Sokongan: Normalisasi dan Adaptasi Kepentingan
220
Sedulur Sikep menerima sokongan dalam bentuk uang, yang tidak bisa itu kalau orang menyumbang dalam upacara seperti brokohan. Sebab kalau orang menyumbang uang dalam
brokohan sama halnya seperti membeli makanan dari acara tersebut.
Reaksi Wong Sikep terhadap beberapa sokongan tersebut sebagian besar menerima dan sebagian yang lain menolaknya. Alasan penerimaan karena sokongan itu untuk
kepentingan umum Wong Sikep bukan untuk Wong Sikep tertentu, dan bukan dalam bentuk uang. Kalau untuk Wong Sikep tertentu mereka akan menolaknya. Dalam kasus sokongan yang
diperuntukkan bagi keluarga, keputusan yang diambil oleh Mbah Ontar dan Wong Sikep adalah mengalihkannya untuk kepentingan umum. Hal ini khususnya sokongan yang
diberikan pemerintah sebesar Rp 74 juta pada Januari 2005. Sokongan tersebut direalisasikan dalam bentuk jembatan dan bermanfaat bukan hanya bagi Wong Sikep, namun juga orang
Islam. Sebab jembatan tersebut menghubungkan antara pemukiman penduduk dengan areal pertanian mereka. Ini sekaligus menjadi modal ekonomi Wong Sikep dalam relasinya dengan
kelompok Islam. Bagi yang menolaknya, seperti dituturkan Gugun, proses pemberian sokongan ini sejak
awal ada kejanggalan. Sebab kepanitiaannya berasal dari orang nonSikep, kecuali bendaharanya, dan diapun sekedar tercantum namanya. Sesepuh Sikep juga tidak diajak
rembugan sebelumnya, sehingga terjadi kesalahpahaman. Bagi sesepuh Wong Sikep, menurut Gugun, kalau sokongan tersebut berasal dari uang pajak rakyat berarti sebenarnya pemerintah
tidak membantu, namun memang selayaknya kembali kepada rakyat. Mereka juga mempertanyakan tentang penyebab mereka diberi bantuan, kalau alasannya karena mereka
dianggap miskin, sebenarnya masih banyak orang dari kelompok lain Islam yang juga miskin. Yang tidak kalah pentingnya ada juga yang mempermasalahkan tentang jumlah uang sokongan
yang disimpan di BRI karena tidak sesuai dengan jumlah yang semestinya. Berdasarkan hal tersebut kemudian Wong Sikep, bukan hanya yang terdapat di Bombong namun juga dari
tempat lain seperti Wotan, berembug. Akhirnya Mbah Ontar sebagai sesepuh berdasarkan rembugan tersebut memutuskan, sokongan tersebut digunakan untuk pembangunan prasarana
umum jembatan, selain juga diusulkan agar bendaharanya diganti dari Wong Sikep yang bisa baca-tulis.
Selalin itu, sebelumnya Wong Sikep juga dapat sokongan untuk beaya kehidupan sehari-hari dan perumahan sehat berupa bahan material bangunan. Aparat pemerintah
melakukan pendekatan kepada tokoh Wong Sikep yang dikenal dekat dengan aparat pemerintah seperti P. Sukar. Menghadapi sokongan ini Wong Sikep juga terbagi ke dalam dua
221 kubu yang menerima dan yang menolak. Alasan penolakan dan penerimaan tidak jauh
berbeda dengan yang dikutip sebelumnya. Apapun tindakan atau reaksi yang dilakukan Wong Sikep, namun ada dua dampak
penting seiring dengan ’bom’ sokongan tersebut: 1 Wong Sikep menjadi terpecah yang kemudian berdampak kepada lahirnya atau setidaknya lebih memicu lagi persaingan di
lingkungan internal Wong Sikep, sebagaimana diulas di Bab 3. 2 Seberapapun tingkatan dampaknya, program tersebut telah mengauskan ajaran tradisi-religi ’keluguan’ dan
’demunung’ yaitu perlunya kejelasan sumber dari sesuatu. Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh kedua Wong Sikep yang berbeda di atas, program sokongan ini telah
melahirkan saling tafsir terhadap tradisi religi Adam untuk menjustifikasi tindakan masing- masing. Pelaku di kalangan Wong Sikep mengadaptasikan tradisi-religinya dengan
perkembangan situasi yang berasal dari luar dirinya, dan menyesuaikan dengan kepentingan masing-masing.
