230 bidang yang satu ini, sehingga merubah tindakan mereka seperti penggunaan teknologi bajak
dari cangkul dan sapi ke traktor. Di sisi lain, Wong Sikep tidak sepenuhnya terpengaruh oleh program modernisasi yang
berorientasi kepada peningkatan produktivitas hasil seperti yang dilancarkan pemerintah, khususnya dalam pengolahan lahan pertanian. Program pemerintah tersebut dianggap akan
berdampak terhadap tindakan ’pemaksaan’ dalam bercocok tanam. Ada beberapa sifat unik yang umumnya masih dipertahankan oleh Wong Sikep dalam
bercocok tanam di tengah-tengah proses modernisasi pertanian yang dilakukan aparat pemerintah yaitu lihat juga dalam Kompas, 5 Mei 2009: tidak banyak menggunakan pupuk
kimiawi, menggunakan teknik penanaman yang agak lebih jarang yaitu dengan lebar panjang 20:40. Mereka juga menanam padi dengan setangkai-setangkai, hal ini berbeda dengan petani
umumnya yang menanam padi dengan beberapa tangkai setiap satu tanamannya. Bagi Wong Sikep cara ini ditempuh agar supaya tanaman mampu menyerap nutrisi yang cukup, dan padi
akan lebih leluasa. Mereka mengandaikan hal ini dengan sebuah hidangan yang dimakan oleh satu orang tentu lebih mengenyangkan daripada dimakan beberapa orang. Lebih dari itu,
mereka biasa menanam padi setelah dibajak dengan menanam tidak terlalu dalam, sebab tanah pasca pembajakan akan menjadi gembur, dan kalau padi ditanam terlalu dalam maka akarnya
tidak berada dalam dalam tanah yang gembur, dan itu membutuhkan pupuk yang banyak. Tindakan Wong Sikep ini didasarkan atas keyakinan perlunya keseimbangan alam.
Dalam keyakinan ini terkandung maksud bahwa jika manusia memperlakukan alam, termasuk tanah, dengan baik dan ramah maka alam akan ramah juga kepada manusia. Hal ini
nampaknya terkait dengan penganalogian pemeliharaan tanah dengan seorang isteri yaitu sama-sama sebagai bagian dari kegiatan yang bertanggung-jawab dari seorang manusia.
Artinya, kalau manusia sudah menikahi dan merawat perempuan serta merawat tanah dengan baik, maka dia menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Tindakan ini mengandaikan bahwa ditengah-tengah dominasi dalam relasi kuasa pengetahuan dan tindakan aparat pemerintah dalam ’modernisasi’ pertanian di tengah
kehidupan Wong Sikep, namun Wong Sikep masih mampu memainkan kuasanya melalui upaya mempertahankan keunikannya dalam bertani. Kuasa yang dijalankan aparat
pemerintah melalui proses modernisasi di bidang pertanian menyebabkan Wong Sikep mengakomodasinya, namun tidak secara total, dalam beberapa hal mereka menolak dengan
terus mempertahankan apa yang menjadi kayakinannya, sehingga yang muncul adalah adanya paduan dalam pengelolaan pertanian. Lebih dari itu, di tengah-tengah pelaksanaan kuasa oleh
negara di bidang pertanian ini, ada resistensi yang dilakukan Wong Sikep yaitu dengan
231 menerapkan pengelolaan pertanian khas mereka. Perlawanan ini menjadi bagian strategi dari
Wong Sikep menghadapi ’cara’ pertanian yang disosialisasikan aparat pemerintah. Akhirnya aparat pemerintah membiarkan cara pertanian yang dilakukan oleh Wong Sikep tersebut
dengan terus berupaya melayaninya yang lain yang mau menggunakan cara pertanian mereka. Pada saat sekarang, budaya bercocok-tanam yang dipertahankan oleh Wong Sikep di tengah-
tengah regulasi pertanian mulai diperhatikan dan bahkan dipraktekkan oleh sebagian petani non Sikep. Aparat pemerintah juga mulai memahami apa yang dilakukan oleh Wong Sikep.
D. Sosial-Kependudukan: Minimalisasi Modal Demografis
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa modernisasi pertanian yang dilakukan aparat pemerintah di kalangan Wong Sikep memiliki makna ganda. Hal ini juga berlaku dalam
program keluarga berencana. Artinya, penerapan program keluarga berencana di kalangan Wong Sikep mempunyai makna ganda dan khusus sekaligus yaitu: sebagai upaya penjarangan
kelahiran yang pada gilirannya akan menyedikitkan anak, sekaligus sebagai usaha meminimalisasi modal demografis yang bernilai politik.
