313
dengan Wong Sikep. Mereka menggunakan modal budaya berupa
upacara keagamaan seperti pada bulan syawal. Upacara pada bulan syawal telah melahirkan tindakan reproduksi budaya atau
peminjaman budaya cultural borrowing dari kalangan Wong Sikep, seperti dalam upacara bodo kupat, dan sunnatan. Reproduksi
budaya seperti bodo kupat, sunnatan, dan mori menjadikan upacara tersebut sebagai bagian integral dari budaya Wong Sikep.
Reproduksi ini nampaknya memang menjadi karakter penganut agama Adam sejak awal. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang
lain seperti pengambilan konsep ketuhanan, pakaian, dan inkarnasi. Satu hal yang penting bahwa di tengah-tengah kekurangcairan relasi
dalam keseharian di antara Wong Sikep dan kelompok Islam, sebagian rangkaian kegiatan dari upacara pada bulan Syawal orang
Islam, silaturrahim, mengantar makanan, dan bodo kupat, telah menjadikan relasi di antara mereka relatif menjadi cair. Ini
sekaligus menunjukkan bahwa orang Islam memanfaatkan modal budayanya, sehingga ‘mencuri hati’ Wong Sikep Kelompok Islam
juga menggunakan modal budaya berupa semangat doktrin misiologi. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa melakukan
misi agama kepada orang lain merupakan sebuah kewajiban, baik kepada orang yang belum memeluk Islam umat dakwah maupun
pemeluk Islam sendiri umat ijabah. Mereka melakukannya melalaui berbagai cara, baik secara lisan maupun perbuatan.
Muslim juga menggunakan modal sosial berupa jaringan
politik dengan aparat pemerintah mulai level petinggi-camat. Hal
314 ini antara lain membuat Wong Sikep mengakomodasi segregasi
pemakaman mereka dengan kelompok Islam. Melalui jaringan dengan modin, dalam kasus di Wotan, menyebabkan konversi
aktual penganut agama Adam ke agama Islam.
Ketiga, aparat pemerintah menggunakan modal sosial berupa
jaringan kolaborasi dengan muslim, dan jaringan politik atau birokrasi aparat negara. Hal ini menyebabkan terjadinya konversi
semu di kalangan Wong Sikep. Sebuah klaim sepihak dari aparat pemerintah yang menegaskan telah terjadi konversi di kalangan
Wong Sikep yaitu dari agama Adam ke agama Budha, termasuk juga ke agama Islam. Konversi semu dapat juga disebut dengan konversi
KTP karena di KTP dan administrasi kependudukan lainnya, Wong Sikep dianggap beragama yang diakui negara. Selain itu aparat
pemerintah menggunakan modal budaya yaitu berupa sistem aturan
perundangan, ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya teknologi pertanian, sekolah dan pendidikan. Lebih dai itu, aparat pemerintah
juga mentransformasikan bahasa khusus Wong Sikep sebagai modal dan alat memudahkan dalam proses ‘kulturisasi’ komunitas adat
terpencil tersebut. Mereka juga menggunakan modal simbolik yaitu atribut
yang bermakna simbolik berupa otoritas dalam menjalankan atau mengimplementasikan aturan main yang berkaitan dengan
kehidupan agama lokal dan komunitas adat. Lebih dari itu aparat
pemerintah memiliki modal ekonomi, berbagai jenis sokongan
dalam berbagai bidang yang diberikan kepada Wong Sikep jelas
315 menunjukkan hal itu, misalnya di bidang pertanian, pendidikan, dan
sosial.
5. Kuasa dan Pengetahuan
Meskipun Wong Sikep lebih banyak menunggu dalam berelasi dengan aparat pemerintah dan muslim, bukan berarti mereka
tidak menjalankan kuasa. Pelaku dalam ketiga kelompok sama-sama menjalankan dan mengalami kuasa sekaligus. Bagi Foucault kuasa
yang dijalankan tiap pelaku bersifat produktif dan positif, kuasa menghasilkan
bentuk-bentuk kesenangan,
sistem-sistem pengetahuan, barang-barang dan wacana-wacana. Bertens, 2002;
Abu Lughod, 1990. Di dalamnya ditandai oleh konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi pengetahuan secara terus menerus
dan diekspresikan melalui tindakan para pelaku. Dengan demikian
proses bekerjanya kuasa melahirkan perubahan yang tiada henti.
