Lingkungan dan Masyarakat Lokasi:

60 dan berada di samping kanan-kiri jalan kampung terutama yang dari arah Timur-Barat RT 1 dan RT 2. Jalan kampung ini sudah beraspal, sedangkan jalan-jalan di pemukiman kelompok agama lain masih berupa tanah batu yang sudah dipadatkan. Jalan beraspal menuju dan di tengah pemukiman Wong Sikep ini sebagai satu di antara realisasi Program Komunitas Adat Terpencil selanjutnya disingkat dan disebut dengan PKAT yang direncanakan oleh pemerintah Kabupaten Bumi Minotani. Lokasi sawah penduduk termasuk Wong Sikep berada 1-2 Km di utara perkampungan Bombong dan Bacem, sawah itu ada yang milik non Wong Sikep. Sawah milik Wong Sikep terdiri dari tiga kelompok area, dan kepengurusannya ada 3 kelompok Tani yaitu Kelompok Badi, Malikan, dan Nioma. Kelompok Malikan memiliki sekitar 50 Ha lebih, sedangkan kelompok Nioma lebih sempit dan yang lebih sempit lagi milik kelompok Badi. Sawah kelompok Badi dan Nioma semuanya milik Wong Sikep, sedangkan kelompok Malikan merupakan area sawah yang dimiliki campuran antara Wong Sikep dan nonWong Sikep Islam. Pemilik sawah dari kalangan Islam tersebut misalnya Pak Badi, dan Iskandar Islam Rifaiyah. Di luar ketiga kelompok tersebut sebenarnya masih ada kelompok area sawah yang lainnya yaitu sawah bengkok untuk Lurah dan Carik. Juga ada kelompok sawah milik orang-orang Islam Rifaiyah dan NU yang ada di sebelah Barat kelompok Badi. Antara sawah kelompok Badi Wong Sikep dengan sawah orang Islam hanya dibatasi jalan setapak. 61 Jalan menuju ke sawah selepas dari perumahan berupa tanah yang sudah dipadatkan. Selain itu ada 2 jembatan yaitu jembatan di atas sungai yang bermuara di Juwana, sungai di jembatan ini sering menimbulkan banjir di jalan antara Sukolilo-Bumi Minotani sampai 1-2 meter. Jembatan yang lain yaitu jembatan Sasak di atas SungaiKaliWondo yang menghubungkan antara area sawah kelompok Malikan dan Nioma. Jembatan yang pertama dibangun dari sokongan istilah yang populer di antara Wong Sikep untuk istilah bantuan atau subsidi pemerintah untuk Wong Sikep sebagai kelompok yang dianggap terasing melalui Program Komunitas Adat Terpencil PKAT. Adapun jembatan kedua Sasak masih setengah jadi, meskipun sudah ada tiang pancang namun belum didakdicor di atasnya, untuk sementara jembatan ini masih menggunakan papan dan bambu agar dapat dilewati sepeda motor, sepeda dan pejalan kaki. Jembatan ini dibangun atas iuran petani yang ada di kelompok Nioma sebesar Rp.50.000Ha. Dana untuk pembangunan selanjutnya pembuatan cor sebagian diperoleh dari calon Lurah Baturejo, P. Yakto, sebesar 1 juta rupiah. Fasilitas dan sarana yang ada di sawah ini juga berupa saluran air yang membentang dari arah selatan-utara dan ke barat, serta beberapa mesin pompa untuk mengangkat air dari sungai ke saluran air. Semua sarana tersebut merupakan bantuan atau sokongan dari pemerintah dalam PKAT untuk Wong Sikep. Petani yang memperoleh manfaat darinya bukan hanya Wong Sikep namun petani dari kalangan muslim. 