Karakteristik PMRI Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI

memberi dampak positif meningkatkan prestasi belajar mereka. Cara-cara untuk menciptakan kondisi atau suasana belajar yang menyenangkan perlu dipikirkan oleh guru. e. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok kecil atau besar Belajar dalam kelompok lebih efektif dibanding belajar secara individual. Dalam praktek, terdapat banyak tipe belajar karena ada siswa lebih senang belajar individual, ada siswa yang memilih belajar dalam kelompok, ada siswa yang cenderung pada hal-hal visual, ada siswa yang lebih menyukai model saling tukar informasi penting untuk memahami sesuatu, dan lain-lain. Informasi seseorang yang bertentangan dengan informasi orang lain dapat membuat pemahaman orang itu bertambah baik. Informasi baru bisa menyebabkan informasi lama harus ditransformasi. Tugas guru antara lain membantu siswa agar informasi baru dapat memperbaiki pengetahuannya. Karena itulah, interaksi dan negosiasi sangat penting dalam pembelajaran, baik antara siswa dan siswa maupun siswa dan guru agar siswa mendapat pengetahuan yang lebih baik dan efektif. f. Pembelajaran tidak selalu di kelas bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati, atau mengumpulkan data. Rasa bosan mengurangi ketertarikan seseorang untuk mendengarkan atau berbuat sesuatu, termasuk untuk berfikir. Orang memerlukan variasi untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik. Variasi ini dapat membuat suasana menyenangkan dalam belajar. Susunan tempat duduk yang sama terus-menerus, suasana kelas yang sama terus-menerus, model belajar yang sama terus-menerus, dan penampilan guru yang sama terus- menerus dapat pula membuat siswa merasa bosan. Karena itu, guru perlu mengadakan variasi pembelajaran, susunan tempat duduk, suasana kelas, metode pembelajaran, dan sebagainya. Hal ini tidak berarti bahwa dalam setiap jam pertemuan harus ada perbedaan situasi. Perlu ada perencanaan yang dilakukan guru, bila perlu minta usulan atau saran siswa. g. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa maupun antara siswa dan guru. Siswa perlu belajar mengemukakan idenya kepada orang lain siswa lain atau guru agar mendapat masukan informasi yang melalui refleksi dapat dipakai untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas pemahamannya. Untuk itu, perlu diciptakan suasana yang mendukung, misalnya berusaha untuk tidak menghukum siswa saat membuat kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah dan tidak menertawakan, melainkan selalu menghargai pendapatnya. h. Siswa bebas memilih modus representasi sesuai dengan struktur kognisi masing-masing saat menyelesaikan suatu masalah menggunakan model Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuan menggunakan berbagai modus representasi enaktif, ikonik atau simbolik dalam upaya membantu menyelesaikan masalah. Dalam tahap enaktif siswa langsung terlihat dalam memanipulasimengotak-atik objek. Tahap ini siswa berhadapan langsung dengan objek yaitu alat peraga matematika yang dapat membatu siswa untuk memahami materi yang sedang dihadapinya. Dengan benda tersebut, siswa dapat menggunakannya sebagai alat bantu menghitung. Tahap ikonik siswa tidak memanipulasi langsung seperti pada tahap enaktif. Pada tahap siswa sudah mampu mengabarkan atau melukiskan gambaran dari sifat benda tersebut. Contahnya dalam belajar matematika, siswa sudah mampu mengambarkan atau melukiskan suatu benda dari sebuah soal cerita untuk mewakilikan benda tersebut dalam menjawab soal cerita sehingga dengan gambaran tersebut dapat membantu siswa memahami suatu permasalahan. Tahap simbolik dalam tahap ini siswa memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Siswa tidak lagi terkait dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini siswa sudah mampu menggunakan notasi tanpa tergatungan terhadap objek real. Dalam konteks pembelajaran matematika di SD, siswa hendaknya tidak cepat-cepat dibawa ke tingkat formal, tetapi diberi banyak waktu dengan menggunakan benda-benda konkret atau model. i. Guru bertindak sebagai fasilitator Tutwuri Handayani Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari siswa atau mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam belajar. Guru bisa membimbing siswa jika mereka melakukan kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari strateginya sendiri saat menyelesaikan masalah. Pembelajaran hendaknya dimulai dengan menyodorkan masalah kontekstual atau realistik yang tidak jauh dari skema kognisi siswa. Siswa diberi waktu cukup untuk menyelesaikannya dengan cara masing-masing, kemudian diberi waktu untuk menjelaskan strategi tersebut kepada kawan- kawannya, dan akhirnya membimbing siswa mencapai tujuan. j. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah, sebaiknya tidak dimarahi, melainkan dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan Sani dan Motivasi. Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, sementara pemberian motivasi internal dan sikap siswa yang positif dapat membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan pembelajar.

