Program Komunitas Adat Terpencil

52 yang salah satunya ada di Baturejo Sukolilo Bumi Minotani. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Tim pada tahun 2006 jumlah warga Komunitas Adat Terpencil KAT, dalam hal ini Wong Sikep sebesar 192 KK atau 692 jiwa, terdiri dari 314 laki-laki dan 378 perempuan. Tujuan pokok dari program ini dapat disarikan dari ’Arah Kebijakan Teknis dan Strategi Pemberdayaan KAT’ yang dikeluarkan oleh Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yaitu, memberdayakan komunitas adat terpencil Wong Sikep agar mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai bidang, sehingga mereka mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan lingkungan hidupnya. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut pemerintah menjabarkannya dalam program kegiatan, kegiatan pemberdayaan itu direncanakan selama 4-5 tahun melalui tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pemantapan kesiapan warga KAT. Tahapan persiapan pemberdayaan meliputi 4 kegiatan yaitu penataan sosial, penjajagan awal, studi kelayakan- etnografis, dan pemantapan. Kegiatan tahapan ini pada intinya berusaha mendata dan memberi bimbingan sosial agar warga KAT siap untuk diberdayakan dan semestinya berlangsung selama satu tahun. Keberhasilan-tidaknya dilihat dari adanya kesiapan warga KAT untuk diberdayakan. Tahap kedua yaitu pelaksanaan terdiri dari 2 kegiatan pokok yaitu: 1 menentukan tipe penataan perumahan dan pemukiman, apakah bersifat in situ penataan di tempat aslinya atau ex situ penataan di lokasi baru. Dalam kasus Wong Sikep masuk 53 dalam tipe yang pertama. 2 Pelaksanaan pemberdayaan dalam berbagai bidang, intinya berusaha agar warga KAT berubah kebudayaannya, baik pada aspek ide, tindakan, dan fisiknya. Lingkup bidang yang akan diubah dan diberdayakan meliputi: 1. Penataan perumahan dan pemukiman yang mencakup penataan perumahan dan pemukiman, dan penataan prasarana dan sarana sosial, umum serta lingkungan; 2. Penataan administrasi kependudukan, mencakup: pendataan kependudukan, pembuatan KTP, pengenalan dan penataan administrasi pemerintahan. 3. Penataan bidang keagamaan, mencakup: penataanpembuatan prasarana dan sarana ibadah, pengenalan dan penerapan intensitas aktivitas keagamaan, pembinaan kerukunan kehidupan beragama. 4. Pengenalan dan peningkatan di bidang pendidikan, mencakup: pendidikan dasar, Kejar Paket A dan B, bantuan sarana pendidikan bagi anak-anak warga KAT, bantuan besiswa, pengembangan sistem pengetahuan dan pendidikan lokal. 5. Pelayanan dan peningkatan kesehatan warga, mencakup: pelayanan kesehatan dasar, penataan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan, memelihara dan mengembangkan potensi pelayanansistem kesehatan lokal. 6. Peningakatan pendapatan, mencakup: pengembangan tanaman pangan, pengembangan tanaman perkebunan, budidaya peternakan, budidaya perikanan, pengelolaan hasil panen, Pengembangan Usaha Kelompok KUBE, pengenalan dan peningkatan sisten pemasaran hasil, pemanfaatan hasil. 7. Pelayanan Usaha Kesejahteraan Sosial, mencakup: pendampingan sosial, perlindungan atas hak dan kewajiban warga KAT hak atas tanah, adat, hukum adat, pemeliharaan dan pengembangan budaya lokal, perlindungan hak atas kehidupan yang layak, bantuanfasilitasi pemberdayaan SDM, usaha dan lingkungan sosial serta jaminan sosial kemasyarakatan, pelayanan sosial mencakup penanganan masalah sosial baik individu keluarga maupun kelompok, pembentukan dan pengembangan organisasi lokal, jaringan kerja dan pranata adat..., penguatan sistem ekonomi..., peningkatan peran kaum perempuan..., pembinaan generasi 54 muda...,pembinaan bidang-bidang lainnya yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 8. Konsientisasi Proses Penyadaran, misalnya peningakatan motivasi dalam rangka menumbuhkan kesadaran akan permasalahan yang dihadapi, pentingnya hidup sejahtera serta arah dari program pemberdayaan KAT, pengetahuan, keterampilan serta kreativitas warga... Direktorat Pemberdayaan KAT, 2003: 7-10. beberapa titik, koma, dan cara penomoran dari saya, NI Bidang pemberdayaan nomor 8 terkait dengan upaya pengubahan pada level ide, sementara pengubahan pada level tindakan dapat dilihat pada bidang pemberdayaan nomor 2-7, dan pengubahan pada level fisik terlihat pada nomor 1. Sebenarnya dalam setiap bidang permberdayaan tersebut mencakup ketiga unsur tripartit kebudayaan tersebut, misalnya dalam penataan pemukiman meskipun lebih fokus kepada perubahan fisik, namun dibutuhkan perubahan pada aspek ide kesadaran, dan tindakan usaha-usaha yang dilakukan warga KAT untuk menata pemukiman dan perumahannya. Ini nampaknya sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat 1989: 204-224 bahwa dalam setiap pranata dari kehidupan manusia dapat dilihat dari ketiga ranah kebudayaan tersebut. Program KAT yang dilakukan pemerintah kepada Wong Sikep, dan komunitas adat terpencil lainnya, merupakan bagian dari strategi kuasa aparat pemerintah untuk mendominasi dan dijalankan sebagai bagian dari pembangunanisme. Melalui modal simbolik dan ekonomi negara berusaha agar setiap komunitas yang dianggap 55 terbelakang menjadi ‘maju’. Karena itu ketidakberhasilan program ini, di samping adanya keberhasilannya, dapat ditelusuri lebih jauh dari karakter pembangunan di Indonesia terutama sejak masa Orde Baru. Sebab program KAT merupakan bagian dari proses pembangunan yang ditujukan kepada komunitas yang dianggap terbelakang dengan standar-standar yang ditetapkan pemerintah. Hasil akhirnya adalah supaya komunitas-komunitas yang dianggap terbelakang tersebut berubah kebudayaannya, baik dalam ranah ide dan tindakan, dan fisik. Standar perubahan dari pemerintah, yang bersifat etik, dapat dilihat dari konsep-konsep yang terdapat dalam Program Komunitas Adat Terpencil PKAT seperti ’hidup wajar’, ’sejajar dengan warga lain’, dan ’pembinaan’. Konsep hidup secara wajar dan sejajar didasarkan atas indikator-indikator yang telah ditetapkan pemerintah yang sering tidak melibatkan aspirasi ideal secara emik dari pihak komunitas. Memang ada perubahan strategi dalam PKAT tersebut yaitu dengan munculnya konsep dan kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan dan kebutuhan komunitas. Hal ini dapat dilihat dari konsep pemberdayaan, walaupun sering dipasangkan dengan konsep ’pembinaan’. Kecenderungan ini juga dapat dilihat dari strategi yang lain seperti pendekatan kemitraan, partisipasi, dan advokasi sosial Direktorat Pemberdayaan KAT, 2003: 6-7. 7 Secara 7 Dalam proses pemberdayaan pihak komunitas diberikan kepercayaan dan peluang untuk mengatasi masalah di lingkungannya secara mandiri. Dalam pendekatan kemitraan antara pemerintah dan komunitas dalam melaksanakan program dilakukan dalam semangat kesetaraan, kebersamaaan, dan kolaborasi. Pendekatan partisipasi mengandaikan bahwa perlu adanya pengembangan prakarsa dan peran 56 konsepsional strategi program ini lebih berorientasi kepada komunitas, namun dalam kenyataan belum berjalan. Banyak pejabat pemerintah terkait yang masih menggunakan konsep pembinaan dalam setiap pembicaraan, dan Wong Sikep belum pernah dilibatkan sebagaimana menjadi tuntutan dalam keempat strategi program. Wong Sikep terbatas menerima atau menjadi obyek program. Selain belum terwujudnya perubahan strategi, pada hakikatnya pengelola pembangunan belum bergeser dari paradigma lama sebagai landasan yaitu pembangunan atau modernisasi masyarakat yang lebih berorientasi etik. Sebuah pembangunan yang dalam bahasa Alberto Guerreiro-Ramos 1970 disebut sebagai ‘model keharusan’ necessary model, sebagai kebalikan dari pembangunan ‘model kemungkinan’ possibility model. 