62 Makam desa terdapat di RT 2 Bombong berada di atas tanah sekitar 600 m2 milik desa. Sementara di Dusun Bacem dengan luas yang hampir sama ada di dua tempat, masing-masing makam untuk orang Islam, dan yang satu makam untuk orang Islam dan Wong Sikep. Di lokasi makam yang terakhir ini sudah sejak awal merupakan makam bersama antara Wong Sikep dan orang Islam, namun kemudian dilakukan pemisahan. Makam orang Islam ada di sebelah utara dan makam Wong Sikep di sebelah selatan. Pemisahan ini bukan hanya berupa batas area, namun pemisahan secara ideologis. Sebab pemisahan ini didasarkan atas usulan dari tokoh Islam yang ada di Baturejo kepada pejabat lurah, karena cara pemakaman dan perawatan janazah Wong Sikep berbeda dengan Islam. Keadaan makam kedua kelompok agama tersebut berbeda, makam orang Islam ditandai dengan adanya pusara dan kijing atau bangunan di atas kuburan, di dalamnya dipenuhi dengan pohon kamboja, serta terawat baik dan bersih. Adapun makam Wong Sikep hanya ditandai dengan patok kayu, tanpa kijing, bahkan area makam ditanami jagung, sehingga pemakaman berada di tengah-tengah tanaman jagung. Penduduk: Pada semester kedua tahun 2006 jumlah penduduk Kecamatan Sukolilo sebanyak 88.225 jiwa. Sementara luas wilayahnya sekitar 16.725 Ha, sehingga kepadatan penduduk kurang lebih mencapai 5 jiwaHa atau 557 jiwaKm2. Hal ini berarti lebih rendah dibandingkan dengan kepadatan penduduk di desa Baturejo yang mencapai 6,3 jiwaHa. Pada tingkat kecamatan, dari 88.225 jiwa, penduduk perempuan 50,56 lebih banyak daripada 63 penduduk laki-laki 49,44. Kecenderungan ini mirip dengan yang ada pada tingkat Desa Baturejo, di desa ini dari 6079 jiwa penduduknya, 50,25 terdiri dari perempuan dan 49,75 laki-laki. Keadaan ini hampir sama dengan kecenderungan pada umumnya di Indonesia yaitu perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki- laki. Khusus di Baturejo, jumlah Wong Sikep berjumlah antara 692- 900 jiwa. Interval angka yang menyolok ini didasarkan atas 2 sumber data yaitu: Pertama, data dari Sekretaris Desa Baturejo bulan 31 Mei 2007, jumlah Wong Sikep sebanyak 900 jiwa, terdiri dari 235 KK, Wong Sikep perempuan 52 lebih banyak daripada laki-lakinya 48. Dari versi ini komposisi Wong Sikep dari keseluruhan penduduk Baturejo 6079 jiwa mencapai 14,81 atau jika dibandingkan dengan jumlah kelompok penduduk yang lain mencapai 14,81: 85,19. Kedua, data dari Kecamatan Sukolilo dalam ’Daftar KAT Baturejo’ 10 Oktober 2006, jumlah Wong Sikep sebanyak 692 jiwa, terdiri dari 192 KK, dan perempuan 54,62 lebih banyak daripada laki-lakinya 45,38. 1 Dari segi usia, penduduk di tingkat kecamatan lebih banyak yang berusia produktif. Penduduk pada usia ini 20-55 tahun ada sekitar 49,60 dari keseluruhan jumlah penduduk. Adapun pada 1 Perbedaan ini dimungkinkan karena 2 hal: a Data dari Kecamatan dalam program Komunitas Adat Terpencil Selanjutnya disingkat dan ditulis dengan KAT, tidak memasukkan Wong Sikep konversi sebagai Wong Sikep, sedangkan data dari Desa Baturejo masih memasukkannya, b Data dari Desa Baturejo lebih baru dibandingkan dengan data dari kecamatan. Dari versi ini komposisi Wong Sikep dari keseluruhan penduduk Baturejo 6079 jiwa mencapai 11,38 atau di jika dibandingkan dengan jumlah kelompok penduduk yang lain mencapai 11,38: 88,62. 64 tingkat Desa Baturejo usia produktif usia 20-55 tahun kurang lebih mencapai 63, bahkan kalau kriteria usia produktif diperluas dari 20-59 tahun, jumlahnya mencapai 66,40. Pendidikan : Pada tingkat kecamatan, banyak penduduk yang sudah menamatkan SLTP dan SLTA, dan cukup banyak yang sudah merampungkan perguruan tinggi. Sementara pada tingkat Desa Baturejo masih banyak penduduk yang tidak sekolah, hal ini terutama berasal dari kalangan Wong Sikep. Di Baturejo dan sekitarnya seperti Wotan telah tersedia sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Untuk anak-anak usia dini masuk ke Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal