Misiologi Muslim dan Efek Bola Salju Persaingan
275 aturan. Hal ini terlihat dari tindakan modin Wotan ketika melakukan pendekatan kepada Wong
Sikep agar masuk ke agama resmi Islam. Dia selalu menekankan bahwa Islam sebagai agama yang diakui oleh negara dan pentingnya kawin dengan cara naib. Modin tersebut ketika
berhubungan dengan Wong Sikep memposisikan diri sebagai agen muslim yang memanfaatkan regulasi yang ada sebagai strategi untuk mendominasi.
Dalam kasus relasi muslim dengan Wong Sikep di Wotan menunjukkan bahwa relasi kuasa melalui pengaturan yang dijalankan muslim yang berposisi sebagai modin menghasilkan
dominasi. Walaupun begitu ini terjadi karena adanya faktor internal Wong Sikep yang mau didominasi, dalam arti masuk agenda modin yaitu masuk Islam, karena disesuaikan dengan
kepentingan mereka yaitu untuk menghindar dan menghapus konstruksi sebagai komunisme. Misiologi tidak banyak dilakukan oleh tokoh Yakari kepada Wong Sikep dengan
berbagai alasan, baik secara doktrinal maupun alasan praktis. Seorang tokohnya, Idam, menyatakan secara panjang lebar:
’Saya ke sini bukan untuk bertabligh, namun cari kehidupan, perkara nanti perlu tablihg saya akan melakukannya kalau waktunya sudah tepat’. Kita tak boleh menjelek-jelekkan mereka
dan keyakinannya, sebab Al-Quran sudah menegaskan bahwa ’jangan sekali-kali kamu memusuhi tuhan-tuhan mereka....’ Dia menyetir sebuah ayat dalam Al-Qur’an. Karena itu
dalam bertabligh harus menyesuaikan dengan pengetahuan mereka......Berdakwah melalui perkawinan dengan WS tidak boleh, karena mereka adalah kafir. Padahal perkawinan antara
orang Islam dengan orang kafir haram hukumnya ia menyebut salah satu ayat dalam Al- Qur’an. Kalaupun kawin dengan mereka dengan cara Islam belum bisa, sebab Islam itu bukan
sekedar pengakuan lisan tapi termasuk perbuatan. Bagi orang Islam lain ya silahkan kalau mau berdakwah dengan cara perkawinan, itu hak dan keyakinan mereka.
Dulu pernah ada usulan dari Departemen Agama agar dia membangun masjid di tengah-tengah pemukiman WS, tapi ia belum menanggapinya. Sebab kalau ingin memasukkan Islam
seseorang seperti WS itu jangan sampai kelihatan seperti melalui pembangunan masjid. Sebab WS itu kafirnya melebihi jahiliyah. ’Bagi saya berdakwah itu harus didasarkan atas ’fathanah’
dan ’budi luhur’. Fathanah artinya harus cerdas, didalamnya terkandung maksud agar dalam berdakwah itu harus pintar-pintar mencari sesuatu yang saling menguntungkan antara kami
dengan WS ketika mereka saya Islamkan. Saya termasuk orang tidak fathanah kalau saya membangun masjid di tengah-tengah pemukiman WS. Tetapi kalau di pinggiran pemukiman
WS masih bisalah. Budi Luhur berarti: kita harus berperilaku baik, bersikap baik, sehingga menjadi teladan bagi lingkungan kita. Kalau saya tiba-tiba membangun masjid di tengah-
tengah mereka sementara saya belum bermasyarakat dan mungkin sikap dan perilaku saya dianggap kurang baik di hati mereka, maka saya tidak melaksanakan prinsip budi luhur. Ya
singkatnya itu kita tidak boleh hantom kromo dalam berdakwah sehingga kita malah dibenci mereka... Orang Islam perlu membangun strategi dakwah dalam menghadapi WS.
