pengetahuan yang terus menerus
melahirkan efek kuasa Kebenaranpengetahuan tiada lain relasi kuasa itu sendiri.
Pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dianggap benar oleh sekelompok orang, dan melalui kekuatan atau strategi tertentu
pelaku membangun kepercayaan melalui bahasa, wacana, kolaborasi ilmu dan lembaga tertentu memaksa orang lain untuk
menerimanya. Karena itu, dalam proses trannsformasi pengetahuan itu ada kuasa. Untuk itu kuasa dapat dianggap sebagai kemampuan
memaksa orang lain untuk menerima pengetahuan atau gagasan dan tindakan.
Karakter kuasa seperti dikemukakan Foucault tersebut terlihat di lapangan. Proses relasi Wong Sikep dengan kelompok di
luar dirinya telah melahirkan pengetahuan baru atau budaya cangkokan kultur hibrida bagi Wong Sikep, misalnya dalam kasus
penggunaan mori dan pemakaman mayit Wong Sikep, bodo kupat, dan sunnatan.
E. Kerangka Penulisan
Pada bab I dijelaskan tentang latar belakang dan kajian terdahulu, masalah dan ruang lingkup, dan teori inspirator yang
digunakan dalam kajian. Bab ini diakhiri dengan pemaparan sistematika bahasan.
Dalam bab II dan III memerikan kebijakan dan peraturan negara di bidang keagamaan dan komunitas adat terpencil. Uraian
ini menjadi semacam pengantar sebelum membahas relasi kuasa
antarkelompok di lokasi kajian. Sementara pada bab III diuraikan setting dan profil Wong Sikep dan muslim setempat.
Bab IV sampai VI memerikan bekerjanya kuasa dalam medan pengubahan budaya Wong Sikep sebagai konsekwensi dari
implementasi regulasi negara. Dalam bab IV khusus memerikan beroperasinya kuasa di kalangan internal Wong Sikep sendiri akibat
relasi mereka dengan aparat pemerintah dan muslim. Sementara bab V memerikan berjalannya kuasa di antara Wong Sikep dan aparat
pemerintah, dan di bab VI menguraikan berjalannya kuasa di antara Wong Sikep dan muslim.
Dalam Bab VII mendiskusikan temuan kajianteori lokal dengan teori signifikan tentang relasi kuasa. Dalam hal ini menelisik
berbagai isu terkait tentang relasi kuasa, strategi, dominasi serta agensi dan struktur, dan modal, juga membahas kuasa dalam
kaitannya dengan pengetahuan. Pada akhir bab ini dikemukakan simpulan dan refleksi mengenai kebudayaan.
BAB II PENGATURAN NEGARA
A. Bermain Melalui Peraturan
Setiap pihak yang terlibat dalam relasi kuasa menggunakan berbagai strategi agar mampu menancapkan pengaruhnya terhadap
kelompok lain. Hal ini banyak juga dilakukan oleh negara ketika berhadapan
dengan kelompok-kelompok
yang ada
dalam masyarakat. Setidaknya ada dua tujuan pokok dari tindakan yang
dilakukan negara tersebut yaitu: mengatur agar dalam kehidupan masyarakat relasi antar kelompok berkembang keharmonisan, dan
merubah kebudayaan kelompok masyarakat agar sesuai tafsir dan agenda negara.
Jika dilihat dari asal wilayahnya agama dapat dipilah ke dalam agama lokal dan global. Agama global adalah agama-agama
yang sebelumnya lahir dan berkembang di suatu wilayah negara atau benua, kemudian menyebar ke wilayah lain melalui
misiologinya, sehingga agama-agama tersebut tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Kategori agama global ini sebagai paritas
dari agama lokal yaitu agama yang lahir dan berkembang di wilayah Indonesia. Subagyo 1981 menyebut kelompok ini dengan agama
asli Indonesia.