8 Model keharusan didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan manusia berjalan melalui proses evolusi yang sekaligus mengandaikan dari komunitas dalam pengambilan keputusan dan melakukan pilihan terbaik untuk peningkatan kesejahteraan sosialnya. Kemudian dalam advokasi sosial, perlu adanya perlindungan terhadap sumber daya komunitas untuk peningkatan harkat-martabat dan mutu hidup komunitas. 8 Teori Kemungkinan menurut Ramos 1970 mempunyai dua ciri utama yaitu a pembangunan atau modernitas tidak terdapat di suatu bagian dunia tertentu yang melahirkan masyarakat maju atau masyarakat referensi dan masyarakat tidak maju atau masyarakat pengikut. Sebab teori ini menolak sifat unilinier dalam perubahan manusia. Karena itu pula b pembangunan atau modernisasi di setiap masyarakat tidak harus merupakan kontinuitas dari masyarakat di negera-negara maju, setiap negara mempunyai kemungkinannya sendiri, dan karakternya masing- masing. Dengan mendasarkan pada pandangan Ramos tersebut, pembangunan yang berdasarkan teori kemungkinan akan lebih menghargai terhadap komunitas dan kebudayaan lokal. 57 adanya kontinuitas yang bersifat unilinier. Artinya hanya ada satu hukum keharusan sejarah determinisme sejarah perubahan dalam masyarakat. Implikasi dari asumsi ini adalah pembangunan atau modernisasi pada intinya merupakan kelanjutan dari apa yang sudah berlangsung pada masyarakat maju di negara-negara Barat. Pada tingkat kebijakan, negara mempunyai agenda sendiri untuk memajukan masyarakatnya, membangun komunitas lokal menurut perspektif kebudayaan nasional dan internasional, dan itu dituangkan dalam berbagai program pembangunan seperti PKAT. Walaupun kemudian ada perubahan pada strategi, namun orientasi dasarnya masih berpijak kepada budaya nasional dan internasional, seperti terlihat dalam penentuan indikator dan kriteria keberhasilan. Memang sudah ada pergeseran dalam strategi namun belum terwujud di lapangan. Secara keilmuan, model keharusan, dalam batas-batas tertentu, merupakan kepanjangan tangan dari paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial. Satu di antara asumsi epistemiknya adalah nomotetik 9 yaitu anggapan bahwa simpulan dan teori dapat digeneralisasikan pada ruang dan waktu lain. Hal ini terutama berimplikasi kepada asumsi dari model keharusan yaitu masyarakat acuan yang maju yang dicapai oleh masyarakat Barat Eropa dan Amerika utara merupakan model yang harus dilalui dan menjadi acuan masyarakat berkembangkurang maju atau pengikut. 9 Asumsi lainnya yaitu bebas nilai dan obyektif, hubungan kausalitas-deterministik, deduktif, apriori. Lihat lebih jauh dalam Durkheim, 1964; Bohannan dan Glazer, 1988: 235; Koentowijoyo dalam Abdullah dkk, 2003:63-64; Mahzar dalam Heriyanto, 2003: xiv-xv. 58

BAB III PROFIL KELOMPOK AGAMA

A. Lingkungan dan Masyarakat Lokasi:

Wong Sikep di Bumi Minotani terdapat di Kecamatan Sukolilo, khususnya di Desa Baturejo. Sukolilo berada di belahan selatan, dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Purwodadi. Bahkan letak wilayahnya lebih dekat dengan ibukota dan pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan, Purwodadi 14 Km dibandingkan dengan pusat pemerintahan Bumi Minotani 27 Km. Bumi Minotani memiliki 21 kecamatan berbatasan langsung dengan Kabuparen Jepara dan Laut Jawa di sebelah utaranya, sedangkan di selatan berbatasan dengan Kabupaten Blora dan