Pengaturan Agama Lokal PENGATURAN NEGARA

44 tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga Keppres No.71978 jo. Keppres No 211984 tentang Repelita III dan I5 tentang Kebudayaan Nasional yang intinya menjelaskan bahwa aliran kepercayaan merupakan kebudayaan nasional yang bersilakan budaya spiritual; TAP MPR No. IIMPR1993 yang menegaskan bahwa aliran kepercayaan bukan merupakan agama sekaligus bukan agama baru ; SK Dirjen Kebudayaan No. 0151FL-I586 tertanggal 15 Maret 1986, dan No. 0957FL.I5E.88 tertanggal 11 November 1988. SK yang pertama menjelaskan tentang pokok- pokok kebijaksanaan pengelolaan, pembinaan, pengembangan nasional sekaligus penegasan bahwa aliran kepercayaan bukan agama, sedangkan pada Surat Keputusan yang kedua menegaskan perlunya pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional. Bahkan KUHP ikut mengaturnya, dalam pasal 156a misalnya ditegaskan : ‘khususnya bagi oknum-oknum penganut kepercayaan yang sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa diancam pidana maksimal 5 tahun.’ Seturut dengan itu dalam Penetapan Presiden RI No. 11965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama, pasal 3 disebutkan: Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama MenteriJaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan- 45 ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota danatau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Kebijakan yang terkait dengan definisi agama versi negara tersebut melahirkan dikhotomi agama resmi dan tidak resmi. Jika dilihat dari kelahiran agama-agama yang ada di Indonesia, dikhotomi agama resmi dan tidak resmi tersebut memperlihatkan dikhotomi agama global dan agama lokal. Agama-agama global yang ada di Indonesia pada saat ini telah diakui sebagai agama dari penduduk Indonesia oleh negara. Mereka adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Khusus mengenai agama resmi ini, secara historis memang terjadi perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia. 4 4 Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dikeluarkan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965, yang kemudian dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 1969, yang menjelaskan bahwa agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagai agama-agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Kemudian Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden No. 14 No. 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina membekukan agama Konghucu. Baru kemudian Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres tahun 1967 tersebut melalui Keputusan Presiden Keppres No. 6 Tahun 2000, sehingga agama Konghucu diakui kembali sebagai agama resmi di Indonesia. Sebenarnya kebijakan tentang agama resmi ini merupakan tiruan sekaligus penyempurnaan terhadap kebijakan dari pemerintahan kolonial Belanda. Pada waktu itu pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblat No. 198 Tahun 1895 tentang agama yang diakui pemerintah, ketika itu hanya ada 3 agama-global yang diakui yaitu Kristen, Islam, dan Hindu. Kebijakan ini telah menguntungkan agama global tersebut misalnya agama lokal atau kepercayaan yang tidak diakui secara administratif dimasukkan sebagai Islam atau Kristen . Sementara agama Kristen sebagai agama global baru yang masuk ke Indonesia memperoleh dasar hukumnya untuk mengembangkan misi ke kelompok-kelompok agama lokal. 46 Istilah ‘agama resmi’ mengandung dua 2 pengertian yaitu: Pertama, agama yang diakui berdasarkan konstitusi sebuah negara seperti di Pakistan, Iran, Arab Saudi yang mencantumkan Islam sebagai agama resmi negara dalam konstitusinya. Kedua, agama yang berkembang dan dapat dikembangkan di suatu negara berdasarkan penerimaan dari masyarakat yang kemudian diakui oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Di Indonesia sumber awal adanya penyebutan ‘agama yang diakui pemerintah’ terdapat dalam TAP MPR No. XXVIIMPRS1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam pasal 3 dari TAP MPRS tersebut disebutkan ‘agar ,,Tirtayatra” Hindu-Bali diakui oleh pemerintah.’ cetak miring dari saya, NI. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan agama resmi mengacu kepada pengertian yang nomor 2 tersebut, untuk itu menunjuk kepada agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagaimana tercantum dalam UU No.5 Tahun 1969. Dengan demikian agama tidak resmi, yang di dalamnya termasuk agama-agama lokal, merupakan agama-agama yang ada di Indonesia, namun oleh negara tidak diakui dan tidak boleh dikembangkan, artinya agama-agama tersebut tidak boleh melakukan kegiatan misiologi sebagaimana yang dilakukan oleh agama global atau agama resmi. Konsekwensinya mereka juga tidak memperoleh hak-hak sipil seperti melakukan upacara pernikahan menurut keyakinannya, tidak boleh mencantumkan ’keyakinannya’ dalam administrasi kependudukan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga dan lainnya. 