1
Misalnya agama Sunda Wiwitan yang ada di suku
1
Dalam sistem perundangan di Indonesia, dasar adanya agama lokal tercakup dalam kepercayaan dalam makna luas sebagaimana
ditafsirkan dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Karena itu istilah ’kepercayaan’ sebelum tahun 2005, sebagaimana dikemukakan Wongsonegoro,
mencakup kepercayaan kebatinan dan kepercayaan komunitas adat seperti Agama Adam, Kaharingan, dan lainnya. Setelah tahun 2005
sampai sekarang, seiring dengan perubahan struktur organisasi, belum
41 Badui Banten, agama Sunda Wiwitan-Madrais atau agama
Cigugur, agama Buhun Jawaa Barat, agama Pamalim Batak, agama Kaharingan Kalimantan, agama Tonaas Walian
Minahasa, agama Tolottang Sulawesi Selatan, agama Naurus Pulau Seram, dan Kejawen Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam kaitannya dengan kelompok agama lokal, seperti Wong Sikep, yang juga dimasukkan sebagai komunitas adat
terpencil, saya akan memfokuskan diri kepada aturan negara yang
jelas apakah keduanya masuk dalam pengertian ’kepercayaan’ atau tidak Tanya jawab saya dengan Istiati, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, dalam Dialog Budaya Spiritual, 29 Juni 2009. Untuk keperluan tulisan ini maka agama lokal atau agama asli Indonesia tersebut
disebut dengan penghayat kepercayaan seperti dalam TAP MPR No.IVMPR1978. yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri
Agama Nomor 4 Tahun 1978 yang mengatur tentang penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak dimasukkan
dalam kategori ‘agama’ tapi kebudayaan. Penyebutan agama lokal dengan aliran kepercayaan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, terutama ketika masa Orde Baru tercantum dalam banyak perundangan, seperti dalam beberapa TAP MPR tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara GBHN, misalnya dalam TAP MPR no IIMPR1998. Meskipun di era reformasi melalui TAP IXMPR1998
tentang Pencabutan TAP MPR no IIMPR1998 tentang GBHN, dan TAP MPR no IVMPR1999’ kata-kata dan istilah kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dihilangkan.
Selain itu, penyamaan aliran kepercayaan dan agama lokal atau juga agama asli Indonesia karena karakteristik aliran kepercayaan sama
dengan agama lokal, hanya penyebutannya yang berbeda. Seturut dengan Ramdon 1993: 9 bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa secara personal merupakan aktivisme mistik yang menekankan aspek penyatuan ketuhanan union mistique atau manunggaling kawulu
gusti , dan pada level sosial mengembangkan pengalaman budi luhur. Berdasarkan pandangan seperti ini bagi saya agama lokal sebenarnya
dapat lahir sebelum agama-agama global masuk ke nusantara dan berakar dari kebudayaan asli Lihat lebih lanjut dalam Bleeker, 1964
dan karenanya bukan derivasi dari agama-agama global, yang dianggap hanya lahir pascakemerdekaan Su’ud, 2001: 24-25; Soehadha dalam
Esensia, Vol. 5, No. 1, Januari 2004: 25.
42 berkaitan dengan kehidupan keagamaan dan program komunitas
adat terpencil PKAT. Pengaturan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan setidaknya meliputi tiga hal yaitu: 1 aturan
mengenai pengakuan terhadap agama seperti mengenai batasan dan ciri sebuah agama, 2 agama resmi dan tidak resmi dan dampaknya
terhadap keberadaan agama lokal seperti misiologi, hak-hak sipil, dan tempat ibadah; 3 serta aturan pembinaan dan pengawasan
B. Pengaturan Agama Lokal
Negara, khususnya aparat pemerintah, mulai dari level nasional sampai bawah telah mendayagunakan ’kekuatannya’
berupa perundangan untuk apa yang disebut dengan ‘upaya pengembalian dan pembinaan’ penganut agama lokal ke agama
resmi. Sebuah pandangan bahwa agama lokal bukan termasuk dalam kategori agama sebagaimana definisi pemerintah. Hal ini terlihat
dari pembentukan PAKEM Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat,
2
dan sistem perundangan lainnya.
2
Pendirian PAKEM didasarkan atas Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep108JA51984. Secara nasional anggotanya terdiri dari
Departemen Agama, Kejaksaan dan Menteri Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah di daerah. Peran intinya adalah mengidentifikasi dan
membina aliran kepercayaan, agama lokal, termasuk juga aliran-aliran dari agama yang diakui negara, agar tidak menyimpang dari agama.
Sementara yang dimaksud dengan Aliran Kepercayaan Masyarakat dalam kata PAKEM meliputi: 1 Aliran-aliran keagamaan meliputi: sekte
keagamaan, gerakan keagamaan, pengelompokan jamaah keagamaan, baik agama langit maupun agama bumi, mereka diurus oleh Departemen
Agama. 2 Kepercayaan-kepercayaan budaya meliputi: aliran-aliran kebatinan, kejiwaan, kerohaniankepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, termasuk kepercayaan agama komunitas adat, NI. 3 Mistik kejawen, pedukunan, atau permalan, paranormal, metafisika seperti
Mamma Lauren, Mbah Marijan. Nomor 2 dan 3 ini diurusi oleh