Bersiasat dalam Penerapan Aturan

239 Selain itu, jika dalam aturan yang berkaitan dengan PKAT seperti tercantum dalam Bab 2 semestinya fokus program ini mencakup banyak aspek, dan program-program dengan segala indikatornya tersebut dilakukan secara berkesinambungan sepanjang tahun. Namun dalam kenyataan hanya beberapa saja, seperti dikemukakan di bagian ini. Karena itu, program yang terintegrasi dengan PKAT seperti opsi memilih agama, kawin menurut tata cara agama resmi, tidak pernah dilakukan lagi, apalagi setelah era reformasi, seiring dengan berkembangnya isu HAM dan dediskriminasi kaum minoritas. Para pelaku nampaknya mulai menghitung-hitung untung-rugi. Apalagi berdasarkan pengalaman yang lalu, upaya yang dilakukan petinggi, yang bekerja sama dengan berbagai instansi, untuk memberikan opsi pilih agama dan perkawinan massal, ternyata membawa dampak yang kurang baik bagi kelangsungan posisin sebagai petinggi. Sebab Wong Sikep mampu memainkan modal demografisnya serta soliditas dan kharisma sesepuh, sebagai bagian dari negosiasinya dalam pilihan petinggi.

G. Konstruksi Melalui Wacana Nasionalisme dan Komunisme

Cara lain yang ditempuh oleh aparat negara dalam melaksanakan kuasa untuk merubah kebudayaan Wong Sikep adalah melalui wacana tentang kebangsaan. Jiwa kebangsaan secara simbolik, salah satunya dapat dilihat dari ekspresi dan partisipasi seseorang dalam memperingati upacara penting kebangsaan seperti peringatan 17 Agustusan. Kriteria ini diberikan oleh aparat pemerintah mulai RT sampai kecamatan. Biasanya setiap menjelang hari proklamasi kemerdekaan RI, warga setempat diinstruksikan untuk mengibarkan bendera merah-putih di depan rumah masing-masing atau setidak-tidaknya di tempat-tempat terbuka di sekitar rumah. Untuk itu sebagian besar warga muslim mematuhi instruksi tersebut dengan mengibarkan bendera nasional tersebut. Sampai tahun terakhir ketika penelitian ini dilakukan, Wong Sikep tidak pernah mengekspresikan sesuatu yang dianggap simbol nasionalisme oleh pihak aparat pemerintah tersebut. Menjelang dan sampai acara 17 Agustusan di Bombong khususnya di RT 1dan 2 tempat WS tinggal berbeda dengan RT-RT yang lainnya di Bombong, yang didiami orang Islam. DI RT- RT dimana WS bertempat tinggal tidak ada bendera merah putih atau umbul-umbul lainnya yang menandakan mereka memperingati hari jadi Republik Indonesia tersebut. Sebenarnya ketua RT 1 dan 2 telah memberitahu kepada warga Sikep untuk mengibarkan bendera merah putih di depan rumah masing-masing, namun WS tidak ada yang memperhatikannya, dan sampai hari 17-an tidak ada satupun warga Sikep yang mengibarkan bendera merah putih tersebut, apalagi umbul-umbul dan kegiatan 17-an lainnya. Keadaan seperti ini menurut P Saripan dan P Sukar berlangsung juga seperti tahun-tahun sebelumnya. …P Saripan mengatakan kepada P Sukar setengah jengkel, kita ini ada di Negara Indonesia dan karenanya harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia, kalau disuruh mengibarkan 240 bendera tidak mau mestinya hidup di luar Indonesia saja. Ketika saya tanya kepada P Saripan mengapa WS tidak mau mengibarkan bendera, Ia menjawab, tidak tahu penyebabnya karena WS biasanya hanya diam mendel kalau ditanya. Ketika saya menanyakan kepada Niamo dan Mbah Oyot keduanya menjawab bahwa bagi WS yang mau ya silahkan, namun alasan tidak mengibarkan karena tidak punya bendera saja, seperti keduanya yang tidak mengibarkan bendera karena tidak punya. Agak sulit memang untuk menyimpulkan sikap diam dan alasan tersebut. Walaupun begitu hal itu dapat ditafsirkan sebagai bagian dari kebiasaan sejak generasi sebelumnya yang memang tidak akrab dengan simbol-simbol kebangsaan. Ketidakakraban itu sendiri awalnya sebagai bagian kesinambungan resistensi terhadap pemerintah prakemerdekaan. Tindakan seperti ini menjadi salah satu penyebab munculnya stereotip sekaligus ganjalan dalam relasi mereka dengan aparat pemerintah pada tingkat bawah. Di sisi lain, Wong Sikep dikonstruksi dengan sesuatu yang berbau streotip yaitu sebagai komunis. Sebenarnya konstruksi Wong Sikep sebagai komunis didasarkan atas realitas yang dilakukan sebagian danatau dari lokasi lain, namun diberlakukan secara umum kepada seluruh Wong Sikep di berbagai tempat. Dalam kasus di Wotan misalnya, tokoh Sikep pernah terlibat dalam gerakan G.30.SPKI, dan ini dijadikan alat bagi pelaku-pelku dari kalangan pemerintah dan tokoh Islam untuk mengislamkannya, karena Wong Sikep ’same ajrih’ sama-sama takut akan dianggap PKI. Mereka mau masuk Islam karena sama-sama takut same-same ajrih dicap sebagai PKI akibat terlibatnya tokoh mereka dalam PKI. Sebab di Wotan ini khususnya di Krajan dulunya merupakan pusat gerakan PKI. Bahkan tokoh PKI di desa ini adalah tokoh Samin Ia menyebut beberapa tokoh Samin yang terlibat PKI. Setelah meninggalnya tokoh tua dan terlibatnya tokoh Samin dalam PKI akhirnya WS tidak punya tokoh panutan seperti halnya di Bombong. Pengonstruksian sebuah kelompok yang dianggap ’aneh’ seperti Wong Sikep dengan label tertentu yaitu komunis sebenarnya bukan hanya terjadi di kalangan Wong Sikep di Baturejo dan Wotan, namun juga di lokasi lain, dan bahkan di kelompok agama lokal yang lain seperti di masyarakat Tengger Hefner, 1989. Dalam konteks Wong Sikep di Bojonegoro misalnya, sebagaimana temuan Makhasi 1985, akibat terjadinya G30SPKI tahun 1965 Wong Sikep di daerah tersebut dikonstruksikan sebagai komunis ketika tidak mau masuk agama resmi. Konstruksi ini dikembangkan bukan hanya oleh aparat pemerintah, namun juga orang Islam. Konstruksi sebagai komunis ini jelas memberikan efek psikologis bagi Wong Sikep, terutama karena kekhawatiran terhadap ’sanksi’ tanpa melalui proses hukum yang akan dialami mereka. Apalagi pihak luar telah memiliki strerotip bahwa Wong Sikep adalah atheis sebagaimana dikemukakan orang-orang pemerintah dan tokoh Islam, karena ajaran Samin 241 dianggap ’saemperan’ mirip dengan ajaran PKI. Konstruksi ini masih terus berkembang di kalangan masyarakat sampai di era reformasi ini.