TK ABA, sebuah TK yang didirikan oleh Aisyiyah, organisasi Muhammadiyah bagian perempuan. Sementara untuk sekolah dasar terdiri dari SD Negeri sebanyak 2 unit, ditambah 1 unit yang ada di wilayah Wotan yang berbatasan dengan Baturejo, dan jaraknya sekitar 100 meter dari rumah sesepuh Wong Sikep, Mbah Ontar. Selain itu ada 1 unit Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum. Anak-anak usia SMP dan SMA bersekolah ke Sukolilo. Sebagian anak usia SD, termasuk anak Wong Sikep konversi sekolah di Sukolilo. Sementara anak-anak Wong Sikep hampir semuanya tidak sekolah. TK dan madrasah dikelola oleh kelompok Islam yang berbeda afiliasi. TK dikelola oleh AisyiyahMuhammadiyah, sedangkan Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam yang dipimpin oleh P. Ru, pimpinan dan pengasuh Masjid Ibadur Rahman yang ada di Bombong. Peran 65 Muhammadiyah di bidang pendidikan sudah dikenal pada tingkat nasional. Hal ini karena organisasi keagamaan ini sejak awal berdirinya telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu amal usahanya. Secara nasional ada ribuan lembaga pendidikan yang didirikannya, mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Lembaga pendidikan tersebut telah menjadi identitas dan modal bagi organisasi ini. TK ABA yang ada di Baturejo, yang terdiri dari nol kecil dan besar, merupakan salah satu simbol keberadaan Muhammadiyah sekaligus menjadi modal sosial bagi organisasi ini dalam berelasi dengan kelompok-kelompok lain. Murid-muridnya hampir semuanya berasal dari keluarga ahlus sunnah wal jamaah, sebuah penamaan yang biasa disandangkan kepada kelompok NU dan Rifaiyah. Karena itu pimpinan TK tersebut tidak menonjolkan identitas Muhammadiyahnya, namun menebar citra sebagai TK nasional kepada masyarakat. Pakaian seragam muridnya tidak menggunakan pakaian muslim sebagaimana di TK ABA, yang perempuan tidak menggunakan pakaian muslimah seperti jilbab, dan laki-lakinya menggunakan celana pendek. Hal ini dilakukan karena Muhammadiyah di wilayah ini masih menjadi minoritas. Sementara Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum, yang setiap kelas jumlah muridnya rata-rata 12-an orang, didirikan oleh organisasi lokal. Muridnya sebagian besar berasal dari keluarga jamaah masjid Ibadur Rahman. Perekonomian: Pada level kecamatan, mayoritas 79,4 dari angkatan kerjanya menjadi petani, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap, penyekap maupun buruh tani. Jumlah ini sedikit 66 lebih kecil dibandingkan dengan yang ada` pada tingkat Desa`Baturejo. Di desa ini mayoritas 88 penduduk bekerja sebagai petani, hal ini sejalan dengan luasnya tanah atau lahan untuk pertanian. Suatu hal yang masih menggembirakan adalah sebagian besar petani tersebut termasuk petani pemilik, dan ini terutama di kalangan Wong Sikep. Selain itu di Baturejo ada orang yang bekerja sebagai buruh bangunan dan pegawai negeri sipil. Sebenarnya ada juga penduduk yang beternak hewan seperti sapi, kambing, dan ayam, namun hal itu bukan sebagai pekerjaan pokok. Beberapa tahun ini sebagian masyarakat menjadi pedagang ikan bakar atau kukus lele atau ikan laut. Mereka memperoleh bahan bakunya dari daerah Juana dan lainnya. Sementara itu sebagian besar Wong Sikep memelihara anjing sebagai tambahan penghasilan. Anjing di kalangan Wong Sikep mengalami perubahan fungsi yaitu dari hewan penopang pertanian memangsa tikus di sawah menjadi hewan yang diperdagangkan. Anjing itu biasanya diambil dibeli oleh orang Purwodadi yang datang ke rumah-rumah Wong Sikep, namun sekali lagi mereka tidak mengartikan hal itu sebagai perdagangan. Artinya, bukan Wong Sikep yang berdagang, namun orang lain yang mau membeli, karena itu istilah yang digunakan adalah ‘diambil’ bukan ‘jual-beli’. Dalam hal ini, Wong Sikep lebih bersifat pasif atau menunggu, dan tidak menetapkan harga, yang menentukan harga adalah pihak pengambil. 