Perawatan Mayat: Dari Wacana Sampai Pengaturan

286 akomodasi dari Wong Sikep terhadap sebagian kepentingan atau tuntutan kelompok Islam yang diwakili Islam netral. Akomodasi itu berupa penerimaan terhadap pemisahan lokasi makam mereka dengan orang Islam, juga memberi patok. Mayatnya sudah dikafani atau dipakaikan mori menurut istilah Wong Sikep. Ini sekaligus menunjukkan adanya perubahan sebagian pengetahuan atau kebudayaan pada Wong Sikep, khususnya tentang perawatan janazah dan makam. Pada bagian yang lain mereka masih mempertahankannya misalnya keyakinan tentang hakikat orang mati dan kematian. Mereka tetap meyakini bahwa orang mati dianggap seperti sampah yang tidak ada gunanya, dan karenanya tidak perlu dihormati. Penghormatan terhadapnya sama saja dengan menghormati tanah karena orang yang sudah mati kembali menjadi tanah. Mereka juga belum merawat makam dan berziarah, bahkan menjadikan area makamnya sebagai lahan untuk menanam jagung. Akomodasi berupa penerimaan segregasi lokasi dan pematokan makam serta perawatan janazah tersebut menjadi bagian strategi yang harus dilakukan Wong Sikep. Hal ini terjadi sebagai pengaruh relasi kuasa dengan pihak muslim yang berkalaborasi dengan petinggi setempat. Sebab dalam proses relasi antara kedua belah pihak tersebut pihak Islam-netral menggunakan modal jaringan politik dengan petinggi, sehingga petinggi ikut campur tangan dalam mengambil kebijakan. Suatu hal yang sangat wajar karena petinggi adalah seorang muslim dan tanah pemakaman tersebut adalah kas desa. Sepanjang yang menyangkut pemisahan area makam, petinggi sebenarnya sudah mengambil kebijakan yang dianggap memuaskan kedua belah pihak win-win solution, namun dalam kasus pematokan makam petinggi lebih berpihak kepada kelompok Islam. Di sini menunjukkan negosiasi yang tidak seimbang karena pihak Islam netral berkalaborasi dengan aparat pemerintah dalam menjalankan kuasanya kepada Wong Sikep. Sekarang ini yang membedakan antara makam orang Islam dengan WS adalah pada penanda yang ada di atas kuburan. Makam orang Islam di atasnya ada kijing danatau cungkup, umumnya terpelihara, adapun makam WS hanya diberi patok kayu yang nampak tidak terpelihara. Bahkan ada di antaranya yang berpatok pohon jarak Cina di atas kepala dan kaki. Menurut Mbah Yodo, perubahan patok pada makam WS dari pohon jarak cina ke patok kayu seperti sekarang ini terjadi akhir tahun 1980-an, dan perubahan itu terjadi karena kemampuan ekonomi WS masa dulu dan sekarang berbeda. Dulu hanya pakai jarak cina kerena WS untuk membeli patok kayu jati belum mampu. Ini juga diamini oleh Mbah Oyot. Adapun pihak muslim menganggap perubahan penggunaan patok makam WS itu karena mereka berusaha menyesuaikan dengan makam orang Islam setelah tokoh Islam menyebar informasi bahwa makam WS itu tidak benar. Saat sekarang Wong Sikep tetap dibolehkan memakamkan warganya di situ, namun areanya dipisah walau masih dalam satu lokasi. Khusus makam Panasan, saat ini letak makam 287 untuk Wong Sikep ada di sisi selatan sedangkan untuk orang Islam di sisi utara. Di Pagersari, makam untuk Wong Sikep berada di sisi selatan dan timur, sedangkan makam untuk orang Islam ada di sisi utara dan barat. Mengenai pemakaian mori atau kafan kepada mayat, Wong Sikep lebih menafsirkannya sebagai hal yang wajar karena kemajuan zaman. Menurut mereka, dulu pada zaman Jepang mereka bahkan menggunakan karung goni untuk membungkus mayat, sekarang pakai mori karena sudah makmur dan mudah diperoleh dibandingkan dengan karung goni. Sekarang ini dalam hal perawatan orang WS yang salin-sandang meninggal sudah menggunakan mori dari sebelumnya menggunakan pakaian lengkap. Bahkan jaman penjajahan dulu menggunakan karung goni. Perubahan ini karena disesuaikan dengan kemampuan ekonomi WS. P. Saripan bercerita