Pendidikan: Resistensi dan Ketidakkonsistenan
224
... mbah Ontar dan Mbah Yodo mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting. ’Sejak si mbah- mbah dulu tidak ada yang sekolah.’ Anak laki-laki petani sekolahnya cukup sekolah tani yaitu
sekolah ”macul”, tidak perlu sekolah tulis. Kalau sekolah nantinya akan ”sesek polah” anak cenderung berpolah. Artinya, kalau pandai tulis berpendidikan keinginannya macam-macam,
dan ingin menjadi pegawai, juga sangat susahsulit mencari pekerjaan. ...’nek wis pinter ndak minteri’, artinya bila sudah pandai pintar nanti akan minteri atau
mengguruimengelabuhimembohongi orang lain. Mereka melihat kebanyakan orang yang ”minteri” orangnya pandai berpendidikan formal, kalau orang yang bodoh tidak bersekolah
tidak dapat ”minteri” dan tidak berani. Di samping itu ada kekhawatiran bila mereka sekolah dan tidak benartidak baik cara mendidiknya, maka lebih baik mereka diajaridididik sendiri.
Wong Sikep di Baturejo banyak belajar dari Wong Sikep di tempat lain, mereka berubah dan hilang identitas kesikepannnya karena anak-anaknya disekolahkan. Sekolah telah
dianggap sebagai sumber masalah karena di dalamnya anak-anak Sikep diajarkan agama lain dan ‘pandhon urip’ yang berbeda dengan ajaran agama Adam. Nalar seperti ini menjadi lebih
logis kalau dikaitkan dengan resistensi yang dilakukan pendirinya, Samin Surontiko, terhadap sekolah di era kolonial Belanda yaitu, kekhawatiran terhadap lahirnya semangat ‘bendoro’
dan menghilangkan semangat egalitarianisme.
Resistensi Melalui Kirotoboso: Ucapan sesepuh dan tokoh Sikep tersebut mengandung
beberapa alasan penolakan yaitu: 1 mengikuti ajaran yang diberikan para pendahulunya 2 sebagaimana biasa, dalam melakukan perlawanan Wong Sikep sering mengungkapkan melalui
penggunaan kirotoboso, dalam hal ini kedua tokoh Sikep tersebut mengkirotobosokan ’sekolah’ dengan ’sesek polah’, dan menafsirkan menurut versi mereka. Kirotoboso tentang
sekolah yang dikemukakan sesepuh tersebut nampaknya didasarkan atas kenyataan yang ada dalam masyarakat pada umumnya yaitu banyaknya alumnus sekolahan dan sarjana yang jadi
pengangguran, atau banyak yang membohongi atau minteri orang lain. Kirotoboso ’sekolah’ dengan sesek polah merupakan simbol resistensi Wong Sikep terhadap aturan dan tindakan
aparat pemerintah, pada level lokal maupun nasional, mengenai sekolah. Sebenarnya, resistensi mereka terhadap sekolah ini bukan berarti resistensi terhadap
ilmu pengetahuan. Bagi Wong Sikep hal ini dua hal yang berbeda. Inti penolakan terhadap sekolah bukan dalam kaitannya perolehan pengetahuan, namun lebih dikarenakan dua hal
yaitu: 1 sekolah menyebabkan hilangnya egalitarianisme dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Samin Surontiko pada era pemerintahan kolonial Belanda. Sekolah telah
menciptakan ’bendoro’, sehingga cenderung tidak merakyat dan menafikan sikap kesamaan sosial dalam masyarakat. 2 Setelah pergantian kekuasan politik di Indonesia, kecenderungan
dampak sekolah ini masih dapat dirasakan sampai saat ini. Sekolah dalam arti tingkat pendidikan telah menjadi media bagi manusia Indonesia dalam mencapai mobilitas vertikal,
225 dan salah satu efeknya adalah adanya orang berpendidikan yang berperilaku tidak bijak
minteri terhadap pihak lain yang kurang berpendidikan. Secara sekilas nampak ada ketidakkonsistenan antara ajaran Samin Surontiko tentang
pentingnya ilmu pengetahuan dengan ketidakmauan untuk bersekolah ini. Serat Pikukuh Kasajaten mengemukakan ajaran bahwa kemajuan sebuah negara karena dua aspek yaitu
adanya rakyat yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup rukun-damai. Ilmu sebagai suatu syarat kemajuan negara dan karenanya Samin Surontiko mendorong pengikutnya untuk
mencari dan memliliki pengetahuan, sehingga wawasannya menjadi luas. Di sisi lain ia justru melarang pengikutnya untuk sekolah. Sebenarnya ini bukan dua hal yang bertentangan jika
dilihat dari dua aspek. Pertama, pengetahuan bagi Wong Sikep, terutama ketika itu, bukan sekedar ilmu yang harus diperoleh melalui sekolah seperti yang dikembangkan orang Barat
baca Belanda. Pengetahuan dapat diperoleh melalui banyak media seperti meditasi atau olah batin, sebagaimana dilakukan Samin Surontiko sendiri. Ilmu juga dapat diperoleh melalui
enkulturasi dan sosialisasi nilai-nilai kesikepan di kalangan mereka. Ilmu pengetahuan dalam perspektif Wong Sikep adalah yang terkait dengan hal-hal yang menopang ajaran Sikepisme
dan bercocok tanam. Dalam istilah mereka sekolah macul, bukan sekolah-tulis. Pemahaman seperti ini sebenarnya bukan hal yang langka di kalangan kelompok
beragama. Sebab hal yang sama dilakukan oleh kelompok Islam seperti NU dan Rifaiyah, meskipun dengan strategi yang relatif berbeda. NU misalnya melakukan perlawanan terhadap
model sekolah Barat yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda dengan cara memperkuat basis khazanah pengetahuan mereka melalui pondok pesantren. Hal yang sama
dilakukan oleh KH Ahmad Rifai dan pengikutnya. Dengan demikian sekolah dianggap bukan satu-satunya institusi memperoleh pengetahuan.