47 Karena agama lokal tidak termasuk dalam agama resmi, maka pemerintah berupaya membina penganutnya agar ’kembali’ kepada agama resmi. Pada periode awal yang panjang pembinaan kelompok kepercayaan tersebut diserahkan kepada Departemen Agama, namun kemudian diserahkan kepada Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan, yang kemudian diganti menjadi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu. Saat sekarang berada di bawah Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setiap keyakinan atau agama yang tidak diakui negara, maka keyakinan atau agama tersebut tidak boleh mendirikan tempat ibadah. Suatu kebijakan yang diberlakukan di kalangan agama- agama lokal, bahkan termasuk agama Konghucu ketika sebelum pencabutan Inpres tahun 1967 melalui Keputusan Presiden no. 62000. Kepres yang ditandatangani Presiden Abdurahman Wahid tersebut pada intinya memberlakukan kembali adat istiadat dan agama Konghucu sebagai agama yang dianut masyarakat Indonesia. Pada masa sebelum Kepres no 62000 tersebut, terutama pada era Orde Baru, tempat ibadah yang dibangun pemeluk Konghucu klentheng tidak diakui atau tidak dicantumkan dalam administrasi negara. Bahkan tempat ibadah itu dianggap illegal keberadaannya. 5 5 Misalnya dalam kasus penganut Konghucu di Singkawang, pihak Departemen Agama memang tidak antusias mendatanya karena dua alasan. Pertama, pemerintah masih konsisten memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan agama resmi official religion yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Juga larangan mendirikan dan memperbaharui kuil klentheng. Peraturan 48 Berbagai aturan dan kebijakan yang dilakukan negara pada level nasional tersebut harus diimplementasikan oleh seluruh instansi terkait dalam kehidupan keagamaan masyarakat, mulai dari tingkat propinsi sampai desa. Ini sebagai konsekwensi logis dari pemberlakuan suatu kebijakan yang berlaku nasional. Dengan demikian, negara telah memerankan diri sebagai pengatur kehidupan keagamaan masyarakat. Seiring dengan perubahan politik di Indonesia, khususnya setelah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap aturan HAM, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 yang diamandemen pasal 28 tentang Hak Azasi Manusia, kelompok agama lokal akan memiliki tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1969, jo Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat-Istiadat Cina. Juga tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Tahun 1984, jo. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng. Peraturan-peraturan tersebut merupakan beberapa aturan dari kurang lebih 60-an peraturan dan perundang-undangan yang dianggap bersifat diskriminatif terhadap suku Tionghoa di Indonesia yang disponsori oleh negara state sponsored racial discrimination. Bahasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat dalam Indradi Kusuma, Diskriminasi dalam Praktek. Jakarta: DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2002. Juga dalam Suryadinata 2002. Kedua, karena penganut Konghucu di Singkawang dalam praktek mencampuradukkan antara kepercayaan Konghucu dengan Budha atau agama resmi lainnya, sehingga perlu dibina terlebih dahulu oleh Departemen Agama. Dalam penamaan tempat ibadah misalnya, mereka menyebut klentengkuil yang dibangun dengan vihara, dan sebaliknya. Karena itu sejak tahun 1995 oleh Departemen Agama tempat ibadah Konghucu tidak didata lagi, dan hanya mendata jika klentengkuil dilaporkan sebagai vihara. Hal ini sebenarnya salah satu cara Departemen Agama agar penganut Konghucu pindah ke agama resmi, khususnya Budha, tapi sebenarnya justru dengan cara seperti ini menjadikan Tionghoa-Konghucu merasa diuntungkan dan terus menganutnya. Walaupun begitu klentengkuil terus dibangun oleh penganut Konghucu, sehingga jumlahnya menjadi semakin banyak, dan memang tidak ada data resmi untuk ini. Selanjutnya lihat dalam Ismail 2004. 49 hak-hak sipilnya seperti perkawinan, pencantuman agama dalam KTP, namun sampai sekarang memang belum menjadi kenyataan. Saat ini telah ada Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Perkawinan bagi penganut agama lokal yang tertuang dalam PP No 372008. Peraturan tersebut mengacu kepada pasal 105 Undang- Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan UU Adminduk. Selama ini, para penghayat kepercayaan mengklaim mengalami deskriminasi. Anak-anak para penganut agama lokalpenghayat kepercayaan sulit mendaftar sekolah karena tidak beragama. Di sisi lain, penganut agama lokal dan kepercayaan lainnya yang bekerja sebagai pegawai negeri tidak mendapat tunjangan istri dan anak karena tidak memiliki akta perkawinan. Dengan demikian pada saat ini sebenarnya penganut agama lokal telah memiliki payung hukum untuk melaksanakan hak-hak sipil mereka. Dalam Kartu Tanda Penduduk KTP misalnya, menurut aturan tersebut, di kolom agama ‘dikosongkan’ bagi penganut agama lokal, artinya tidak dicantumkan dengan agama resmi tertentu sebagaimana dilakukan selama ini, ataupun agamakepercayaan mereka. Begitu juga dalam pelaksanaan perkawinan mereka dapat melangsungkan perkawinan dengan menggunakan tata cara mereka sendiri dengan dicatat di catatan sipil. Memang sampai saat ini aturan ini belum dilaksanakan di lapangan, apalagi cakupan aturan tersebut masih belum jelas, apakah kepercayaan komunitas adat seperti agama Adam yang dipeluk Wong Sikep termasuk di dalamnya atau tidak. 50

