Konstruksi Melalui Wacana Nasionalisme dan Komunisme

241 dianggap ’saemperan’ mirip dengan ajaran PKI. Konstruksi ini masih terus berkembang di kalangan masyarakat sampai di era reformasi ini.

H. Dampak di Medan Lain: Coblosan Petinggi dan Sengketa Tanah

Operasi kuasa yang dilakukan kedua belah pihak akibat dari adanya pengaturan oleh negara untuk mengubah kebudayan Wong Sikep dalam berbagai bidang seperti dikemukakan sebelumnya subbab 5.1– 5.7 juga berdampak terhadap bidang yang lain. Aparat pemerintah dengan pengetahuan yang diyakininya berusaha melakukan normalisasi agar Wong Sikep bertindak sebagaimana masyarakat pada umumnya, termasuk dalam kegiatan politik praktis. Mereka didorong agar masuk dalam konstelasi politik modern, demoktratisasi. Selain itu tindakan-tindakan yang dilakukan aparat pemerintah melahirkan akumulasi persepsi di kalangan Wong Sikep terhadap aparat pemerintah. Sebuah persepsi yang bernada stereotif terhadap semua yang dilakukan aparat pemerintah di bidang yang lain. Misalnya ketika ada upaya pembelian tanah milik Wong Sikep oleh aparat pemerintah, sehingga melahirkan konflik di antara kedua belah pihak. Relasi dalam kedua hal tersebut, prilaku politik dan sengketa tanah, merupakan dampak dari relasi kuasa yang dilakukan para pelaku dari kedua kelompok. Berikut akan diuraikan bagaimana relasi kuasa terjadi di antara pelaku dari kedua kelompok seiring dengan terjadinya perubahan perilaku politik dan kesadaran akan hak-haknya di kalangan Wong Sikep. Coblosan Petinggi: Upaya normalisasi yang dilakukan aparat pemerintah diimplementasikan dalam bentuk ’penyadaran’ agar Wong Sikep ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis, coblosan. Hal ini sudah dimulai sejak tahun 80-an. Sementara di kalangan Wong Sikep mengakomodasi ’ajakan’ aparat pemerintah tersebut karena didasarkan atas kepentingan mereka sendiri yaitu sebagai bagian kesempatan melakukan ’serangan balik’ terhadap petinggi setempat. Karena itu terjadinya perubahan perilaku politik, dari tidak nyoblos menjadi nyoblos, Wong Sikep menjadi dilematis bagi para calon petinggi setempat, dan sekaligus menjadi ’bumerang’ bagi mereka yaitu akibat adanya ’penyadaran politik’ yang dilakukan aparat negara sendiri. Wong Sikep memiliki peluang untuk memanfaatkan modal demografisnya dan budayanya di bidang politik praktis, dan hal ini menjadi alat bagi Wong Sikep untuk bernegosiasi di bidang lain, sehingga aparat pemerintah, khususnya petinggi lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan kuasa terhadap mereka. Sebagaimana diulas di bab sebelumnya bahwa Wong Sikep mempunyai makna signifikan dalam pemilihan petinggi atau kepala desa, sebab mereka memliki modal soliditas karena kharisma sesepuhnya dan jumlah suara yang relatif banyak, dan karenanya cukup 242 menentukan kemenangan calon kepala desa. Modal ini disadari oleh tokoh Wong Sikep dan karenanya menentukan corak relasi mereka dengan calon petinggi. Kasus akhir tahun 80-an menunjukkan hal itu. Usaha lurah periode 1981-1989 untuk merubah keyakinan Wong Sikep sangat tidak menyenangkannya. Ketika itu mereka memang lebih banyak diam, namun menyimpan bara ketidaksenangan. Hal ini terbukti ketika pemilihan kepala desa Pilkades, kepala desa yang lama yang mencalonkan kembali tidak terpilih, yang terpilih adalah calon lain yang banyak mendekati sesepuh Sikep. Pada Pilkades tahun 2008, 16 Februari, kembali Wong Sikep memiliki makna siginifikan di kalangan calon lurah atau petinggi. Sebab hampir sama dengan pemilihan sebelumnya, suara Wong Sikep sekitar 15-18 dari keseluruhan pemilih. Karena itu setiap calon, kecuali P Sono, dan tim suksesnya berusaha mencari simBumi Minotani kepada sesepuh Wong Sikep melalui berbagai cara. Mas Kuci menyatakan, ’ kemarin-kamarin calon petinggi dan pendukungnya minta restu Mbah Ontar, kecuali P Sono. Ya mbah Ontar sebagai sesepuh merestuinya.’ Berdasarkan pengamatan saya selama dua hari sebelum coblosan, setiap hari terutama malam hari rumah sesepuh Sikep ini selalu ramai dengan pendukung para calon. Mereka hanya ngobrol-ngobrol sesama mereka, menyediakan rokok untuk tuan rumah, juga makanan ringan. Bahkan salah satu calon perempuan, pada saat acara penentuan gambar di balai desa menyatakan bahwa dia sudah sowan sesepuh Sikep dan sudah merestuinya. Coblosan Sebagai Arena Bertemunya Ragam Kepentingan: Pilkades tahun 2008 mengandung kerja sama dan persaingan sekaligus di antara orang-orang yang berbeda agama dan paham agama, khususnya antara orang Islam dengan Wong Sikep. Pertama, kerja sama terjadi karena kelompok-kelompok agama tersebut sama-sama memilih calon yang sama. Beberapa orang dari kedua kelompok