Kedua, ajaran Samin Surontiko yang tercantum dalam Serat Pikukuh Kasajaten tersebut muncul sebelum kelompok ini bertransformasi menjadi sebuah gerakan perlawanan
sosial kepada pemerintah kolonial Belanda. Karena itu suatu hal yang wajar dalam rentang waktu yang lama dan perkembangan keadaan menyebabkan terjadinya anomali-anomali antara
harapan dan pilihan tindakan yang terpaksa harus dilakukan, baik yang sifatnya sementara maupun berkelanjutan. Kecenderungan seperti ini terdapat dalam banyak gerakan. NU,
termasuk pengikut KH Ahmad Rifai yang sebelumnya menolak model sekolah Barat, baik dalam makna keilmuan-kurikulum dan metode klasikalnya, akhirnya juga menerimanya.
Memang ada perbedaan tingkat dan waktu penerimaannya karena disesuaikan dengan kepentingan internal mereka dan perubahan-perubahan sosial-politik di luar. Sementara Wong
Sikep di Baturejo mengambil posisi perlawanan secara lintas waktu sampai sekarang,
226 khususnya dalam menghadapi sekolah, meskipun pada akhirnya tindakan-tindakan yang
dilakukan aparat pemerintah mampu merubahnya melalui generasi mudanya. Seorang mantan pejabat Pendidikan dan Kebudayaan Sukolilo, P. Supar, yang ikut
terlibat dalam berelasi dengan Wong Sikep berusaha agar Wong Sikep mau menyekolahkan anak-anaknya dan mengenai makna pentingnya pendidikan:
Wong Samin WS menganggap kalau anak disekolahkan lalu menjadi pinter, ketika pinter nanti malah ’minteri wong tuo’. Menjadi tidak jujur dan itu tidak sesuai dengan ajaran
Saminisme. P. Sapar ketika ketemu dengan tokoh WS berusaha untuk memberi pengertian pentingnya sekolah. Misalnya, ’nanti kalau mbah atau WS lainnya pergi ke tempat lain atau
kota Jakarta, di sana banyak petunjuk arah jalan, alamat, sudah sampe mana dan lainnya akan mudah tahu karena biasa membaca. Tapi kalau tidak bisa baca-tulis akan mudah dibohongi
orang dan tersesat. Jawabanya enteng saja,’yo wis rak sah neng Jakarta’
Meskipun beberapa tokohnya menolak, yang umumnya dipatuhi oleh warga Sikep, namun pada tingkatan warga Sikep sendiri usaha pemerintah tersebut sudah menampakkan
hasilnya. Saat ini sudah ada beberapa Wong Sikep yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dasar seperti di SD Baturejo 2, dan 3 serta di Sukolilo. P. Hardi dan Nursusilo, masing-
masing kepala sekolah dan Penjaga SD Baturejo 3 mengemukakan:
...di antara keluarga suami-isteri WS sudah ada yang menyekolahkan anaknya seperti di RT 2 ada P. Yono 32 th, punya anak 1 dan disekolahkan; P. Asing 50 th dari 4 anaknya 1 orang
yang paling kecil sekolah. Di RT 1 ada 1 keluarga yaitu P. Yadi 30 tahun, punya 2 anak yang satu sekolah yang kedua masih kecil. .....Anak WS yang di SD B 3 kelas 1 yaitu Sudir,
Rima, Wido masing-masing putera dari P. Narmin, Bandi, dan Mulyadi.