H. Dampak di Medan Lain: Coblosan Petinggi dan Sengketa Tanah

Operasi kuasa yang dilakukan kedua belah pihak akibat dari adanya pengaturan oleh negara untuk mengubah kebudayan Wong Sikep dalam berbagai bidang seperti dikemukakan sebelumnya subbab 5.1– 5.7 juga berdampak terhadap bidang yang lain. Aparat pemerintah dengan pengetahuan yang diyakininya berusaha melakukan normalisasi agar Wong Sikep bertindak sebagaimana masyarakat pada umumnya, termasuk dalam kegiatan politik praktis. Mereka didorong agar masuk dalam konstelasi politik modern, demoktratisasi. Selain itu tindakan-tindakan yang dilakukan aparat pemerintah melahirkan akumulasi persepsi di kalangan Wong Sikep terhadap aparat pemerintah. Sebuah persepsi yang bernada stereotif terhadap semua yang dilakukan aparat pemerintah di bidang yang lain. Misalnya ketika ada upaya pembelian tanah milik Wong Sikep oleh aparat pemerintah, sehingga melahirkan konflik di antara kedua belah pihak. Relasi dalam kedua hal tersebut, prilaku politik dan sengketa tanah, merupakan dampak dari relasi kuasa yang dilakukan para pelaku dari kedua kelompok. Berikut akan diuraikan bagaimana relasi kuasa terjadi di antara pelaku dari kedua kelompok seiring dengan terjadinya perubahan perilaku politik dan kesadaran akan hak-haknya di kalangan Wong Sikep. Coblosan Petinggi: Upaya normalisasi yang dilakukan aparat pemerintah diimplementasikan dalam bentuk ’penyadaran’ agar Wong Sikep ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis, coblosan. Hal ini sudah dimulai sejak tahun 80-an. Sementara di kalangan Wong Sikep mengakomodasi ’ajakan’ aparat pemerintah tersebut karena didasarkan atas kepentingan mereka sendiri yaitu sebagai bagian kesempatan melakukan ’serangan balik’ terhadap petinggi setempat. Karena itu terjadinya perubahan perilaku politik, dari tidak nyoblos menjadi nyoblos, Wong Sikep menjadi dilematis bagi para calon petinggi setempat, dan sekaligus menjadi ’bumerang’ bagi mereka yaitu akibat adanya ’penyadaran politik’ yang dilakukan aparat negara sendiri. Wong Sikep memiliki peluang untuk memanfaatkan modal demografisnya dan budayanya di bidang politik praktis, dan hal ini menjadi alat bagi Wong Sikep untuk bernegosiasi di bidang lain, sehingga aparat pemerintah, khususnya petinggi lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan kuasa terhadap mereka. Sebagaimana diulas di bab sebelumnya bahwa Wong Sikep mempunyai makna signifikan dalam pemilihan petinggi atau kepala desa, sebab mereka memliki modal soliditas karena kharisma sesepuhnya dan jumlah suara yang relatif banyak, dan karenanya cukup