tersebut nampak berbicara secara akrab ketika di Balai Desa, baik sebelum, ketika dan setelah pelaksanaan Pilkades. Pada saat calon petingginya menuju tempat pemilihan, mereka bersama-sama mengantarnya dengan berjalan kaki dan bersepeda motor. Baik orang langgaran orang Islam maupun Wong Sikep terlihat bergandeng tangan menyukseskan calon yang sama. Dengan demikian peristiwa Pilkdes telah menjadi media untuk mengesampingkan perbedaan kebudayaan. Orang-orang dari kedua kelompok berbeda keyakinan tersebut memilih calon petinggi yang sama dengan beberapa alasan yaitu karena alasan personal kepribadian calon, latar belakang keluarga dan pengetahuankesarjanaan, alasan sosial hubungan kemasyarakatan calon, pemberian bantuan, ekonomi kaya, jasa secara ekonomis dari calon kepada pemilih, peduli terhadap orang miskin. Dalam hal ini nampaknya unsur keagamaan ketaatan beragama calon tidak menjadi faktor penentu. Sebab di antara calon yang paling taat beragama Islam adalah P. Arso. 243 Kalangan muslim beralasan sebagaimana dituturkan beberapa informan, baik dari kalangan tokoh Rifaiyah dan kelompok Islam netral: Dua hari ini saya bertemu dengan banyak tokoh dari kalangan Wong Sikep dan kelompok Islam menjelang dan saat Pilkades. Hari jumat saya melihat Niamo ikut sibuk dalam iringan salah satu calon petinggi, Subit, ketika penentuan gambar di Balai Desa. Begitu juga dengan Mas Kandar Rifaiyah ikut mengiringi Subit. Saya juga bertemu dengan P. Ru dan Mos masing- masing tokoh Islam netral dan Rifaiyah. Sementara P Nima NU yang rumahnya dekat dengan calon petinggi Arso ada di depan rumahnya dengan 2 orang. Menurut Mas Kandar P. Nima lebih memilih Arso karena sama-sama sudah naik haji. P. Nima baru saja pulang haji tahun 20072008 yang lalu, dan Arso juga sudah naik haji, bahkan latar dari gambar kampanyenya berupa Masjidil Haram. Pada hari Sabtu di depan Balai Desa saya bertemu lagi dengan P. Ru, ia berbisik kepada saya, ’pokoknya jago saya akan menang, lihat saja perolehan suaranya telah unggul.’ Dia memilih Subit. Ketika saya tanyakan mengapa memilihnya, dia menjawab: ’Dia memang belum haji namun dia banyak membantu masjid dan jamaah.’ Dua 2 bulan yang lalu memberi bantuan kepada Masjid IR sebesar 1 juta dan bahkan semua masjid yang ada di Baturejo masing-masing 1 juta, sedangkan untuk langgar sebesar 500 ribu. Membantu pengajian ibu-ibu dengan ulem- ulem di rumahnya dengan menyembelih kerbau. Sabtu ini juga, saat pilihan dan penghitungan suara, saya bertemu dengan P. Nur Rifaiyah, dia hanya mengacungkan jempol kepada saya setelah melihat Subit unggul. Ia memilih Subit juga seperti dikemukakan dalam kesempatan sebelumnya: ’Subit membantu masjid BM seperti batu bata, dan keramik. Menjelang ramadhan yang lalu membantu masjid sebesar 1 juta rupiah, mendukung keluarga yang meninggal akibat tawuran antara wong Tengahan dengan pemuda Wotan, dan memberi dana ketika pengajian akbar UMRI. Meskipun belum taat beragama namun Subit menguatkan agama, banyak jamaahnya yang menggarap sawah keluarga Subit. Juga karena ia dianggap jujur dan terbuka tidak seperti petinggi yang sekarang.’ Tokoh Rifaiyah yang lain, yang sekarang bergabung ke Masjid Wali, P Dami, ikut mobil saya bersama keluarganya menuju Balai Desa untuk mengetahui penghitungan suara. Dia juga memilih Subit dengan alasan sebagaimana dikemukakan dalam khutbah jumatnya di masjid Wali. Ada 3 syarat memilih petinggi yaitu pintar yang dapat diketahui dari gelarnya, keturunan orang kaya, dan peduli terhadap masyarakat terurama orang miskin. Ketika saya lacak lebih jauh dengan berbincang di rumahnya, hari Jumat sore, ia mengatakan bahwa Subit sangat peduli dengan orang miskin seperti menggarapkan sawahnya kepada banyak orang Islam, bahkan termasuk dia sendiri. Sementara di kalangan Wong Sikep menuturkan: Dalam perjalanan pulang mengantar mas Kuci, putra dengan mobil ke rumahnya setelah nyoblos, saya bertanya kepadanya dalam bahasa Jawa kromo, kira-kira siapa yang kuat? Dalam bahasa Jawa kromo juga, dia langsung menjawab, ’gih moga sing kulo jago’ne’. Saya NI: ’maksute P Subit mas ?; Kuci: ’lo nggih same kalian petunjukipun mbah No, sebab tiamba’ipun serawungan banget... Kemudian ia menambahkan bahwa sesepuh Sikep menyatakan supaya milih yang dekat saja.’ Sesepuh Sikep sendiri tidak ikut nyoblos. Ketika orang ramai nyoblos ia hanya di rumah sepanjang hari bersama seseorang dari daerah Winong. Alasan yang dikemukakan Kuci tersebut terkait dengan nasehat dan keputusan yang diambil oleh sesepuh Sikep. Faktor penyebab yang lain mengapa Wong Sikep memilih Yakto yaitu karena banyak Wong Sikep yang menjadi penggarap sawah keluarganya. Tindakan ini