Menanggapi adanya beberapa Wong Sikep yang menyekolahkan anaknya tersebut, Gugun yang berusaha berargumen dengan cara menghindar, menyatakan bahwa ’itu tidak
benar, mungkin itu keliru karena harus dibedakan antara Wong Sikep dengan yang bukan mantan Sikep. Di pihak lain, Kuci, menyatakan hal itu jadi tanggung jawab orang yang
bersangkutan, meskipun ia mengaku Sikep. Bahkan ada di antara orang tua Wong Sikep yang bisa baca-tulis seperti P. Kar. Hal ini
berdasarkan informsi dari Gugun, yang menyatakan bahwa ketika ada sokongan dalam Program KAT, P. Kar disuruh mewakili warga Sikep menandatangani berkas untuk pencairan
dana di Bank. Begitu juga dengan Gugun dan anak-anaknya nampaknya dapat membaca dan menulis, bahkan ada di kalangan Wong Sikep yang masih sekerabat dengannya mengatakan
bahwa anaknya Gugun dapat main komputer. Sebuah keterampilan yang membutuhkan kemampuan baca-tulis. Memang kemampuan baca-tulis ini cenderung dirahasiakan oleh
pelaku di kalangan Wong Sikep. Sebab seperti dikatakan Sukam bahwa Wong Sikep yang bisa baca tulis, dia mengatakan sambil bermimik sinis, kalau mau dikatakan Wong Sikep
227 tergantung kepada pengakuannya, apakah masih mengaku Wong Sikep atau tidak, namun
menurut si mbah-mbah dulu sebaiknya tidak dilakukan. Walaupun para tokoh dan sesepuh punya kecenderungan yang kuat untuk menolak
terhadap upaya aparat pemerintah agar mereka menyekolahkan anak-anaknya, dan pandangan tokoh-tokoh muda yang relatif ’moderat’ dalam menanggapinya, namun satu hal yang pasti
bahwa Wong Sikep di Baturejo tetap melakukan perlawanan terhadap institusi sekolah ini, dan hal ini sekaligus menunjukkan masih adanya kontinuitas resistensi di kalangan mereka. Di sisi
lain, sebagian dari mereka juga sudah berubah yaitu dengan menyekolahkan anak-anaknya karena menganggap makna penting sekolah. Sementara di lokasi lain, banyak Wong Sikep
yang menerimanya, dan karenanya kemudian mengalami perubahan yang signifikan, mereka tidak lagi menjadi Wong Sikep. Sebab identitas kesikepan itu memang lebih banyak didasarkan
atas tata-cara toto-coro yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tradisi-religi Agama Adam. Setidaknya ada empat identitas pokok kesikepan yaitu: cara berpakaian, cara dalam memenuhi
pangan, pendidikan, dan perkawinan. Keempatnya meliputi: pakaian ala kampret, bertani, tidak sekolah, dan tidak kawin ala naib. Keempat toto coro yang merupakan identitas pokok
kesikepan tersebut, oleh aparat pemerintah diusahakan berubah melalui PKAT. Hal ini secara jelas menjadi tujuan yang ditekankan dalam usulan program Tim Pokja, yaitu: a
meningkatkan kesadaran warga sedulur sikep di bidang pendidikan; b meningkatkan kesadaran beragama bagi warga sedulur sikep yang pada akhirnya mau memeluk agama yang
sah di Indonesia; c meningkatkan pemahaman bahwa sikap warga yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap terselenggaranya aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Satu di antara faktor penting dari kekurangberhasilan pengaturan di bidang pendidikan ini karena tindakan individu-individu aparat yang tidak sama dan tidak konsisten dalam
menerapkannnya. Ada yang berusaha serius untuk menerapkannya dan mensosialisasikan kepada Wong Sikep, namun tidak sedikit yang bersifat masa bodoh, dan bahkan menyiasati
aturan yang ada agar sesuai dengan kepentingan dirinya. Sebagian penyebab ketidakseriusan ini didasarkan atas ’stareotif’ yang tertanam di
kalangan aparat pemerintah bahwa Wong Sikep sulit diatur, sehingga melahirkan keengganan untuk melakukan tindakan sesuai pengaturan yang ada. Di sisi lain dan yang terbanyak adalah
karena disesuaikan dengan kepentingan mereka sendiri, baik kepentingan ekonomi apa yang didapat dengan pengimplementasian pengaturan tersebut maupun sosial-politik efek terhadap
posisi atau jabatan yang dimilikinya. Penyebab kekurangberhasilan tersebut dapat dimaknai dari adanya keagenan pelaku di
tengah-tengah struktur aturan yang semestinya dipatuhi oleh para pelaku dari kalangan
228 aparat pemerintah. Para pelaku aparat pemerintah cenderung tidak berorientasi kepada aturan
yang ada, atau setidak-tidaknya tidak terlalu memperhatikannya karena aturan tersebut disesuaikan dengan kepentingannya sendiri. Sepanjang keadaannya tidak berpengaruh negatif
atau berpengaruh positif bagi kepentingan dirinya, maka aturan akan dijalankan.