309 juga dalam relasi kuasa yang dijalankan oleh individu-individu
warga Sikep dalam menghadapi kekuatan struktur tradisi-religi dan tetenger sesepuh. Lihatlah tindakan-tindakan beberapa pelaku
di kalangan Wong Sikep dalam kasus pemilihan Kades yang menyempal dari ‘tetenger’ atau fatwa sesepuhnya, namun dalam
berargumen masih menyandarkan kepada pandangan sesepuh tersebut. Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan beberapa
warga Sikep dalam bidang ekonomi pertanian dan mata pencaharian. Tindakan-tindakan mereka menunjukkan pilihan
bebas dalam perilaku politiknya dan ekonominya. Hanya saja meskipun individu-individu tersebut memiliki kebebasan dalam
menentukan pilihan tindakannya, namun mereka
masih melandaskan
tindakannya dengan
mengemukakan argumen
berdasarkan tafsir atas fatwa sesepuh atau tradisi-religi. Pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan yang
melihat tindakan agen tidak ada kaitannya dengan struktur seperti dalam teori ‘agensi sebagai sinonim dengan kebebasan’ ‘agency as
synonym for free will. Bagi ‘teori tindakan’ ini, seperti dilansir Aheam 2001, agensi membutuhkan prasyarat keadaan mental
dalam diri individu, misalnya niat kesadaran diri, titik pandang yang rasional, dan pengendalian niat. Karenanya teori agensi ini
menafikan unsur sosial budaya yang melingkupi tindakan manusia. Hal ini tentu juga berbeda dengan pandangan Giddens dalam
Aheam, 2001: 117-118; Priyono, 2002 yang menghubungkan antara agensi dengan struktur. Agensi dapat dianggap sebagai
310 kemampuan individu yang dimediasi secara sosio-kultural untuk
melakukan tindakan atau praksis, sebab bagi Giddens tindakan manusia atau praktik sosial pelaku ‘dibentuk’ sesuatu yang
membatasi atau memfasilitasi oleh struktur dan tindakannya berperan untuk memperkuat dan mengonfigurasi ulang reconfigure
struktur tersebut, namun struktur sosial itu sendiri merupakan hasil outcome dan sekaligus sarana medium praktiktindakan sosial
pelaku.
Sementara itu walaupun Foucault memandang tidak adanya sesuatu yang dapat dianggap sebagai agensi karena diskursus
impersonal yang menyebar mencakup masyarakat sedemikian rupa, namun menurut pengikutnya seperti O’Hara dalam Aheam,
2001: 116, Foucault sebenarnya tidak pernah menafikan peran agensi. Hal ini karena di mata pengikutnya, Foucault memandang
kuasa bukan suatu substansi namun sebuah relasi yang dinamis sehingga memberi kemungkinan pada tindakan agensi. Jika
demikian halnya, maka bagi Foucault 1980: 98; Cheater, 1998: 3 individu itu juga merupakan sosok yang aktif yang memainkan
kuasa, namun sekaligus tidak bebas. Hal ini dapat dilihat dari pandangannya mengenai kuasa itu sendiri, ia menyatakan bahwa,
setiap individu senantiasa melakukan kuasa secara simultan. Mereka bukan hanya sosok yang tidak berdaya dan pasrah begitu saja,
namun mereka merupakan unsur-unsur artikulasi kuasa bukan sosok-sosok aplikasi kuasa.
311
4. Modal
Setiap pelaku, individu atau kelompok, saling mencari dan menggunakan modal yang dimilikinya supaya pengetahuan dan
tindakan pihak lain berubah atau mampu mempertahankan budayanya sendiri. Seturut dengan Bourdieu 1977; Harker, 1990;
Haryatmoko dalam Basis, 2003 mereka menggunakan berbagai jenis modal yaitu: budaya, sosial, ekonomi, dan simbolik.
