Simpulan BEREBUT PENGARUH DENGAN MUSLIM
289 saja. Wong sikep justru berkiat dengan melempar wacana informatif dan argumentatif
mengenai ketidakterlibatan semua Wong Sikep dalam komunisme dan perlunya mengembangkan toleransi dan penghargaan terhadap keyakinan orang lain. Di antara mereka
juga lebih mengambil sikap diam sebagai bagian dari resistensinya terhadap muslim. Resistensi ini diperlihatkan oleh mereka yang sudah dikawinkan secara Islam dengan cara
tidak melaksanakan ajaran Islam. Wong Sikep juga melakukan strategi akomodasi untuk mempertahankan tradisi-
religinya. Akomodasi dilakukannya dalam perawatan janazah dan makam, serta penganutan agama. Wong Sikep menerima secara taken of granted dominasi kelompok Islam terhadap
dirinya. Hanya saja, perlu dicatat bahwa sebenarnya Wong Sikep tidak sepenuhnya terdominasi, sebab mereka memiliki tafsir sendiri atas akomodasi yang dilakukannya dalam
medan ini, misalnya dalam penerimaan pembungkus mayat. Bagi mereka pembungkus mayat itu disebut dengan mori yang hanya menunjuk kepada sebuah kain pembungkus mayat, yang
berfungsi sebagai pengganti karung goni atau pakaian sehari-hari, dan karenanya hanya bernilai profan. Suatu hal yang berbeda dengan pengetahuan yang berkembang di kalangan
muslim yaitu kafan sebagai hal yang bernilai sakral. Kasus ini juga didasarkan atas kepentingan praktis yaitu mudah dipeorlehnya kain mori daripada yang lain seperti karung
goni. Relasi dalam berbagai medan yang dilakukan Wong Sikep merupakan bagian dari
negosiasinya dengan muslim. Untuk itu mereka menggunakan berbagai modal. Ketika beresistensi mereka memanfaatkan modal yang dimilikinya sebagai alat tawar. Misalnya
kearifan lokal modal spiritual, dapat dimasukkan ke dalam modal budaya dalam perspektif Bourdieu yang dimilikinya menjadi pengimbang terhadap modal yang dimainkan oleh muslim
seperti doktrin tentang misiologi modal spiritual dan jaringan sosial-politik dengan
pemerintah yang sering diekspresikan melalui tindakan kolaborasi.
Meskipun Wong Sikep dan muslim berada dalam relasi yang timpang, namun mereka masih mampu berstrategi -- berwacana, akomodasi, dan resistensi. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa mereka tetap memiliki keagenan ketika berelasi dengan muslim atau di tengah-tengah struktur yang mengitarinya. Sebab di dalamnya mengandaikan adanya
kemampuan dan pilihan bebas untuk memilih cara dalam menghadapi muslim. Bahkan ketika mereka mengakomodasi sesuatu dari muslim merupakan sebuah strategi kuasa. Sebuah
tindakan untuk mempertahankan diri dan mencegah kemungkinan pengaruh yang lebih besar terhadap keberadaannya. Walaupun begitu harus diakui bahwa mereka sering harus
menyesuaikan dengan struktur atau budaya yang berasal dari muslim, bukan hanya di bidang
290 perkawinan, penganutan agama, dan perawatan janazah serta makam, namun juga dalam
bidang yang lain seperti upacara sunnatan, bodo kupat, dan bahkan pakaian. Ini menunjukkan juga bahwa keagenan pelaku selalu berelasi timbal-balik dengan struktur.
Proses keberpengaruhan atau kondisi dominasi-terdominasi antar kedua kelompok menunjukkan selain karena faktor luar juga karena faktor dalam. Posisi terdominasi Wong
Sikep bukan hanya karena kemampuan muslim memainkan kuasanya, namun juga karena kebersediaan pihak Wong Sikep untuk menerimanya sesuai dan disesuaikan dengan
kepentingannya. Hal ini dapat dilihat bidang penganutan agama dan perkawinan di Wotan dan perawatan janazah-makam. Wong Sikep berusaha menyesuaikan dengan perkembangan
keadaan yang ada dan kepentingannya. Misalnya untuk melindungi diri dari tekanan yang lebih besar yang merugikan secara fisik dan mental.
Lebih dari itu, relasi kuasa antara Wong Sikep dan muslim telah melahirkan perubahan- perubahan, khususnya di kalangan Wong Sikep. Perubahan-perubahan dalam berbagai ranah
kehidupan Wong Sikep tersebut menunjukkan juga adanya pengetahuan baru bagi Wong Sikep. Akibatnya melahirkan budaya campuran atau semacam kultur hibrida dalam budaya
Wong Sikep seperti dalam perawatan janazah-makam, pakaian, sunnatan, bodo kupat, bahkan juga dalam perkawinan.