Simpulan MENUNGGU PERMAINAN KUASA UNTUK BERTAHAN

255 Bentuk resistensi Wong Sikep terutama bersifat diam. Resistensi diam dalam konteks Wong Sikep adalah mereka seolah mengikuti kuasa yang dilakukan aparat pemerintah, namun dalam hati tetap teguh dan menolaknya. Resistensi diam Wong Sikep terhadap aparat pemerintah sering dimanifestasikan dalam bentuk kirotoboso, misalnya ketika menghadapi kuasa yang dilakukan aparat pemerintah setempat untuk menyekolahkan anak-anak Wong Sikep dan memindahkan agama serta mengawinkan mereka menurut tata cara Islam. Selain itu mereka juga pernah melakukan resistensi terbuka yaitu perlawanan yang ditujukan kepada tindakan aparat secara langsung. Hal ini dilakukannya ketika menghadapi sengketa tanah yang melibatkan aparat setempat. Resistensi diam yang dilakukan oleh Wong Sikep sebenarnya tidak dapat sepenuhnya dikategorikan sebagai ciri khas tipologi gerakan keagamaan yang bersifat tradisional-tidak terbuka seperti dilansir Djamil 2005. Sebuah gerakan budaya yang bertujuan untuk menciptakan isolasi budaya dengan kekuasaan melalui protes secara diam silent protest. Kelompok yang mengambil strategi ini biasanya bercirikan tidak berdaya menghadapi dominasi kekuasaan secara terbuka dan karenanya melakukan mobilisasi internal melalui penguatan doktrin keyakinan, kharisma tokoh dan penguatan solidaritas dan identitas di kalangan anggotanya. Dalam kenyataan, meskipun mereka berusaha mempertahankan identitas budayanya dan melakukan penguatan identitas kelompok, namun bukan berarti mereka menutup diri dari kemungkinan perubahan sepanjang hal itu sesuai dengan kepentingan kelompok, bahkan kepentingan individu-individu yang dapat mewarnai identitas kelompoknya. Hal ini secara normatif dapat dilihat dari ugeran mereka, ‘tiru sing apik-apik’ , sehingga dimungkinkan adanya budaya hibrida melalui akomodasi budaya dari luar. Dari segi tindakan, dapat dilihat dari para pelaku di kalangan Wong Sikep ketika menghadapi kuasa yang dilakukan pelaku aparat pemerintah. Mereka tidak bersikap pasrah yang sekedar menjadi onyek kuasa, namun juga memainkan kuasanya dengan berstrategi. Karena itu yang lebih tepat mereka digolongkan ke dalam gerakan tradisional-semi terbuka. Dalam kasus Wong Sikep, gerakan tradisional mereka, khususnya dalam penguatan solidaritas dan identitas sebagai resistensinya terhadap kelompok lain, bukan hanya dilakukan melalui pengembangan konsep keseduluran dan kharisma sesepuhnya serta sosialisasi ajaran, cara bercocok tanam, dan melalui kirotoboso, namun juga sekaligus penolakan penggunaan bahasa Indonesia dan simbol-simbol kebangsaan lainnya bendera dan upacara kebangsaan serta sekolah. 256 Diam bukan berarti matinya kesadaran resistensi, namun ia justru sebuah kesadaran emas golden consciousness ketika ruang-ruang sosial, politik, budaya dan ekonomi sulit ditembus. Atau seperti ditegaskan Cheater 1999: 5 bahwa pelaku tidak memilih resistensi secara terbuka, namun memanfaatkan kapasitas dan sumber dayanya untuk menghadapi kekuatan yang mendominasi. Diam juga menjadi benteng pertahanan awal dan atau terakhir sebuah kelompok dalam melawan kelompok lain. Strategi seperti ini nampak memberikan hasil yang relatif efektif, setidaknya dalam usaha mempertahankan kebudayaan dan keberlangsungan hidup survival mereka. Meskipun, di banyak daerah, seperti halnya dalam banyak kasus kelompok minoritas di manapun, Wong Sikep mengalami perubahan kebudayaannya dan bahkan punah akibat dominasi yang kuat dari kelompok-kelompok di luar dirinya. Selain itu baik Wong Sikep maupun aparat pemerintah saling berwacana sebagai bagian dari strategi negosiasi