Sasaran program keluarga berencana yang ditujukan kepada Wong Sikep pada intinya sama dengan yang ditujukan kepada masyarakat umum yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga melalui penjarangan kelahiran atau melembanganya keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Dalam konteks Wong Sikep hal itu lebih relevan lagi karena
mereka dianggap oleh pemerintah sebagai warga miskin. Di sisi lain, baik secara langsung maupun tidak, program ini sekaligus sebagai bagian dari strategi negara untuk mengurangi
jumlah warga Sikep atau dapat disebut sebagai dekuantifikasi warga Sikep. Seorang mantan Penyuluh Keluarga Berencana PKB yang muslim-Muhammadiyah di Sukolilo menyatakan:
Memberi penyuluhan kepada sedulur Sikep tentang KB itu penting sekali. Dulunya mereka biasanya ngeyel dan menolak, namun sekarang sudah banyak yang melaksanakannya secara
diam-diam. Penting karena kalau mereka semakin banyak anak, berarti mereka akan semakin banyak pula. Padahal mereka sulit diajak rembugan kalau soal agama maksudnya sulit
dikonversi ke agama resmi, NI. Itu juga kalau kian banyak jumlahnya menguntungkan keadaan mereka. Itu sebabnya sesepuh
mereka menolaknya dengan mengatakan: ’wong turunane dhewe kok dilarang-larang.’
Data dalam ’Instrumen Pemutakhiran Data Komunitas Adat Terpencil’ yang dikeluarkan Kecamatan Sukolilo tertanggal 10 Oktober 2006, menunjukkan bahwa, pasangan
yang berusia 40 tahun lebih masih banyak yang memiliki anak 4 atau lebih, sedangkan pasangan yang berusia di bawah 40 tahun kebanyakan mempunyai anak 2-3 orang. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh petugas penyuluh keluarga berencana tersebut,
232 bahwa sekarang sudah banyak keluarga Wong Sikep yang ikut keluarga berencana secara
diam-diam.
Mbak Kur 26 tahun, suaminya Tris 29 tahun saat ini sudah punya 1 anak laki-laki 4 tahun. Ia pergi ke Puskesmas tanpa sepengatahuan warga Sikep yang lain, terutama dari kalangan yang
tua-tua, di Sukolilo. Ia menyatakan dengan agak malu-malu mau ikut KB berupa suntik. Melalui mbak Tiran putri dari mantan Sikep, saya minta menanyakan kepadanya tentang
alasannya, Ia menjawab agar tidak punya anak banyak yang akan menyusahkan keluarga.
E. Tata Cara Perkawinan dan Pilihan agama
Praktik-praktik sosial dalam relasi antara aparat pemerintah lokal dengan Wong Sikep juga dapat ditemukan dalam medan kehidupan keagamaan. Praktik-praktik sosial itu meliputi
tata cara perkawinan, pilihan agama, dan pencantuman agama resmi dalam administrasi kependudukan.
Perkawinan: Sebagaimana diuraikan dalam bab 2 mengenai perkawinan, Wong Sikep
memiliki tata cara tersendiri yang berbeda dengan tata cara perkawinan yang diatur oleh pemerintah dan dilakukan oleh agama-agama resmi. Tata cara perkawinan di kalangan
penganut agama Adam merupakan suatu identitas kesikepan, jika warga mereka ada yang melakukan perkawinan dengan tata cara yang lain, maka secara otomatis menafikan
kesikepannya. Karena itu mereka tidak mengenal kawin dengan cara titip-naib, suatu istilah yang mereka gunakan untuk menunjuk perkawinan cara Islam karena dilakukan oleh naib dan
dicatat di Kantor Urusan Agama KUA.
Penolakan terebut kemudian direaksi oleh aparat pemerintah dengan berupaya agar mereka mau menerima tata cara perkawinan menurut agama resmi. Tindakan ini sebenarnya
sebagai langkah awal untuk memasukkan mereka ke dalam pangkuan agama resmi. Konsistensi dengan tafsir mengenai definisi agama dan pengaturan di bidang
keagamaan, termasuk agama lokal, aparat pemerintah lokal berusaha membina dan ‘mengembalikan’ penganut agama lokal ke agama resmi. Biasanya, para pelaku di kalangan
pemerintah tersebut berkoordinasi dengan berbagai pihak, mulai dari kepala desa, kecamatan dan KUA, dan Departemen Agama, termasuk juga lembaga-lembaga keagamaan. Dari
keseluruhan pelaku dalam relasi kuasa yang berasal dari pemerintah, maka kepala desa petinggi menemBumi Minotani posisi strategis. Sebab hampir semua hal yang terkait dengan
usaha-usaha pemerintah dengan Wong Sikep harus melalui petinggi ini. Karena itu corak relasi aparat pemerintah dengan Wong Sikep juga sangat ditentukan gaya yang bersangkutan
sang petinggi. Ada yang bersifat ‘ngotot’ sehingga terjadi ketegangan hubungan, ada yang juga lebih moderat sambil lalu mengambil jarak.