Efek Bola Salju, Dari Relasi Muslim-Wong Sikep ke Internal Muslim: Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bahwa terjadinya persaingan antara muslim dan Wong Sikep merupakan dampak dari terjadinya relasi kuasa antara aparat pemerintah dengan Wong Sikep.
Ketika muslim masuk dalam permainan kuasa dengan Wong Sikep melalui misiologi dalam berbagai bidang oral, pemakaman, dan perkawinan, justru melahirkan semacam efek domino
276 atau bola salju ke dalam lingkungan internal kompok muslim sendiri. Efek bola salju tersebut
berupa terjadinya persaingan di antara kelompok-kelompok Islam. Memang harus diakui bahwa persaingan di antara kelompok-kelompok Islam tersebut sudah ada potensinya di antara
mereka, namun isu Wong Sikep menjadi lebih mempertegas posisi masing-masing. Pada gilirannya persaingan tersebut berdampak terhadap melemahnya misiologi mereka kepada
Wong Sikep. Sebab agama dan budaya Wong Sikep terus menjadi sorotan di kalangan muslim, bukan hanya karena ketidaksesuiannya dengan keyakinan dan budaya muslim, namun juga
akibat ketidakmampuan aparat pemerintah dan muslim sendiri untuk mempengaruhi kehidupan keagamaan Wong Sikep. Padahal muslim memiliki peluang besar
mempengaruhinya dengan adanya regulasi negara, baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan aparat pemerintah lokal.
Pergumulan di antara kelompok-kelompok Islam tersebut ditandai dengan beberapa hal
yaitu: Pertama, perebutan wacana ’keberhasilan’ dan kegagalan modin di kalangan muslim.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa modin Wotan tidak bersimBumi Minotani kepada modin Bombong yang dianggap tidak ’berbuat apa-apa’ terhadap Wong Sikep.
Padahal menurutnya posisi sebagai modin sangat penting untuk mempengaruhi, dalam arti
untuk memenangkan dalam pesaingannya dengan Wong Sikep. Kedua, isu kontroversi yang
berkaitan dengan Wong Sikep di kalangan muslim ini juga muncul dari kalangan anak-anak muda Islam setempat seperti dituturkan oleh Mukhlis:
Mestinya bapak-bapak itu yang menjadi tokoh-tokoh kelompok, NI jangan menonjolkan ashabiyahnya, tapi bersatu, di dekat kita ada mad’u obyek dakwah yang jelas perlu dibina dan
disadarkan, orang Samin. Mereka justru padhuan sendiri, sehingga dakwah kepada orang Samin tidak banyak dilakukan
Wacana anak muda Islam tersebut ditanggapi oleh tokoh Islam netral:
Siapa yang mengatakan kami-kami ini kurang memperhatikan dakwah kepada orang Samin, wong saya tetap berusaha seperti bekoordinasi dengan petinggi agar mereka dilarang
menguburkan mayatnya di makam. Buktinya, lihat saja P Saripan, setelah masuk Islam dia aktif Jumatan di tempat masjid saya. Yang menyatakan orang Islam tidak perhatian dakwah
kepada orang Samin itu anak-anak muda yang tidak tahu tentang sejarah
Sementara seorang tokoh Rifaiyah menuturkan agak senada:
...Memang harus diakui di antara kami ada ketidakcocokan, tapi saya dan kakak saya melakukan dakwah kepada sedulur Sikep, meskipun mereka menolaknya. Orang yang
mengatakan saya tidak melakukan dakwah karena dia tidak tahu, dan orang tuanya sendiri memang tidak pernah mau tahu tentang Sikep.
277 Kalimat terakhir ini ditujukan kepada orang tua tokoh pemuda Islam tersebut tokoh
Rifaiyah yang menjadi pesaingnya. Nur, yang juga bersaing dengan tokoh Islam netral lebih lanjut menyatakan: ’dia itu hanya mengaku-ngaku, sebenarnya yang banyak berjasa itu
petinggi.’ Pernyataan ini dilontarkan sebagai tanggapan terhadap pengakuan tokoh Islam netral bahwa dirinya telah banyak berjasa dalam berdakwah kepada Wong Sikep.