Bagi aparat pemerintah penolakan sebagian Wong Sikep tersebut dianggap tidak nalar karena mereka melihat rumah-rumah Wong Sikep yang dianggap tidak layak. Dari posisi
kedua belah pihak, aparat pemerintah dan Wong Sikep yang menolak, sebenarnya menunjukkan adanya perbedaan pengetahuan dalam melihat sesuatu. Wong Sikep lebih
beranjak dari nilai-nilai ajaran tradisi-religi yang mendorong terjadinya tindakan penolakan, bahkan termasuk dalam menerima, yaitu melalui proses tafsir terhadap ajaran agamanya.
Sementara aparat pemerintah lebih melihat dari aspek materi dalam menilai tindakan Wong Sikep yaitu kondisi perumahan yang dianggap tidak layak, sehingga seharusnya menurut
mereka, Wong Sikep menerima sokongan tersebut. Sebagaimana dimaklumi bahwa bentuk rumah Wong Sikep, termasuk rumah orang
nonSikep, terdiri dari tiga 3 model yaitu: pencu joglo, sokowolu limasan, dan modern seperti spanyolan. Rumah-rumah dengan ketiga model tersebut ada yang berukuran sedang
dan luas. Saat ini sebagian besar sudah berbatu bata, dan yang lainnya campuran antara batu bata dan dinding kayu. Khusus dinding batu bata ini menurut beberapa informan merupakan
sokongan yang diberikan elite politik pusat pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Dinding batu bata rata-rata belum dilepo, dan masih berlantai tanah keras atau sebagian
bersemen, dan belum menggunakan eternit, namun sudah beratapkan genteng. Rumah yang sudah berlantai keramik masih sangat sedikit seperti rumahnya Gono dan P. Pudi. Perubahan
mulai terjadi dengan makin banyaknya warga Sikep yang mengakomodasi bangunan rumah modern. Sebagian keluarga muda membangun rumah dengan model modern atau memadukan
antara model tradisional pencu atau sokowolu dan modern.
222 Berdasarkan fungsinya, ada bagian tertentu dari rumah ini yang digunakan untuk pogo
tempat untuk menyimpan hasil pertanian seperti padi dan jagung. Di bagian depan memiliki ruangan yang cukup luas, dapat digunakan untuk kegiatan pekerjaan di rumah maupun
menerima tamu. Dalam ruangan ini dapat dijumpai kelengkapan rumah tangga seperti kursi dan dipan tempat tidur, telivisi, cd, dan radio. Selain itu, terlihat adanya alat-alat pertanian
seperti cangkul, sabit dan sebagainya. Pada saat sekarang Wong Sikep yang masih punya sapi, kerbau, atau kambing tidak menempatkan di ruangan depan, sebaliknya menempatkannya di
samping atau belakang rumah atau dibuatkan kandang sendiri. Ternak peliharaan yang ada di depan rumah adalah anjing.
Kebersihan rumah tempat tinggal masyarakat WS pada umumnya masih kurang. Hal ini dapat dilihat cara pembuangan sampah dan air limbah keluarga belum dibuatkan lubang dan
tidak ada saluran air, limbah tersebut bergenang, dan menyebabkan banyaknya nyamuk. Adapun kebersihan umum seperti jalan, tampak terlihat rapi dan bersih dibandingkan
lingkungan masyarakat yang bukan Wong Sikep. Selain itu hampir semua rumah tangga belum memiliki WC dan kamar mandi khusus, umumnya mandi di sumur yang dibuat di belakang
rumahnya, sedangkan untuk membuang hajat besar pergi ke sungai lepen. Dengan demikian, relasi Wong Sikep dengan aparat pemerintah melalui sokongan telah
melahirkan perubahan seperti bentuk rumah dan sebagian rumah syarat rumah sehat, namun belum memenuhi syarat rumah sehat yang utuh sebagaimana diagendakan aparat pemerintah.