233 Pada periode Kades Jinamo 1981-1989 misalnya, ada dua 2 program pokok yang
ditujukan untuk merubah kebudayaan Wong Sikep yaitu: kawin massal 7 Agustus 1989, dan berusaha memasukkan mereka ke agama yang diakui pemerintah 1988.
Untuk acara perkawinan massal dilakukan dengan cara mendatangkan semua tokoh agama yang diakui pemerintah, namun akhirnya Wong Sikep memilih kawin dengan agama
Budha, ketika itu ada sekitar 120-an
4
pasangan yang dikawinkan atau dicatat secara massal di Catatan Sipil.
Pilihan Agama: Untuk mengkonversi Wong Sikep ke agama yang diakui pemerintah,
Kades tersebut mendatangkan tokoh semua agama yang diakui pemerintah. Tokoh-tokoh Sikep seperti Mbah Ontar, Mbah Oyot, dan lainnya dikumpulkan oleh aparat kelurahan dan
kecamatan di rumah Mbah Yodo. Tujuannya agar mereka memilih agama yang diakui oleh pemerintah seperti Islam, Kathalik, Kristen, Hindu, dan Budha.
Dulu pernah ada usaha dari pemerintah desa dan kabupaten agar Wong Sikep WS menganut agama pemerintah, Wong Sikep ketika itu terpaksa mau dan memilih agama Budha. Kemudian
pemerintah menghubungi pimpinan agama Budha di Bumi Minotani agar mengajarkan ajaran Budha. Ketika tokoh Budha mengajarkannya, WS disuruh membayar dana ziarah, namun WS
tidak ada yang mau memberikannya. Ketika itu tokoh Budha itu bertanya kepada WS, mengapa tidak mau bayar dana ziarah. Untuk itu Mbah Oyot yang mewakili WS menjawab, bahwa
sebenarnya mereka tidak mau memilih salah satu dari agama yang ditawarkan oleh pemerintah, namun karena dipaksa untuk memilih, ya mereka terpaksa memilih. Setelah mendengarkan
penjelasan Mbah Oyot tersebut maka tokoh Budha tidak mau lagi datang. Sementara di kalangan WS sendiri menyatakan bahwa yang dimaksud Budha adalah mlebu udho ketika
melakukan hubungan suami-isteri dalam keadaan telanjang.
Tokoh Sikep ketika itu tetap menyatakan ikut agama Adam, namun pihak pemerintah memberi penjelasan bahwa agama yang diakui negara di Indonesia adalah lima agama
tersebut. Pada akhirnya dengan ‘terpaksa’ secara lisan mereka mengatakan ikut agama Budha. Pernyataan ini ternyata mengandung makna ganda. Bagi Wong Sikep Budha merupakan
kepanjangan dari mlebu-udho kalau laki-laki dan perempuan berhubungan kelamin mesti telanjang, ini sesuai dengan bahasa sangkak atau kirotoboso. Di kalangan Wong Sikep
memang banyak istilah yang terkait dengan agama banyak di’plesetkan’ ke arah hubungan
4
Ada perbedaan versi mengenai jumlah pasangan kawin ini, ada yang menyatakan sebanyak 117 pasangan, sementara yang lain menyatakan 300 pasangan, dan ada yang menyatakan 120-an
pasangan. Versi yang menyatakan 300 pasangan saya kira terlalu berlebihan, sebab jika dibandingkan dengan tahun 2006 seperti tercantum dalam Formulir Instrumen Pemutakhiran Data Komunitas Adat
Terpencil misalnya jumlah kepala keluarga Wong Sikep sebanyak 192 KK. Padahal perkawinan massal itu berlangsung pada tahun 1989. Atinya, tidak mungkin terjadi pengurangan jumlah KK yang banyak
dalam jangka waktu 7 tahunan, sementara tidak terjadi kejadian luar biasa yang dapat mengurangi jumlah KK yang begitu drastis, meskipun ada program Keluarga Berencana yang dilancarkan kepada
Wong Sikep. Mungkin yang lebih tepat adalah ada 150-an pasangan dengan jumlah sebanyak 300 orang. Hanya yang penting dicatat bahwa perbedaan versi mengenai jumlah ini tidak terlalu penting
dalam konteks ini, yang lebih penting adalah penunjukkan adanya usaha dari aparat pemerintah untuk merubah toto-coro Wong Sikep melalui perkawinan.