Tata Cara Perkawinan dan Pilihan agama

234 kelamin laki-laki dan perempuan, misalnya sembahyang mesem tambah grayang, artinya kalau mau berhubungan kelamin mulai dari merayu dan menggrayangi isteri, agama adalah gaman lanang penis. Sebagian dari kirotoboso tersebut merupakan simbol resistensi. Seperti halnya kirotoboso ’sekolah’ , kirotoboso ’budho’ mengandung makna resistensi diam untuk bertahan terhadap tindakan pelaku di luar kelompoknya. Di pihak lain aparat pemerintah menganggap mereka betul-betul memilih agama Budha. Hal ini terlihat dari tindakan aparat pemerintah untuk mengajarkan agama Budha kepada Wong Sikep. Bahkan pihak pemerintah desa dan kecamatan memasukkan mereka secara formal-administratif sebagai penganut agama Budha, misalnya yang tercantum dalam monografi. Wong Sikep tetap bertahan menganut agamanya Adam, dan mereka memang tidak pernah ikut agama Budha dalam pengertian yang dipahami pihak aparat pemerintah, tapi Budha dalam pengertian mereka sendiri yaitu mlebu udho ketika mereka melakukan hubungan suami-isteri. Kekurangmampuan pelaku dari aparat pemerintah untuk merubah agama Wong Sikep sangat disesalkan oleh tokoh-tokoh Islam. Dia mempertanyakan mengapa pemerintah mampu mengurus Aceh, namun tidak mampu merubah keyakinan Wong Sikep. P. Ru misalnya menyatakan: ‘moso pemerintah ngatur sakelompok ga’ iso, klambi ijo kok dikalahke satunggal wongkelompok, padahal Aceh wae iso dikalahke’. Maksudnya pemerintah kok bisa dikalahkan hanya oleh satu orang yaitu Mbah Ontar, sesepuh Sikep, yang memutuskan menolak agama yang diakui pemerintah, padahal Aceh saja dapat dikalahkan. Kecenderungan ini mengandung makna bahwa kuasa yang dijalankan oleh aparat pemerintah justru melahirkan resistensi diam dari pelaku di kalangan Wong Sikep, resistensi diam diekspresikan melalui kirotoboso. Pada masa-masa berikutnya tidak ada lagi petinggi yang melakukan pendekatan ngotot untuk merubah agama, dan perkawinan menurut tata cara agama resmi, kepada Wong Sikep. Hal ini terjadi baik dalam masa petinggi sesudah Jinamo yaitu Tukul maupun Ono, dan petinggi yang sekarang. Penyebabnya, bukan hanya karena resistensi yang diperlihatkan Wong Sikep, namun yang lebih penting adalah dampaknya secara politik yang akan dialami oleh para petinggi tersebut, sebagaimana dialami oleh petinggi Jinamo yang menjadi tidak terpilih lagi sebagai petinggi pada periode berikutnya. Sebab Wong Sikep ternyata memiliki modal demografis, baik dari segi kuantitas maupun soliditas ketika dalam medan politik lokal, khususnya Pilkades. Kondisi ini dipahami betul oleh seorang mantan petinggi: WS kalau kebutuhan atau kepentingannya tidak terpenuhi biasanya diam, tapi tetap ngotot dengan keyakinan dan pendiriannya atau siap tidak mendukung orang yang telah menyinggung 235 perasaannya. Ini berbeda dengan orang Rifaiyah kalau kebutuhannya tidak terpenuhi cenderung membuat kekerasan seperti melempar batu dan merusak. Agama Resmi dalam Administrasi Penduduk: Ketika praktik-praktik sosial yang dilakukan aparat pemerintah mendapat resistensi dari Wong Sikep untuk merubah agamanya, maka aparat pemerintah melalui petingginya, berusaha menempuh cara lain, satu di antaranya melalui pencantuman agama resmi dalam administrasi kependudukan, baik dalam Kartu Keluarga maupun Kartu