67 Pelapisan sosial masyarakat secara ekonomis dapat digolongkan ke dalam tiga tingkatan yaitu kaya, menengah dan miskin. Setiap lapisan sosial-ekonomi dilihat dari ciri-ciri pemilikan rumah dan harta kekayaan yang nampak. Orang kaya menurut ukuran masyarakat setempat ditandai dengan rumahnya yang relatif besar dibandingkan dengan rumah yang ada di sekitarnya, juga dilihat dari kendaraan yang dipakai. Orang yang termasuk golongan ini sebagian besar pengusahapedagang, dan sebagian pegawai negeri. Orang miskin adalah mereka yang menempati rumah setengah tembok atau sangat sederhana dan kendaraan yang dimiliki sepeda atau tidak punya kendaraan sama sekali. Golongan ini terdiri dari sebagian besar buruh tani dan bangunan. Adapun golongan menengah ditandai dengan kepemilikan barang-barang elektronik seperti televisi, radio, dan rumah yang sudah bertembok atau pakai kayu jati. Hal ini terdapat pada sebagian besar pegawai negeri dan sebagian pedagang. Batasan pelapisan sosial-ekonomi ini tidak berlaku rigit sebab seseorang yang dianggap kelompok menengah di suatu dusun, dapat saja dianggap kaya di dusun atau oleh kelompok lain. Misalnya P. Pudi, Wong Sikep yang punya rumah setengah tembok, punya truk untuk usaha pengangkutan, di kalangan Wong Sikep dianggap kaya, namun dari kalangan nonWong Sikep ia masih masuk dalam kategori menengah. Agama: Pada level kecamatan, jumlah umat Islam masih menjadi mayoritas, sedangkan umat beragama yang lain sangat sedikit, umat Kristiani berjumlah sekitar 0,38, selain itu ada 68 pengikut aliran kepercayaan atua agama lokal yaitu Sapto Darmo. Untuk keberadaan agama Budha, baik pada tingkat kecamatan maupun Desa Baturejo masih perlu dipertanyakan. Di dalam dokumen resmi yang diterbitkan pada tingkat kecamatan maupun desa masih mencantumkan adanya pengikut agama ini. Data ini nampaknya didasarkan atas pengakuan secara terpaksa yang pernah diberikan oleh Wong Sikep ketika mereka diberi opsi oleh pemerintah untuk memlih salah satu agama global-resmi. Walaupun angkanya berbeda-beda, namun data resmi pemerintah di atas nampaknya masih mendasarkan diri kepada kasus pengakuan secara terpaksa tersebut yaitu Wong Sikep setelah ‘dibina’ oleh tokoh Budha dianggap beragama Budha. Dalam kenyataan tidak ada Wong Sikep yang memeluk agama Budha ataupun agama global-resmi yang lain, meskipun saat ini dalam KTP Wong Sikep ’dicantumkan’ beragama Islam. Data ‘Monografi Desa Baturejo Mei 2007’ masih mencantumkan penganut agama Budha sebanyak 586 jiwa. Sementara data di kantor kecamatan jumlahnya lebih banyak lagi. Di Baturejo jumlah tempat ibadah umat Islam ada enam masjid ditambah dengan 5 mushala. Jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam dengan jumlah masjid menunjukkan dalam satu masjid rata-rata menampung sekitar 996 umat Islam. Tempat ibadah muslim ini tersebar di 3 dusun yang masuk Desa Baturejo. Di Bombong 4 masjid dan 2 mushala, di Bacem 2 mushala, dan di Ronggo 2 masjid dan 1 mushala. 