untuk saling mengungguli satu dengan yang lain. Aparat pemerintah menyebarkan wacana-stereotipikal bahwa Wong Sikep adalah komunisme, dan a- nasionalisme, bahkan sama seperti halnya yang dilakukan muslim, aparat pemerintah juga melontarkan wacana stereotipikal yang lain yaitu nyleneh dan ngeyel. Sementara Wong Sikep menyebarkan wacana, yang sekaligus menjadi model perlawanan mereka terhadap aparat pemerintah, berupa kirotoboso yaitu dengan memberikan makna tertentu terhadap suatu konsep seperti sekolah dan budho. Dalam pergumulan tersebut masing-masing pihak telah menggunakan modal yang dimilikinya sesuai dengan medan dan situasi yang dihadapi. Wong Sikep menggunakan modal budaya, sosial, dan ekonomi. Modal budaya berupa nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran tradisi-religi mereka mengenai kerukunan, keselarasan alam-manusia pertanian, nilai- nilai mengenai sokongan, kharisma sesepuh yang melahirkan soliditas dan solidaritas kelompok. Modal sosial berupa jaringan dengan elite politik dan lembaga swadaya masyarakat dimanfaatkan oleh Wong Sikep ketika menghadapi aparat pemerintah lokal dalam kasus tanah untuk pembangunan sarana pendidikan, juga ketika aparat pemerintah berusaha agar Wong Sikep memilih dan kawin dengan tata-cara agama resmi tertentu. Wong Sikep memang tidak memiliki modal ekonomi, namun mereka mampu mentransformasikan bantuan dari negara menjadi modal ekonomis ketika berelasi dengan pihak ketiga muslim. Di pihak lain aparat pemerintah menggunakan berbagai modal sekaligus dalam suatu medan tertentu ketika berelasi dengan Wong Sikep yaitu modal sosial, simbolik, budaya, dan ekonomi. Modal budaya berupa sistem aturan perundangan dan pengetahuan tentang teknologi pertanian dan lainnya. Modal simbolik berupa otoritas untuk menjalankan aturan, modal 257 ekonomi berupa sokongan, dan modal sosial berupa kolaborasi dengan muslim dan jaringan birokrasi-hirarkhis. Modal-modal itu dimanfaatkan oleh aparat pemerintah setempat, baik dalam bidang pertanian, sokongan, pendidikan dan sengketa tanah untuk pembangunan sekolah, tindakan agar Wong Sikep memlih agama dan kawin menurut tata cara agama resmi tertentu.

BAB VI BEREBUT PENGARUH DENGAN MUSLIM

Masyarakat di lokasi penelitian ini, baik di Baturejo maupun Wotan masih kental suasana agrarisnya, namun di dalamnya terdapat beberapa kelompok keagamaan yaitu: a agama Adam b Islam Rifaiyah, c Islam Yakari, d Islam netral, NU dan Muhammadiyah. Yang dimaksud dengan Islam netral adalah mereka yang mempraktekkan paham agama antara NU dan Rifaiyah. Kelompok-kelompok keagamaan tersebut secara geografis mengelompok di lokasi yang berbeda-beda. Wong Sikep ada di RT 1, 2 dan sebagian kecil di RT 3. Orang Rifaiyah dan Islam netral bertempat tinggal di RT 3 dan 4, Orang NU di RT 5 dan 6. Orang Muhammadiyah dan Yakari yang sangat sedikit masing-masing terdapat RT 6 dan RT 2. Meskipun informasinya agak samar mengenai sejarah keberadaan tiap kelompok agama tersebut, namun dari penuturan para informan dan dokumen terkait, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dan sekaligus menjadi bagian dari sejarah lokal. Cikal bakal Rifaiyah di Bombong misalnya, dimulai tahun 1890 oleh Kyai Abdus Syukur. Dia berasal dari Dukuh Dungan Kalirejo Sukolilo yang kemudian kawin dengan Panisah, putri Ranawijaya Pandu dari Baturejo. Ibu Kyai Abdus Syukur bernama Aisyah, dari Ngetilang Grobogan Purwodadi. Menurut sebuah naskah lokal yang ditulis oleh Kyai Bakir, 1 ketika Kyai Syukur belum menyandang kyai di Bombong Baturejo masih sangat jarang orang yang beribadah, dan hanya ada 4 orang yang beribadah yaitu mbah Pandu, Pak Kurmin, Pak Karman, dan Bakir. Bahkan sampai pada tahun 1921 menurut P Bakir, tidak ada orang yang mengerti dan mengamalkan ajaran Islam, masyarakat hanya melakukan tayuban, judi, adu jago, dan tindakan sejenis. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran gerakan keagamaan yang merupakan metamorfosis pemikiran KH Ahmad Rifai di desa ini sudah ada sejak sekitar tahun 1890-an. Sementara cikal bakal pembawa ajaran Sikep di Baturejo dan Wotan adalah mbah Jambet dan Suronggono. Mbah Jambet menjadi Wong Sikep karena pengaruh Priyongadin, yang berasal dari Ngoro Kudus. Suronggono, yang berasal dari Kaliyasa Kudus, adalah menantu dari Priyongadin. Perkawinan Suronggono dan Sarmi membuahkan anak yang bernama Sayem yang kemudian diperisteri oleh SutarnoTarno yang juga berasal dari Kaliyasa, dan sekarang menjadi sesepuh Wong Sikep Bombong-Bacem. Dengan demikian 1 Naskah ini ditulis dalam Arab-Jawa, sekarang disimpan oleh puteranya, Kyai Nur di Bombong, dan berdasarkan permintaan beliau saya menerjamahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, untuk dibacakan pada acara Haul Kyai Bakir tanggal 4 April 2008 di Bombong. Naskah ini pada intinya menceritakan tentang sejarah dakwah Kyai Abdus Syukur dan Rifaiyah di masyarakat Bombong. 259 Tarno merupakan generasi kedua dari penyebar agama Adam di Baturejo. Kalau sekarang Tarno berumur 100 tahun, maka masuknya agama Adam ke desa ini tidak jauh berbeda dengan kedatangan Islam Rifaiyah yaitu akhir abad ke-19. Muhammadiyah dan Yakari merupakan kelompok Islam yang datang jauh kemudian. Dalam relasi kuasa antara muslim dan Wong Sikep sering ditandai dengan adanya kolaborasi antara muslim dan aparat pemerintah. Suatu hal yang sangat wajar karena akibat pengaturan negara yang berkaitan dengan agama lokal sekaligus komunitas adat terpencil. Implementasi kebijakan yang berkaitan dengan agama lokal-global, resmi-tidak resmi dan Program Komunitas Adat Terpencil yang dilakukan negara mengharuskan mereka untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, baik di antara instansi pemerintah sendiri maupun dengan lembaga-lembaga keagamaan. Dengan demikian masuknya kelompok keagamaan Islam dalam konteks relasi kuasa dengan Wong Sikep di lokasi penelitian ini merupakan ’akibat’ dari implementasi pengaturan negara dalam menghadapi kelompok agama lokal.

A. Sepenggal Cerita dari Relasi Sosial dalam Ruang Rural

Menjelang subuh tiba, bagi orang yang tinggal di pemukiman Wong Sikep Bombong- Bacem akan selalu mendengar dua suara yang berlomba yaitu suara adzan dan anjing. Suara adzan terdengar lantang dari dua masjid dan satu langgar yang saling berdekatan Masjid BM, masjid kelompok Rifaiyah; IR, masjid kelompok Islam netral, dan langgar Hasanah, dan suara gonggongan anjing terdengar dari sela-sela rumah Wong Sikep. Allahu Akbar-Allahu Akbar, ……hook…hook... hook.... Laa Ilaha Illa Allah, ....hook...hook...hook... Alunan suara adzan dan gonggongan anjing tersebut sekaligus menjadi simbol persaingan sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari mereka. Saya membiasakan diri untuk bangun pagi ketika adzan subuh terdengar dan kemudian berjalan-jalan mengelilingi perkampungan Wong Sikep maupun orang Islam. Pemukiman orang Samin berkelompok membentuk jejeran dan berada di samping kanan-kiri jalan kampung terutama yang dari arah Timur-Barat RT 1 dan RT 2. Jalan kampung ini sudah beraspal, sedangkan jalan-jalan lain, terutama di pemukiman orang Islam masih berupa tanah batu yang sudah dikeraskan. Hampir semua Wong Sikep punya anjing di rumahnya, baik di RT 1, 2 dan 3. Bahkan banyak dari mereka yang punya