Tanda Penduduk KTP, bahkan juga dalam monografi kependudukan sebagaimana dijelaskan dalam Bab 2. Saat ini di KTP Wong Sikep dicantumkan agama Islam atas prakarsa petinggi. Dalam hal ini Onom 40 tahun menuturkan: Sedulur Sikep Wong Sikep, penulis sudah 90 persen punya KTP. Tapi mereka punya KTP karena butuh untuk mengurus sesuatu seperti saat mau membeli sepeda motor karena butuh identitas, atau mau kredit ke Bank, biasanya di BRI atau koperasi. Bank memang mudah memberi kredit ke Wong Sikep walau tanpa jaminan surat-surat penting karena mereka dianggap jujur. Untuk kolom agama di KTP selama saya menjabat sampai sekarang ini dicantumkan agama Islam ya karena mudahnya saja. Agama Adam kan tidak boleh dicantumkan karena bukan agama yang diakui pemerintah. ...Wong Sikep tidak mempersoalkan pencantuman agama Islam tersebut di KTP-nya. Dalam hal ini mereka mengatakan, ’sing penting gampang nik golek butuh.’ Mereka tidak akan memperpanjang KTP selama belum ada kebutuhan yang harus menggunakan KTP. Pernyataan ini mengandung dua hal sekaligus yaitu: walaupun Wong Sikep tetap meyakini beragama Adam, namun mereka mendiamkan dan membolehkan saja pencantuman Islam sebagai agama mereka dalam Kartu Tanda Penduduk KTP . Di sisi lain, gejala ini juga menunjukkan sikap pragmatis dari Wong Sikep dalam menghadapi tindakan pemerintah. Sikap pragmatis itu muncul karena tuntutan pemenuhan kebutuhan hidupnya, meskipun dengan catatan mereka tidak mengorbankan keyakinan agamanya. Dalam konteks ini ada hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak mutualisme simbiotik. Wong Sikep diuntungkan karena dengan ’membolehkan’ Islam dicantumkan sebagai agamanya dalam KTP mereka memperoleh KTP yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhannya. Mengenai kata ’membolehkan’ ini, seperti dikemukakan Niamo 36 tahun, terasa lebih tepat dibandingkan dengan menggunakan kata ’membenarkan’, sebab dalam kata membolehkan terkandung makna tidak ada pelepasan keyakinan yang dimilikinya, hanya berupa persetujuan untuk disebut dengan ’cap’ tertentu, tapi bukan dalam kenyataannya. Berbeda dengan kata membenarkan yang berarti adanya pembenaran bahwa keyakinannya memang beragama Islam. Di pihak lain pihak aparat pemerintah desa dan kecamatan diuntungkan karena menunjukkan keberhasilannya dalam ’meng-agamakan’ Wong Sikep dan pemenuhan kepentingan laporan secara administrasi kependudukan. 236 Bagi aparat pemerintah, Wong Sikep dianggap telah menganut agama global yang diakui pemerintah. Walaupun begitu dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah berbeda, ada yang memasukkannya ke dalam agama Islam seperti dalam Kartu Tanda Penduduk. Dokumen resmi yang lain, monografi desa dan kecamatan serta dalam program Komunitas Adat Terpencil, dimasukkan ke dalam agama Budha dan jumlahnya pun berbeda-beda pada setiap dokumen resmi tersebut. Kecenderungan ini berbeda dengan kasus pada orang Osing di Banyuwangi seperti temuan Beatty 1999. Orang Osing mengaku Islam Islam Pengakuan supaya mudah dalam mengurus perkawinan dan karenanya umumnya menjadi Islam nominalis atau abangan. Sementara pada Wong Sikep, mereka secara tegas tetap mengaku sebagai pemeluk agama Adam, walaupun dalam KTP-nya dicantumkan beragama Islam. Wong Sikep juga tetap bertahan tidak mau