Karakter kuasa yang produktif dan positif tersebut berjalan di lapangan, bukan hanya dalam relasi antarkelompok, namun juga
di kalangan Wong Sikep sendiri. Di kalangan internal Wong Sikep tiap pelaku lebih mengetahui dan memahami karakter pelaku yang
lain, juga melahirkan aliansi baru guna mengembalikan dan memperkokoh posisi masing-masing. Dalam relasi antara Wong
Sikep dan aparat pemerintah, pihak pertama memperoleh pengetahuan baru yang diekspresikan melalui tindakan. Misalnya
tentang makna penting teknologi pertanian bidang ekonomi, memahami makna penting coblosan sebagai bagian dari media
316 untuk melakukan serangan balik terhadap aparat pemerintah bidang
politik, memahami makna sokongan bagi kepentingannya dan bahkan pengetahuan baru bahwa sokongan tersebut dapat
ditransformasikan menjadi sebuah modal untuk mengangkat citranya ketika berelasi dengan muslim. Bagi aparat pemerintah relasi kuasa
dengan Wong Sikep semakin memahami karakter mereka dan melahirkan tindakan lebih berhati-hati ketika menghadapinya,
memahami bahwa Wong Sikep bukan sebuah orang lugu dan ‘bodoh’ , dan dianggap tidak mengikuti perkembangan situasi yang
ada. Dalam relasinya dengan muslim, kuasa yang dijalankan
kedua belah pihak juga melahirkan pengetahuan baru bagi Wong Sikep, sehingga melahirkan budaya campuran atau semacam kultur
hibrida dalam budaya mereka seperti perawatan janazah-makam, mori, pakaian, sunnatan, bodo kupat, bahkan juga dalam
perkawinan dan anutan agama.
B. Simpulan dan Refleksi Simpulan: Pertama, dalam struktur dan relasi yang tidak
setara atau timpang secara politik dan keagamaan, kuasa dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup sosial yang jamak melalui
jalinan relasi atau berbagai tindakan yang kompleks antarposisi yang bersifat dinamis dan produktif. Di dalamnya para pelaku
menggunakan berbagai strategi dan modal, sehingga terjadi dominasi dinamis atau interseduksi, dan sekaligus menunjukkan
317 hubungan dialektik agen dan struktur, ia juga menghasilkan
pengetahuan baru bagi masing-masing pelaku.
Kedua, strategi memenangkan pergumulan atau sekedar untuk bertahan dalam relasi tersebut dilakukan para pelaku dengan
menggunakan berbagai strategi dan modal. Strategi dilakukan melalui regulasi, wacana stereotip, resistensi dan bahkan akomodasi.
Strategi negosiasi dalam beroperasinya kuasa menunjukkan
adanya keagenan pelaku atau adanya individu yang aktif, kreatif dan manipulatif.
Wacana sebagai bagian dari alat tawar dari setiap pelaku
dalam kajian ini ditemukan dalam bentuk wacana stereotipikal. Ketika satu pihak melontarkan stereotip, maka pihak lain
menanggapinya dengan melakukan pembalikan stereotip. Pihak yang melontar stereotip biasanya berkaitan dengan tindakannya
dalam mengubah tindakan pihak lain, sementara yang melontar pembalikan stereotip lebih bertujuan untuk mempertahankan diri,
sehingga pembalikan stereotip sebagai bagian dari pertahanan dirinya menjadi alat tawar dengan pihak lain. Hubungan lontaran
wacana dan pembalikan wacana ini berproses seperti ‘bandulan jam’, dan sama-sama dianggap penting oleh setiap pihak. Sebab
dominasi wacana menentukan dalam pendefinisian dan
pengorganisasian kelompok termasuk pendefinisian dan penentuan budaya yang sah atau tidak sah.
Resistensi diam Wong Sikep sering diekspresikan melalui kirotoboso terhadap struktur yang timpang secara politik dan