69 Dari segi afiliasi paham agama, di tiap masjid dan masyarakat Islam tiap dusun berbeda-beda. Masyarakat Islam di Bacem kebanyakan berafiliasi ke Rifaiyah dan NU. Adapun masyarakat Islam di Ronggo berafiliasi ke NU dan karenanya masjidnya dikenal dengan masjid NU. Khusus di Bombong ada 4 masjid yang sama-sama ditemBumi Minotani untuk tempat jumatan, padahal jaraknya saling berdekatan, yaitu Masjid Baitul Muttaqin ada di pinggir jalan kampung masuk dalam RT 4, Masjid Ibadur Rahman RT 4 agak masuk ke dalam, ada sekitar 150 meter dari masjid Baitul Muttaqin, kemudian arah ke barat dan utara, sekitar 125 meter dari masjid Ibadur Rahman ada masjid Baitul Hasanah RT 5, kemudian sekitar 300 meter dari masjid Baitul Muttaqin kearah utara ada masjid Wali RT 7. Sementara mushalalanggar Darul Hasanah terdapat di 100 meter dari Majid Baitul Muttaqin ke arah selatan. Afiliasi masjid tersebut berbeda-beda. Masjid Baitul Muttaqin yang diasuh oleh P. Nur, dan Masjid Baitul Hasanah yang diasuh P. Pii dikenal sebagai masjidnya orang Rifaiyah. Adapun masjid Ibadur Rahman yang diasuh P. Ru dikenal sebagai masjid netral NU-Rifaiyah, dinamakan begitu karena dulunya P. Ru adalah anggota Rifaiyah tapi kemudian pindah ke NU, dan adiknya sebagai Ketua Ranting Rifaiyah. Sementara Masjid Wali merupakan masjidnya orang NU. Keempat masjid yang saling berdekatan tersebut mengadakan kegiatan masing-masing tanpa ada koordinasi dan hubungan satu sama lain, seperti jumatan, shalat idul fitri dan adha, serta pengajian jamaah. Mereka memiliki jamaah dan menggunakan pengeras suara masing masing ketika azan. 70 Masjid telah menjadi simbol persaingan antarkelompok Islam yang ada di wilayah ini. Kecenderungan seperti ini terdapat di banyak tempat di Indonesia. Masjid yang semula dan dalam pandangan kelompok luar Islam sebagai simbol keberadaan orang Islam di sebuah lokasi, namun di lingkungan internal orang Islam sendiri menjadi simbol afiliasi paham Islam tertentu, dan ketika dalam sebuah masyarakat terdapat beberapa afiliasi paham Islam, maka ia sekaligus menjadi simbol persaingan dan bahkan konflik antarkelompok tersebut. Hal ini ditemukan juga oleh beberapa peneliti seperti Salehudin 2007, dan tidak terkecuali penelitian Geertz 1989. Fungsi masjid lebih banyak sebagai tempat untuk shalat, baik shalat lima waktu maupun shalat jumatan, dan kegiatan pengajian dalam waktu tertentu. 2 Masjid dan lingkungannya terbebas dari kegiatan-kegiatan bermuatan kebudayaan. 2 Dalam sejarah Islam, masjid memegang peran penting, karena ia merupakan miniatur dan ciri khas khusus dari peradaban Islam. Karena itu masjid awalnya memperlihatkan kedua aspek rajutan peradaban Islam yaitu dimensi dzikri dan fikri. Dimensi dzikri berkaitan dengan spiritualitas, aqidah, hubungan vertikal antara manusia dengan al-Khalik hablum minallah. Dimensi ini dapat disebut juga dengan aspek rukhaniyah, batin, iman dan taqwa imtak, atau aspek keagamaan dalam makna yang sempit. Aspek ini menjadi rujukan dasar dari setiap sikap dan perilaku muslim, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Sementara dimensi fikri berkaitan dengan aspek pengembangan tradisi intelektual dengan segala produknya, dan termanifenstasi dalam berbagai aspek kebudayaan muslim seperti sistem ekonomi, teknologi, bahasa, kesenian, pengetahuan dan seterusnya. Aspek ini berkaitan dengan hubungan horizontal antar manusia. Dalam bahasa Sidi Gazalba 1976, dengan merujuk kepada sejarah fungsi masjid pada masa Rasulullah, masjid berfungsi dalam dua hal. Pertama, sebagai tempat