kawin dengan ’cara naib’ atau perkawinan melalui Kantor Urusan Agama, dan Catatan Sipil, sehingga tidak membutuhkan KTP dalam urusan perkawinan. Pembandingan kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa ranah atau kebijakan politik yang sama dari pemerintah ternyata memberikan dampak perubahan yang berbeda. Pada kasus orang Osing terjadi perubahan praktik keagamaan konversi, sementara pada kasus Wong Sikep, ’agamaisasi’ melalui KTP tidak berjalan efektif. Secara umum ini menunjukkan bahwa, sosial- politik berpengaruh secara berbeda kepada ranah budaya keagamaan. Kecenderungan relasi Wong Sikep dan pelaku di kalangan aparat pemerintah di bidang agama dan perkawinan ini menunjukkan bahwa: 1 Wong Sikep mampu mempertahankan sebagian budayanya melalui strategi resistensi diam. Kemampuan berstrategi menunjukkan mereka memiliki keagenan. Melalui resistensi diam mereka tetap dapat mencapai kepentingan personal dan kelompoknya tanpa kehilangan keseluruhan budayanya. 2 Walaupun terjadi perubahan di kalangan Wong Sikep, seperti dalam kepemilikan KTP dan pencantuman agama resmi di dokumen resmi pemerintahan, namun aparat pemerintah tidak sepenuhnya berhasil justru karena adanya penyiasatan aturan yang disesuaikan dengan kepentingan pelaku di kalangan aparat pemerintah sendiri. Artinya, aparat pemerintah selain berposisi sebagai sosok aktor yang lebih berorientasi kepada aturan, namun juga sering berposisi sebagai agen yang mensiasati aturan yang ada supaya sesuai dengan kepentingannya sendiri. Berjuang Untuk Pengakuan Agama Adam: Meskipun tindakan yang diambil oleh Wong Sikep lebih banyak diam dan ’membiarkan’ tindakan yang dilakukan aparat pemerintah desa ketika menghadapi pencantuman agama resmi, namun bukan berarti mereka setuju terhadap tindakan yang dilakukan aparat desa tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya upaya yang dilakukan Wong Sikep, seperti yang dilakukan Gugun, agar Agama Adam diterima dan 237 diakui keberadaannya seperti agama yang lain, serta supaya agama Adam di cantumkan dalam KTP Wong Sikep. Tindakan Gugun ketika itu nampaknya didasarkan atas pengetahuannya bahwa, agama Adam berhak hidup di bumi nusantara ini, dan semestinya memiliki hak-hak sipil seperti pencantuman agamanya dalam administrasi kependudukan. Usaha ini dilakukannya seiring dengan orientasi sosial-politik di Indonesia ketika memasuki era reformasi. Suatu era yang ditandai dengan usaha pemupusan diskriminasi dan menguatnya isu hah-hak azasi manusia untuk menganut keyakinan dan agama tertentu. Sampai sekarang usaha yang dilakukan Wong Sikep tersebut tidak diterima oleh pemerintah desa dan di atasnya. Alasannya masih berkisar pada pengetahuan bahwa agama Adam bukan agama yang diakui oleh pemerintah, sehingga tidak berhak untuk dicantumkan dalam administrasi kependudukan. Undang-Undang No. 232006 tentang Administrasi Kependudukan nampaknya juga tetap melestarikan pandangan seperti ini, walaupun dengan cara yang lebih fleksibel. Sebab dalam undang-undang tersebut mengatur bahwa dalam KTP anggota aliran kepercayaan, khusus dalam kolom agama dikosongkan, tidak dicantumkan dengan salah satu agama yang diakui negara sebagaimana diberlakukan selama ini. Walaupun begitu dalam praktik di lapangan ketentuan ini masih belum berjalan.