Grobogan. Di sebelah barat ada wilayah Kabupaten Kudus dan sebagian Jepara, dan sebelah timur ada wilayah Kabupaten Rembang. Sukolilo membawahi 16 desa yaitu: selain Desa Baturejo, juga Desa Pakem, Prawoto, Wegil, Kuwawur, Porang-Paring, Sumber Soko, Tompe Gunung, Kedumulyo, Gadurejo, Sukolilo, Kedung Winong, Baleadi, Wotan, Kasiyan, dan Cengkal Sewu. Hampir semua wilayahnya masuk daerah perdesaan. Ada 72 dusun, RW sebanyak 85 dan RT sebanyak 476 buah. Wilayahnya berada di antara Pegunungan Kapur Utara, karena itu kebanyakan wilayahnya 40 berombak sampai berbukit, selebihnya berbukit sampai bergunung serta datar sampai berombak, berada di dataran sampai berombak dengan ketinggian 135 meter dari permukaan laut. Curah hujan rata-rata 374,5 59 mmtahun, dengan suhu udara antara 22-38 derajat celcius. Luas wilayahnya mencapai 16.724,9 Ha dan kebanyakan dimanfaatkan untuk pekarangan dan pemukiman. Berdasarkan Monografi Kecamatan Sukolilo dan Desa Baturejo 2006, 45 dari luas tanah yang ada digunakan untuk pekarangan-pemukiman, 43 untuk sawah. Selain itu 2 lebih sedikit digunakan untuk fasilitas umum, 87 di antara fasilitas umum tersebut digunakan untuk kuburan. Keadaan ini menggambarkan bahwa wilayah kecamatan ini masih kental dengan nuansa agrarisnya, apalagi di Desa Baturejo yang menjadi pusat penelitian ini. Di desa ini 81,91 dari luas wilayahnya 963,242 Ha berupa tanah sawah yang digunakan untuk pertanian. Selain itu ada 17,61 berupa tanah kering yang digunakan untuk pekarangan- pemukiman, dan tegalan serta rawa, dan hanya sedikit 0,48 yang digunakan untuk jalan dan kuburan. Lingkungan: Di Baturejo pemukiman penduduk mengelompok berdasarkan keagamaannya yaitu: kelompok pemukiman Wong Sikep yang ada di Dusun Bombong RT 1, 2 dan sebagian kecil RT 3 dan Dusun Bacem RT 9; kelompok pemukiman orang-orang Rifaiyah ada di Bombong RT 3, 4, sebagian RT 5, dan di Bacem; pemukiman orang NU ada di Bombong RT 5-7 dan sebagian di Dusun Bacem; orang-orang Muhammadiyah yang hanya sekitar 6 KK ada di Dusun Bombong bagian utara dan Ronggo, sedangkan orang-orang Yakari ada di tengah-tengah pemukiman Wong Sikep yaitu di RT 2 Bombong. Rumah Wong Sikep di Baturejo berkelompok membentuk jejeran 60 dan berada di samping kanan-kiri jalan kampung terutama yang dari arah Timur-Barat RT 1 dan RT 2. Jalan kampung ini sudah beraspal, sedangkan jalan-jalan di pemukiman kelompok agama lain masih berupa tanah batu yang sudah dipadatkan. Jalan beraspal menuju dan di tengah pemukiman Wong Sikep ini sebagai satu di antara realisasi Program Komunitas Adat Terpencil selanjutnya disingkat dan disebut dengan PKAT yang direncanakan oleh pemerintah Kabupaten Bumi Minotani. Lokasi sawah penduduk termasuk Wong Sikep berada 1-2 Km di utara perkampungan Bombong dan Bacem, sawah itu ada yang milik non Wong Sikep. Sawah milik Wong Sikep terdiri dari tiga kelompok area, dan kepengurusannya ada 3 kelompok Tani yaitu Kelompok Badi, Malikan, dan Nioma. Kelompok Malikan memiliki sekitar 50 Ha lebih, sedangkan kelompok Nioma lebih sempit dan yang lebih sempit lagi milik kelompok Badi. Sawah kelompok Badi dan Nioma semuanya milik Wong Sikep, sedangkan kelompok Malikan merupakan area sawah yang dimiliki campuran antara Wong Sikep dan nonWong Sikep Islam. Pemilik sawah dari kalangan Islam tersebut misalnya Pak Badi, dan Iskandar Islam Rifaiyah. Di luar ketiga kelompok tersebut sebenarnya masih ada kelompok area sawah yang lainnya yaitu sawah bengkok untuk Lurah dan Carik. Juga ada kelompok sawah milik orang-orang Islam Rifaiyah dan NU yang ada di sebelah Barat kelompok Badi. Antara sawah kelompok Badi Wong Sikep dengan sawah orang Islam hanya dibatasi jalan setapak.