Etika Wong Sikep Sebagai Penganut Agama Adam a. Sejarah dan Tokoh

130 ucapan, pendengaran, dan penglihatan. Ketiga indera manusia tersebut harus dipelihara agar mencapai keluhuran pribadi. Misalnya orang tidak menjadi sombong, menjaga mulut, dan jujur. Dalam bahasa Wong Sikep di Baturejo, ”wong Jowo saka jawab”, artinya orang Jawa berasal dari ucapannya. Oleh karena itu mereka sangat berhati-hati dalam berbicara, dan menurut mereka apa yang dibicarakan akan menentukan mereka termasuk orang Jawa yang baik atau bukan Berdasarkan pandangan itu mereka berusaha untuk mempertahankan kelangsungan ajaran Jawa yang mereka anut, sangat ditekankan pada ucapan. 3. Etika melaksanakan sesuatu angger-angger lakonana menegaskan agar manusia dalam mengerjakan sesuatu dilakukan dengan sabar dan tekun. Hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan yang ada dalam Serat Uri-uri Pambudi: . ...Tumindakipun sagedo anglenggahi kelereswan tuwin mawi lalampah ingkang ajeg, sampun ngantos miyar-miyur. Tekadipun sampun ngantos keguh dening godha rencana, tuwin sageda anglampahi sabar lair batosipun, amati sajroning urip. Tumindak ing kelairan sarwa kuwawi anyanggi sadaya lelampahan ingkang dhumawahing sariranipun, sanadyan kataman sakit, ngrekaos pegesanganipun, ketaman sok serik serta pangawon-awon saking sanes, sadaya wau sampun ngantos ngresulo serta amales piawon, nanging penggalihipun sageda lestari enget... ...Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarangan godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidki disenangi orang, dijelek-jelekan orang, semuanya harus diterima tanpa 131 gerutan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan...Hutomo, 1996:25. Orang harus mempunyai tekad tanpa keraguan sehingga tidak goyah ketika ada godaan. Orang juga harus sabar lahir- batin yaitu menerima semua cobaan, baik cobaan sakit, kesulitan ekonomi, tidak disenangi, dan dijelek-jelekan orang. Semuanya harus diterima tanpa harus balas dendam, sebaliknya semuanya dikembalikan kepada Tuhan. Hal itu karena setiap orang akan menerima dari akibat perbuatannya sendiri seperti dikemukakan informan saya, Mbah Yodo 75 tahun: Dalam kehidupan ini berlaku ”karma” sebagai hasil akibat perbuatannya perilakunya. ”Sapa kang nandur mesti bakal ngundhuh”, ”ora ono nandur pari thukul jagung mesti ngundhuh pari”. Karena itu WS` harus tidak melakukan perbuatan jelek yaitu ”jathil methakil” berbuat jahat, ”panasthen, dahwen” dengki, iri hati, dan merebut istri orang lain. Semua tindakan dalam etika pribadi dan sosial tersebut hanya dapat dicapai melalui pelatihan diri dengan semedi. Sebab melalui kegiatan semedi orang akan mampu menanggulangi godaan dan mencapai kesatuan dengan Tuhan. 4. Selain itu ada ajaran melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, khususnya yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dan orang Indonesia yang bekerja sama dengannya londo ireng. 5. Ajaran untuk memperhatikan ilmu pengetahuan anggemi ilmu dan hidup rukun dan damai rukunarga tan ana blekuthu. 132 Keduanya harus dilakukan sebagai bagian dari kewajiban warga agar negara mencapai kemajuan. 6. Melakukan perkawinan untuk membangun keluarga yang menghasilkan anak mulia atmaja tama guna meraih keluhuran budi. Suami isteri harus hidup setia seumur hidup kukuh demen janji .

d. Ritus dan Upacara Ritus:

Keyakinan agama akan melahirkan ritual dan upacara keagamaan yang dilakukan penganutnya, baik secara individual maupun kolektif. Di beberapa tempat, seperti di Bojonegoro, Wong Sikep melakukan ritus kawitan-rina-wekasan, dan upacara slametan. Mereka memulai hari dengan ritus menghadap ke Timur sebelum terbit fajar kawitan, dan mengakhiri hari menghadap ke Barat setelah terbenam matahari wekasan, dan di antara keduanya ada masa terang rina, pada masa ini setiap Wong Sikep wajib bekerja keras di bidangnya masing-masing. Sepanjang pengamatan saya ritus sebagaimana dilakukan Wong Sikep Bojonegoro tersebut tidak dilakukan oleh Wong Sikep di Baturejo, setidak-tidaknya pada level kolektif. Pada level pribadipun nampaknya mereka jarang melakukannya. Hal ini dapat dilihat ketika beberapa kali saya melakukan wawancara dan pengamatan dengan beberapa sesepuh dan generasi mudanya. baik pada pagi hari maupun sore, mereka terus saja melayani saya bincang-bincang. Pada pagi hari, mulai pukul 05.00 mereka sudah siap-siap bekerja ke sawah tanpa ada yang melakukan kegiatan yang disebut dengan ritus 133 kawitan, begitu juga pada sore hari. Memang pada waktu menjelang terbenamnya matahari, masuk ke dalam rumah masing-masing setelah sebelumnya bercengkrama antarkeluarga dan atau tetangga, atau sekedar duduk-duduk sendirian di depan rumah, namun di dalam rumah mereka hanya nonton telivisi atau makan malam dan melakukan kegiatan lainnya. Mereka juga tidak mempunyai tempat ibadah sebagai simbol tempat pemujaan dari sebuah agama. Hal ini disebabkan pemerintah sendiri tidak mengizinkan pendirian tempat ibadah selain agama resmi. Suatu kebijakan yang diberlakukan di kalangan agama-agama lokal, bahkan termasuk agama Konghucu ketika sebelum pencabutan Inpres tahun 1967 melalui Keputusan Presiden no. 62000. Kepres yang ditandatangani Presiden Abdurahman Wahid tersebut pada intinya memberlakukan kembali adat istiadat dan agama Konghucu sebagai agama yang dianut masyarakat Indonesia. Pada masa sebelum Kepres no 62000 tersebut, terutama pada era Orde Baru, tempat ibadah yang dibangun pemeluk Konghucu klentheng tidak diakui atau tidak dicantumkan dalam administrasi negara. Bahkan keberadaan tempat ibadah itu dianggap illegal. 17 17 Misalnya dalam kasus penganut Konghucu di Singkawang, pihak Departemen Agama memang tidak antusias mendatanya karena dua alasan. Pertama, pemerintah masih konsisten memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan agama resmi official religion yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Juga larangan mendirikan dan memperbaharui kuil klenteng. Peraturan tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1969, jo Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat-Istiadat Cina. Juga tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Tahun 1984, jo. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng. Peraturan-peraturan tersebut merupakan beberapa aturan dari kurang lebih 60-an peraturan dan 134 Saya menanyakan tentang pemujaan ini kepada Mbah Oyot, ia menjawab melakukannya di dalam kamar sendiri pada malam hari, ’semedi’, namun menurutnya tidak mesti setiap hari. Begitu juga dengan Mbah Morad. Tujuannya untuk menenangkan diri agar diberi keselamatan oleh Sing paring urip. Sementara dari kalangan generasi mudanya ’semedi’ seperti yang dilakukan Mbah Oyot dan Mbah Morad tersebut nampaknya sudah jarang dilakukan. Karena itu dalam pemahaman saya, pada saat ini Wong Sikep yang ada di Baturejo, terutama di kalangan generasi mudanya, dapat dikategorikan sebagai penganut agama Adam abangan dalam makna penganut agama yang tidak taat menjalankan agamanya sebagaimana diajarkan oleh Samin Surontiko. Karena itu ada benarnya persepsi orang Islam setempat yang menyatakan bahwa Wong Sikep itu hidupnya hanya makan, bekerja, dan tidur. Sebuah perundang-undangan yang dianggap bersifat diskriminatif terhadap suku Tionghoa di Indonesia yang disponsori oleh negara state sponsored racial discrimination. Bahasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat dalam Indradi Kusuma, Diskriminasi dalam Praktek. Jakarta: DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2002. Juga dalam Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002. Kedua, karena penganut Konghucu di Singkawang dalam praktek mencampuradukkan antara kepercayaan Konghucu dengan Budha atau agama resmi lainnya, sehingga perlu dibina terlebih dahulu oleh Departemen Agama. Dalam penamaan tempat ibadah misalnya, mereka menyebut klentengkuil yang dibangun dengan vihara, dan sebaliknya. Karena itu sejak tahun 1995 oleh Departemen Agama tempat ibadah Konghucu tidak didata lagi, dan hanya mendata jika klentengkuil dilaporkan sebagai vihara. Hal ini sebanarnya salah satu cara Departemen Agama agar penganut Konghucu pindah ke agama resmi, khususnya Budaha, tapi sebenarnya justru dengan cara seperti ini menjadikan Tionghoa-Konghucu merasa diuntungkan dan terus menganutnya. Walaupun begitu klentengkuil terus dibangun oleh penganut Konghucu, sehingga jumlahnya menjadi semakin banyak, dan memang tidak ada data resmi untuk ini. Selanjutnya lihat dalam Ismail 2004.