melakukan ritual keagamaan shalat dan dzikir dalam makna sempit. Kedua, sebagai pusat pembinaan kebudayaan Islam dengan 71 Selama ini kegiatan di masjid IR meliputi: a pengajian orang tua laki-laki dan perempuan setiap hari Kamis ba’da dhuhur, diikuti oleh 30 orang. Namun ketika saya hari itu berada di masjid tersebut mulai shalat dhuhur sampai ba’da ashar ternyata tidak ada kegiatan pengajian tersebut. Ketika itu P. Ru menjelaskan hari Kamis ini pengajian libur karena menjelang puasa. b pengajian orang tua Senin ba’da dhuhur. Dalam pengajian tersebut a dan b materinya sekitar tasauf, akhlak, fiqih; kitabnya menggunakan karangan KH Rifai. c Pengajian yasinan khusus ibu-ibu tiap hari Rabu ba’da duhur. Pesertanya ratusan, dan pengajian ini sifatnya bergilir di masjid-masjid dan mushala yang ada di Bombong, kecuali masjid BM. Pengasuhnya juga isteri dari tokoh agama yaitu Bu Ru masjid IR; netral, Bu Pii Masjid Baitul Hasanah, Rifaiyah, Bu Ti Musola Bacem, Rifaiyah, dan Bu Nima Masjid WaliNU. ... Bu Dar ikut nimbrung, di masjid BM ada pengajian bapak-ibu setiap hari Kamis pukul 14 yang mengisi P. Nur. Dulu ketika P. Saf masih hidup ada pengajian setiap Selasa siang. Sekarang juga ada pengajian Yasinan ibu-ibu yang dipimpin oleh Bu Nur di masjid BM setiap Jumat pahing dan legi selapanan dua kali. Kalau di masjid IR, BH, Wali dan mushala Bacem ada juga pengajian yasinan ibu-ibu yang bertempat secara bergiliran di masjid-masjid tersebut, tidak segala aspeknya ekonomi, politik, sosial-kemasyarakatan, kesenian, teknologi. Di Indonesia, kedua fungsi masjid tersebut dimanifestasikan dalam bentuk kegiatan pemakmurannya. Hanya di banyak tempat, masjid kemudian mengalami spasialisasi fungsi yaitu menekankan dimensi dzikrinya. Hal ini karena berkembangnya persepsi di sebagian kalangan umat Islam bahwa masjid sebagai ‘baitullah’ adalah tempat suci sakral yang harus terbebas dari kegiatan profan-duniawi. Persepsi seperti ini pada hakikatnya cerminan berpikir dikhotomik-sekularistik. Sebab dalam pola berpikir sekularistik dimensi dzikri dan fikri dipisahkan secara dikhotomik, antara yang satu dengan yang lainnya tidak ada kaitannya. Pola berpikir seperti itu cenderung menafikan peran agama dalam dimensi kebudayaan, agama mengalami spasialisasi pengkotakan fungsi. Karena itu spasialisasi fungsi masjid pada hakikatnya merupakan akibat logis dari spasialisasi fungsi agama dalam masyarakat Islam modern. Gejala ini seperti ini masih terdapat di banyak tempat. Syam 2005 misalnya, menemukan gejala yang sama. 72 termasuk masjid BM. Waktunya setiap hari rabu dan pimpinannya isteri para kyai tersebut yaitu Bu Ru, Bu Pii, Bu Mina, Bu Ti. Ibu-ibu yang ikut yasinan tersebut banyak juga yang ikut di yasinan di BM, dan juga ibu-ibu yang ikut pengajian yasinan di BM banyak juga yang ikut pengajian yasinan di masjid IR. Persaingan antarmasjid terjadi dalam banyak aspek seperti keanggotaan jamaah dan bangunan masjid, semakin besar bangunan masjid maka semakin besar citra pengasuhnya di kalangan anggota jamaah dan masyarakat. Di antara keempat masjid yang ada di Bombong tersebut, yang tertua secara berurutan adalah Masjid Wali yang katanya dibangun oleh seorang wali, kemudian masjid BM, lalu masjid BH, dan terakhir masjid IR. Namun dari segi besarnya bangunan secara berurutan adalah: masjid IR, BM, BH dan Wali. Jika dilihat dari jumlah jamaahnya dihitung dari jamaah jumatanshalat id, yang terbesar adalah masjid BM, Wali, dan IR