Ketiga, isu Wong Sikep juga dijadikan sebagai alat untuk memperkuat posisi masing-
masing kelompok Islam. Orang-orang Islam dan aparat pemerintah selain menjadikan Wong Sikep sebagai ’musuh’ bersama juga menjadikannya sebagai alat memperkuat posisi sang
tokoh dalam kehidupan keagamaan di Baturejo. Apa yang dilakukan tokoh Islam netral dalam
kasus segregasi makam Wong Sikep menunjukkan hal itu.
Relasi kuasa melalui wacana yang dilontarkan masing-masing kelompok Islam di sekitar isu Wong Sikep tersebut menjadi faktor yang lebih memperpanjang pertarungan yang
memang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, potensi kelompok Islam tersebut lebih fokus kepada upaya menghadapi masalah di antara mereka. Persaingan dan ketegangan itu terjadi
antara kelompok Rifaiyah dan Islam netral, dan NU bahkan di antara kelompok Rifaiyah sendiri. Jika menilik ke belakang bentuk-bentuk persaingan di kalangan internal kelompok
Islam tersebut meliputi banyak aspek yaitu: Pertama, masjid sebagai simbol persaingan. Sebagaimana dikemukakan dalam bagian
sebelumnya, di Dusun Bombong terdapat 4 masjid yang saling berlomba dengan berbagai aktivitas keagamaan. Mulai dari ketika adzan, shalat Jumatan, tarawih, dan hari raya Islam.
Masing-masing memiliki tokoh dan jamaah yang relatif bersifat eksklusif.
...Masing-masing masjid menyelenggarakan shalat Jumatan sendiri. Suatu hal yang menurut kitab-kitab pegangan mereka termasuk tidak diperbolehkan kecuali karena uzur tertentu yaitu
sebab-sebab diperbolehknnya melakukan sesuatu. Karena itu ada upaya untuk menyatukan shalat Jumat di satu masjid, namun sampai sekarang masih belum berhasil. Ketidakberhasilan
penyatuan shalat Jumatan ini karena masing-masing pihak masih mempertahankan kepentingannya sendiri, termasuk aparat pemerintah.
P. Nima menuturkan:
Sebenarnya usaha penyatuan shalat Jumatan ini sudah dilakukan pada waktu-waktu sebelumnya, namun tidak berhasil. Orang NU di Sukolilo selalu mendekati KUADepag agar
masjid Wali ini difungsikan sebagai shalat Jumatan, misalnya mengajak kalau menurut Nur ’mengancam,’ NI agar tokoh-tokoh Rifaiyah P. Farin, Nur, P. Bakir shalat di Masjid Wali.
Memang pada waktu P. Bakir pernah shalat di masjid Wali, namun setelah rehab masjid Wali selesai ia kembali lagi ke masjidnya BM.
Sementara P. Nur menuturkan panjang lebar tentang proses terjadinya pelaksanaan shalat Jumatan di empat masjid dan sumber pertikaian di antara kelompok Islam tersebut.
278
Kalau ada beberapa masjid yang melaksanakan Jumatan di satu dusun, maka Jumatan yang sah adalah masjid yang melakukan takbir imam yang lebih dulu. Tetapi Jumatan di satu kampung
atau dusun yang dilakukan beberapa masjid tetap sah, jika: 1 tempat Jumatan jauh dari rumah. Ukuran jauh adalah kalau dari terbit matahari sampai ke masjid tidak ’nututi’ Jumatan.
2 tempatnya tidak muat kalau digabung dalam satu masjid. 3 kalau dijadikan satu Jumatan akan terjadi pertengkaran. Hal ini dianut oleh Rifaiyah berdasarkan pada Kitab Nihayatuz Zain.
