Pendekatan konstruksionis Pembelajaran Matematika G

siswa. PMR Realistic Mathematics Education—RME dikembangkan pertama kali oleh Freudenthal Institute di Belanda. RME memandang matematika harus berhubungan dengan realitas yang dekat dengan kehidupan siswa dan kehidupan masyarakat setempat. Freudenthal dalam Uyangor, 2006 menyatakan bahwa: Dua di antara inti pandangan pentingnya RME adalah bahwa matematika harus terhubung dengan realitas dan matematika sebagai aktivitas manusia. Pertama, matematika haruslah dekat dengan anak-anak dan relevan dengan berbagai situasi kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kata ‘realistik’ bukan mengacu pada dunia nyata, melainkan juga mengacu pada berbagai situasi masalah yang riil pada pikiran siswa. Siswa dihadapkan pada masalah riil, yang berarti dunia riil bisa menjadi konteks pembelajaran, tapi tidak harus. Situasi masalah dalam pembelajaran itu dapat pula dilihat sebagai aplikasi atau modeling. Kedua, gagasan matematika sebagai aktivitas manusia itu ditekankan. Pendidikan matematika tersusun sebagai satu proses reinvensi terbimbing guided reinvention, yaitu siswa bisa mengalami proses yang serupa dibandingkan dengan proses ditemukannya matematika. Arti dari penemuan invention adalah tahap-tahap pada proses-proses pembelajaran sementara arti dari terbimbing adalah lingkungan pengajaran dari proses pembelajaran. Misalnya, sejarah matematika dapat digunakan sebagai satu sumber inspirasi untuk mendesain pembelajaran mata pelajaran. Selain itu, prinsip reinvensi dapat pula terinspirasi prosedur-prosedur solusi informal. Strategi-strategi informal siswa sering dapat ditafsirkan sebagai prosedur- prosedur yang lebih formal. Pada kasus ini, proses reinvensi menggunakan konsep matematisasi sebagai pedoman. Dengan demikian, pendidikan matematika realistik PMR bukan semata-mata berarti berhubungan dengan dunia nyata, melainkan juga berkaitan dengan situasi atau masalah siswa yang dapat digambarkan oleh siswa itu sendiri.

a. Prinsip-prinsip Realistic Mathematics Education

Menurut Van den Heuvel-Panhuizen dalam Marpaung, 1996, di antara prinsip RME antara lain: 1 Prinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif, secara mental maupun fisik, dalam pembelajaran matematika. Pembelajar bukan insan yang pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif secara fisik, teristimewa secara mental, dalam mengolah dan menganalisis informasi, mengkonstruksi pengetahuan matematika. 2 Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah- masalah yang realistik bagi siswa, yang dapat dibayangkan siswa. Masalah realistik lebih menarik bagi siswa dari masalah-masalah matematis formal tanpa makna. Kalau pembelajaran dimulai dengan masalah yang bermakna bagi mereka, siswa cenderung tertarik untuk belajar. Secara gradual siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal. 3 Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa harus melewati jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi untuk mem- peroleh pengertian tentang hal-hal mendasar, sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. Model itu bertindak sebagai jembatan antara aspek informal dan formal. Model yang semula menjadi model situasi berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua masalah lain yang ekuivalen. 4 Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dilihat dan dipelajari sebagai bagian-bagian terpisah tapi terjalin satu sama