok agama lokal, namun juga relasi sosial kelompok agama lokal dengan kelompok agama global
yang diakui negara. Di lokasi kajian, relasi kuasa ini terlihat dari berbagai tindakan yang dilakukan aparat pemerintah dan muslim
pada tingkat desa sampai kabupaten sebagai implementasi berbagai aturan yang terkait dengan kehidupan agama, dan Program
Komunitas Adat terpencil PKAT. Misalnya melalui pengembangan wacana stereotip tertentu, penggunaan tafsir kelompok muslim
mengenai perawatan janazah dan pemakaman, sokongan, pertanian dan lainnya.
Kedua, dalam kehidupan penganut agama Adam tersebut nampak adanya pengubahan dan perubahan budaya kesikepan.
Pengubahan dilakukan oleh para pelaku dari aparat pemerintah dan muslim, dan menyebabkan perubahan atau dinamika budaya Wong
Sikep. Perubahan tersebut sebenarnya bukan hanya karena pelaksanaan kuasa yang dilakukan pelaku di luar kelompoknya,
namun juga karena penerimaan dari Wong Sikep. Pelaku dari kalangan Wong Sikep juga melakukan kuasa dengan menggunakan
berbagai strategi negosiasi dan modal. Mereka melakukannya melalui berbagai kegiatan yang dihadapkan kepada aparat
pemerintah maupun muslim, sehingga memungkinkannya untuk bertahan dan bahkan mampu mempengaruhi pihak lain.
Ketiga, dalam relasi kuasa antarkelompok tersebut para pelaku saling merebut, bersaing, mengendalikan dan mempengaruhi,
dan hal ini berdampak terhadap adanya posisi masing-masing pelaku. Artinya, akan ada posisi yang berbeda dari setiap pelaku,
ada yang menang dalam arti berpengaruh atau mendominasi dan dipengaruhi atau terdominasi. Hal ini sekaligus mengandaikan
bahwa dalam relasi selalu bersifat tidak setara Foucault dalam Patton, 1987: 234. Ketidaksetaraan dalam kajian ini lebih bersifat
politik dan agama Jika setiap pelaku merupakan struktur di hadapan pihak
pelaku lain, adanya posisi mendominasi dan terdominasi serta strategi yang dijalankan setiap pelaku, sebenarnya juga
mengandung adanya peran ‘keagenan’ pelaku ketika berhadapan dengan struktur. Kajian mengenai peran keagenan menjadi isu
menarik, khususnya dalam antropologi kontemporer. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya hal ini karena sesuai dengan perkembangan
isu global yang pada hakikatnya terkait dengan pengakuan terhadap makna penting pelaku, individu atau kelompok lokal.
Berdasarkan uraian tersebut, kajian ini fokus kepada proses bekerjanya kuasa antarpelaku yang tidak setara atau dalam struktur
yang timpang secara politik dan keagamaan dalam medan
pengubahan budaya komunitas lokal, dalam kasus Wong Sikep.
Subkajiannya meliputi: 1 bentuk-bentuk tindakan pelaku ketika berhubungan dengan pelaku lain dalam medan pengubahan budaya
Wong Sikep. Dalam hal ini terkait dengan isu strategi dan modal yang digunakan, dominasi dan posisi keagenan pelaku dalam
kaitanya dengan struktur. 2 hubungan antar posisi sehingga
menghasilkan pengetahuan
Upaya pengubahan kebudayaan Wong Sikep melibatkan banyak pelaku dan kelompok yaitu: selain Wong Sikep sendiri juga
muslim setempat, negara, dan lembaga swadaya masyarakat. Kajian ini membatasi diri pada hubungan kuasa antar pelaku di kalangan
internal Wong Sikep dan antara kelompok Wong Sikep di satu pihak dengan aparat pemerintah dan muslim di pihak lain.
Adapun relasi kuasa dalam proses pengubahan budaya Wong Sikep tersebut terdapat dalam bidang sosial dan
ekonomipertanian, politik,
administrasi kependudukan,
keagamaan, dan wacana. Dalam berbagai bidang kegiatan itu para pelaku terlibat dalam proses untuk saling mempengaruhi,
mengendalikan dan merebut kesempatan secara berkesinambungan untuk bertahan dan mengungguli.
D. Teori Dalam Memahami Kajian Teori Inspirator: Informasi dari lapangan menunjukkan