b. Konsep Pemecahan Masalah Matematika dalam PMRI

1. KTSP dan Strategi Penyelesaian Masalah

Secara umum, Badan Standar Nasional Pendidikan 2006:8-9 menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lanjut. Hal ini merupakan indikator bagi siswa dalam mencapai tujuan pendidikan dasar yang berupa keterampilan untuk hidup mandiri atau mempunyai kecerdasan hidup. Dasar-dasar kecerdasan hidup semacam itu diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya ketika manusia berhadapan dengan masalah. Dalam kasus itu, manusia terdorong memecahkan masalah sebagai salah satu aktivitas sehari-hari dan tingkat kecakapan memecahkan masalah tersebut menunjukkan seberapa mampu manusia menjalani hidup. Karena itu, salah satu indikator ketercapaian tujuan pendidikan itu adalah bila siswa dapat memecahkan masalah terkait dengan kehidupan sehari-hari. Herman Hudojo 1988:156-160 menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah strategi pembela-jaran di sekolah. Dengan pelajaran itu, siswa terlatih berhadapan dengan masalah riil, berani menghadapi masalah, dan mencoba mencari cara-cara penyelesaian masalah yang dihadapi. Bagi siswa, pemecahan masalah harus dipelajari, sehingga memahami proses penyelesaian masalah, terampil memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi dan merumuskan rencana penyelesaian, serta mengorganisasi keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kurikulum yang dianjurkan pemerintah pada sekolah tahun 2007 adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran KTSP, sebuah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Sebenarnya, kurikulum ini sudah sejalan dengan karakteristik PMRI, yaitu menuntut siswa agar dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dalam memecahkan berbagai masalah yang sesuai dengan kondisi siswa maupun lingkungannya. Menurut Jihad 2008: 130, pengembangan kurikulum tersebut mengacu pada Acuan Operasional Penyusunan KTSP sebagai berikut: a. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. b. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik. c. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan. d. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional e. Tuntutan dunia kerja. f. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dalam prakteknya, walaupun pemerintah sudah menganjurkan agar setiap sekolah menggunakan kurikulum ini, tetapi masih banyak guru menggunakan kurikulum 1996 yang lebih menekankan pada pendekatan lama atau konvensional, yang pada gilirannya banyak guru belum mampu mendorong siswa untuk menjalani proses pembelajaran sesuai dengan hal-hal problematik dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kondisinya semacam itu, guru perlu mengadakan penyesuaian di tingkat praktis, dalam konteks ini dengan menjalankan PMRI, supaya siswa dapat memecahkan masalah di kelas dalam kaitannya dengan masalah kehidupan sehari- hari. Untuk itu, guru perlu mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir sebagai proses penyelesaian masalah. Berpikir merupakan proses yang dinamis dalam menggunakan akal untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Menurut Suryabrata 1995:54 berpikir adalah proses penggunaan akal melalui tiga tahap, yaitu: 1 pembentukan pengertian, 2 pembentukan pendapat, dan 3 penarikan kesimpulan. Cooney dalam Tambunan, 1987:7.5 menyatakan bahwa penyelesaian masalah itu dapat dilakukan melalui penerimaan masalah dan berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menyelesaikan masalah adalah menemukan suatu cara yang belum diketahui, menemukan cara untuk keluar dari