serta BH. Penting dicatat juga bahwa setiap pengganti pengasuh masjid masing-masing selalu berupaya membesarkan masjidnya, termasuk berlomba dalam memperluas bangunan masjid. Masjid IR misalnya termasuk masjid yang relatif megah untuk ukuran sebuah dusun, karena bertingkat dua. P. Ru berusaha memperoleh dana pembangunan dari Arab Saudi Yayasan Al-Baiti melalui P. Solehan Bumi Minotani dan P. Baidowi Jakarta, baik pada pembangunan tahap pertama tahun 1985 maupun tahap kedua 1994. Sebagaimana di kebanyakan tempat, Wong Sikep sebagai penganut agama Adam tidak memiliki tempat ibadah. Hal ini berbeda misalnya dengan Wong Sikep yang ada di Bojonegoro. Orang Islam dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu umat yang tidak taat dan umat yang taat menjalankan ajaran 73 agamanya. Kelompok pertama disebut Islam penuturan oleh masyarakat, sedangkan kelompok kedua biasa disebut dengan Islam taat. Seseorang disebut Islam penuturan karena dia hanya mengaku dirinya seorang muslim secara lisan, namun hampir tidak pernah melaksanakan kewajiban agamanya, khususnya shalat lima waktu dan puasa. Sebaliknya Islam penuturan ini lebih mementingkan slametan dalam upacara lingkaran hidup seperti waktu kelahiran, teta’an sunatan, pitonan, dan peringatan kematian anggota keluarga misalnya 1-7 hari dari kematian, matangpuluh, nyatus, pendak siji dan nyewon. Tipologi keagamaan seperti ini berlaku umum di kalangan orang Islam Jawa di Indonesia dan nampak tidak lekang dengan waktu. Sebab tipologi tersebut dengan kriterianya terdapat juga pada masyarakat Islam di tempat dan waktu yang berbeda. Penelitian Geertz di Mojokuto 1989 menunjukkan hal itu, ia menggunakan konsep abangan dan santri, selain tipologi priyayi. Sementara pengkaji dari kalangan muslim menyederhanakan menjadi dikhotomi, Mukhtarom 1988 misalnya, membaginya ke dalam abangan dan santri dengan kriteria yang tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Geertz. Hanya memang pijakannya yang berbeda. Tipologi Mukhtarom didasarkan atas tingkat ketaatan beragama Islam dan didasarkan atas asumsi keyakinan yang dipeluk orang Jawa adalah Islam, sementara Geertz, yang masih kental nuansa orientalistik gaya Snouck Hurgronje-nya, mengasumsikan Islam Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa, Islam yang dipeluk orang Jawa yang bersifat sinkretik adalah dominan agama Jawanya. Ini nampak dari judul yang diangkat oleh Geertz yaitu ’Religion of 74 Java’, bukan ’Religion of Muslim’, atau ’Islam in Java’ sebagaimana dilakukan Mark R. Woodward 1999. Kelompok Islam taat adalah mereka yang selalu berusaha melaksanakan kewajiban agamanya seperti shalat lima waktu, puasa, membayar zakat fitrah, bahkan jika mampu naik haji. Dalam menyikapi tradisi, kelompok umat Islam taat ini dapat dibagi ke dalam dua subkelompok. Pertama, subkelompok yang toleran terhadap adat-istiadat Jawa dalam pengamalan keagamaan seperti melakukan upacara peringatan dan doa untuk orang yang sudah meninggal seperti yang dilakukan umat Islam Penuturan. Kedua, subkelompok yang menolak adat istiadat Jawa karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Subkelompok pertama umumnya direpresentasikan dengan pengikut Nahdlatul Ulama’, dan Rifaiyah. Subkelompok kedua direpresentasikan dengan pengikut Muhammadiyah dan Yakari. Ciri-ciri pada kedua subkelompok tersebut dapat disebut seperti istilah yang dikemukakan Geertz 1989 dan Muhtarom 1988 yaitu santri- tradisional, dan santri-modernis.