Mengenai Jumatan di dusun Bombong yang ada di 4 masjid ada sejarah yang panjang, dan mengapa P. Nur masih tetap mempertahankan shalat Jumatan di masjid BM setelah adanya
musyawarah yang diprakarasi IPPB, ia menceritakan: 1 Jumatan yang pertama kali itu ada di masjid BM. Dulu masjid Wali rusak lalu dibangun
oleh H. Romlah NU dari Sukolilo. Setelah masjid Wali direhab H Syukur disuruh Jumatan di masjid Wali oleh seorang tokoh, tapi P Syukur tidak mau karena sudah ada masjid BM. Lalu
tokoh tersebut minta orang pintar dari Kudus supaya H Syukur ditenung, orang pintar tadi pergi ke masjid BM. Setelah 2 hari dari kedatangan orang pintar tersebut tubuh dan perut H Syukur
membesar dan beberapa hari setelah itu meninggal dunia. 2 Sepeninggap H Syukur, P Bakir diminta pulang dari pondok di Kendal untuk menggantikan
posisinya. P Bakir mengajarkan ajaran KH Rifai dan karenanya ketika itu masih diawasi terus oleh pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, tapi karena kesabarannya akhirnya ia
memperoleh beslit kyai. Dan Jumatan tetap dilaksanakan di BM. Kepala KUA Sukolilo ketika itu minta P. Bakir Jumatan di masjid Wali, jika tidak mau diancam akan dilaporkan ke
kabupaten dan Jumatan di BM akan ditutup. Akhirnya P. Bakir bermusyawarah dengan Kyai Jazuli Rifaiyah di Sindoluhur, Kyai Abdul Hanan Tarbong Sukolilo, KH Dahlan Talun.
Hasilnya P Bakir pindah Jumatan ke masjid Wali dengan alasan demi kemaslahatan, keamanan diri, dan Rifaiyah.
3 Awal tahun 1980-an Masjid Wali diperbaiki lagi oleh P. Kirno Pj, Kades Baturejo, karena itu P Farin Jumatannya pindah lagi ke BM. Setelah selesai direhab, masjid wali tidak
ditemBumi Minotani untuk Jumatan. Petinggi yang baru terpilih ketika itu 1982 menyuruh mbah modin Warsito untuk menjadi imamkhotib di masjid Wali dan jamahnya hanya 5 orang.
Ketika itu P. Nur mengajak P. Warsito supaya Jumatan di BM dan ia mau. Tapi oleh petinggi disuruh kembali Jumatan di masjid Wali dan mau lagi ke masjid Wali. Akhirnya terjadi 2
Jumatan di 2 masjid yaitu di BM dan Wali. 4 Selang 2 tahun Kepala KUA, AM, menyuruh modin untuk mendata tempat ibadah dan
memberi nama. Dulunya belum ada nama Masjid Wali dan BM yang ada hanya penyebutan masyarakat yaitu Masjid Kidul untuk Masjid BM, dan Masjid Lor untuk Masjid Wali. Untuk
Masjid Lor awalnya P Farin menamakan Masjid Aulia tapi oleh petinggi ditolak dan diberi nama Masjid Wali, Jumatan tetap ada di dua masjid tersebut.
....Setelah adanya upaya penyatuan Jumatan yang dimediasi oleh IPPB secara umum ada beberapa perubahan yaitu: a di Masjid Wali ada perubahan karena jamaah, khatib dan imam
Jumatannya bertambah. Selain itu ada perubahan proses ritual Jumatan terutama sebelum pelaksanaan khutbah dan shalat yaitu berupa ‘pujian-pujian tentang pentingnya Jumatan’ yang
biasa dilakukan oleh orang Rifaiyah. Pujia-pujian ini diambilkan dari kitab ‘Nadhm Ri’ayatu al Himmah’ karangan KH Rifai. Ini menunjukkan adanya pengaruh pengasuh eks Masjid BH.
b Sebaliknya, Masjid BH tidak menyelenggarakan Jumatan lagi. Statusnya terdegradasi karena sekarang menjadi mushalla. Hal ini ditandai dengan pencopotan nama masjid dan
pindahnya semua jamaah, imam dan khatib ke Masjid Wali. c Jamaah, khatib dan imam Masjid BM berkurang, mereka pindah ke Masjid Wali, ada khatib baru, sedangkan imam tetap
P Nur. d Yang relatif tidak ada perubahan adalah di Masjid IR.