anjing lebih dari 2 ekor. Bebeda dengan di pemukiman muslim yang tidak ada satupun memelihara anjing. Wong Sikep memulai aktivitas rutinnya ketika adzan shalat Subuh terdengar, tidak ada bedanya dengan sebagian orang Islam. Perbedaannya terletak pada kegiatan yang dilakukannya. Wong Sikep memulai dengan mempersiapkan peralatan dan kebutuhan untuk menggarap sawah. Ketika menjelang panen, ada yang berjalan kaki, tapi kebanyakan 260 bersepeda onthel, mereka membawa minuman dalam dirigen kecil, keranjang plastik dan atau karung plastik sebagai wadah untuk memanen. Mereka ada yang nyeker, memakai sandal jepit dan caping sebagai pelindung dari sengatan matahari, sebagian lagi menggunakan topi biasa. Sambil menunggu waktu agak pagi, biasanya pukul lima pagi mulai berangkat, mereka ada yang duduk-duduk di depan rumah sambil merokok, atau berbincang-bincang dengan yang lainnya. Mereka berangkat menuju sawah melintasi jalan yang ada di depan Langgar Hasanah, Masjid BM, dan Masjid Wali. Ketika menunju sawah Wong Sikep melintasi jalan yang ada di depan tempat ibadah muslim, sebagian orang Islam keluar dari masjid dan langgar sehabis menunaikan shalat Subuh. Tidak ada saling sapa di antara mereka. Muslim menjadikan shalat subuh sebagai kegiatan ritual dan sekaligus menjadi awal kegiatan hariannya, sedangkan Wong Sikep mengawali kegiatannya langsung menuju sawah. Setelah dari tempat ibadah, muslim pulang terlebih dahulu ke rumah untuk sarapan dan bersiap-siap berangkat bekerja. Para petani berangkat ke sawah, pedagang seperti penjual ikan kukus siap pergi ke pasar di Sukolilo. Selain itu ada juga yang masih bertahan di teras masjid sambil lalu berbincang-bincang dengan yang lainnya. Pada saat subuh tersebut, sebenarnya adzan dikumandangkan bukan hanya oleh dua masjid dan satu langgar tersebut, namun oleh dua masjid yang lain yaitu Masjid BH dan Masjid Wali. Hanya suaranya memang tidak selantang ketiga tempat ibadah yang tersebut sebelumnya, karena jaraknya agak jauh dan arah pengeras suara yang berbeda. Kumadang adzan yang saling bersahutan dari beberapa tempat ibadah muslim tersebut juga terulang lima kali sehari semalam termasuk ketika pelaksanaan shalat Jumat, dan shalat ’Idaiyan Idul Fitri dan Idul Adha. Kumandang adzan dari masjid yang berbeda tersebut, termasuk pelaksanaan shalat Jumatan nampak biasa-biasa saja di permukaan, atau bagi mereka yang baru saja datang ke Baturejo. Suasana persaingan dapat dirasakan ketika melihat beberapa ’kejanggalan’ dan gejala yang menunjukkan masjid sebagai simbol persaingan antarkelompok muslim. 2 Pada saat Jumatan dan shalat ’Idaiyan orang Islam tersegrasi ke dalam pendukung masjid tertentu. 2 Masing-masing kelompok tersebut mempunyai jamaah dan kegiatan sendiri-sendiri seperti mengadakan shalat Jum’atan, kegiatan ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul AdhaQurban, dan pengajian jamaah. Sementara jarak antarmasjid tidak lebih dari 100-200 meter, sehingga dalam satu dusun semuanya ada empat masjid, ditambah dua langgar. Simbol persaingan diketahui juga dari adanya upaya penyatuan pelaksanaan shalat Jumatan yang diprakarsai oleh Ikatan Pemuda-Pemudi Baturejo IPPB, sebuah organisasi remaja Islam di desa tersebut. Bahkan pernah terjadi ketegangan lisan dan usaha pemukulan di jamaah Masjid BM akibat silang pendapat mengenai hasil keputusan tentang upaya penyatuan shalat Jumatan yang tidak dihadiri oleh pengasuh masjid tersebut. Hasil keputusan musyawarah tentang penyatuan Jumatan telah menimbulkan konflik internal di Masjid BM, sehingga banyak jamaahnya yang pindah ke Masjid Wali, termasuk beberapa khatib shalat Jumat.