Pertama, dalam relasinya dengan pihak di luar kelompoknya, Wong Sikep menggunakan modal budaya, ekonomi,
sosial, dan simbolik. Penganut agama Adam menggunakan modal budayanya berupa kearifan lokal keseduluran dan kerukunan dan
menerapkannya secara konsisten. Hal ini sangat bermakna di tengah-tengah proses konflik yang sering terjadi di antara kelompok
Islam sendiri. Konsistensi antara ajaran dan penerapan kerukunan tersebut
telah menetralisir
atau setidak-tidaknya
menjadi penyeimbang terhadap persepsi pelaku di luar dirinya. Hampir
semua kelompok Islam dan aparat pemerintah berpersepsi positif terhadap pandangan dan perilaku rukun dari Wong Sikep yang
pantas ditiru oleh orang Islam. Penganut agama Adam dengan ‘kearifan lokalnya’ telah menjadi cermin untuk mengaca diri bagi
kelompok Islam. Termasuk dalam kategori kearifan lokal dan sekaligus menjadi modal budaya Wong Sikep adalah ketokohan dan
kharisma sesepuh. Dalam batas-batas tertentu, nilai kharismatik sesepuh berdampak terhadap lahirnya soliditas dan solidaritas
anggota kelompok. Hal ini sangat bermakna terutama ketika mereka
312 berhadapan dengan aparat pemerintah, modal ini didayagunakan
untuk beresistensi diam dan melakukan ‘pembalasan’ melalui pemilihan petinggi, sehingga mampu merubah skema politik lokal.
Penganut agama Adam juga menggunakan modal sosial
berupa jaringan politik dengan elit politik di tingkat nasional dan jalinan hubungan dengan lembaga swadaya masyarakat. Modal
sosial, jaringan politik, Wong Sikep lebih didayagunakan pada saat- saat belakangan dan belum optimal. Hal ini karena masih kuatnya
pengaruh modal sosial jaringan politikyang didayagunakan oleh aparat pemerintah dan muslim pada waktu-waktu sebelumnya.
Walaupun begitu penggunaan modal sosial jaringan dengan elite politik dan lembaga swadaya masyarakat Wong Sikep tersebut telah
mampu meredam upaya konversi agama secara aktual untuk kasus Baturejo, meredam perubahan budaya secara lebih cepat dan kaffah
sesuai kepentingan aparat pemerintah dan muslim, dan melahirkan tindakan hati-hati pihak lain.
Meskipun Wong Sikep secara ekonomis dimasukkan sebagai
kelompok miskin, bukan berarti mereka tidak memanfaatkan modal ekonomi. Cara yang digunakannya adalah menstranformasikan
modal ekonomi aparat pemerintah, yang ditujukan kepadanya, menjadi modal ekonomi ketika berelasi dengan muslim. Hal ini
berupa pemberian akses fasilitas dan sarana pengairan -- yang diterima dari aparat pemerintah -- kepada petani muslim, sehingga
mengangkat citra positifnya. Kedua, muslim menggunakan berbagai modal ketika berelasi
313
dengan Wong Sikep. Mereka menggunakan modal budaya berupa
upacara keagamaan seperti pada bulan syawal. Upacara pada bulan syawal telah melahirkan tindakan reproduksi budaya atau
peminjaman budaya cultural borrowing dari kalangan Wong Sikep, seperti dalam upacara bodo kupat, dan sunnatan. Reproduksi
budaya seperti bodo kupat, sunnatan, dan mori menjadikan upacara tersebut sebagai bagian integral dari budaya Wong Sikep.
Reproduksi ini nampaknya memang menjadi karakter penganut agama Adam sejak awal. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang
lain seperti pengambilan konsep ketuhanan, pakaian, dan inkarnasi. Satu hal yang penting bahwa di tengah-tengah kekurangcairan relasi
dalam keseharian di antara Wong Sikep dan kelompok Islam, sebagian rangkaian kegiatan dari upacara pada bulan Syawal orang
Islam, silaturrahim, mengantar makanan, dan bodo kupat, telah menjadikan relasi di antara mereka relatif menjadi cair. Ini
sekaligus menunjukkan bahwa orang Islam memanfaatkan modal budayanya, sehingga ‘mencuri hati’ Wong Sikep Kelompok Islam
juga menggunakan modal budaya berupa semangat doktrin misiologi. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa melakukan
misi agama kepada orang lain merupakan sebuah kewajiban, baik kepada orang yang belum memeluk Islam umat dakwah maupun
pemeluk Islam sendiri umat ijabah. Mereka melakukannya melalaui berbagai cara, baik secara lisan maupun perbuatan.
Muslim juga menggunakan modal sosial berupa jaringan
politik dengan aparat pemerintah mulai level petinggi-camat. Hal