Kedua, di luar upacara keagamaan tersebut, masing-masing pengasuhnya berlomba dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan seperti pengajian dan haul. Tiap pengasuh
masjid mengadakan pengajian rutin dengan jamaah yang tetap. Gengsi seorang pengasuh juga disimbolisasikan melalui kegiatan pengajian yang lebih besar dan besarnya keterlibatan
279 jamaahnya. Semakin besar jamaah dan ‘gebyar’ acaranya dianggap semakin bernilai dalam
menaikkan citra sang tokoh. Dalam hal ini misalnya P. Nur melaksanakan pengajian akbar tahunan yang jamaahnya bukan hanya orang Rifaiyah di Bombong, namun juga dari luar
Bombong dan Sukolilo. Jamaahnya bisa mencapai sampai 1000-an orang. Tokoh Rifaiyah ini juga setiap tahunnya biasa menyelenggarakan haul kematian ayahnya, Kyai Bakir.
Pesertanya hampir sama dengan ketika pengajian akbar. Ketiga, menghadapi kegiatan pengasuh Masjid BM, tokoh Islam netral
menyelenggarakan kegiatan pendidikan sekolah yaitu Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum. Madrasah ini dijadikan sebagai modal bagi tokoh Islam netral untuk merekrut dan mencari
simBumi Minotani bagi orang Islam. Ketika terjadi musyawarah tentang penyatuan Jumatan yang diprakarasi oleh Ikatan Pemuda-Pemudi Baturejo IPPB, madrasah ini dijadikan sebagai
modal negosiasi oleh tokoh Islam netral. Ketika itu dia menegaskan bahwa, ‘dia akan menerima penyatuan Jumatan di suatu masjid jika anak-anak orang Islam sekolah di
madrasahnya, selain harus Jumatan di masjidnya. Sebenarnya modal di bidang pendidikan ini dimiliki juga oleh MD Muhammadiyah
yaitu berupa Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal TK ABA. Hanya karena jumlah orang MD sedikit, mereka tidak seintensif terlibat dalam proses persaingan antarkelompok
Islam seperti halnya yang terjadi antara Islam netral dengan Rifaiyah. Keempat, persaingan juga terjadi dalam pengabadian citra diri. Salah satunya adalah
berlomba dalam mencetak kesuksesan putra sang tokoh. Kesuksesan ini biasanya dilihat dari kualitas ilmu pengetahuan dan pendidikan keagamaan sang anak. Misalnya, pengasuh Masjid
Baitul Hasanah mengirim anaknya ke pondok di Jawa Timur, sementara pengasuh Islam netral mengirim anaknya ke IAIN Wali Songo Semarang. Di antara putra pengasuh tersebut,
putra pengasuh Baitul Hasanah termasuk yang dianggap tersukses yang sekaligus memberikan citra positif bagi sang tokoh. Kualitas ilmu pengetahuan keagamaan putra tokoh Rifaiyah ini
diakui paling tinggi oleh kalangan jamaah kelompok Islam lain, bahkan diakui juga oleh putra tokoh Islam netral.
Kelima, persaingan dalam melakukan jaringan dengan lembaga pemerintahpolitik. Pengasuh Islam netral dan NU punya jejaring dengan Depag, KUA, dan petinggi. Akhir-akhir
ini Rifaiyah mulai mendekat kepada pemerintah juga. Aparat pemerintah yang mengurus kehidupan agama sering tersegregasi ke salah satu pihak yang bersaing, sehingga justru
menambah ketegangan bukan saja antarkelompok Islam, namun juga dengan pemerintah sendiri.