C. Program Komunitas Adat Terpencil

Program ini merupakan kegiatan pemerintah yang ditujukan kepada Wong Sikep karena mereka dimasukkan sebagai komunitas adat terpencil. Adapun yang dimaksud komunitas adat terpencil adalah sekelompok orang atau masyarakat yang hidup dalam kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih terikat pada sumber daya alam dan habitatnya, mereka secara sosial budaya dianggap masih terasing dan terbelakang dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain. Untuk itu mereka diberdayakan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas. Supardian, 2003. Kata ’terpencil’ mempunyai tiga makna yaitu: 1 komunitas yang terpencil secara geografis yang menyebabkan komunitas tersebut terhalang untuk berhubungan dengan wilayah lain dan tidak mampu mengakses berbagai fasilitas modern. 2 komunitas yang tinggal di sebuah wilayah yang terisolasi, namun anggota komunitas itu yang berusaha mengisolasi diri dari pengaruh kebudayaan luar. 3 sebuah komunitas yang wilayahnya relatif tidak terisolasi, namun anggota komunitas tersebut mengisolasi diri dari pengaruh kebudayaan luar. Wong Sikep masuk dalam kategori yang terakhir. Sebab wilayah hunian Wong Sikep mudah dijangkau dan hidup di tengah-tengah kelompok masyarakat yang lain, namun mereka berusaha mempertahankan identitas budayanya. Program ini ditangani pemerintah pusat sampai tingkat desa. Di tingkat pusat berada di bawah Direktur Pemberdayaan 51 Komunitas Adat Terpencil dalam Kementerian Sosial RI. 6 Sementara pada tingkat pemerintah Kabupaten Bumi Minotani dibentuk Kelompok Kerja Pokja yang berada di bawah Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kesos Permas yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Dinasnya bernomor 4673902004 tertanggal 1 April 2004. Pimpinan inti Pokja ketua, wakil ketua, 1 dan 2, dan sekretaris terdiri dari pimpinan di Dinas Kesos Permas tersebut. Mereka dibantu oleh sebelas anggota yang terdiri dari pejabat di beberapa instansi pemerintah, seperti Bappeda, Departemen Agama, juga camat Sukolilo dan Kepala Desa Baturejo. Rekrutmen unsur-unsur dari instansi tersebut menunjukkan ruang lingkup peran yang dilakukan untuk memberdayakan Wong Sikep dalam sudut pandang pemerintah. Sementara unsur dari Wong Sikep sendiri tidak masuk dalam bagian Pokja. Populasi komunitas adat terpencil di Indonesia menurut data Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil sampai tahun 2003 yang lalu sekitar 287.365 KK atau 1,3 juta jiwa yang tersebar di 26 propinsi, termasuk di Jawa Tengah, yaitu Wong Sikep 6 Upaya penanganan Program Komunitas Adat Terpencil PKAT ini didasarkan atas berbagai aturan formal yaitu Surat Keputusan Presiden Nomor 1111999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil; Keputusan Menteri Sosial Nomor 06PEGHUK2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Nomor 020.APSKPTSVI2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, dan Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Nomor 021PSKPTSVI2002 tentang Pola Kerjasama Pengembangan Sosial Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Secara Terpadu 52 yang salah satunya ada di Baturejo Sukolilo Bumi Minotani. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Tim pada tahun 2006 jumlah warga Komunitas Adat Terpencil KAT, dalam hal ini Wong Sikep sebesar 192 KK atau 692 jiwa, terdiri dari 314 laki-laki dan 378 perempuan. Tujuan pokok dari program ini dapat disarikan dari ’Arah Kebijakan Teknis dan Strategi Pemberdayaan KAT’ yang dikeluarkan oleh Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yaitu, memberdayakan komunitas adat terpencil Wong Sikep agar mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai bidang, sehingga mereka mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan lingkungan hidupnya. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut pemerintah menjabarkannya dalam program kegiatan, kegiatan pemberdayaan itu direncanakan selama 4-5 tahun melalui tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pemantapan kesiapan warga KAT. Tahapan persiapan pemberdayaan meliputi 4 kegiatan yaitu penataan sosial, penjajagan awal, studi kelayakan- etnografis, dan pemantapan. Kegiatan tahapan ini pada intinya berusaha mendata dan memberi bimbingan sosial agar warga KAT siap untuk diberdayakan dan semestinya berlangsung selama satu tahun. Keberhasilan-tidaknya dilihat dari adanya kesiapan warga KAT untuk diberdayakan. Tahap kedua yaitu pelaksanaan terdiri dari 2 kegiatan pokok yaitu: 1 menentukan tipe penataan perumahan dan pemukiman, apakah bersifat in situ penataan di tempat aslinya atau ex situ penataan di lokasi baru. Dalam kasus Wong Sikep masuk