ketika bapaknya meninggal tahun 2000 janazahnya sudah dibungkus dengan mori, dan dimasukkan ke dalam kotak yang terbuat dari kayu jati. Kemudian dimasukkan ke dalam makam, dan di atasnya diberi patok kayu jati. Ketika itu bapaknya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan juga tidak dibawakan pakaian semasih hidup ke dalam kuburannya. Ketika Mbah Ontar meninggal Selasa Pahing, 23 Juni 2009 pk 14.00, ia dimakamkan di sebelah rumahnya berdampingan dengan makam istrinya. Padahal di desa ini sebenarnya ada dua makam desa yang diperuntukkan bagi WS, meskipun memang ada masalah segregasi pemakaman dengan makam muslim. Beberapa informan saya menyatakan bahwa mayat Mbah Ontar dibungkus dengan mori, tapi memang tidak dimandikan, dan saya lihat makamnya dibuat patok dari kayu. Antara kelompok Islam dengan Wong Sikep sendiri berbeda dalam memberikan istilah terhadap pembungkus mayat. Kelompok pertama menyebutnya dengan kafan, sedangkan yang terakhir menyebutnya dengan mori. Perbedaan penyebutan ini merupakan simbol perbedaan makna dalam pemakaian kain tersebut. Kafan bagi orang Islam memiliki makna sakral karena benda tersebut merupakan bagian dari ajaran agama yang berkaitan dengan tata cara perawatan mayat, selain memandikan, menyolatkan dan menguburkannya. Selain itu pemakaian kafan di kalangan orang Islam ada aturannya tersendiri yang bersifat baku, misalnya warnanya harus putih terang dan ada ikatan tali pada bagian tertentu. Di pihak lain, meskipun Wong Sikep mengambil budaya muslim, mori dipandang sebagai sebuah barang yang lebih bermakna profan, sekedar sebagai pelengkap dalam mengurus atau pembungkus orang mati yang dapat disesuaikan dengan kemajuan zaman. Sebab sebelumnya mereka pernah membungkus mayat dengan karung goni, dan pakaian yang digunakan sehari-hari.

F. Simpulan

Dalam konteks relasi muslim dengan Wong Sikep ini -- melalui tatacara pemakaman dan janazah, misiologi, perkawinan -- memperlihatkan tindakan para pelaku dari setiap kelompok untuk mendominasi dan bertahan melalui pengembangan wacana, akomodasi dan resistensi diam dan regulasi-normalisasi. 288 Masing-masing pihak berupaya mengonstruksi pihak lain dengan melontarkan wacana- stereotip, dan stereotip yang dilakukan suatu pihak mendapat pembalikan stereotip dari pihak yang lain dan selanjutnya ditanggapi lagi oleh pihak lain. Orang Islam, termasuk aparat pemerintah, menstereotipkan Wong Sikep sebagai atheis, nyleneh, ngeyel, dan jahiliyah. Sementara Wong Sikep menstereotipkan orang Islam sebagai tukang tukaran atau suka berkonflik melalui wacana informatif yang ditujukan melawan sekaligus untuk memperbaiki citranya. Wacana dilontarkan oleh muslim dalam konteks tata cara pemakaman dan janazah. Sebuah wacana yang menegaskan bahwa perawatan janazah dan makam Wong Sikep nyleneh. Bukan itu saja, dalam medan ini muslim menggunakan regulasi- normalisasi yaitu berupa tafsir atas ajaran agamanya yang dijadikan standar untuk menilai, benar atau salah, pengetahuan dan tindakan orang lain. Standar mengenai tata cara upacara pemakaman dan perawatan janazah tersebut menjadi dasar pembenaran untuk mempengaruhi atau mengonstruksi pengetahuan dan tindakan Wong Sikep, sehingga dilegitimasi oleh Wong Sikep. Selain itu, orang Islam khususnya modin ketika berhubungan dengan Wong Sikep memposisikan diri sebagai agen dan memanfaatkan regulasi aturan-aturan dan tugas kemodinan yang ada sebagai strategi untuk mendominasi. Wacana dan regulasi-normalisasi terjadi dalam perkawinan dan misiologi pada umumnya. Apa yang dilakukan modin untuk mempengaruhi Wong Sikep di bidang ini dimulai dari sebuah wacana bahwa tata cara perkawinan Wong Sikep tidak sah. Ketidaksahan ini karena tidak dilakukan menurut tata cara agama resmi. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa wacana ketidaksahan itu didasarkan atas tafsir atau pengetahuan muslim yang kemudian dijadikan standar untuk menilai tata cara perkawinan Wong Sikep. Selain itu dasar tindakan untuk mempengaruhi tindakan Wong Sikep di medan ini adalah pada kebijakan pemerintah yang tidak membenarkan tata cara perkawinan Wong Sikep karena agamanya Adam tidak diakui oleh negara. Misiologi yang dilakukan muslim pada hakikatnya merupakan tindakan yang didasarkan atas pemahaman bahwa Wong Sikep belum beragama, atau setidak-tidaknya beragama yang tidak diakui negara, sehingga mereka perlu di’agama’kan. Ini berkelindan dengan kebijakan pemerintah mengenai definisi agama dan dampaknya terhadap hak-hak sipil dari kelompok agama lokal. Wong Sikep dalam berelasi dengan muslim juga menggunakan strategi melalui wacana-stereotipikal, resistensi dan akomodasi. Wong Sikep biasanya melakukan pembalikan wacana-stereotipikal terhadap muslim. Selain itu, walaupun muslim terlihat mendominasi banyak Wong Sikep dalam medan perkawinan, namun bukan berarti mereka diam begitu 289 saja. Wong sikep justru berkiat dengan melempar wacana informatif dan argumentatif mengenai ketidakterlibatan semua Wong Sikep dalam komunisme dan perlunya mengembangkan toleransi dan penghargaan terhadap keyakinan orang lain. Di antara mereka juga lebih mengambil sikap diam sebagai bagian dari resistensinya terhadap muslim. Resistensi ini diperlihatkan oleh mereka yang sudah dikawinkan secara Islam dengan cara tidak melaksanakan ajaran Islam. Wong Sikep juga melakukan strategi akomodasi untuk mempertahankan tradisi- religinya. Akomodasi dilakukannya dalam perawatan janazah dan makam, serta penganutan agama. Wong Sikep menerima secara taken of granted dominasi kelompok Islam terhadap dirinya. Hanya saja, perlu dicatat bahwa sebenarnya Wong Sikep tidak sepenuhnya terdominasi, sebab mereka memiliki tafsir sendiri atas akomodasi yang dilakukannya dalam medan ini, misalnya dalam penerimaan pembungkus mayat. Bagi mereka pembungkus mayat itu disebut dengan mori yang hanya menunjuk kepada sebuah kain pembungkus mayat, yang berfungsi sebagai pengganti karung goni atau pakaian sehari-hari, dan karenanya hanya bernilai profan. Suatu hal yang berbeda dengan pengetahuan yang berkembang di kalangan muslim yaitu kafan sebagai hal yang bernilai sakral. Kasus ini juga didasarkan atas kepentingan praktis yaitu mudah dipeorlehnya kain mori daripada yang lain seperti karung goni. Relasi dalam berbagai medan yang dilakukan Wong Sikep merupakan bagian dari negosiasinya dengan muslim. Untuk itu mereka menggunakan berbagai modal. Ketika beresistensi mereka memanfaatkan modal yang dimilikinya sebagai alat tawar. Misalnya kearifan lokal modal spiritual, dapat dimasukkan ke dalam modal budaya dalam perspektif Bourdieu yang dimilikinya menjadi pengimbang terhadap modal yang dimainkan oleh muslim seperti doktrin tentang misiologi modal spiritual dan jaringan sosial-politik dengan pemerintah yang sering diekspresikan melalui tindakan kolaborasi. Meskipun Wong Sikep dan muslim berada dalam relasi yang timpang, namun mereka masih mampu berstrategi -- berwacana, akomodasi, dan resistensi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa mereka tetap memiliki keagenan ketika berelasi dengan muslim atau di tengah-tengah struktur yang mengitarinya. Sebab di dalamnya mengandaikan adanya kemampuan dan pilihan bebas untuk memilih cara dalam menghadapi muslim. Bahkan ketika mereka mengakomodasi sesuatu dari muslim merupakan sebuah strategi kuasa. Sebuah tindakan untuk mempertahankan diri dan mencegah kemungkinan pengaruh yang lebih besar terhadap keberadaannya. Walaupun begitu harus diakui bahwa mereka sering harus menyesuaikan dengan struktur atau budaya yang berasal dari muslim, bukan hanya di bidang