Bermain Melalui Peraturan PENGATURAN NEGARA

42 berkaitan dengan kehidupan keagamaan dan program komunitas adat terpencil PKAT. Pengaturan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan setidaknya meliputi tiga hal yaitu: 1 aturan mengenai pengakuan terhadap agama seperti mengenai batasan dan ciri sebuah agama, 2 agama resmi dan tidak resmi dan dampaknya terhadap keberadaan agama lokal seperti misiologi, hak-hak sipil, dan tempat ibadah; 3 serta aturan pembinaan dan pengawasan

B. Pengaturan Agama Lokal

Negara, khususnya aparat pemerintah, mulai dari level nasional sampai bawah telah mendayagunakan ’kekuatannya’ berupa perundangan untuk apa yang disebut dengan ‘upaya pengembalian dan pembinaan’ penganut agama lokal ke agama resmi. Sebuah pandangan bahwa agama lokal bukan termasuk dalam kategori agama sebagaimana definisi pemerintah. Hal ini terlihat dari pembentukan PAKEM Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, 2 dan sistem perundangan lainnya. 2 Pendirian PAKEM didasarkan atas Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep108JA51984. Secara nasional anggotanya terdiri dari Departemen Agama, Kejaksaan dan Menteri Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah di daerah. Peran intinya adalah mengidentifikasi dan membina aliran kepercayaan, agama lokal, termasuk juga aliran-aliran dari agama yang diakui negara, agar tidak menyimpang dari agama. Sementara yang dimaksud dengan Aliran Kepercayaan Masyarakat dalam kata PAKEM meliputi: 1 Aliran-aliran keagamaan meliputi: sekte keagamaan, gerakan keagamaan, pengelompokan jamaah keagamaan, baik agama langit maupun agama bumi, mereka diurus oleh Departemen Agama. 2 Kepercayaan-kepercayaan budaya meliputi: aliran-aliran kebatinan, kejiwaan, kerohaniankepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk kepercayaan agama komunitas adat, NI. 3 Mistik kejawen, pedukunan, atau permalan, paranormal, metafisika seperti Mamma Lauren, Mbah Marijan. Nomor 2 dan 3 ini diurusi oleh 43 Pemerintah menentukan suatu ’agama’ termasuk sebuah agama atau bukan dengan cara menetapkan kriteria yaitu: adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki sistem hukum yang jelas bagi penganutnya, ada kitab suci, dan memiliki seorang Nabi. Kriteria ini memang tidak tertuang dalam sebuah tata perundangan yang ada di Indonesia, tetapi kriteria yang ada dalam definisi tentang agama tersebut menjadi acuan dasar bagi pemerintah, khususnya Departemen Agama dalam melihat sistem kepercayaan yang ada di Indonesia Baehaqi : 2002; Stange, 1998; Soehadha, 2004. Dengan kriteria ini, terutama syarat harus punya Nabi dan atau kitab suci, maka agama lokal tidak mungkin termasuk kategori agama. Sistem perundangan yang lain yang mengatur tentang agama lokal, dan kepercayaan dalam perspektif pemerintah, 3 selain yang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Lihat dalam Kamari, ’Budaya Spiritual Sebagai Kekayaan Budaya Bangsa,’ Makalah dalam Dialog Budaya Spiritual, Yogyakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata- Balai PSNT, 29-30 Juni 2009. 3 Dalam tulisan ini saya menyebut penghayat kepercayaan tersebut sebagai agama lokal atau saling mempertukarkannya dengan istilah yang ada dalam perundangan di Indonesia yaitu aliran kepercayaan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama ketika masa Orde Baru seperti tercantum dalam beberapa TAP MPR tentang Garis- garis Besar Haluan Negara GBHN, misalnya dalam TAP MPR no IIMPR1998. Meskipun di erta reformasi melalui TAP IXMPR1998 tentang Pencabutan TAP MPR no IIMPR1998 tentang GBHN, dan TAP MPR no IVMPR1999’ kata-kata dan istilah kepercayaan terhadap Tuhgan Yang Maha Esa dihilangkan, namun dalam perundangan dibawahnya masih ada penyebutan istilah tersebut dan masih berlaku seperti adanya lembaga Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarajat PAKEM. Dalam tulisan ini saya juga mempertukarkan istilah agama resmi dengan agama global dengan menunjuk kepada keenam agama yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. 44 tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga Keppres No.71978 jo. Keppres No 211984 tentang Repelita III dan I5 tentang Kebudayaan Nasional yang intinya menjelaskan bahwa aliran kepercayaan merupakan kebudayaan nasional yang bersilakan budaya spiritual; TAP MPR No. IIMPR1993 yang menegaskan bahwa aliran kepercayaan bukan merupakan agama sekaligus bukan agama baru ; SK Dirjen Kebudayaan No. 0151FL-I586 tertanggal 15 Maret 1986, dan No. 0957FL.I5E.88 tertanggal 11 November 1988. SK yang pertama menjelaskan tentang pokok- pokok kebijaksanaan pengelolaan, pembinaan, pengembangan nasional sekaligus penegasan bahwa aliran kepercayaan bukan agama, sedangkan pada Surat Keputusan yang kedua menegaskan perlunya pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional. Bahkan KUHP ikut mengaturnya, dalam pasal 156a misalnya ditegaskan : ‘khususnya bagi oknum-oknum penganut kepercayaan yang sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa diancam pidana maksimal 5 tahun.’ Seturut dengan itu dalam Penetapan Presiden RI No. 11965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama, pasal 3 disebutkan: Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama MenteriJaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-