280 Ketegangan itu sendiri bermula dari masalah yang berkisar pada nilai kekerabatan
dalam kaitannya dengan misiologi internal. Tokoh Islam netral mengambil jalan ‘netral’ setelah kepentingannya tidak diakomodasi, baik yang terkait dengan perkawinan maupun
menjadi misiolog internal imam, khatib, penceramah di masjid Rifaiyah. Ia kemudian mengembangkan identitas sebagai Islam netral melalui berbagaai cara yaitu: a
pengembangan citra ’netral’ dalam praktik keagamaan, dalam arti mengakomodasi paham Rifaiyah dan NU sekaligus. Hal ini terutama dalam praktik dan pengajaran keagamaan. b
Selain itu secara kelembagaan ia berafiliasi ke NU, dan c mendirikan dan mengembangkan madrasah, serta membangun masjid dengan mengadakan shalat Jum’at dan jamaah pengajian
tersendiri, e menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi Islam, suatu hal yang tidak lazim di tokoh Islam setempat, yang biasanya lebih senang mengirim anak-anaknya ke pondok
pesantren. Awalnya tindakan-tindakan tokoh Islam netral lebih merupakan strategi negosiasi
kepada pihak kerabat tokoh Rifaiyah, namun strategi itu tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Sebaliknya justru kerabat tokoh Rifaiyah berupaya mengembalikannya ke
pangkuan Rifaiyah. Salah satunya dengan cara penunjukan anggota keluarganya adiknya sebagai Ketua Pimpinan Ranting Rifaiyah. Kegagalan negosiasi ini dipicu juga dengan upaya
penguatan identitias dan dominasi kerabat tokoh Rifaiyah dengan berbagai kiat yaitu: menghimpun jaringan organisasi dengan pusat Rifaiyah di Bumi Minotani yang ada di Talun
dan Kayen, dan memperkuat jaringan kekerabatan melalui pernikahan dengan tokoh-tokoh di pusat Rifaiyah.
Sebenarnya dalam proses kontestasi tersebut ada sosok cross-cutting-affiliator yaitu anggota keluarga dari tokoh Islam netral yang dijadikan sebagai Ketua Pengurus Ranting
Rifaiyah Baturejo. Hanya sosok ini tidak dapat menjalankannya secara optimal, sehingga kontestasi antara kedua kerabat tersebut terus berlangsung dalam proses misiologi agama
sampai sekarang. Bahkan dalam beberapa hal, anggota keluarga tokoh Islam netral tersebut tersegmentasi juga dalam salah satu pihak, yaitu kepada pihak Rifaiyah, dan ia berkontestasi
juga dengan kakaknya tersebut. Konflik dan dan persaingan antarkelompok Islam itu sering dilihat dari sisi mistik dan
keyakinan akan ketidakrukunan di kalangan muslim tersebut. P. Nima menambahkah: ’teng mriki menyatunya angel mergo wonten ramalan ”surohlando”,’neng Bombong ono Bombong
bentelet angel dijak nyatu’. Artinya, orang Islam di Bombong sulit bersatu karena memang sudah diramalkan begitu.
281 Di sisi lain, di antara kelompok Islam tersebut ada usaha untuk melakukan negosiasi
atau interaksi untuk saling mendekat. Hal ini terutama dilakukan oleh tokoh Rifaiyah, tokoh ini sering menegaskan bahwa antara Rifaiyah dan NU tidak ada bedanya karena sama-sama
termasuk ahlus sunnah wal jamaah aswaja, dan secara teologis serta amalan juga sama.
Rifaiyah tidak ada bedanya dengan Islam yang lain dalam pemahaman dan praktek keagamaan. Al-Qur’an dan Hadits-nya sama. Bedanya hanya dalam penafsiran. Teman saya banyak yang di
NU, dan MD sebutan untuk Muhammadiyah, penulis, semua tidak ada masalah.
10