F. Bersiasat dalam Penerapan Aturan

Pengimplementasian PKAT oleh aparat pemerintah di level lokal telah menjadi obyek negosiasi yang berlangsung dalam relasi-relasi kuasa antarpelaku. Aturan-aturan dan kebijakan untuk mengubah identitas budaya Sikep dalam beberapa aspek kurang berjalan efektif justru karena melalui relasi-relasi kuasa tersebut pelaku bersiasat dalam menerapkan aturan yang berkaitan dengan PKAT tersebut yaitu disesuaikan dengan kepentingan pelaku. Hasil pengaturan yang belum menggembirakan ini diakui oleh aparat pemerintah melalui Tim Pokja sendiri. Mas Mami 40 tahun, pejabat di kecamatan menyatakan: Sebenarnya pemerintah telah banyak dan tidak henti-hentinya melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan pada warga Sikep. Usaha-usaha itu menggunakan dana dari APBNAPBD Propinsi Jawa Tengah, APBD Bumi Minotani namun sampai sekarang usaha itu belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kecenderungan kekurangberhasilan program yang mirip dengan ini sebenarnya sudah dilansir oleh Suparlan 1995:21 dalam kasus orang Sakai. Menurutnya hampir semua program pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat terasing tidak berhasil karena terbukti setelah jatah atau subsidi dihentikan mereka tetap meneruskan cara-cara hidupnya yang semula. Dalam kasus Wong Sikep, sebenarnya tidak sepenuhnya gagal, sebab ada 238 beberapa unsur berubah, seperti di bidang pertanian mereka telah memiliki pengairan, pompa dalam pengelolaan sawahnya. Sementara dalam aspek yang lain belum berubah total seperti dalam anutan agama, perkawinan, dan pendidikan. Mereka belum mau memeluk agama resmi, mayoritas masih tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah, dan ketika kawin tidak mau di catatan sipil atau Kantor Urusan Agama KUA. Sebenarnya para pelaku dari kalangan pemerintahan yang terkait dengan PKAT menyadari kekurangberhasilannya, mereka melakukan evaluasi, dan kemudian melakukan perencanaan ulang dengan berupaya melakukan strategi yang dianggap lebih baik. Dalam sebuah dokumen resmi yang disusun Tim Pokja KAT Kabupaten Bumi Minotani tahun 2005 disusun program yang disebut dengan ‘Pendekatan Kultural’ dalam upaya pemberdayaan Wong Sikep. Alternatif strategi pemberdayaan atau pembinaannya meliputi pelibatan partisipasi Wong Sikep mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi. Berupaya melibatkan ‘warga dalam’ mulai dari tokoh tua, dan tokoh muda Wong Sikep, dan dilakukan secara berkesinambungan serta pendamping secara profesional. Di atas kertas secara substansial sangat bagus, namun dalam kenyataan, sampai tahun 2008, program pemerintah tersebut nampaknya tidak dilakukan di lapangan. Padahal dokumen resmi tersebut berposisi sebagai proposal baru, dan dengan demikian menjadi aturan baru, yang sangat mungkin ada pembeayaan untuk itu. Sebab dana PKAT tersebut disediakan setiap tahun. Keadaan ini memperkuat sinyalemen atau steraotif yang dilontarkan beberapa Wong Sikep mengenai terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan program tersebut. Apalagi selama ini Wong Sikep tidak pernah dilibatkan dalam prosesnya, sehingga tidak diketahui secara pasti mengenai program setiap waktu dan pendanaannya. Kekurangberhasilan dari program ini dapat dikaitkan dengan kepentingan pelaku aparat pemerintah. Mereka berusaha menjadikan program ini sebagai alat untuk bernegosiasi sesuai kepentingan-kepentingannya. Artinya, usulan program berjalan terus, namun implementasi di lapangan tidak dijalankan, atau dijalankan sepanjang sesuai dan