B. Islam Arus Utama dan Pinggiran

Islam di Indonesia merupakan satu di antara agama global, dan keberadaannya diakui oleh negara. Islam sebagai doktrin bersifat monolit, namun Islam sebagai realitas memperlihatkan wajahnya yang beragam. Sejalan dengan pandangan tersebut Bassam Tibi 1990, dengan mengutip pendapat Geertz mengemukakan Islam sebagai models for reality dan Islam sebagai 75 models of reality. Islam sebagai model pertama adalah Islam dalam doktrin yang berfungsi sebagai acuan dalam memandang dan menilai realitas. Adapun Islam sebagai model kedua adalah Islam yang dipeluk dan sesuai dengan interpretasi ummat dengan segala karakteristik budaya lokalnya. Islam dalam model kedua inilah yang menampakkan wajahnya yang beragam. Dalam kasus di Indonesia, keberagaman pemahaman dan kelompok keagamaan itu sudah lama muncul. Keberagaman itu lebih nampak dan banyak lagi ketika terjadi pergumulan interplay antara Islam di satu pihak dengan nilai-nilai modernitas dan tradisi-lokal di pihak lain.

1. Islam Arus Utama

Dalam masyarakat Islam Indonesia kontemporer telah berkembang dua arus pemikiran dan gerakan Islam yaitu kelompok Islam arus utama atau Islam mapan dan kelompok Islam pinggiran atau Islam sempalan splinter-group. Kelompok Islam arus utamamapan ditandai dengan jumlah pengikut yang banyak dan orientasi pemikiran keagamaan serta pandangan tentang duniannya worldview sudah menjadi arus pemikiran utama umat Islam pada umumnya. Kelompok ini dapat direpresentasikan, seperti pengelompokan yang diberikan Geertz 1989 atau Muchtarom 1992, dengan kelompok Islam santri-tradisional maupun modernis. Kelompok Islam santri-tradisional sering direpresentasikan dengaan Nahdhatul Ulama, sedangkan Islam santri-modernis misalnya Muhammadiyah dan Persis Persatuan Islam. Ciri-ciri Islam mapan terdapat juga pada pandangan- pandangan Majelis Ulama Indonesia. Bahkan dalam banyak kasus 76 yang terkait dengan penilaian terhadap lembaga-lembaga keagamaan yang ada di Indonesia, Majelis ini menggunakan kriteria pemahaman Islam mapan. Misalnya dalam kasus Darul Hadits, Ahmadiyah, dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ini sekaligus menunjukkan adanya strategi kuasa melalui tafsir agama dari kelompok Islam mapan yang notabene berposisi sebagai mayoritas, hal ini karena komposisi keanggotaan dalam Majelis Ulama Indonesia banyak berasal dari organisasi Islam mapan. 3

2. Islam Pinggiran: Rifaiyah dan Yakari

Kelompok Islam tipe kedua disebut dengan Islam pinggiran karena akibat dari ide dan atau tindakannya yang tidak populer dari kacamata pandang umat pada umumnya, dan cenderung dipandang negatif oleh kelompok arus utama. Kelompok Islam tipe kedua disebut dengan Islam sempalan karena arah pemikiran keagamaan aspek ide dan pola kegiatannya aspek tindakan atau metode gerakannya menyempal dari pemikiran dan kegiatan ummat Islam pada umumnya, dan biasanya bersifat minoritas. Dari kacamata Islam arus utama, tingkatan penyempalan ide dan atau tindakannya kelompok sempalan berbeda-beda, mulai dari yang sangat ekstrim sampai pada yang cukup ekstrim. Sebenarnya jika melacak sejarah perkembangan kelompok- kelompok agama, khususnya Islam di Indonesia, kategori Islam arus 3 Simpulan ini setidak-tidaknya dapat dilihat dari anatomi latar belakang paham agama dari pimpinan terasnya periode saat ini Misalnya KH. Sahal Mahfud Ketua, Syam Sekjen adalah dari NU, Ketua bagian Fatwa, KH Ma’ruf Nima NU, Selain itu ada pula dari Muhammadiyah seperti Profesor Dr. Din Syamsudin, Profesor Dr.Yunahar Ilyas, dan Amidhan.