disesuaikan dengan kepentingannya sendiri. Ini sekaligus mengandaikan adanya sikap ambivalensi karena adanya kepentingan-kepentingan para pelaku. Di satu sisi ada keinginan untuk mengubah budaya Wong Sikep, namun di sisi lain ada kekhawatiran tidak adanya lagi ’proyek’ ini jika Wong Sikep sudah berubah, dan hal ini sama saja dengan menghentikan sesuatu yang bernilai ekonomis bagi pelaku. Jika demikian, para pelaku di kalangan aparat pemerintah tersebut sebenarnya bernegosiasi dengan siapa, jawaban untuk itu adalah mereka bernegosiasi dengan lembaga atau instansi yang menjadi sumber dana. 239 Selain itu, jika dalam aturan yang berkaitan dengan PKAT seperti tercantum dalam Bab 2 semestinya fokus program ini mencakup banyak aspek, dan program-program dengan segala indikatornya tersebut dilakukan secara berkesinambungan sepanjang tahun. Namun dalam kenyataan hanya beberapa saja, seperti dikemukakan di bagian ini. Karena itu, program yang terintegrasi dengan PKAT seperti opsi memilih agama, kawin menurut tata cara agama resmi, tidak pernah dilakukan lagi, apalagi setelah era reformasi, seiring dengan berkembangnya isu HAM dan dediskriminasi kaum minoritas. Para pelaku nampaknya mulai menghitung-hitung untung-rugi. Apalagi berdasarkan pengalaman yang lalu, upaya yang dilakukan petinggi, yang bekerja sama dengan berbagai instansi, untuk memberikan opsi pilih agama dan perkawinan massal, ternyata membawa dampak yang kurang baik bagi kelangsungan posisin sebagai petinggi. Sebab Wong Sikep mampu memainkan modal demografisnya serta soliditas dan kharisma sesepuh, sebagai bagian dari negosiasinya dalam pilihan petinggi.

G. Konstruksi Melalui Wacana Nasionalisme dan Komunisme

Cara lain yang ditempuh oleh aparat negara dalam melaksanakan kuasa untuk merubah kebudayaan Wong Sikep adalah melalui wacana tentang kebangsaan. Jiwa kebangsaan secara simbolik, salah satunya dapat dilihat dari ekspresi dan partisipasi seseorang dalam memperingati upacara penting kebangsaan seperti peringatan 17 Agustusan. Kriteria ini diberikan oleh aparat pemerintah mulai RT sampai kecamatan. Biasanya setiap menjelang hari proklamasi kemerdekaan RI, warga setempat diinstruksikan untuk mengibarkan bendera merah-putih di depan rumah masing-masing atau setidak-tidaknya di tempat-tempat terbuka di sekitar rumah. Untuk itu sebagian besar warga muslim mematuhi instruksi tersebut dengan mengibarkan bendera nasional tersebut. Sampai tahun terakhir ketika penelitian ini dilakukan, Wong Sikep tidak pernah mengekspresikan sesuatu yang dianggap simbol nasionalisme oleh pihak aparat pemerintah tersebut. Menjelang dan sampai acara 17 Agustusan di Bombong khususnya di RT 1dan 2 tempat WS tinggal berbeda dengan RT-RT yang lainnya di Bombong, yang didiami orang Islam. DI RT- RT dimana WS bertempat tinggal tidak ada bendera merah putih atau umbul-umbul lainnya yang menandakan mereka memperingati hari jadi Republik Indonesia tersebut. Sebenarnya ketua RT 1 dan 2 telah memberitahu kepada warga Sikep untuk mengibarkan bendera merah putih di depan rumah masing-masing, namun WS tidak ada yang memperhatikannya, dan sampai hari 17-an tidak ada satupun warga Sikep yang mengibarkan bendera merah putih tersebut, apalagi umbul-umbul dan kegiatan 17-an lainnya. Keadaan seperti ini menurut P Saripan dan P Sukar berlangsung juga seperti tahun-tahun sebelumnya. …P Saripan mengatakan kepada P Sukar setengah jengkel, kita ini ada di Negara Indonesia dan karenanya harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia, kalau disuruh mengibarkan